104
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian ini berdasarkan data yang telah dipaparkan dari laporan hasil penelitian di atas, kajian mengenai dimensi religius
pendidikan dan minat belajar PAK pada bab sebelumnya serta dikuatkan oleh data hasil wawancara dengan Guru mata pelajaran PAK. Pembahasan dibagi
berdasarkan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ada tiga, yaitu: mengetahui tingkat penghayatan katolisitas sebagai dimensi religius pendidikan, pengaruh
dimensi religius pendidikan terhadap minat belajar mata pelajaran PAK dan faktor pendukung serta penghambat minat belajar mata pelajaran PAK.
1. Tingkat Penghayatan Katolisitas sebagai Dimensi Religius Pendidikan
oleh Guru, Karyawan dan Siswi SMA St. Maria
Bagian ini dibagi menjadi lima bagian berdasarkan aspek yang hendak diketahui, yaitu aspek koinonia, aspek diakonia, aspek leiturgia, aspek
kerygma dan aspek marturia.
a. Aspek Koinonia
Aspek koinonia pertama-tama berhubungan dengan suasana yang dibangun sekolah Katolik adalah iklim yang didasarkan pada ajaran Yesus
sendiri, yaitu cinta kasih. Hal ini dijelaskan oleh KWI-MNPK 1991: 81 sebagai berikut: “siswa mengalami lingkungan yang dijiwai Roh cinta kasih
dan kebebasan Injili.” Kedua, aspek koinonia dijelaskan oleh Groome 1998: 43 tercermin dalam pandangan yang positif atas kebaikan yang terdapat pada
diri sesama dan melibatkan keseluruhan pribadi dalam proses belajar mengajar. Pandangan Groome ini membawa warga sekolah untuk saling menghargai,
menerima dan menjadi satu keluarga. Ketiga, aspek koinonia mensyaratkan
105
adanya kerjasama yang baik antara seluruh warga sekolah. Lantieri 2001: 8 menggambarkan kerjasama ini seperti kerjasama dalam tim sepak bola.
Pernyataan yang berhubungan dengan aspek ini adalah angket pada nomor 1 sampai 7 dan pertanyaan pada kuesioner nomor 1. Penyusunan
pernyataan pada angket berdasarkan ketiga hal di atas, yaitu: suasana sekolah yang penuh cinta kasih item nomor 1 7, penghargaan atas pribadi item
nomor 2-4 6, dan kerjasama item nomor 5. Hasil yang lebih rinci didapatkan pada kuesioner nomor 1. SMA St.
Maria Yogyakarta dapat dikatakan mampu membuat siswinya merasakan adanya penerimaan dan dicintai sebagai keluarga di sekolah ini. Hal ini
dibuktikan dengan jawaban dari 50 responden menjawab merasa dicintai dan diterima. Hal yang menunjukkan penerimaan dan dicintai tersebut adalah:
dalam segala hal 16 responden, dalam hubungan yang harmonis antara guru dengan siswi 17 responden, dalam hal penerimaan perbedaan latar belakang
10 responden, dalam hal melibatkan siswi dalam kegiatan sekolah 4 responden, sedangkan 2 responden tidak menyebutkan dalam hal apa.
Meskipun demikian, arah jawaban yang negatif dapat ditemukan dari jawaban kuesioner oleh 2 responden menjawab ragu-ragu, 4 responden
menjawab kadang-kadang dan 2 responden menjawab tidak merasa diterima dan dicintai dengan alasan: siswi yang kesulitan administrasi kurang
diperlakukan dengan baik, situasi sekolah yang kurang kondusif dan perhatian hanya diberikan pada siswi yang berprestasi. Ada pula responden yang
mengatakan dengan terus terang bahwa yang diterima dan dicintai hanya yang
106
berprestasi, sedangkan situasi sekolah saat ini disebutnya kurang dipenuhi cinta kasih. Jawaban ini kembali ditemukan dalam angket dan semakin memperkuat
indikasi kurangnya penghayatan terhadap aspek koinonia. Pernyataan nomor 1 dalam angket berhubungan dengan sambutan
hangat yang dilakukan oleh guru dan teman-teman. Responden yang sangat mengalami sebanyak 16,39 dan yang mengalami sebanyak 67,21. Sisanya
menjawab ragu-ragu 11,47 dan kurang mengalami 4,92. Data ini mencerminkan bahwa sebagian besar siswi merasakan adanya kehangatan
dalam sambutan yang diberikan guru dan teman-teman. Sambutan ini menjadi tanda bahwa seseorang dihargai dan diterima. Hasil ini bernilai positif sebab
senada dengan salah satu inti aspek koinonia, yaitu suasana penuh cinta kasih. Perasaan diterima dan dicintai sebagai satu keluarga di sekolah merupakan hal
yang penting sebab orang-orang “berpikir tentang sekolah sebagai kelanjutan
dari rumah mereka sendiri” KWI-MNPK, 1991: 92. Dengan adanya penerimaan dan perasaan dicintai, akan tercipta iklim yang disebut “rumah
sekolah.” Pernyataan item nomor 2 sehubungan dengan penerimaan diri siswi
oleh guru, karyawan, dan teman-teman meski latar belakang mereka saling berbeda. Sebanyak 24,59 responden sangat mengalaminya, sebanyak 67,21
responden mengalami, sebanyak 3,28 responden ragu-ragu, sebanyak 3,28 responden kurang mengalami, sebanyak 1,64 responden tidak
mengalami dan sebanyak 1,64 responden tidak menjawab. Variasi jawaban memang tersebar namun didominasi oleh jawaban yang bersifat positif, yaitu
107
sangat mengalami dan mengalami penerimaan perbedaan latar belakang. Hal ini senada dengan pendapat Groome mengenai sikap inklusif. Sikap inklusif ini
dijelaskan oleh Groome 1998: 410 sebagai berikut, “Catholic Christianity
embraces great diversity and brea dth of perspective.” Katolisitas dalam
sekolah Katolik berarti merangkul berbagai keragaman dan memperluas cara pandang warga sekolah.
Pernyataan item nomor 3 sehubungan dengan perhatian yang diberikan oleh guru pada para siswi. Sebanyak 18,03 responden sangat mengalami,
sebanyak 54,09 responden mengalami, sebanyak 18,03 responden ragu- ragu dan sebanyak 9,84 responden kurang mengalami. Hasil penelitian ini
bersifat positif sebab jumlah responden yang menjawab sangat mengalami dan mengalami lebih besar dari yang ragu hingga kurang mengalami. Perhatian
merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penerimaan atas pribadi. Perhatian juga menjadi salah satu kunci agar kerja sama dapat terjalin.
Pernyataan item nomor 4 sehubungan dengan penerimaan kekurangan diri siswi oleh guru, karyawan dan teman-teman. Sebanyak 16,39 responden
menjawab sangat mengalami, sebanyak 50,82 responden mengalami, sebanyak 21,31 responden ragu-ragu dan sebanyak 9,84 responden kurang
mengalami. Hasil ini menunjukkan hal yang positif sebab mendukung salah satu ciri dari aspek koinonia yaitu sikap saling menerima, menghargai dan
memandang bahwa manusia diciptakan Tuhan baik adanya antropologi Kristiani sebagaimana tertulis dalam Kej 1:31.
108
Pernyataan item nomor 5 sehubungan dengan kerjasama antara pimpinan sekolah dengan warga sekolah. Sebanyak 4,92 responden sangat
mengalami, sebanyak 36,06 responden mengalami, sebanyak 36,06 responden ragu-ragu, sebanyak 11,47 responden kurangmengalami, sebanyak
8,2 responden tidak mengalami, dan sebanyak 3,28 responden tidak menjawab. Hasil ini menunjukkan adanya kecenderungan yang kurang baik
dalam hal kerjasama antara pimpinan sekolah dan warga sekolah. Hal ini disebabkan karena jumlah responden yang menjawab ragu-ragu hingga tidak
mengalami lebih banyak dari yang mengalami dan sangat mengalami. Pernyataan pada item nomor 6 sehubungan dengan bagaimana
responden dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam diri guru, teman-teman dan karyawan karena pribadi-pribadi tersebut membawa kenyamanan. Sebanyak
26,23 responden sangat mengalami, sebanyak 36,06 responden mengalami, sebanyak 29,51 responden ragu-ragu, sebanyak 6,56 responden kurang
mengalami dan sebanyak 1,64 responden tidak menjawab. Hasil ini menunjukkan hal positif sebab jumlah responden yang sangat mengalami dan
mengalami lebih banyak dari responden yang ragu hingga tidak mengalami. Hasil ini mencerminkan bahwa figur guru, karyawan dan teman-teman dapat
menjadi sarana hadirnya Tuhan dalam sekolah. Karena Tuhan hadir dalam sekolah maka nuansa religius akan tercipta dan cinta kasih sebagai ajaran
Yesus akan ditegakkan. Pernyataan nomor 7 merupakan konklusi dari indikator aspek koinonia.
Pernyataan pada item ini sehubungan dengan perasaan kerasan di sekolah
109
karena sekolah penuh cinta kasih. Sebanyak 8,2 responden sangat mengalami, sebanyak 36,06 responden mengalami, sebanyak 42,62
responden ragu-ragu, sebanyak 9,84 responden kurang mengalami dan sebanyak 3,28 responden tidak mengalami. Hasil ini mengindikasikan hal
yang cenderung kurang baik sebab jumlah responden yang menjawab ragu- ragu hingga tidak mengalami lebih banyak dari yang mengalami.
Berdasarkan uraian di atas, persentase responden yang menjawab ragu- ragu cenderung cukup besar di atas 20, bahkan ada responden yang tidak
menjawab atau menjawab dengan kecenderungan negatif kurang mengalami atau tidak mengalami. Hal dapat disebabkan oleh perkembangan kognitif
responden. Siswi kelas XI berada pada usia 17 tahun. Menurut Piaget dalam Upton, 2012: 24, pada usia tersebut individu berada pada tahap perkembangan
operasional formal di mana individu menjadi lebih ilmiah dalam berpikir. Sedangkan Erikson dalam Upton, 2012: 22 mengatakan bahwa pada usia 12-
18 tahun, secara psiko-sosial individu berada pada masa remaja yang mengalami kebingungan peran. Responden berperan sebagai siswi sekolah
yang mengharuskannya menaati norma dan peraturan yang berlaku. Terkadang norma dan peraturan tersebut membuatnya sulit mengatakan kenyataan
sehingga menyebabkan keraguan atau memilih untuk tidak menjawab. Perlu diingat juga bahwa “para siswa adalah anak-anak yang berasal
dari berbagai suku bangsa, tradisi, dan keluarga yang berbeda-beda. Tiap siswa mempunyai asal-
usul sendiri dan merupakan pribadi yang unik” KWI-MNPK,
110
1991: 90. Maka ukuran kadar diterima dan dicintai pun berbeda bagi tiap siswa, sesuai dengan latar belakang mereka.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa aspek koinonia di SMA Santa Maria Yogyakarta masih harus diperjuangkan untuk dapat dihayati dengan
baik. Banyaknya jawaban yang meragukan menjadi tanda hal ini. Hal yang masih perlu diperhatikan adalah dalam hal sinergitas antara pemimpin sekolah
dengan seluruh warga sekolah.
b. Aspek Diakonia
Aspek diakonia dapat dirangkum sebagai sebuah layanan sekolah untuk siswanya agar mengalami perkembangan secara utuh. Aspek diakonia ini
sejalan dengan misi sekolah Katolik seperti diungkapkan dalam KWI-MNPK 1991: 4, yaitu:
“Membina bakat-bakat intelektual dengan perawatan yang tekun, mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke
dalam warisan budaya yang diperoleh dari angkatan-angkatan terdahulu,
mengembangkan kepekaan
terhadap nilai-nilai,
mempersiapkan kehidupan profesi, memupuk antara murid-murid dengan bakat dan dari lapisan yang berbeda-beda, pergaulan yang
akrab, yang melahirkan kesediaan untuk saling memahami.” Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah Katolik menyediakan layanan untuk
mewujudkan keterpaduan antara segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Layanan ini merupakan usaha yang memungkinkan siswa mampu melihat diri
dan sesamanya sebagai pribadi, yaitu ciptaan yang mempunyai kodrat fisik dan spiritual. Layanan sekolah Katolik mempunyai tujuan ganda, yaitu “membina
laki-laki dan wanita ke arah kesempurnaan manusia dan kesempurnaan Kristen serta menolong mereka menjadi matang dalam iman” KWI-MNPK, 1991: 95.
111
Maka dinamika layanan di sekolah Katolik mempunyai tujuan yang berdimensi baik fisik maupun spiritual.
Aspek diakonia di sekolah ini sudah dihayati dengan cukup baik. Usaha sekolah untuk memperkembangkan peserta didik nyata dan cukup diminati.
Hal ini nyata dari jawaban responden dalam kuesioner nomor 2. Dari jawaban kuesioner tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan yang diikuti siswi merupakan
kegiatan kurikuler, kokurikuler misalnya live in dan camping rohani, ekstra kurikuler misalnya paduan suara, jurnalistik, dance, dll dan kegiatan
insidental momen tertentu misalnya study tour, class meeting, ekaristi. Siswi juga mampu menyebutkan bahwa mereka berkembang baik secara kemampuan
diri maupun kemampuan berhubungan dengan orang lain. Kendati demikian ada kegiatan rutin yang sebenarnya tiap hari dilakukan dan diikuti siswi namun
tidak disebutkan siswi, yaitu renungan harian dan kegiatan proses belajar mengajar.
Jawaban pada kuesioner tersebut senada dengan jawaban pada angket item nomor 8 sehubungan dengan usaha sekolah untuk membimbing siswi agar
menyadari kelemahan diri dan memperbaikinya. Sebanyak 29,51 responden sangat mengalami, sebanyak 57,38 responden mengalami, sebanyak 6,56
responden ragu-ragu dan sebanyak 4,92 responden tidak mengalami. Hasil ini menunjukkan hal positif sebab responden yang menjawab sangat
mengalami dan mengalami lebih banyak dari responden yang menjawab ragu dan kurang mengalami. Sekolah Katolik sesuai dengan misinya, diharapkan
memberikan perawatan yang tekun bagi siswinya. Salah satu bentuk perawatan
112
yang tekun adalah dengan memberikan penyadaran kepada siswi akan kelemahan dirinya dan membimbing siswi untuk memperbaiki kelemahan
tersebut, sehingga siswi semakin terarah untuk berkembang sebagai pribadi. Pernyataan item nomor 9 sehubungan dengan bakat siswi yang semakin
berkembang karena kegiatan yang diadakan sekolah. Sebanyak 27,87 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 50,82 responden
mengalami, 14,75 responden ragu-ragu dan 4,92 responden kurang mengalami. Hasil ini menunjukkan hal positif sebab responden yang menjawab
sangat mengalami dan mengalami berjumlah lebih banyak daripada yang responden yang ragu-ragu dan kurang mengalami. Pembinaan bakat
merupakan salah satu bentuk pelayanan sekolah Katolik, sesuai dengan misinya. Pembinaan bakat tersebut dilaksanakan tidak hanya dalam ranah
kognitif namun juga dalam kegiatan sosial untuk ranah afektif dan ekstrakurikuler soft skills. Berdasarkan hasil tersebut, kegiatan di SMA St.
Maria Yogyakarta sudah mampu mengembangkan bakat siswinya. Pernyataan item nomor 10 adalah tentang semakin mampunya siswi
berpikir kritis karena pengajaran yang diberikan. Sebanyak 13,11 responden menjawab sangat mengalami, 52,46 responden mengalami, 24,59
responden ragu-ragu, sebanyak 6,56 responden kurang mengalami, sebanyak 1,64 responden tidak mengalami dan sebanyak 1,64 responden tidak
menjawab. Hasil tersebut menunjukkan hal yang positif sebab jumlah responden yang sangat mengalami hingga mengalami lebih banyak dari
responden yang menjawab ragu hingga tidak mengalami. Kemampuan berpikir
113
kritis sangat diperlukan sebab saat ini situasi hidup kaum muda bersifat mendua. Heryatno 2003: 15 mengatakan
bahwa “kaum muda menjadi harapan sekaligus mereka juga dikhawatirkan.” Kaum muda, termasuk siswa,
saat ini berada dalam zaman yang dibanjiri informasi sekaligus zaman yang penuh ketidakpastian. Untuk itu, pembelajaran di sekolah Katolik hendaknya
mengembangkan pemikiran kritis anak didiknya untuk menghadapi situasi hidup.
Perkembangan kemampuan berpikir kritis dan bakat ini senada dengan jawaban responden pada kuesioner nomor dua. Berdasarkan kuesioner nomor
2, sebanyak 42 responden menjawab mengikuti kegiatan ekstrakurikuler paduan suara, teater, tata boga, jurnalis, cheer leader, modeling, basket, bulu
tangkis, renang, dance, dan pramuka, sebanyak 18 responden menjawab kegiatan live in, 7 responden menjawab kegiatan camping rohani, 7 responden
menjawab kegiatan yang sehubungan dengan Ekaristi dan ibadat, 5 responden menjawab kegiatan in group, 4 responden menjawab kegiatan class meeting, 2
responden menjawab kegiatan study tour. Sedangkan perkembangan yang dialami dalam hal: percaya diri, bakat, wawasan, kemampuan interpersonal
solidaritas, mampu menghargai dan berkomunikasi dengan orang lain, perkembangan
dalam kesehatan,
perkembangan dalam
kemampuan menghadapi masa depan, keterampilan diri dan perkembangan dalam hidup
beriman. Berikutnya, pernyataan pada angket nomor 11 sehubungan dengan
penyadaran diri responden akan kodratnya sebagai perempuan dan
114
mensyukurinya. Sebanyak 44,26 responden menjawab sangat mengalami dan sebanyak 55,74 mengalami. Variasi jawaban yang tidak terlalu banyak dan
berpusat pada pilihan sangat mengalami dan mengalami ini menunjukkan hal positif. Hal ini dikarenakan sesuai dengan tujuan layanan pendidikan Kristen
KWI-MNPK, 1991: 95, yaitu kesempurnaan diri dan kesempurnaan spiritual. Dalam hal ini usaha SMA St. Maria Yogyakarta sudah sangat baik.
Pernyataan item nomor 12 berhubungan dengan pengalaman responden merasakan pelayanan yang maksimal dari guru dan karyawan. Pelayanan yang
maksimal ini akan menuntut pengorbanan diri layaknya Yesus yang mencintai murid-murid-Nya. Pelayanan yang maksimal menjadi teladan yang mampu
membawa kehadiran Tuhan dalam sekolah. Sebanyak 16,39 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 44,26 responden mengalami,
sebanyak 27,47 responden ragu-ragu, sebanyak 8,2 responden menjawab kurang mengalami, dan sebanyak 3,28 responden menjawab tidak
mengalami. Perbedaan jawaban dengan variasi yang tinggi ini wajar sebab pengalaman siswi berbeda-beda. Jawaban yang diperoleh cenderung negatif
sebab angka keraguan cukup tinggi. Sehubungan dengan jawaban yang cenderung negatif di pernyataan
nomor 12, perlu diingat bahwa para guru, karyawan dan pimpinan sekolah dalam sekolah Katolik hendaknya memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan
kaum muda sekarang. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, hendaknya ditanamkan kesadaran bahwa
“yang dilayani adalah manusia seutuhnya yang
115
diharapkan menjadi manusia yang makin seutuhnya, artinya menurut aneka kebutuha
n, kemampuan dan aneka aspeknya” Go, 1995: 34.
c. Aspek Leiturgia
Perayaan Sabda dan Sakramen tidak kalah pentingnya dalam sekolah Katolik sebab salah satu tujuan pendidikan Kristen GE, art.
2 adalah, “supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan Kebenaran,
terutama dalam perayaan Liturgi.” Selain itu Konsili menyatakan, “Liturgi adalah puncak yang dituju kegiatan Gereja dan sekaligus sumber dari mana
mengalir kekuatannya” SC, art. 10. Berdasarkan pernyataan dalam GE dan SC tersebut, sekolah Katolik hendaknya memberi waktu dan tempat secara
khusus di mana Sabda dan Sakramen dapat dirayakan. Sekolah mampu menyelenggarakan perayaan sakramen selain Ekaristi karena kerjasamanya
dengan paroki, misalnya sakramen Tobat. Go 1995: 76 berpendapat bahwa perayaan liturgi, khususnya misa
sekolah mempunyai tujuan: menunjukkan cara bersyukur sebagai sekolah Katolik, pembinaan kesalehan siswa, pembinaan religiusitas siswa, sarana
pewartaan, dan pembentukan kebiasaan siswa untuk mencintai Ekaristi. Melalui liturgi, siswi diajak untuk mempersembahkan usahanya dalam belajar
dan memohon kekuatan untuk belajar, namun juga membina kesalehan dan membina sikap yang tepat dalam berliturgi. Dengan demikian, dapat dikatakan
liturgi dalam sekolah tidak semata-mata sebagai tanda bakti kepada Tuhan, namun mempunyai tujuan implisit yaitu pembentukan karakter siswa.
116
Pada penelitian ini, item pernyataan yang dimaksudkan untuk mengukur penghayatan aspek leiturgia di SMA St. Maria Yogyakarta terletak
pada item nomor 13-15. Yang hendak diketahui dalam item tersebut adalah keterlibatan siswa dalam kegiatan yang liturgis nomor 13, buah rohani dari
kegiatan liturgis nomor 14 dan pembentukan kebiasaan siswi melalui kegiatan liturgis nomor 15. Kuesioner nomor 3 hendak mengetahui besarnya
bantuan dan manfaat dari kegiatan liturgis yang diselenggarakan sekolah bagi siswi.
Pernyataan item nomor 13 sehubungan dengan pengalaman keterlibatan siswi dalam kegiatan liturgis. Sebanyak 42,62 menjawab sangat mengalami,
sebanyak 44,26 mengalami, sebanyak 9,84 ragu-ragu, sebanyak 1,64 kurang mengalami, dan sebanyak 1,64 tidak mengalami. Hasil ini
menunjukkan hal positif sebab responden yang menjawab sangat mengalami dan mengalami lebih banyak dari yang ragu hingga tidak mengalami. Hal ini
menunjukkan bahwa SMA St. Maria sudah menjalankan kegiatan liturgis dan tingkat keterlibatan siswi dalam kegiatan tersebut cukup tinggi.
Pernyataan item nomor 14 sehubungan dengan buah rohani dari kegiatan liturgis di sekolah, yaitu apakah siswi semakin dekat dengan Tuhan.
Sebanyak 31,15 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 54,09 responden menjawab mengalami, sebanyak 9,84 responden menjawab ragu-
ragu, dan sebanyak 3,28 responden menjawab tidak mengalami. Responden yang tidak mengalami ini, bisa disebabkan karena tidak beriman tidak
memeluk agama Katolik.
117
Pertanyaan pada kuesioner nomor 3 berhasil mengungkapkan hal ini. Pada pertanyaan tersebut sebanyak 3 responden menyatakan sangat terbantu
dan 45 responden menjawab terbantu. Alasan yang terungkap: 27 responden mengatakan dengan adanya perayaan Ekaristi dan sakramen mereka
dipermudah misalnya tidak repot ke gereja dan efisien waktu, 8 responden menyatakan semakin dekat dengan Tuhan, 4 responden meyatakan semakin
memperdalam iman Katolik, 4 responden menyatakan hati semakin tenang dan percaya diri, sedangkan 2 responden tidak menyatakan alasannya. Pada
pertanyaan ini, 8 responden menyatakan tidak terbantu sebab kegiatan tersebut beda dengan agamanya.
Penyataan pada angket nomor 14 di mana 3 responden tidak menjawab dapat dihubungkan dengan kuesioner nomor 3 di mana 8 responden
menyatakan beda agama. Bisa jadi karena berbeda agama maka responden tersebut tidak mendapatkan buah rohani dari kegiatan liturgis yang
diselenggarakan sekolah. Pernyataan item nomor 15 sehubungan dengan pembentukan karakter
siswa dalam kegiatan liturgis, yakni apakah siswa semakin mampu bersikap dengan tepat dalam Ekaristi. Sebanyak 21,31 responden menjawab sangat
mengalami, sebanyak 68,85 responden mengalami dan sebanyak 9,84 responden ragu-ragu. Hasil ini menunjukkan hal yang positif karena jawaban
terbanyak terletak pada opsi mengalami dan sangat mengalami. Berdasarkan hasil ini, Ekaristi yang diselenggarakan oleh SMA St. Maria Yogyakarta dapat
118
mendorong siswinya untuk lebih sadar akan sikap yang tepat dalam beribadat dan dengan demikian akan terbentuk menjadi karakter siswi dalam beribadat.
Dapat disimpulkan bahwa SMA St. Maria Yogyakarta sudah menghayati aspek leiturgia dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan
penyelenggaraan kegiatan liturgis di mana keterlibatan siswi cukup tinggi, siswi mampu memetik buah rohani dengan baik dan mampu bersikap dengan
tepat selama kegiatan liturgis. Perlu diingat ada pula siswi yang beragama non- Katolik. Bagi siswi non Katolik, perayaan liturgi mungkin kurang membuatnya
berpartisipasi dan memperoleh buahnya sebab “partisipasi dalam liturgi sebenarnya merupakan perbuatan yang menuntut iman yang sesuai
” Go, 1995: 31.
d. Aspek Kerygma
Aspek kerygma di sini dapat diartikan bagaimana Kabar Gembira itu diwartakan dalam sekolah dan bagaimana sekolah mampu melihat kebudayaan
dari zaman ke zaman dalam terang iman. Aspek kerygma juga erat berhubungan dengan pendidikan Kristen GE, art. 2 terutama agar
“mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan dan dari hari ke hari makin menyadari karunia
iman yang telah mereka terima, supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia yang baru dalam
kebenaran da n kekudusan sejati.”
Pernyataan tersebut memberikan tempat yang istimewa bagi kegiatan pewartaan sebab dengan pewartaan, pengalaman hidup manusia diterangi oleh
terang iman dan memberi manusia pengalaman iman yang memungkinkan mereka bertumbuh menuju kedewasaan iman.
119
Item pernyataan dalam penelitian ini yang bermaksud untuk mengukur penghayatan SMA St. Maria Yogyakarta dalam aspek kerygma adalah item
nomor 16-19. Hal yang hendak diukur sesuai dengan penjelasan di alinea sebelumnya adalah sarana yang disediakan sekolah untuk mewartakan Kabar
Gembira item nomor 16, usaha sekolah membimbing siswinya menghubungkan pengalamannya dengan terang iman item nomor 17-18, dan
buah dari usaha tersebut item nomor 19. Pada kuesioner, pertanyaan nomor 4 bermaksud mengetahui pengaruh aspek kerygma tersebut bagi siswi sekaligus
mengungkap hal yang masih meragukan di angket. Pernyataan item nomor 16 sehubungan dengan ketersediaan sarana
yang berkaitan dengan usaha pewartaan Kabar Gembira. Sebanyak 16,39 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 44,26 responden
mengalami, sebanyak 29,51 responden ragu-ragu, sebanyak 8,2 responden kurang mengalami, dan sebanyak 1,64 responden tidak mengalami. Hasil ini
menunjukkan hal yang bersifat positif sebab jumlah responden yang mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu hingga tidak
mengalami. Hal ini menunjukkan bahwa SMA St. Maria Yogyakarta sudah menyediakan sarana untuk pewartaan Kabar Gembira dan siswa sudah
mengalamimempergunakannya. Pernyataan item nomor 17 sehubungan dengan usaha sekolah untuk
mewartakan Kabar Gembira, khususnya melalui pembacaan Injil dan renungan pagi. Sebanyak 18,03 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak
57,38 responden menjawab mengalami, sebanyak 16,38 responden ragu-
120
ragu, sebanyak 4,92 responden kurang mengalami, sebanyak 3,28 responden tidak mengalami. Hasil ini menunjukkan hal positif sebab jumlah
responden yang mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu hingga tidak mengalami. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu usaha SMA
St. Maria Yogyakarta untuk mewartakan Kabar Gembira adalah dengan pembacaan Injil dan renungan pagi. Kegiatan tersebut selaras dengan
pendidikan Kristen, yaitu untuk semakin mendalami misteri keselamatan. Pernyataan item nomor 18 sehubungan dengan bentuk kegiatan di SMA
St. Maria Yogyakarta di masa khusus untuk mewartakan Kabar Gembira APP, BKSN, Adven, dll. Sebanyak 42,62 responden menjawab sangat
mengalami, sebanyak 52,46 responden mengalami, sebanyak 3,28 ragu- ragu, dan 1,64 kurang mengalami. Hasil ini menunjukkan hal yang positif
sebab yang mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu dan kurang mengalami.
Pernyataan item nomor 19 sehubungan dengan buah rohani dari aspek kerygma
di SMA St. Maria Yogyakarta, yakni apakah iman siswi semakin diteguhkan. Sebanyak 9,84 responden menjawab sangat mengalami,
sebanyak 63,93 responden mengalami, sebanyak 24,59 responden ragu- ragu, dan sebanyak 1,64 responden kurang mengalami. Hasil ini
menunjukkan hal yang positif sebab yang mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu dan kurang mengalami. Hal ini menunjukkan
bahwa melalui usaha-usaha sekolah untuk menghayati aspek kerygma di sekolah, iman siswi semakin diteguhkan.
121
Beberapa kejanggalan yang ditemukan di angket yaitu masih adanya keraguan siswi dalam mempergunakan sarana rohani item angket nomor 16
dan adanya keraguan pula dalam menjawab Injil menjadi inspirasi bagi kegiatan hari tersebut item angket nomor 17. Hal ini dapat diungkap dalam
kuesioner nomor 4 mengenai berkembangnya kebiasaan membaca Kitab Suci, berdoa dan mengikuti renungan di mana ditemukan fakta bahwa 15 responden
menyatakan tidak berkembang, dengan alasan malas 6 responden, bosan karena menjadi rutinitas 5 responden dan tanpa alasan 4 responden. Alasan
lain, masih sama seperti aspek leiturgia yaitu masalah beda agama. Hal ini telah diterangkan di bagian sebelumnya.
Perbedaan hakiki sekolah Katolik dengan sekolah lainnya adalah “sekolah Katolik menimba inspirasi dan kekuatannya dari Injil tempatnya
berakar” KWI-MNPK, 1991: 100. Oleh karena itu, aspek kerygma menjadi penting bagi sekolah Katolik. Sekolah Katolik tidak hanya mencerdaskan anak
melainkan menunjukkan makna hidup yang lebih mendalam seperti yang terbuka dalam terang iman. Sekolah Katolik yang dikembangkan sebai
persekutuan tentulah harus bersumber dan berpusat pada Sabda Allah. Oleh karena itu, perlu dipikirkan mengenai rasa malas dan bosan siswi dalam
renungan harian dan bagaimana agar siswi memanfaatkan sarana rohani di sekolah.
e. Aspek Marturia: Sekolah Mendorong Warganya untuk Bersaksi
Aspek marturia berhubungan dengan bagaimana sekolah Katolik mampu menghadirkan nilai-nilai Kristiani baik bagi warganya maupun untuk
122
lingkungan sekitar. Kesaksian diberikan oleh sekolah Katolik bukan karena sekolah menyandang nama “Katolik” namun karena kesaksian hidup
warganya; para guru, karyawan, dan siswa. Pernyataan ini berarti bahwa nilai- nilai Kristiani yang diperoleh dalam pelajaran agama dihayati dalam dinamika
keseharian di sekolah sehingga membentuk karakter siswa. Karakter siswa yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai K
ristiani ini “mendorong cara hidup yang kontras dengan budaya modern dan tentu saja merelakan diri untuk hidup bagi
orang lain” Groome, 1998: 32. Angket item nomor 20-22 dalam penelitian ini hendak mengetahui
pengahayatan warga SMA St. Maria Yogyakarta terhadap aspek marturia. Unsur yang hendak diukur adalah kemampuan untuk mempertahankan nilai
Kristiani di tengah arus zaman item nomor 20 , sejauh mana pengajaran di sekolah mampu membuat siswi terbuka pada kenyataan dunia item nomor 21
dan untuk bersaksi item nomor 22. Kuesioner nomor 5 bermaksud menguatkan data mengenai aspek ini.
Pernyataan item nomor 20 sehubungan dengan fungsi suara hati untuk menghadapi arus negatif. Sebanyak 14,75 responden menjawab sangat
mengalami, sebanyak 62,29 responden mengalami, dan sebanyak 22,95 responden ragu-ragu. Hasil ini menunjukkan hal yang positif sebab yang
mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu. Suara hati merupakan inti terdalam hidup manusia di mana Allah berbicara kepada
manusia. Melalui suara hati, orang disadarkan akan nilai-nilai Kristiani yang diperjuangkan dan dimampukan untuk melawan arus negatif dunia.
123
Pernyataan item nomor 21 sehubungan dengan apakah pengajaran di sekolah mampu membuat siswi terbuka pada kenyataan dunia. Sebanyak
22,95 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 52,46 responden mengalami, sebanyak 21,31 responden ragu-ragu, dan sebanyak 3,28
responden kurang mengalami. Hasil ini menunjukkan hal yang positif sebab yang mengalami dan sangat mengalami lebih banyak dari yang ragu hingga
kurang mengalami. Pengajaran yang diterapkan oleh SMA St. Maria Yogyakarta, berdasarkan wawancara dengan ibu Heni guru Mata Pelajaran
PAK pada hari Sabtu, 13 Juni 2014; tidak pernah berhenti pada konsep. Semua selalu diarahkan pada penerapan pelajaran dalam kehidupan. Maka
tidak heran, pada item ini mayoritas responden menyatakan bahwa pelajaran di sekolah mampu membuka dirinya terhadap kenyataan dunia.
Pernyataan pada item nomor 22 merupakan konklusi, apakah sekolah berdayaguna dalam mendorong siswinya bersaksi yaitu dengan terlibat dalam
kegiatan masyarakat. Sebanyak 21,31 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 60,66 responden mengalami, sebanyak 13,11
responden ragu-ragu, dan sebanyak 4,92 responden kurang mengalami. Hasil ini menunjukkan hal yang positif sebab yang mengalami dan sangat mengalami
lebih banyak dari yang ragu hingga kurang mengalami. SMA St. Maria Yogyakarta menyelenggarakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan
masyarakat, misalnya live in, bakti sosial, dan pengabdian masyarakat. Siswi diwajibkan untuk terlibat dalam kegiatan tersebut dan dengan demikian sudah
menjadi kebiasaan untuk terjun dalam masyarakat. Kegiatan ini secara tidak
124
langsung merupakan bentuk penghayatan terhadap aspek marturia, sebab dengan terlibat di masyarakat mereka memberi dampak.
Dari pembahasan di atas, jawaban responden nomor 21 dan 22 bernada positif, sedangkan pada nomor 20 masih ada kecenderungan keraguan. Data ini
dapat dijelaskan oleh kuesioner nomor 5. Berasarkan kuesioner tersebut 1 responden menyatakan sangat terdorong dan 38 responden menyatakan
terdorong. Alasan yang terungkap: sekolah membiasakan dan mendorong siswi terlibat bermasyarakat 8 responden, motivasi dari diri sendiri 8 responden,
terdorong untuk peduli 8 responden, sudah terbiasa dalam bermasyarakat 5 responden, menambah wawasan dan relasi 4 responden dan untuk bekal
masa depan 1 responden, sisanya tidak menyebutkan alasan 4 responden. Pada pertanyaan yang sama, ada pula responden memberi jawaban belum
terdorong 9 responden dengan alasan sibuk dan masih malu, serta 8 responden memberi jawaban tidak terdorong karena terlalu banyak tugas
sekolah dan belum terbiasa. Peran suara hati angket nomor 20 masih menjadi keraguan yang disebabkan oleh adanya kesibukan, rasa malu dan banyaknya
tugas sekolah sehingga siswi sulit meluangkan waktu untuk mendengar suara hati.
Untuk menanggapi hal tersebut, perlu diingat bahwa Sekolah Katolik memberikan perhatian istimewa kepada tantangan-tantangan yang ditempatkan
kebudayaan manusia bagi iman. Sekolah Katolik adalah tempat istimewa untuk menemukan cara-cara yang memadai untuk menangani masalah tersebut.
“Salah satu ciri sekolah Katolik adalah menafsirkan dan menata kebudayaan
125 manusia dalam terang iman” KWI-MNPK, 1991: 102. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka sekolah perlu membuka diri terhadap kenyataan masayarakat sekitar dan mendorong siswinya untuk terlibat dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan terlibat dalam masyarakat, siswi akan mampu mempertanggungjawabkan nilai-nilai Kristiani yang dipelajarinya.
2. Pengaruh Dimensi Religius Pendidikan terhadap Minat Belajar PAK
Siswi Kelas XI SMA St. Maria Yogyakarta
Pembahasan pada variabel ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: dimensi religius pendidikan sebagai stimulus dan dimensi religius pendidikan sebagai
kultur yang mendorong minat belajar PAK. Pada bagian pertama, akan dibahas angket item 23 hingga 25 dan dikuatkan dengan jawaban kuesioner nomor 6
serta wawancara pertanyaan nomor 4. Pada bagian kedua, akan dibahas angket item 26 hingga 28 dan dikuatkan dengan jawaban kuesioner nomor 7 serta
wawancara pertanyaan nomor 5. Berikut ini pembahasannya.
a. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Stimulus
Pada kajian pustaka di Bab II, telah dikatakan pendapat Sardiman 2008: 32-33, di mana teori psikologi Gestalt memiliki dua prinsip. Pertama,
manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan dan tidak hanya secara intelektual. Kedua, belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, lingkungan sekolah Katolik yang diwarnai dimensi religius pendidikan dapat menimbulkan reaksi dan dapat mendorong
warga sekolah dalam hal ini siswi SMA St. Maria Yogyakarta untuk belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan.
126
Dimensi religius pendidikan menyatu dengan dinamika keseharian di sekolah di mana siswi terlibat di dalamnya. Dengan keterlibatan ini, siswi akan
menemukan pemahaman baru, khususnya dalam mata pelajaran PAK karena apa yang dipelajari secara teori kini menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari
di sekolah. Karena sesuai dengan kenyataan pula, maka siswi akan lebih cepat memahami apa yang diajarkan dalam mata pelajaran PAK. Dengan demikian
siswi akan terdorong untuk berminat pada mata pelajaran PAK karena stimulus dimensi religius pendidikan.
Pernyataan item nomor 23 sampai 25 dalam penelitian ini hendak melihat sejauh mana dimensi religius pendidikan itu menjadi stimulus minat
belajar PAK. Pernyataan item nomor 23 sehubungan dengan pengalaman responden
tentang pengaruh lingkungan sekolah yang penuh cinta pada minat belajar mata pelajaran PAK. Sebanyak 9,84 responden menjawab sangat mengalami,
sebanyak 40,98 responden mengalami, 39,34 responden ragu-ragu, dan 9,84 responden kurang mengalami. Dari hasil ini dapat kita lihat sebaran data
yang seimbang. Lingkungan sekolah yang penuh cinta kasih bagi sebagian responden mempengaruhi minatnya untuk belajar PAK, namun tidak demikian
bagi responden lain. Hal ini karena minat tidak hanya ditimbulkan oleh faktor ekstern dalam hal ini dimensi religius pendidikan namun juga faktor intern
pembawaan. Sefrina 2013: 28 menjelaskan bahwa faktor dari luar individu dapat mempengaruhi namun tidak memaksakan.
127
Dari pembahasan di atas dapat dilihat adanya responden yang menjawab ragu-ragu. Penyebab keraguan ini dapat dilihat dari kuesioner nomor
6, di mana hanya 32 responden separuh dari total responden yang menyatakan lingkungan sekolah mendorong minat belajar PAK. Dorongan
yang dialami dikarenakan suasana mendukung 11 responden, guru dan materi mendukung 7 responden, adanya kegiatan yang mendukung PAK 7
responden, dan adanya kewajiban mengikuti mata pelajaran PAK 4 responden. Jawaban terbuka dari responden tersebut yang sehubungan dengan
suasana yang mendukung minat belajar PAK hanya sedikit. Seorang responden bahkan memberi keterangan sebagai berikut: minat itu kesadaran terhadap
sesuatu yang dihadapinya, bukan karena kondisi yang mendorong. Hasil wawancara dengan guru PAK pertanyaan nomor 4 juga
mengindikasikan hal yang sama. Berdasarkan jawaban guru PAK, faktor suasana belum tentu mempengaruhi minat belajar PAK. Sekolah memang
sudah mengusahakan agar lima tugas Gereja memberi warna pada suasana sekolah dan agar siswi terlibat di dalamnya. Meski pun demikian suasana
sekolah lebih luas dari hal-hal tersebut dan suasana itu diciptakan oleh bermacam-macam hal. Masih ada faktor motivasi diri.
Pernyataan pada angket nomor 24 sehubungan dengan pengalaman responden mengenai suasana di sekolah yang dapat membuatnya cepat
memahami mata pelajaran PAK. Sebanyak 3,28 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 44,26 responden menjawab mengalami, sebanyak
40,98 ragu-ragu, dan 11,47 kurang mengalami. Kita dapat melihat bahwa
128
responden yang ragu dan kurang mengalami berjumlah lebih banyak. Hal ini berarti belum ditemukan adanya kepastian apakah ada pengaruh antara situasi
sekolah dengan pemahaman mata pelajaran PAK. Hal yang serupa ditemukan dalam angket nomor 25.
Pernyataan pada angket nomor 25 sehubungan dengan pengalaman responden tentang kesesuaian kenyataan di sekolah dengan yang diajarkan di
mata pelajaran PAK membuatnya berminat pada mata pelajaran PAK. Sebanyak 8,2 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 40,98
responden mengalami, sebanyak 40,98 responden ragu-ragu, dan sebanyak 8,2 responden kurang mengalami. Hasil yang diperoleh kembali bersifat
seimbang. Guna menguji keraguan data dari angket nomor 24 dan 25, pendapat
Ngalim Purwanto 1998: 101 mengenai insight sebagai “sesuatu yang
diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu” dapat digunakan. Banyaknya responden yang menjawab
ragu mengindikasikan
bahwa mereka
masih menemukan
adanya ketidakcocokan antara yang dipelajari dalam PAK dengan kenyataan di
sekolah, sehingga pemahaman dan minat responden akan mata pelajaran PAK tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor suasana sekolah.
Dari angket nomor 23-25 di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dimensi religius pendidikan dapat menjadi stimulus minat belajar PAK namun
tidak bersifat mutlak. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Ngalim Purwanto 1996:100
, “reaksi manusia terhadap dunia luar tergantung kepada bagaimana
129
dia menerima stimulus dan motif- motif apa yang ada padanya.” Maka sekuat
apa pun stimulus yang diberikan dimensi religius pendidikan, jika siswi memiliki motif lain dalam dirinya belum tentu berpengaruh terhadap minat
belajarnya pada mata pelajaran PAK.
b. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Kultur
Bagi sekolah Katolik, dimensi religius pendidikan merupakan ciri khas GE, a. 8. Dengan demikian dimensi religius pendidikan menjadi lingkungan
sosio-kultural karena menjadi sebuah kualitas kehidupan yang mewujud dalam aturan-aturannorma, kinerja, kebiasaan kerja, dan gaya kepemimpinan.
Dimensi religius pendidikan dalam hal ini menjadi sebuah kultur yang mencerminkan kualitas kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang
berdasarkan nilai atau spirit yang dianut sekolah itu Dapiyanta, 2008: 49. Angket nomor 26 sampai 28 dalam penelitian ini bermaksud untuk
melihat apakah dimensi religius pendidikan sudah menjadi kultur di SMA St. Maria Yogyakarta ini dan sejauh apa efeknya terhadap minat belajar siswi pada
mata pelajaran PAK. Keraguan data pada angket nomor tersebut akan dijawab berdasarkan jawaban kuesioner nomor 7 dan wawancara dengan guru PAK
pertanyaan nomor 5. Pernyataan pada angket nomor 26 sehubungan dengan pengalaman
responden tentang penghayatan nilai-nilai Kristiani dalam peraturan sekolah, oleh pemimpin sekolah dan dalam interkasi;berpengaruh terhadap minat belajar
mata pelajaran PAK. Sebanyak 11,47 responden menjawab sangat mengalami, 47,54 mengalami, 36,06 ragu-ragu, dan 4,92 kurang
130
mengalami. Pernyataan pada item nomor 27 sehubungan dengan apakah responden mengalami bahwa sikap yang baik, penuh cinta dan totalitas
pelayanan para guru berpengaruh pada minat belajar mata pelajaran PAK. Sebanyak 11,47 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 47,54
responden mengalami, 31,14 responden ragu-ragu, dan 9,84 responden kurang mengalami.
Kesimpulan yang diperoleh dari jawaban responden nomor 26 dan 27 yaitu: minat belajar mata pelajaran PAK dapat ditimbulkan oleh keteladanan
yaitu bagaimana nilai Kristiani ditampakkan oleh pemimpin sekolah, peraturan sekolah dan orang lain nomor 26 serta perlakuan orang lain yang memberi
kesaksian akan nilai-nilai kasih yang dinyatakan dalam kebiasaan sehari-hari nomor 27. Meski demikian masih ada jawaban ragu-ragu. Jawaban guru PAK
mengenai hal ini wawancara nomor 5 dapat memberi kepastian. Berdasarkan jawaban guru PAK, penghayatan nilai-nilai Kristiani berpengaruh pada minat
belajar mata pelajaran PAK. Penghayatan tersebut ditampakkan oleh figur dan kepribadian guru. Guru yang menghayati nilai-nilai Kristiani nampak dari
perilakunya dan kesiapannya mengajar serta pendekatannya terhadap siswi. Hal tersebut dapat ditangkap siswi. Karena apa yang diajarkan sesuai dengan
kenyataan, maka siswi berminat pada pelajaran. Selain itu dengan adanya pembiasaan nilai-nilai Kristiani juga menjadi pendukung minat mata pelajaran
PAK. Pernyataan pada item nomor 28 sehubungan dengan apakah responden
mengalami bahwa kebiasaan Kristiani di sekolah ini mendorong minat belajar
131
mata pelajaran PAK. Sebanyak 6,56 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 65,57 responden mengalami, sebanyak 21,31
responden ragu-ragu, dan 6,56 responden kurang mengalami. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Kristiani menjadi lingkungan sosio-kultural,
yaitu tradisi; yang mendorong minat belajar mata pelajaran PAK. Dapat disimpulkan bahwa dimensi religius pendidikan lebih berfungsi
sebagai lingkungan sosio-kultural untuk mendorong minat belajar mata pelajaran PAK. Sebagai lingkungan sosio-kultural, hal yang paling efektif
adalah pembiasaan-pembiasaan Kristiani misalnya membaca Kitab Suci, berdoa, misa, dll dan keteladanan penghayatan nilai-nilai Kristiani oleh para
guru, pemimpin sekolah dan peraturan sekolah.
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Minat Belajar PAK Siswi Kelas XI
SMA St. Maria Yogyakarta
Menurut Mahfudh Shalahuddin 1990 :95, “minat dapat muncul ketika
suatu objek berhubungan dengan fungsi-fungsi kebutuhan, cita-cita, keinginan, pengaruh kebudayaan, dan tersedianya kemungkinan mengembangkan
pengalaman.” Berdasarkan pendapat tersebut minat dapat dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern misalnya kebutuhan, cita-cita,
dan keinginan. Sedangkan faktor ekstern misalnya pengaruh kebudayaan dan pengalaman.
Pernyataan pada angket nomor 29 sampai 36 dan pada kuesioner nomor 8 sampai 11 serta wawancara nomor 6 sampai 7 dalam penelitian ini
hendak melihat apa saja faktor pendukung dan penghambat minat belajar PAK.
132
a. Faktor Pendukung dari Dalam dan Luar Diri Siswi
Pernyataan pada angket nomor 29 dan 30 sehubungan dengan minat belajar PAK yang bersumber dari dalam diri responden. Berdasarkan dua
pernyataan tersebut, faktor dalam diri responden yang sangat berpengaruh adalah keinginan untuk memperdalam imannya dan pentingnya PAK sebagai
bekal untuk masa depan. Pada angket nomor 29, sebanyak 19,67 responden menjawab sangat
mengalami bahwa dirinya berminat pada mata pelajaran PAK karena keinginan memperdalam iman. Hal ini didukung oleh responden sebanyak 54,09 yang
juga mengalami. Jawaban responden pada angket nomor 29 yang mayoritas mengatakan ingin memperdalam iman, senada dengan jawaban pada kuesioner
nomor 8 di mana dikatakan responden berminat pada mata pelajaran PAK karena: karena sesuai dengan agamanya 12 responden, rasa ingin tahu 11
responden, keinginan untuk dekat dengan Tuhan 8 responden, nilai kehidupan yang diajarkan baik 6 responden, keinginan menerapkan apa yang
diajarkan dalam PAK 6 responden, motivasi diri 4 responden, suasana hati 1 responden, kasih dan rahmat Tuhan yang mengalir dalam dirinya 1
responden, mudah mempelajari materi 1 responden, terbiasa memperlajari Kitab Suci 1 responden, keinginan menjadi pribadi yang baik 1 responden.
Pernyataan pada angket nomor 30 sehubungan dengan pengalaman responden berminat pada mata pelajaran PAK karena penting untuk bekal
hidup. Sebanyak 24,59 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 50,82 responden mengalami, sebanyak 18,03 ragu-ragu, dan sebanyak
133
6,56 kurang mengalami. Hal ini menunjukkan bahwa PAK dianggap penting untuk bekal hidup, maka responden berminat pada mata pelajaran PAK.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, faktor intern yang berupa kebutuhan dan keinginan diri sangat berperan. Kebutuhan dan keinginan diri
tersebut dapat berasal dari kesesuaian dengan agama yang dipeluknya dan rasa ingin tahu. Hal ini sejalan dengan pendapat Suardiman 2008: 95 di mana
minat dapat dibangkitkan karena faktor kebutuhan dan karena adanya hubungan dengan persoalan lampau. Dalam hal ini kebutuhan adalah rasa ingin
tahu siswi akan ajaran agamanya dan rasa ingin dekat dengan Tuhan. Sedangkan persoalan masa lampau dalam hal ini sehubungan dengan agama
yang telah dianut oleh siswi. Pengalaman siswi dalam hidup beragamanya tentu berhubungan dengan minatnya akan mata pelajaran PAK. Sedangkan
jawaban responden yang menunjukkan keraguan dapat disebabkan karena faktor beda agama sebagaimana ditemukan juga dalam aspek leiturgia dan
kerygma pada bagian 1c dan 1d.
Pernyataan pada angket nomor 31 sehubungan dengan responden berminat pada mata pelajaran PAK karena teman-teman. Sebanyak 3,28
responden sangat mengalami, sebanyak 18,03 mengalami, sebanyak 37,70 responden ragu-ragu, sebanyak 26,23 responden kurang mengalami, dan
sebanyak 14,75 responden tidak mengalami. Sebaran data sebagian besar terletak pada opsi ragu-ragu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajak
teman-teman belum tentu membuat siswi berminat pada mata pelajaran PAK.
134
Keraguan mengenai peran teman dapat dijawab dengan jawaban responden pada kuesioner nomor 9, di mana 20 responden menyatakan
berminat pada mata pelajaran PAK karena pengaruh orang terdekat. Hal yang serupa juga dikatakan oleh guru PAK pada wawancara nomor 7 di mana
dikatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh adalah teman dan angkatan yang dapat menjadi penghambat maupun pendorong.
Pernyataan nomor 32 sehubungan dengan pengalaman responden berminat pada mata pelajaran PAK karena metode guru yang mengasyikan
dalam mengajar. Sebanyak 11,47 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 44,26 responden mengalami, sebanyak 32,79 responden ragu-
ragu, sebanyak 6,56 responden kurang mengalami, dan sebanyak 4,92 responden tidak mengalami. Pada item ini kembali penyebaran data terjadi
secara rata. Mayoritas responden menjawab mengalami dan sangat mengalami, namun selisihnya sangat sedikit dengan responden yang ragu hingga tidak
mengalami. Maka dapat disimpulkan, metode mengajar berpengaruh pada minat belajar mata pelajaran PAK namun tidak terlalu signifikan. Hasil
wawancara dengan guru PAK pada nomor 6 mengatakan hal yang mendukung jawaban responden pada angket nomor 32. Beliau berpendapat bahwa faktor
pendukung mata pelajaran PAK adalah kesiapan guru, metode yang tepat, materi, cara pendekatan guru ke siswi, dan sarana yang tersedia. Hal yang
disampaikan oleh bu Heni ini menjadi faktor dari luar diri siswi yang mempengaruhi minatnya pada mata pelajaran PAK.
135
Berdasarkan pembahasan dari item nomor 29 hingga 32 di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung minat mata pelajaran PAK yang paling
dominan adalah faktor intern, yaitu keinginan untuk memperdalam iman dan untuk bekal hidup. Faktor ekstern yang berpengaruh yaitu teman dan metode.
b. Faktor Penghambat dari Dalam dan Luar Diri Siswi
Pernyataan pada item nomor 33 sehubungan dengan pengalaman responden tidak berminat pada mata pelajaran PAK karena lebih berminat
pada mata pelajaran lain. Sebanyak 6,56 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 32,79 responden mengalami, sebanyak 40,98
responden ragu-ragu, sebanyak 16,39 responden kurang mengalami, dan sebanyak 3,28 responden tidak mengalami. Penyebaran data pada item ini
juga merata. Jawaban yang lebih dominan terletak pada opsi ragu-ragu hingga tidak mengalami. Responden yang menjawab mengalami dan sangat
mengalami cukup signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa faktor minat akan mata pelajaran lain cukup berperan untuk menghambat minat mata pelajaran
PAK. Pernyataan pada item nomor 34 sehubungan dengan pengalaman
responden tidak berminat pada mata pelajaran PAK karena tidak sesuai dengan imannya. Sebanyak 3,28 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak
13,11 responden mengalami, sebanyak 24,59 responden ragu-ragu, sebanyak 19,67 responden kurang mengalami, dan sebanyak 39,34
responden tidak mengalami. Faktor perbedaan iman juga muncul dalam jawaban kuesioner nomor 10. Sejumlah responden mengikuti mata pelajaran
136
PAK merupakan pelajaran wajib bagi sekolah di bawah Yayasan Katolik meski mereka non-Katolik. Pada awal tahun ajaran, orangtua siswi sudah diberi
pengertian mengenai hal tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru PAK, perbedaan agama
bukan masalah yang berpotensi menghambat minat mata pelajaran PAK. Di sekolah ini memang ada siswi yang non-Katolik namun mereka dengan senang
mengikuti mata pelajaran PAK, bahkan mereka semakin menghayati ke-non- Katolik-annya itu karena mereka didukung oleh teman-teman dan guru.Hasil
tersebut menunjukkan bahwa masalah beda iman menjadi faktor yang menghambat minat mata pelajaran PAK namun tidak terlalu signifikan sebab
yang menyatakan sangat mengalami dan mengalami jauh lebih kecil dari yang lain.
Pernyataan pada item nomor 35 sehubungan dengan apakah siswi mengalami bahwa dia tidak berminat pada mata pelajaran PAK karena jam
pelajaran yang kurang strategis. Sebanyak 3,28 responden menjawab sangat mengalami, sebanyak 22,95 responden mengalami, sebanyak 21,31
responden ragu-ragu, sebanyak 22,95 responden kurang mengalami, dan sebanyak 24,59 responden tidak mengalami. Jawaban tersebar rata dalam
item ini sama dengan pernyataan angket nomor 36. Pernyataan pada item nomor 36 sehubungan dengan apakah siswi
mengalami bahwa kondisi sekolah yang kurang kondusif menghambat minat belajar mata pelajaran PAK. Sebanyak 1,64 responden menjawab sangat
mengalami, sebanyak 22,95 responden mengalami, sebanyak 26,23
137
responden ragu-ragu, sebanyak 24,59 responden kurang mengalami, dan sebanyak 24,59 responden tidak mengalami.
Ketidakpastian data mengenai faktor ekstern yang berpengaruh terhadap minat pada mata pelajaran PAK dapat dijawab dengan jawaban
responden pada kuesioner nomor 11. Faktor ekstern yang paling berpengaruh adalah faktor teman dan guru.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat minat akan mata pelajaran PAK yang cukup signifikan berasal
dari dalam diri siswi, yaitu lebih berminat pada mata pelajaran lain. Sedangkan faktor perbedaan iman, jam pelajaran, dan kondisi sekolah tidak terlalu
signifikan. Faktor ekstern yang berpengaruh yaitu teman dan guru. Menanggapi pembahasan mengenai faktor pendukung dan penghambat
minat belajar PAK di atas, tepatlah pendapat Siregar 2011: 178. Pertama, minat pembawaan yaitu minat yang muncul dan tidak dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain, baik kebutuhan maupun lingkungan. Kedua, minat yang muncul karena pengaruh dari luar di mana minat ini dapat berubah karena faktor
lingkungan dan kebutuhan. Dalam hal penelitian ini, faktor pendukung minat belajar PAK dari dalam diri responden yang berpengaruh adalah keinginan
memperdalam iman dan pentingnya PAK untuk bekal hidup. Faktor penghambat dari dalam diri responden adalah rasa malas kuesioner nomor 10.
Faktor guru dan teman dapat menjadi pendukung maupun penghambat.
138
E. Kesimpulan Hasil Penelitian