Pengaruh dimensi religius pendidikan terhadap minat belajar siswi kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta tahun akademik 2014-2015 pada mata pelajaran Agama Katolik.

(1)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014-2015 PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK. Penulis memilih judul ini berdasarkan rasa keprihatinan akan sekolah Katolik dan mata pelajaran PAK yang saat ini menghadapi tantangan di dunia pendidikan. Tantangan tersebut antara lain: tuntutan dunia pendidikan yang mengutamakan kesuksesan duniawi dan kesulitan dalam hal operasional. Di tengah tantangan tersebut, sekolah Katolik diharapkan tetap pada ciri khas kekatolikannya sebab sekolah Katolik adalah sarana Gereja untuk mendidik pribadi-pribadi. Mata pelajaran PAK bagi sekolah Katolik juga penting, sebab mata pelajaran ini adalah salah satu aspek Katolisitas, yaitu kerygma. Ciri khas kekatolikan di sekolah Katolik menjadi salah satu daya yang dapat mempengaruhi minat belajar pada pelajaran PAK. Pada kenyataannya, sekolah Katolik cenderung melupakan ciri khasnya dan menomorduakan pelajaran PAK demi mengejar tuntutan dunia pendidikan.

Masalah utama yang diangkat dalam skripsi ini adalah dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap minat belajar mata pelajaran PAK. Penulis menggunakan kajian pustaka untuk menggali informasi tentang dimensi religius pendidikan, minat belajar, mata pelajaran PAK, dan pengaruh dimensi religius pendidikan terhadap minat belajar mata pelajaran PAK. Pada umumnya, dimensi religius pendidikan bagi sekolah Katolik disebut katolisitas. Dimensi religius pendidikan tersebut dapat menjadi stimulus dan sosio-kultur bagi minat belajar siswi pada mata pelajaran PAK.

Karya tulis ini disusun menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penulis menjelaskan makna variabel-variabel penelitian melalui kajian pustaka. Kemudian penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan angket dan kuesioner yang ditujukan kepada siswi kelas XI serta wawancara dengan guru mata pelajaran PAK. Penelitian dibahas berdasarkan jawaban yang diberikan responden dalam angket, kuesioner, dan dikuatkan oleh hasil wawancara, serta dikaji berdasarkan kajian pustaka.

Penulis melihat bahwa dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta sudah cukup dihayati dan mata pelajaran PAK cukup diminati. Kendati demikian, warga SMA Santa Maria Yogyakarta masih perlu meningkatkan penghayatan akan aspek koinonia dalam wujud kerjasama. Pengaruh dimensi religius pendidikan di sekolah ini sebagai sosio-kultur, yaitu keteladanan dari para guru dalam menghayati nilai-nilai Kristiani yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari: yang dilakukan para guru sesuai dengan yang diajarkan. Penulis mengusulkan camping rohani bagi siswi kelas XI dan rekoleksi bagi pendidik sebagai upaya untuk meningkatkan penghayatan dimensi religius pendidikan di sekolah ini.


(2)

ix

ABSTRACT

This thesis entitled THE INFLUENCE OF DIMENSIONS RELIGIOUS OF EDUCATION ON LEARNING INTEREST AT ELEVENTH GRADE STUDENT SANTA MARIA YOGYAKARTA SENIOR HIGH SCHOOL AT 2014-2015 ACADEMIC YEAR ON CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION SUBJECT. The writer chose this title based on a sense of concern for Catholic schools and subjects Catholic Religious Education (CRE) which is currently facing challenges in the world of education. Those challenges include: the demands of the world of education that promotes worldly success and difficulties in operational terms. In the midst of these challenges, the Catholic school is expected to remain catholicity as the identity of the Catholic schools, because Catholic school is a mean of the Church to educate persons. PAK subjects for Catholic schools is also important, because these subjects is one aspect of catholicity, the kerygma. The identity of catholicity in Catholic schools into one power that can affect learning interest in CRE. In fact, Catholic schools tend to forget their identity and subordinated CRE lessons in order to pursue the demands of the world of education.

The main issue of this thesis is the religious dimension of education in Santa Maria Yogyakarta Senior High Scholl and its influence on interest in learning CRE subject. The writer uses literature review to collect information on the religious dimension of education, interest in learning, CRE subjects, and the influence of the religious dimension of education on interest to learn CRE. In general, the religious dimension of education for Catholic schools called catholicity. The religious dimension of education can be a stimulus and socio-cultural interest in learning for students in CRE subjects.

This thesis was prepared using descriptive method with qualitative and quantitative approach. The writer explains the meaning of the variables of research through literature review. Then the writer conducted research using questionnaires which is addressed to students of class XI and interviews with CRE teacher. The research is based on the answers given in the questionnaire respondents, and corroborated by the results of the interview, as well as assessed by study of literature.

The authors noticed that the religious dimension of education in Santa Maria Yogyakarta Senior High Scholl is enough, CRE subjects lived and quite attractive. Nevertheless, the member of Santa Maria Yogyakarta Senior High School still need to improve aspects of koinonia especially in the form of cooperation. The influence of the religious dimension of education in this school as a socio-cultural, that is exemplary of the teachers in living up to Christian values are implemented in everyday life: teachers conducted in accordance with the taught. The authors propose a spiritual camping for students of class XI and recollections for the educators as an effort to increase appreciation of the religious dimension of education in this school.


(3)

i

PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR

SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014-2015

PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Bonny Prima Saputra NIM: 111124027

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus Bunda Maria

Mama, Papa, dan Ade

Para pendidik sejak TK hingga SMA Para dosen

Teman-teman dari masa sekolah hingga kuliah dan semua yang peduli pada sekolah Katolik


(7)

v MOTTO

“Cukuplah kasih karuniaKu bagimu,

sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna” (2 Kor 12:9). “Kita dipanggil bukan untuk sukses,

melainkan untuk setia” (Bunda Teresa dari Kalkuta). Non scholae sed vitae discimus


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014-2015 PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK. Penulis memilih judul ini berdasarkan rasa keprihatinan akan sekolah Katolik dan mata pelajaran PAK yang saat ini menghadapi tantangan di dunia pendidikan. Tantangan tersebut antara lain: tuntutan dunia pendidikan yang mengutamakan kesuksesan duniawi dan kesulitan dalam hal operasional. Di tengah tantangan tersebut, sekolah Katolik diharapkan tetap pada ciri khas kekatolikannya sebab sekolah Katolik adalah sarana Gereja untuk mendidik pribadi-pribadi. Mata pelajaran PAK bagi sekolah Katolik juga penting, sebab mata pelajaran ini adalah salah satu aspek Katolisitas, yaitu kerygma. Ciri khas kekatolikan di sekolah Katolik menjadi salah satu daya yang dapat mempengaruhi minat belajar pada pelajaran PAK. Pada kenyataannya, sekolah Katolik cenderung melupakan ciri khasnya dan menomorduakan pelajaran PAK demi mengejar tuntutan dunia pendidikan.

Masalah utama yang diangkat dalam skripsi ini adalah dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap minat belajar mata pelajaran PAK. Penulis menggunakan kajian pustaka untuk menggali informasi tentang dimensi religius pendidikan, minat belajar, mata pelajaran PAK, dan pengaruh dimensi religius pendidikan terhadap minat belajar mata pelajaran PAK. Pada umumnya, dimensi religius pendidikan bagi sekolah Katolik disebut katolisitas. Dimensi religius pendidikan tersebut dapat menjadi stimulus dan sosio-kultur bagi minat belajar siswi pada mata pelajaran PAK.

Karya tulis ini disusun menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penulis menjelaskan makna variabel-variabel penelitian melalui kajian pustaka. Kemudian penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan angket dan kuesioner yang ditujukan kepada siswi kelas XI serta wawancara dengan guru mata pelajaran PAK. Penelitian dibahas berdasarkan jawaban yang diberikan responden dalam angket, kuesioner, dan dikuatkan oleh hasil wawancara, serta dikaji berdasarkan kajian pustaka.

Penulis melihat bahwa dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta sudah cukup dihayati dan mata pelajaran PAK cukup diminati. Kendati demikian, warga SMA Santa Maria Yogyakarta masih perlu meningkatkan penghayatan akan aspek koinonia dalam wujud kerjasama. Pengaruh dimensi religius pendidikan di sekolah ini sebagai sosio-kultur, yaitu keteladanan dari para guru dalam menghayati nilai-nilai Kristiani yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari: yang dilakukan para guru sesuai dengan yang diajarkan. Penulis mengusulkan camping rohani bagi siswi kelas XI dan rekoleksi bagi pendidik sebagai upaya untuk meningkatkan penghayatan dimensi religius pendidikan di sekolah ini.


(11)

ix

ABSTRACT

This thesis entitled THE INFLUENCE OF DIMENSIONS RELIGIOUS OF EDUCATION ON LEARNING INTEREST AT ELEVENTH GRADE STUDENT SANTA MARIA YOGYAKARTA SENIOR HIGH SCHOOL AT 2014-2015 ACADEMIC YEAR ON CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION SUBJECT. The writer chose this title based on a sense of concern for Catholic schools and subjects Catholic Religious Education (CRE) which is currently facing challenges in the world of education. Those challenges include: the demands of the world of education that promotes worldly success and difficulties in operational terms. In the midst of these challenges, the Catholic school is expected to remain catholicity as the identity of the Catholic schools, because Catholic school is a mean of the Church to educate persons. PAK subjects for Catholic schools is also important, because these subjects is one aspect of catholicity, the kerygma. The identity of catholicity in Catholic schools into one power that can affect learning interest in CRE. In fact, Catholic schools tend to forget their identity and subordinated CRE lessons in order to pursue the demands of the world of education.

The main issue of this thesis is the religious dimension of education in Santa Maria Yogyakarta Senior High Scholl and its influence on interest in learning CRE subject. The writer uses literature review to collect information on the religious dimension of education, interest in learning, CRE subjects, and the influence of the religious dimension of education on interest to learn CRE. In general, the religious dimension of education for Catholic schools called catholicity. The religious dimension of education can be a stimulus and socio-cultural interest in learning for students in CRE subjects.

This thesis was prepared using descriptive method with qualitative and quantitative approach. The writer explains the meaning of the variables of research through literature review. Then the writer conducted research using questionnaires which is addressed to students of class XI and interviews with CRE teacher. The research is based on the answers given in the questionnaire respondents, and corroborated by the results of the interview, as well as assessed by study of literature.

The authors noticed that the religious dimension of education in Santa Maria Yogyakarta Senior High Scholl is enough, CRE subjects lived and quite attractive. Nevertheless, the member of Santa Maria Yogyakarta Senior High School still need to improve aspects of koinonia especially in the form of cooperation. The influence of the religious dimension of education in this school as a socio-cultural, that is exemplary of the teachers in living up to Christian values are implemented in everyday life: teachers conducted in accordance with the taught. The authors propose a spiritual camping for students of class XI and recollections for the educators as an effort to increase appreciation of the religious dimension of education in this school.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas rahmat kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014-2015 PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK. Skripsi ini diajukan untuk memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapa pun yang memiliki kerinduan terdalam akan dunia pendidikan, secara khusus sekolah Katolik.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mengalami pendampingan, dukungan, motivasi, doa, dan perhatian; yang penulis yakini sebagai uluran tangan Tuhan yang memampukan penulis bertahan hingga garis akhir dengan setia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dengan hati yang tulus kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku dosen pembimbing utama, dosen pembimbing penelitian, dan Ketua Panitia Penguji yang telah setia membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

2. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.


(13)

xi

3. Dr. C. Putranto, S.J., selaku dosen penguji III yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

4. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd., selaku Sekretaris Panitia Penguji yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan demi semakin baiknya skripsi ini.

5. Para Dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang setia membagikan cinta kasih, pengetahuan, dan pengorbanan selama penulis menjalani masa studi. 6. Staf dan karyawan Prodi IPPAK yang turut memberi perhatian dan

dukungan bagi penulis.

7. Sr. M. Ancilla, OSF selaku kepala SMA St. Maria Yogyakarta, ibu Th. Heni Subekti selaku guru mata pelajaran PAK yang memberikan izin kepada penulis untuk menjalankan penelitian dan berdinamika selama beberapa saat di sekolah.

8. Bapak Herman Bedjo selaku pensiunan guru SMA Santa Maria Yogyakarta yang telah memberikan banyak informasi.

9. Siswi kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta yang telah meluangkan waktu untuk memberikan jawaban dan mencurahkan perasaan.

10.Mama, Papa, dan adik yang selalu mendukung, mendoakan dan berkorban bagi penulis selama menjalani masa studi.


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO... ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK... ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Permasalahan ... 1

B.Rumusan Permasalahan ... 5

C.Tujuan Penulisan ... 6

D.Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN DAN MINAT BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK ... 9

A.Dimensi Religius Pendidikan ... 9

1. Pandangan Gereja terhadap Pendidikan ... 9

2. Pengertian Dimensi Religius Pendidikan ... 13

a. Pengertian Umum ... 13

b. Katolisitas sebagai Esensi Dimensi Religius Pendidikan ... 16

3. Aspek-aspek Dimensi Religius Pendidikan ... 21


(16)

xiv

b. Aspek Diakonia: Sekolah Memberikan Pelayanan

untuk Perkembangan Pribadi Siswa secara Penuh ... 26

c. Aspek Leiturgia: Sekolah Merayakan Iman dan Sakramen ... 29

d. Aspek Kerygma: Sekolah Mewartakan Kabar Gembira ... 30

e. Aspek Marturia: Sekolah Mendorong Warganya untuk Terlibat Memberi Kesaksian ... 32

B. Minat Belajar ... 34

1. Pengertian Minat Belajar ... 34

2. Macam-macam Minat Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 35

C. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik ... 37

1. Hakikat PAK ... 37

2. Tujuan PAK ... 38

a. Demi Terwujudnya Nilai-nilai Kerajaan Allah ... 39

b. Demi Kedewasaan Iman Kristiani ... 41

c. DemiTerwujudnya Kebebasan Manusia ... 42

3. Konteks PAK ... 43

D. Hubungan Antara Dimensi Religius Pendidikan dengan Minat Belajar ... 44

1. Dimensi religius Pendidikan sebagai Stimulus ... 44

2. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Kultur ... 46

BAB III PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK ... 49

A.Gambaran Umum SMA Santa Maria Yogyakarta ... 50

1. Sejarah Singkat SMA Santa Maria Yogyakarta ... 50

2. Visi, Misi dan Tujuan SMA Santa Maria Yogyakarta ... 52

a. Visi Sekolah ... 52

b. Misi Sekolah ... 53


(17)

xv

3. Gambaran Keadaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan

SMA Santa Maria Yogyakarta ... 57

4. Keadaan Siswi SMA Santa Maria Yogyakarta... 58

5. Lingkungan SMA Santa Maria Yogyakarta ... 60

a. Lingkungan Fisik ... 60

b. Lingkungan Sosial ... 62

B. Penelitian Pengaruh Dimensi Religius Pendidikan terhadap Minat Belajar Siswi Kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik ... 63

1. Latar Belakang Penelitian ... 63

2. Tujuan Penelitian ... 66

3. Variabel Penelitian ... 67

4. Populasi, Responden dan Sampel Penelitian ... 67

5. Instrumen Penelitian ... 69

6. Tempat dan Waktu Penelitian ... 71

7. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 71

8. Kisi-kisi Angket, Kuesioner Terbuka dan Wawancara ... 71

a. Kisi-kisi Angket ... 71

b. Kisi-kisi Kuesioner Terbuka ... 75

c. Kiki-kisi Wawancara dengan Guru Mata Pelajaran PAK ... 77

C. Laporan Hasil Penelitian Pengaruh Dimensi Religius Pendidikan terhadap Minat Belajar Siswi Kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik ... 78

1. Laporan Hasil Angket ... 79

2. Laporan hasil Kuesioner Terbuka... 94

3. Laporan Hasil Wawancara dengan Guru Mata Pelajaran PAK ... 100

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 104

1. Tingkat Penghayatan Katolisitas sebagai Dimensi Religius Pendidikan oleh Guru, Karyawan, dan Siswi SMA Santa Maria Yogyakarta ... 104

a. Aspek Koinonia ... 104


(18)

xvi

c. Aspek Leiturgia ... 115

d. Aspek Kerygma ... 118

e. Aspek Marturia ... 121

2. Pengaruh Dimensi religius Pendidikan terhadap Minat Belajar PAK Siswi Kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta ... 125

a. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Stimulus ... 125

b. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Kultur ... 129

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Minat Belajar PAK Siswi Kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta ... 131

a. Faktor Pendukung dari Dalam dan Luar Diri Siswi ... 132

b. Faktor Penghambat dari Dalam dan Luar Diri Siswi ... 135

E. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 138

BAB IV UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN DI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA ... 139

A.Urgensi Kerjasama antara Pendidik dan Peserta Didik dalam Mengupayakan Dimensi Religius Pendidikan ... 140

1. Pemimpin Sekolah dan Guru sebagai Pendidik ... 142

2. Peserta Didik ... 144

3. Kerjasama Pendidik dan Peserta Didik ... 144

B. Upaya Meningkatkan Kerjasama Pendidik dan Peserta Didik dalam Rangka Meningkatkan Penghayatan Dimensi Religius Pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta ... 146

1. Alasan Pemilihan Upaya ... 146

2. Camping Rohani ... 148

a. Tujuan Kegiatan ... 148

b. Waktu, Tempat dan Peserta ... 148

3. Rekoleksi untuk Pendidik ... 150

a. Tujuan Umum Rekoleksi ... 150

b. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Rekoleksi ... 151

C.Usulan Program Camping Rohani dan Rekoleksi untuk Pendidik ... 151

1. Camping Rohani ... 151


(19)

xvii

b. Tema dan Tujuan Camping Rohani ... 152

c. Jadwal Acara ... 153

d. Contoh Satuan Persiapan Sesi-sesi dalam Camping Rohani ... 156

2. Rekoleksi untuk Pendidik ... 161

a. Latar Belakang Program ... 161

b. Tema dan Tujuan Rekoleksi untuk pendidik ... 162

c. Jadwal Acara ... 163

d. Contoh Satuan Persiapan Rekoleksi untuk Pendidik ... 163

BAB V PENUTUP ... 168

A.Kesimpulan ... 168

B.Saran ... 170

1. Bagi Pendidik di SMA Santa MariaYogyakarta ... 170

2. Bagi Peserta Didik SMA Santa Maria Yogyakarta ... 171

3. Bagi Program Studi IPPAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ... 172

DAFTAR PUSTAKA ... 173

LAMPIRAN Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat Keterangan Selesai Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Angket dan Kuesioner Terbuka ... (3)

Lampiran 4: Contoh Jawaban Responden ... (9)

Lampiran 5: Transkrip Hasil Wawancara Guru PAK... (15)

Lampiran 6: Daftar Nama Guru SMA Santa Maria Yogyakarta ... (16)


(20)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Ef : Efesus

Kej : Kejadian

Kis : Kisah Para Rasul 1 Kor : 1 Korintus B. Singkatan Dokumen Gereja

GE : Gravissimum Educationis

Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen tanggal 28 Oktober 1965

GS : Gaudium et Spes

Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Tugas Gereja di dalam Dunia Modern, tanggal 7 Desember 1965 SC : Sacrosanctum Concilium

Konstitusi KonsiliVatikan II tentang Liturgi Suci tanggal 4 Desember 1963


(21)

xix C. Singkatan Lain

art. : artikel

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

KWI-MNPK : Konferensi Wali Gereja Indonesia Majelis Nasional Pendidikan Katolik

PAK : Pendidikan Agama Katolik SMA : Sekolah Menengah Atas


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha bersama dalam proses terpadu-terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan mempersiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dirinya di hadapan Sang Pencipta (Mardiatmadja dalam Adisusanto, 1995: 21). Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari individu-individu yang berperan. Mereka bekerjasama secara terpadu dan terorganisir dalam sebuah lembaga tertentu (misalnya sekolah) dengan sebuah tujuan bersama, yaitu perkembangan peserta didik yang mandiri serta terlibat bagi masyarakat dan mengarahkan peserta didik secara spiritual.

Sejalan dengan pengertian di atas, Gereja memandang positif pendidikan. Pandangan positif Gereja terhadap pendidikan dinyatakan oleh Konsili Suci melalui dokumen Gravissimum Educationis (GE). Gereja, melalui dokumen tersebut, melihat tujuan utama pendidikan adalah mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya (GE, art. 1). Pendidikan menjadi sarana untuk membentuk pribadi manusia yang sadar akan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang terus menerus berkembang sehingga mencapai kedewasaan penuh dan


(23)

matang dalam hubungan personal dengan Sang Pencipta serta diwujudnyatakan melalui relasi dengan sesamanya.

Pentingnya pendidikan ini mendorong Gereja untuk mengusahakan sarana yang tepat untuk pendidikan, yaitu sekolah. Kehadiran Gereja di dunia persekolahan secara khas nampak melalui sekolah Katolik (GE, art. 8). Sekolah Katolik tidak berbeda dengan sekolah lainnya. Hal yang menjadi ciri khas dari sekolah Katolik adalah adanya dimensi religius pendidikan (KWI-MNPK, 1991: 81). Dimensi religius pendidikan bagi sekolah Katolik tertanam dalam setiap dinamika sehari-hari dan mewarnai hubungan antar pribadi yang berada di dalamnya.

Salah satu pelajaran yang diajarkan di setiap sekolah adalah mata pelajaran pendidikan agama. Sekolah Katolik mengadakan mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik. Mutu pengajaran agama yang dipadukan ke dalam keseluruhan pendidikan para siswa adalah alasan mengapa orang tua lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik (KWI-MNPK, 1991: 109). Berdasarkan pernyataan tersebut, mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK) dalam sekolah Katolik menjadi jantung hati bagi mata pelajaran lain karena mutu pengajaran agama menjadi jiwa bagi mutu pelajaran lain dan menjadi daya tarik bagi sekolah Katolik.

Baik sekolah Katolik maupun mata pelajaran PAK kini menghadapi tantangan. Berdasarkan pengamatan penulis pada beberapa media sosial, terdapat kecenderungan banyak orang, baik pemerintah, atau mereka yang berkecimpung di dunia bisnis maupun media menganggap pendidikan hanya


(24)

sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kesuksesan duniawi dan standar kehidupan yang lebih nyaman. Berdasarkan wawancara dengan seorang guru di sekolah Katolik penulis mendapat kesan bahwa saat ini sekolah Katolik seperti mengalami titik rendah dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Jangankan untuk bersaing dengan sekolah lain, untuk bisa bertahan saja mengalami perjuangan yang tidak mudah. Ada sekolah yang harus mendapat subsidi tiap bulan agar bisa beroperasi dan ada sekolah yang digabung bahkan terancam ditutup karena tidak memenuhi standar operasional yang diterapkan yayasan. Demi alasan operasional pula, sekolah Katolik menerapkan biaya pendidikan (SPP) yang cenderung tinggi. Hal ini berakibat pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang cenderung menurun dan hanya golongan tertentu yang dapat diterima.

Tantangan bagi mata pelajaran PAK disebabkan karena konteks kurikulum yang berlaku di Indonesia. Saat ini kurikulum yang berlaku adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. PAK termasuk dalam mata pelajaran Kelompok A (wajib) dan dialokasikan 2 jam pelajaran (JP) per minggu dari jumlah total 42 JP per minggu. PAK hanya diberi proporsi sekitar 6,8% dalam keseluruhan program kurikuler sekolah. Alokasi JP mata pelajaran PAK ini relatif minim dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya padahal keberadaan PAK di sekolah, sebagaimana diterangkan di atas, adalah jantung hati dari mata pelajaran lainnya. Permasalahannya adalah dengan alokasi waktu yang relatif minim tersebut apakah siswa berminat belajar PAK?


(25)

Minimnya alokasi waktu ini dapat mengindikasikan PAK merupakan pelajaran yang dianggap kurang penting dan kurang diminati.

Berdasarkan pengamatan, minat siswa sekolah Katolik akan pelajaran PAK cukup memprihatinkan. Siswa kurang tertarik akan pelajaran PAK karena sekolah sendiri kurang menempatkan mata pelajaran PAK sebagai pelajaran yang penting dan ditambah dengan berbagai kemudahan bagi siswa zaman ini untuk mengakses pengetahuan agama dan iman melalui internet. Siswa lebih tertarik pada pelajaran yang dianggap mendukung perkembangan dirinya di masa depan, misalnya matematika, ekonomi, bahasa Inggris dll. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kursus yang diikuti siswa di luar jam pelajaran untuk mata pelajaran tersebut.

SMA Santa Maria adalah salah satu sekolah di kota Yogyakarta yang berada di bawah naungan Yayasan Katolik Marsudirini. Sebagai sekolah Katolik, dimensi religius pendidikan dan mata pelajaran PAK menjadi warna khusus sekolah ini. Berdasarkan pengamatan, sekolah ini juga menghadapi tantangan. Peserta didiknya berasal dari berbagai latar belakang daerah, tingkat ekonomi, dan kondisi keluarga. Kepemimpinan di sekolah ini juga sedang mengalami masa transisi dan memungkinkan adanya pengaruh dalam hubungan lingkungan sosial di dalam sekolah. Sekolah juga menghadapi tantangan mutu akademik dan persaingan dengan sekolah swasta lain dan sekolah negeri, sehingga ada kemungkinan mata pelajaran PAK dinomorduakan demi mata pelajaran lain yang dianggap berharga untuk bersaing. Apakah di tengah tantangan tersebut dimensi religius pendidikan


(26)

tetap dihayati sekolah ini? Apakah siswi juga berminat terhadap mata pelajaran PAK?

Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta dan minat belajar siswa terhadap mata pelajaran PAK menjadi menarik diteliti karena kedua hal tersebut kini mengalami tantangan. Di satu sisi, sekolah ini tidak dapat melepaskan diri dari konteks sekolah berada. Konteks tersebut ditandai arus globalisasi yang lebih mengutamakan kesuksesan materi dan tuntutan formal dunia pendidikan. Di sisi lain, sebagai sekolah Katolik sekolah ini diharapkan mempertahankan ciri khas kekatolikannya. Demikian pula dengan mata pelajaran PAK yang hendaknya menjadi jantung hati bagi mata pelajaran lain, namun menghadapi tantangan yaitu kurangnya perhatian karena dianggap kurang penting.

Guna menanggapi permasalahan di atas, penulis menyusun skripsi dengan judul PENGARUH DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN TERHADAP MINAT BELAJAR SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA

YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014-2015 PADA MATA

PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK.

B. Rumusan Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan dimensi religius pendidikan, minat belajar dan mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK)?


(27)

2. Sejauh mana pengaruh dimensi religius pendidikan Katolik terhadap minat belajar siswi kelas XI SMA Santa Maria Yogyakarta pada mata pelajaran PAK?

3. Usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penghayatan dimensi religius pendidikan sehingga minat belajar siswi kelas XI Santa Maria Yogyakarta pada mata pelajaran PAK dapat meningkat?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian dimensi religius pendidikan, minat belajar dan mata pelajaran PAK.

2. Mengetahui besarnya pengaruh dimensi religius pendidikan Katolik terhadap minat belajar mata pelajaran PAK.

3. Menyiapkan sumbangan pemikiran yang tepat untuk meningkatkan dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta agar minat belajar siswa terhadap mata pelajaran PAK dapat ditingkatkan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh melalui penelitian ini, yaitu tersedianya hasil studi tentang minat belajar yang dipengaruhi oleh lingkungan sekolah (dimensi religius pendidikan) dan tersedianya sumbangan pemikiran yang dapat digunakan untuk meningkatkan minat belajar siswi dalam mata pelajaran PAK, khususnya melalui peningkatan dimensi religius pendidikan.


(28)

E. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskripsi analitis, yaitu menerangkan pengertian dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik, minat belajar dan hal ikhwal mata pelajaran PAK. Kemudian guna mengetahui pengaruh dimensi religius pendidikan sekolah Katolik terhadap minat belajar PAK diadakan penelitian, kemudian hasil penelitian dianalisis dan dijelaskan. Akhirnya penulis memberikan sumbangan pemikiran berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian, dengan harapan dapat berguna bagi sekolah.

F. Sistematika Penulisan

Pada bab I, penulis akan menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian; sebagai pertimbangan pentingnya melakukan penelitian ini.

Bab II memberikan gambaran ideal mengenai dimensi religius pendidikan dan minat belajar. Bab ini berisi kajian pustaka mengenai dimensi religius pendidikan berdasarkan KWI-MNPK, teori mengenai minat belajar dari ahli-ahli psikologi, hal ikhwal mata pelajaran PAK dan hubungan antara dimensi religius pendidikan dengan minat belajar sebagaimana didasarkan pada teori Gestalt.

Bab III memberikan gambaran faktual, berisi gambaran umum mengenai SMA Santa Maria Yogyakarta, penelitian mengenai penghayatan dimensi religius di sekolah tersebut dan pengaruhnya terhadap minat belajar PAK, kemudian hasil penelitian serta pembahasannya.


(29)

Bab IV berisi sumbangan pemikiran sebagai usaha untuk meningkatkan dimensi religius pendidikan agar minat belajar PAK dapat meningkat. Sumbangan pemikiran tersebut berupa:

1. Camping rohani bagi siswi kelas XI

2. Retret untuk pendidik (pimpinan sekolah, guru, dan karyawan).

Bab V merupakan penutup skripsi yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan ditulis untuk menjawab rumusan permasalahan dan tujuan penulisan skripsi dengan dikuatkan hasil penelitian. Saran ditujukan untuk pendidik di SMA Santa Maria Yogyakarta, peserta didik, dan program studi IPPAK Universitas Sanata Dharma.


(30)

BAB II

DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN DAN MINAT BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi penjelasan mengenai dimensi religius pendidikan dan minat belajar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK). Pada bagian pertama, penulis akan membahas dimensi religius pendidikan yang meliputi latar belakang keterlibatan Gereja dalam dunia pendidikan. Berikutnya, penulis akan menjelaskan makna dimensi religius pendidikan bagi sekolah Katolik, yaitu katolisitas dan aspek-aspek dimensi religius pendidikan.

Bagian kedua bab ini berisi pengertian minat belajar dan hal ikhwal mata pelajaran PAK. Secara rinci, bagian ini berisi pengertian minat belajar, macam minat belajar dan faktor yang mempengaruhi minat belajar. Berikutnya, penulis akan menjelaskan kajian mengenai mata pelajaran PAK yang meliputi hakikat, tujuan dan konteks PAK.

Pada bagian akhir bab ini, penulis akan menjelaskan hubungan antara dimensi religius pendidikan dengan minat belajar mata pelajaran PAK.

A.Dimensi Religius Pendidikan

1. Pandangan Gereja terhadap Pendidikan

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja mulai terbuka pada kenyataan yang dihadapi dunia. Gereja sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan dunia, sebagaimana diungkapkan dalam GS art. 1, “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman


(31)

sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka, dan kecemasan para murid Kristus juga.” Sebagai salah satu bentuk kepedulian Gereja pada dunia, Gereja memberikan pandangan tentang prinsip dasar pendidikan melalui dokumen Gravissimum Educationis (GE) yang dipublikasikan sejak tanggal 28 Oktober 1965.

Pada bagian pendahuluan GE, Gereja menyatakan bahwa pendidikan dianggap sebagai hal yang mempunyai dampak yang makin besar atas masyarakat zaman sekarang. Pada zaman sekarang, manusia merasa perlu untuk mencapai kepenuhan dirinya sebagi pribadi agar martabatnya diakui. Kepenuhan pribadi manusia tersebut berhubungan dengan hakikat manusia yang diciptakan secitra dengan Allah. Sebagai makhluk yang secitra dengan Allah, manusia diciptakan sungguh amat baik (Kej 1:31) karena dibekali dengan daya cipta, rasa dan karsa yang melekat pada manusia. Daya ini perlu dikembangkan dan diarahkan agar manusia mencapai kepenuhan hidup dan dengan demikian martabatnya diakui.

Guna mencapai kepenuhan hidup, pendidikan adalah cara yang tepat sebab tujuan pendidikan adalah, ”mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya” (GE, art. 1). Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan bertujuan agar manusia mencapai kepenuhan sebagai pribadi dan agar manusia mampu mengambil bagian dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.


(32)

Tujuan pendidikan bersifat umum. Pendidikan perlu juga mengembangkan kedalaman hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. GE art. 2 menerangkan mengenai pendidikan Kristen:

"Pendidikan tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan dan menyadari karunia iman yang telah mereka terima... supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik.”

Tujuan pendidikan Kristen tidak berlawanan dengan tujuan pendidikan secara umum melainkan semakin menyempurnakan dan memberi arah khusus pendidikan. Jika tujuan pendidikan secara umum yaitu mencapai kepenuhan sebagai pribadi dan terlibat dalam usaha membangun kesejahteraan bersama, maka pendidikan Kristen semakin melengkapi tujuan umum tersebut, yaitu kepenuhan hidup dalam Kristus dan mengusahakan kesejahteraan bersama demi pembangunan Tubuh Mistik Kristus.

Tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai dengan melibatkan pihak-pihak tertentu. Mardiatmaja (dalam Adisusanto, 1995: 21) mengatakan bahwa pendidikan adalah “usaha bersama dalam proses terpadu terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan mempersiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dirinya di hadapan manusia.” Berdasarkan pernyataan tersebut pendidikan diwujudkan melalui sebuah lembaga pendidikan (misalnya sekolah) sebab dalam lembaga tersebut ada sebuah proses yang sistematis (misalnya kurikulum) berisi pembekalan-pembekalan agar manusia mampu mengembangkan dirinya dan


(33)

terlibat dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, sekolah merupakan alat yang tepat untuk melaksanakan pendidikan.

Bagi Gereja, keberadaan sekolah dipandang positif, “Gereja mengakui bahwa di antara segala upaya pendidikan, sekolah mempunyai makna yang istimewa.” Pengakuan Gereja akan pentingnya sekolah ini mendorong Gereja untuk mendirikan sekolah-sekolah. Tujuan Gereja mendirikan sekolah-sekolah adalah, “untuk memajukan pembentukan manusia seutuhnya, mengingat sekolah adalah pusat pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu mengenai dunia, manusia, dan sejarah” (KWI-MNPK, 1991: 16). Melalui pernyataan tersebut Gereja menegaskan bahwa sekolah merupakan sarana yang penting sebab dalam sekolah manusia dibentuk melalui proses pendidikan dan sekolah menyampaikan nilai-nilai tertentu yang memampukan siswa menyadari karya keselamatan Allah yang nyata dalam dunia, manusia, dan sejarah.

“Kehadiran Gereja dalam sekolah nampak melalui sekolah Katolik” (GE, art. 8). Sekolah Katolik tidak membedakan dirinya dari sekolah lain sebab sekolah Katolik juga menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muda. Ciri khusus dari sekolah ini, pertama-tama karena adalah penggunaan kata Katolik. Menurut Go (1992: 11), penggunaan kata Katolik ini merupakan tanda pengenal dan atribut Gereja. Tanda pengenal dan atribut ini bukan semata-mata karena ada kata Katolik melainkan karena sekolah menampakkan ciri-ciri tertentu yang dapat melekat pada Gereja sehingga melalui ciri tersebut orang-orang dapat mengetahui bahwa Gereja hadir dalam sekolah tersebut.


(34)

Ciri khas yang dapat menyebabkan sekolah disebut sekolah Katolik adalah,

“menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih, dan membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru,... mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh Terang Iman” (GE, art. 8). Secara garis besar, sekolah Katolik dikenal karena iklimnya yang penuh cinta kasih dan adanya terang iman dalam usaha sekolah untuk mendidik siswanya. Iklim ini menjadi identitas yang menunjukkan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah Katolik. Secara lebih tegas lagi tertulis dalam KWI-MNPK (1991: 83) bahwa “yang membedakan sekolah Katolik dari sekolah lain adalah dimensi religiusnya.”

2. Pengertian Dimensi Religius Pendidikan a. Pengertian Umum

Hingga saat ini masih belum ada pandangan resmi mengenai pengertian dimensi religius pendidikan, baik dari kalangan ilmuwan yang bergerak di bidang pendidikan maupun dari kalangan Gereja. Pengertian dimensi religius pendidikan yang dijelaskan di sini berupa pengertian secara etimologi. Etimologi adalah “cabang ilmu bahasa yang meneliti asal-usul dan perubahan bentuk kata-kata suatu bahasa atau kelompok bahasa” (Shadily, 1980: 973). Dimensi religius pendidikan akan dibahas berdasarkan asal-usul katanya dan berdasarkan kata-kata yang menyusunnya.


(35)

Dimensi, menurut Shadily (1980: 283) berasal dari bahasa Inggris "dimension" yang berarti ukuran. Pengertian kata ini tergantung dari pilihan susunan deskriptif kata yang bersangkutan, misalnya dimensi sosial yang berarti ukuran sosial. Kata dimensi juga menyatakan jumlah ukuran, misalnya sebuah gambar yang disebut tiga dimensi maksudnya gambar tersebut dapat dilihat dari tiga segi yang berbeda.

Kata religius, menurut Groome (2010: 32) berasal dari kata religious

(bahasa Inggris) yang berarti bersifat keagamaan. Kata religius menunjukkan adanya keterkaitan hal-hal tertentu dengan sebuah agama. Eliade (1987: 283) menggunakan istilah religion sebagai identitas khusus yang menunjukkan keterikatan dalam sebuah kelompok yang dapat membedakan kelompok tersebut dari kelompok lain dalam hal pemujaan; “a bound of scruple uniting

those who shared it closely to each other. Hence religion suggests both

separation and separative fellowship.” Schleirmacher (dalam Eliade, 1987: 283) mengatakan hal yang berbeda, “religion as a feeling of absolute

dependence – absolute as contrasted to other, relative feelings of dependence.”

Hal ini berarti agama sebagai ungkapan kebebasan manusia dalam menanggapi perwahyuan ilahi. Pada intinya, religius berarti hal yang berhubungan dengan kebebasan manusia dalam menjawab wahyu ilahi dan menunjukkan ciri keagamaan tertentu.

Kata pendidikan, menurut Shadily (1984: 2627) berasal dari kata

educare (bahasa Latin) yang berarti membimbing ke luar. Pendidikan merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan kebodohan menuju


(36)

kecerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal maupun informal meliputi segala usaha memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia di mana mereka hidup. Shadily mengklasifikasikan pendidikan menjadi tiga bentuk. Pertama, pendidikan yang berupa paksaan, disebut presur. Kedua, pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan dan dilakukan secara sadar oleh anak didik, disebut latihan. Ketiga, pendidikan yang dimaksud untuk membentuk kata hati, di mana anak didik diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, menentukan kelakuan menurut tanggung jawab sendiri pula.

Cremin (dalam Groome, 2010: 29) memberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai pendidikan. Cremin menerangkan pendidikan sebagai usaha yang sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu. Pendapat Cremin ini memberikan gambaran mengenai unsur-unsur dalam sebuah pendidikan yang secara riil dapat dilihat di sekolah. Unsur kesengajaan dalam pendidikan diwujudkan melalui perencanaan pengajaran, unsur sistematika dapat dilihat dari adanya kurikulum, unsur tindakan yang berkesinambungan dilihat dari adanya penjenjangan tingkat pendidikan dari SD hingga SMA.

Akhirnya, secara etimologi, dimensi religius pendidikan dapat diartikan sebagai berikut: sebuah ukuran yang bersifat keagamaan tertentu dalam konteks usaha mendewasakan manusia. Dimensi dinyatakan melalui aspek-aspek tertentu yang dapat diukur. Religius dinyatakan melalui ciri khas agama


(37)

tertentu yang mewarnai lingkungan dan iklim. Pendidikan dinyatakan melalui usaha-usaha yang membimbing siswa menuju kepenuhan kedewasaan sebagai pribadi.

b. Katolisitas sebagai Esensi Dimensi Religius Pendidikan

Go (1992: 25) mengatakan bahwa, “dimensi religius pendidikan atau aspek religius sekolah Katolik adalah iman Katolik.” Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa iman Katolik diejawantahkan dalam dinamika kehidupan sekolah. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan makna kata Katolik itu sendiri agar setelah mengetahui makna kata tersebut, perwujudannya akan semakin mudah ditengarai.

Katolik berasal dari dua kata Yunani, yaitu kata dan holos. Kata berarti setiap, berdasarkan, termasuk, dan seperti. Holos berarti keseluruhan atau setiap orang. Dengan demikian secara etimologi, Katolik berarti adanya sesuatu yang bersifat menyeluruh dan berlaku bagi semua orang. Karena berlaku untuk semua orang, maka Katolik juga berarti welcoming everyone

seperti yang diungkapkan oleh Groome (1998: 397), “Catholic is the one

closest to its etimology –welcoming everyone-“ Hal ini menyiratkan adanya unsur penerimaan dan keterbukaan atas setiap pribadi. Unsur ini menjadi salah satu tanda yang mencirikan sifat Katolik.

Keterbukaan dan penerimaan, yang oleh Groome disebut welcoming everyone sebenarnya sudah menjadi ajaran yang terdapat dalam Kitab Suci. Pertama, iman Kristiani mengajarkan agar kita mengasihi sesama (Groome, 1998: 396). Ajaran ini diberi contoh dalam Yes 58:7, di mana disebutkan


(38)

bahwa orang beriman yang sejati tidak pernah memalingkan punggung terhadap sesamanya. Orang beriman didorong untuk bersikap terbuka pada siapa pun, merangkul siapa pun meski berbeda dan mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, orang beriman telah mengasihi Tuhan (1 Yoh 4:12).

Welcoming everyone di sini berarti tindakan kasih yang tidak membeda-bedakan.

Kedua, tindakan welcoming everyone bersumber dari Amanat Agung Yesus (Mat 28:19), yaitu amanat bagi para Rasul untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Sesudah kebangkitan Yesus, para rasul memberitakan Kabar Gembira tidak hanya kepada orang Yahudi, namun kepada bangsa di luar Yahudi pula. Peristiwa Pentakosta (Kis 2:1-11) menunjukkan bagaimana semua bangsa diterima dan diberi karunia Roh Kudus. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya Gereja. Dengan demikian, Gereja sejak awal berdiri sudah bersifat terbuka dan menerima semua bangsa.

Penggunaan kata Katolik melekat dengan kata Gereja. St. Sirilus dari Yerusalem (dalam Groome, 1998: 398) mengatakan, “Church is Catholic

because its confined to no one place or nation, welcomes every people of every

class, forgives every kind of sin, and promotes every kind of virtue.” Pendapat ini memberikan beberapa tanda bagaimana Gereja itu disebut Katolik. Pertama, Gereja tidak terikat pada tempat atau bangsa tertentu. Kedua, Gereja terbuka bagi setiap orang dari kelas sosial mana pun. Ketiga, adanya unsur kasih yang memungkinkan adanya pengampunan atas segala kesalahan. Terakhir, Gereja mendukung kebenaran dan terbuka terhadap perkembangan zaman.


(39)

Tanda-tanda ini yang terus menerus diperjuangkan oleh Gereja hingga saat ini. Adanya Konsili Vatikan II menjadi tanda bahwa Gereja mulai memperjuangkan ciri kekatolikannya.

St. Vincentius (dalam Groome, 1998: 398) mengatakan bahwa Gereja Katolik itu, “believed everywhere, always and by all.” Pendapat ini menunjukkan adanya unsur otentisitas yang menyebabkan Gereja itu dipercaya di mana pun; unsur kesinambungan (always) sehingga ajaran-ajaran, tradisi dan ritusnya lestari dari zaman ke zaman; juga unsur keterbukaan (by all). Maka Gereja Katolik itu dipercayai di mana pun, selalu dan oleh siapa pun. Secara ringkas, arti kata Katolik memiliki kesepadanan dengan sebuah istilah yang diungkapkan oleh Groome welcoming everyone.

Groome (1998: 394) mengatakan bahwa menjadi Katolik merupakan suatu lifetime journey. Sebagai sebuah perjalanan seumur hidup, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang/kelompok menghayati kekatolikannya. Groome (1998: 413) memberikan gambaran berupa tujuh kedalaman (seven depth) yang berupa:

“...love for all people with commitment to their welfare, rights and

justice. It welcomes human diversity, is open to learn from other traditions, and lives in solidarity with all humankind as brother and sister. A Catholic cherishes her or his particular and roots of identity while reaching for an open horizon and global consciousness. A Catholic community is radically inclusive of diverse peoples and perspective; is free of discrimination and sectarian sentiment; and

welcomes “the stranger” with outreach, especially to those most in need.”

Berdasarkan pernyataan di atas, tujuh kedalaman (seven depth) yang menandakanseorang/kelompok yang menghayati kekatolikannya yaitu: adanya


(40)

rasa cinta yang berlaku untuk semua orang, adanya usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, terbuka terhadap berbagai perbedaan, solidaritas sebagai satu saudara, keterbukaan terhadap kebudayaan global dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar, merangkul semua terutama yang membutuhkan dan pada akhirnya hidup mereka menjadi inklusif.

Karakter kekatolikan ini mendapat sumber inspirasi dari kehidupan Jemaat Perdana (Kis 2:41-47). Jemaat Perdana ini memberi kesaksian melalui penghayatan dalam hidup mereka yang menunjukkan karakter kekatolikan.

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang.”

Kisah Jemaat Perdana ini menunjukkan bagaimana iman Katolik itu dihayati dalam dinamika hidup. Penghayatan tersebut menyebabkan jemaat memiliki sebuah karakter khusus yang memungkinkan orang-orang menyebut mereka Katolik. Karakter tersebut disebut katolisitas. Go (1995: 10) mengatakan, “isi katolisitas dapat dilihat dalam seluruh iman dan hidup Gereja Katolik seperti dikonkretkan oleh Jemaat Perdana.”

Jemaat Perdana memberikan gambaran mengenai tanda-tanda katolisitas melalui beberapa bidang. Pertama, bidang koinonia (persaudaraan) di mana jemaat bertekun dalam persekutuan, adanya kegiatan berkumpul bersama, bertekun dan sehati, gembira serta tulus hati. Kedua, bidang kerygma


(41)

(pewartaan) di mana Jemaat bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Ketiga, bidang leiturgia (peribadatan) di mana jemaat memecahkan roti secara bergilir. Keempat, bidang diakonia (pelayanan) di mana jemaat saling memenuhi kebutuhan dan berbagi. Terakhir, bidang marturia (kesaksian), jemaat bersaksi melalui cara hidup mereka yang disukai semua orang.

Katolisitas sebagaimana digambarkan dalam kisah Jemaat Perdana tersebut menjadi “inspirasi, motivasi dan animasi bagi sekolah Katolik dalam medan baktinya” (Go, 1995: 11). Katolisitas tersebut diterjemahkan dalam dinamika keseharian sekolah Katolik sehingga menjadi sebuah ciri khusus yang memungkinkan orang mengatakan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah Katolik meski kata Katolik tidak disebutkan secara langsung dalam nama sekolah.

Cerita pengalaman Groome (dalam Heryatno, 2008: 11) ketika mengunjungi sekolah St. Joseph di Karachi Pakistan memberi ilustrasi bagaimana sekolah tersebut menghayati katolisitas. Sekolah St. Joseph berada di Pakistan yang mana mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Katolik namun tidak menampakkan kekatolikan secara lahiriah. Kekatolikan nampak dalam iklim yang dibangun.

Sekolah ini menggarisbawahi martabat setiap pribadi, memberi penghormatan kepada siswa laki-laki maupun perempuan, mendorong mereka berkembang secara positif, menekankan suasana persaudaraan dan kesetiakawanan. Semua staf menekankan pentingnya setiap siswa untuk memiliki sikap hidup yang peduli pada kebersamaan, terutama pada usaha


(42)

mewujudkan kerukunan, menegakkan perdamaian dan keadilan, serta penghormatan kepada mereka yang berbeda. Mereka juga menjunjung tinggi kedisiplinan dan menjaga mutu akademis.

Peserta didik dibekali keutamaan dan kebijaksanaan agar hidup dan tindakan mereka bermakna bukan hanya bagi diri sendiri namun terlebih bagi sesama. Staf sekolah yakin bahwa itulah spiritualitas Injil yang menjiwai dan menggerakkan cara hidup mereka bersama. Mereka mengkomunikasikan dan menghayati nilai-nilai Injili di dalam seluruh kegiatan.

Secara singkat, sekolah ini mengusahakan pendidikan yang bersifat utuh dalam bentuk pelayanan yang total kepada semua siswanya sehingga aspek pelayanan/diakonia sungguh nyata. Pelayanan itu didukung dengan suasana persaudaraan yang penuh kasih (aspek persekutuan/koinonia) dengan berpegang pada nilai Injil (aspek pewartaan/kerygma). Sekolah juga mendorong siswanya untuk berguna bagi sesama (aspek kesaksian/marturia). Aspek leiturgia/peribadatan bagi sekolah ini berlaku bagi mereka yang beriman Katolik karena tidak semua murid di sekolah ini adalah Katolik. Kisah sekolah St. Joseph ini semakin mempertajam makna katolisitas sebagai esensi dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik dan aspek-aspeknya.

3. Aspek-aspek Dimensi Religius Pendidikan Sekolah Katolik

KWI-MNPK (1991: 81) menyatakan aspek dimensi religius pendidikan sekolah Katolik meliputi:

“Lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai semangat kebebasan dan cinta kasih Injili, membantu tunas muda agar dalam mengembangkan pribadinya serentak pula bertumbuh menurut ciptaan baru, yang


(43)

merupakan keadaan mereka berdasarkan permandian, mengarahkan seluruh kebudayaan yang perlahan-lahan diperoleh murid tentang dunia, kehidupan dan manusia diterangi oleh iman.”

Pernyataan tersebut selaras dengan yang tertulis dalam GE art. 8 tentang ciri khas sekolah Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi religius pendidikan adalah ciri khas sekolah Katolik, yang disebut katolisitas. Pernyataan di atas menunjukkan hal-hal yang menunjukkan katolisitas tersebut, yaitu: lingkungan sekolah yang penuh cinta kasih, pelayanan sekolah untuk membantu siswa bertumbuh secara penuh, adanya usaha dari sekolah untuk terbuka pada kebudayaan dunia dengan tetap berpegang pada iman, dan adanya terang iman dalam segala dinamika. Pernyataan KWI-MNPK ini cenderung bersifat konseptual.

Lantieri mengistilahkan dimensi religius pendidikan dengan schools with spirit. Schools with spirit merupakan gambaran sekolah yang memiliki jiwa yang mencirikan katolisitas. Pertama, keunikan setiap individu dihargai dan pendidikan dilihat sebagai proses seumur hidup. Kedua, murid dan guru terlibat dalam pembelajaran di mana mereka bereksplorasi dan menemukan sendiri yang berarti bagi diri dan sesuai dengan hatinya serta adanya penghargaan atas perbedaan cara memahami. Ketiga, pemimpin sekolah bukan pusat kekuasaan namun dia terbuka pada setiap individu agar setiap individu mampu menolong dan menata dirinya sendiri. Keempat, schools with spirit

diibaratkan permainan sepakbola dengan adanya pengakuan akan kerja sama serta penghargaan atas sesama anggota komunitas sekolah. Kelima, sekolah peduli akan ekologi dan tanggung jawab sosial. Keenam, sekolah


(44)

mengusahakan perluasan kemampuan dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Ketujuh, sekolah menyediakan tempat dan saat untuk diam dan tenang yang memungkinkan setiap individu tertolong untuk menghadapi kekacauan kompleksitas kehidupan sekolah dan mendorong individu mengalami persentuhan dengan kedalaman jiwa. Terakhir, sekolah memberi perhatian akan keunikan siswanya dalam menghadapi tujuan hidupnya.

Pendapat Lantieri di atas, bersifat lebih operasional. Dia juga melihat bahwa dimensi religius pendidikan bukan semata bersifat top down namun lebih berupa kerja sama antara siswa, pemimpin sekolah bahkan lingkungan sekitar.

Aspek dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik semakin dipertajam Miller (dalam katolisitas.org, 2015) yang mengatakan ciri-ciri khas sekolah Katolik adalah, “diinspirasikan oleh visi adikodrati, didirikan atas dasar antropologi Kristiani, dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas, diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya, dan didukung oleh kesaksian Injil.” Pendapat Miller ini senada dengan pola hidup Jemaat Perdana (Kis 2:41-47) yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya. Pola hidup Jemaat Perdana memberikan gambaran aspek-aspek dari katolisitas.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, penulis menyimpulkan aspek dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik (katolisitas) adalah: koinonia

(persekutuan), diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan Kabar Gembira),

leiturgia (peribadatan), dan marturia (kesaksian).


(45)

a. Aspek Koinonia: Sekolah Mengembangkan Persekutuan

Koinonia menjadi gagasan yang penting dalam rangka pembaruan Gereja sejak Konsili Vatikan II. Gambaran Jemaat Perdana yang rukun bersatu sehati sejiwa (Kis 2:41) ingin diperjuangkan oleh Gereja. Sebagaimana Gereja memperjuangkan koinonia maka sekolah Katolik yang menghadirkan Gereja selayaknya juga memperjuangkan hal yang sama.

Suasana yang dibangun sekolah Katolik adalah iklim yang didasarkan pada ajaran Yesus sendiri, yaitu cinta kasih dan berpangkal pada penghargaan atas pribadi manusia. Suasana ini dibangun melalui relasi yang penuh cinta kasih antara guru, siswa, dan warga sekolah yang lain. Suasana yang demikian memungkinkan siswa untuk “mengalami suatu lingkungan baru, yaitu lingkungan yang dijiwai Roh cinta kasih dan kebebasan Injili” (KWI-MNPK, 1991: 81).

Sebagai sebuah persekutuan, sekolah Katolik menggambarkan cinta Bapa yang universal: peduli kepada semua orang. Groome (1998: 400) berpendapat “the overarching biblical witness, then, is that God takes all humankind into loving partnership.” Allah menghendaki agar semua umat manusia saling mencintai. Persekutuan dalam sekolah Katolik menjadi nyata ketika semua warganya hidup saling mencintai. Cinta yang dimaksud adalah seperti cinta Bapa yang tidak membeda-bedakan dan menjadikan warga sekolah sebagai satu keluarga. Sebagai satu keluarga, warga sekolah tidak lagi memandang apakah seseorang itu termasuk dalam kelompoknya atau bukan namun semua bersikap menerima dan terbuka, sebagaimana dikatakan Groome


(46)

dalam bagian selanjutnya: “there should never be „us and them‟ but only „we‟ bonded as human family.”

Aspek koinonia ini didasarkan pada antropologi Kristiani, di mana manusia diciptakan secitra dengan Allah dan baik adanya (Kej 1:31). Setiap warga sekolah adalah ciptaan Allah yang memiliki kebaikan di balik setiap keunikannya, maka yang diperlukan adalah pemikiran yang positif. Groome (1998: 403) mengatakan bahwa katolisitas dalam sekolah itu tercermin “in a

positive anthropology that affirms the essential goodness of all people and

engages the whole person in the teaching/learning process.” Proses belajar dan mengajar dalam sekolah menjadi sarana yang mendorong semua siswa untuk terlibat dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.

Suasana yang penuh cinta kasih dalam sekolah ini menjadi sebuah iklim komunitas. Sebagai sebuah komunitas, Groome (1998: 406) memberi pendapat mengenai aspek komunal, di mana dikatakan “untuk menjadi Katolik, tidak saling memisahkan diri dari komunitas.” Pendapat ini dilihat dari berbagai segi. Pertama, semua warga sekolah menyadari adanya keterikatan satu sama lain di mana semua saling mendukung untuk berkembang dalam iman. Kedua, sekolah Katolik sendiri tidak dapat melepaskan diri dari pihak-pihak yang mendukungnya (stake holder), yaitu orang tua siswa, masyarakat, dan Gereja. Untuk itu diperlukan kerja sama yang bersifat intern maupun ekstern. Kerja sama ini, sebagaimana digambarkan oleh Lantieri (2001: 8) seperti kerja sama dalam sebuah kelompok sepakbola, yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan bersama.


(47)

Aspek koinonia ini pada akhirnya bermuara pada sikap inklusif. Sikap inklusif ini dijelaskan oleh Groome (1998: 410) sebagai berikut, “Catholic

Christianity embraces great diversity and breadth of perspective.” Katolisitas dalam sekolah Katolik berarti merangkul berbagai keragaman dan memperluas cara pandang warga sekolah. Dalam sebuah komunitas, pasti terdapat berbagai perbedaan dan kepentingan, demikian pula di sekolah Katolik. Iman Katolik mengajarkan agar pengikut Yesus bersedia bersikap baik dan terbuka terhadap orang yang berbeda dengan dirinya maupun pandangannya. Kisah orang Samaria yang murah hati (Luk 10:25-37) menjadi landasan sikap inklusif ini.

Dapat disimpulkan bahwa aspek koinonia dalam sekolah Katolik nampak dari beberapa indikator yang disampaikan Kevin Treston (dalam Go, 1995: 23-24) sebagai berikut:

“The sense of Christian community in the school forms a context for

pastoral care. Some features of school as Christian community include: sense of belonging, spirit of co-operation, reconciliation, open leadership, atmosphere conducive to learning, optimistic place, opportunities to share experiences, persons of Jesus to be foundation of its character, respect for the persons who is madein God‟s image, failure is acknowledge, reviews and evaluations of school as

community, ongoing development, celebration times.”

b. Aspek Diakonia: Sekolah Memberikan Pelayanan untuk Perkembangan Pribadi Siswa secara Utuh

Aspek diakonia dapat dirangkum sebagai sebuah layanan sekolah untuk siswanya agar mengalami perkembangan secara utuh. Aspek diakonia ini sejalan dengan misi sekolah Katolik seperti diungkapkan dalam KWI-MNPK (1991: 4), yaitu:


(48)

“Membina bakat-bakat intelektual dengan perawatan yang tekun, mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke dalam warisan budaya yang diperoleh dari angkatan-angkatan terdahulu, mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, mempersiapkan kehidupan profesi, memupuk antara murid-murid dengan bakat dan dari lapisan yang berbeda-beda, pergaulan yang akrab, yang melahirkan kesediaan untuk saling memahami.”

Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah Katolik menyediakan layanan untuk mewujudkan keterpaduan antara segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Layanan ini merupakan usaha yang memungkinkan siswa mampu melihat diri dan sesamanya sebagai pribadi, yaitu ciptaan yang mempunyai kodrat fisik dan spiritual. Maka dinamika layanan di sekolah Katolik mempunyai tujuan yang berdimensi baik fisik maupun spiritual.

Layanan sekolah Katolik mempunyai tujuan ganda, yaitu “membina laki-laki dan wanita ke arah kesempurnaan manusia dan kesempurnaan Kristen serta menolong mereka menjadi matang dalam iman” (KWI-MNPK, 1991: 95). Tujuan ganda ini penting sebab saat ini situasi hidup kaum muda bersifat mendua. Heryatno (2003: 15) mengatakan bahwa “kaum muda menjadi harapan sekaligus mereka juga dikhawatirkan.” Kaum muda, termasuk siswa, saat ini berada dalam zaman yang dibanjiri informasi sekaligus zaman yang penuh ketidakpastian. Kaum muda hidup dalam kecemasan, kebingungan dan kekhawatiran akan masa depannya.

Sekolah Katolik diharapkan menjadi “pusat pelaksanaan falsafah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan kaum muda sekarang, yang diterangi oleh amanat Injil” (KWI-MNPK, 1991: 90). Sekolah Katolik dalam segala pelayanannya berusaha untuk mendukung siswa menemukan kesejatian


(49)

dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang bermartabat. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri secara kognitif (melalui kegiatan belajar mengajar), afektif (melalui hubungan antar pribadi), dan psikomotorik (melalui berbagai kegiatan yang bersifat fisik, ekstrakurikuler, out bond, dll). Semua segi ini merupakan kesatuan yang utuh, maka layanan di sekolah Katolik tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Peranan guru dalam layanan di sekolah Katolik juga penting. Groome (1998: 417) berpendapat, “real Catholic educators stimulate a insatiable

curiosity, a determination to go on mining the inexhaustible mysteries of life.” Guru Katolik yang sejati merangsang siswanya untuk terus menerus menggali kedalaman kehidupan. Dia akan membawa siswa untuk mengalami keinginan yang terus menerus untuk memahami misteri kehidupan. Dengan demikian, siswa akan terus menerus belajar seumur hidupnya. Groome mengistilahkan hal ini sebagai habitus of lifelong learning (1998: 418).

Lantieri (2001: 15) mengatakan beberapa poin yang menunjukkan lembaga sekolah yang dapat memberi kontribusi bagi pembentukan kaum muda. Pertama, adanya pelayanan kepada sesama warga sekitar sejam atau lebih dalam seminggu. Kedua, komunitas menyediakan waktu sekitar satu jam per minggu untuk kegiatan religius. Ketiga, menyediakan waktu sekitar tiga sampai empat jam seminggu untuk kegiatan kreatif (berlatih musik, teater atau seni). Keempat, adanya nilai-nilai untuk menolong sesama. Kelima, adanya kesatuan antara tindakan dan iman. Keenam, adanya kejujuran meski sulit untuk dikatakan. Ketujuh, adanya kemampuan untuk meredam kekuatan


(50)

personal yang meledak-ledak. Kedelapan, adanya kemajuan dalam mencapai tujuan hidup. Terakhir, adanya cara pandang yang positif tentang masa depan.

Pendapat Lantieri tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek diakonia di sekolah Katolik tidak hanya ditujukan pada warga sekolah namun juga kepada sesama di sekitarnya. Pelayanan kepada sesama di sekitar sekolah Katolik menjadi tanda bahwa sekolah tersebut menjadi sarana Gereja untuk hadir di tengah dunia dalam dunia pendidikan dan sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum, yaitu agar peserta didik ikut serta dalam mensejahterakan masyarakat.

c. Aspek Leiturgia: Sekolah Merayakan Iman dan Sakramen

Perayaan Sabda dan Sakramen tidak kalah pentingnya dalam sekolah Katolik sebab salah satu tujuan pendidikan Kristen (GE, art. 2) adalah, “supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan Kebenaran, terutama dalam perayaan Liturgi.” Selain itu Konsili menyatakan, “Liturgi adalah puncak yang dituju kegiatan Gereja dan sekaligus sumber dari mana mengalir kekuatannya” (SC, art. 10). Berdasarkan pernyataan dalam GE dan SC tersebut, sekolah Katolik hendaknya memberi waktu dan tempat secara khusus di mana Sabda dan Sakramen dapat dirayakan. Perayaan Sabda dan Sakramen ini secara berangsur-angsur akan membarui hidup rohani warga sekolah.

Liturgi berkaitan dengan pengungkapan iman dan perwujudan iman. Dalam liturgi, manusia mengungkapkan imannya akan Allah yang menyelamatkan dan memperoleh kekuatan untuk mewujudkan imannya dalam


(51)

hidup sehari-hari. Dalam liturgi pula, manusia mempersembahkan jerih usahanya dalam hidup selama sepekan dan mempersatukannya dengan kurban Kristus. Liturgi dalam sekolah Katolik menjadi sarana untuk menyerahkan usaha warga sekolah dalam mendidik kepada Tuhan dan memohon kekuatan agar warga sekolah mampu mewujudkan imannya melalui pendidikan.

Go (1995: 76) berpendapat bahwa perayaan liturgi, khususnya misa sekolah mempunyai tujuan: menunjukkan cara bersyukur sebagai sekolah Katolik, pembinaan kesalehan siswa, pembinaan religiusitas siswa, sarana pewartaan, dan pembentukan kebiasaan siswa untuk mencintai Ekaristi. Dengan demikian, dapat dikatakan liturgi dalam sekolah tidak semata-mata sebagai tanda bakti kepada Tuhan, namun mempunyai tujuan implisit yaitu pembentukan karakter siswa.

d. Aspek Kerygma: Sekolah Mewartakan Kabar Gembira

Jemaat Perdana bertekun dalam pengajaran rasul-rasul (Kis 2:41). Pengajaran rasul-rasul bersumber dari Kabar Gembira mengenai Yesus dari Nazareth yang mewartakan karya keselamatan Allah. Maka aspek kerygma di sini dapat diartikan bagaimana Kabar Gembira itu diwartakan dalam sekolah dan bagaimana sekolah mampu melihat kebudayaan dari zaman ke zaman dalam terang iman.

Aspek kerygma juga erat berhubungan dengan pendidikan Kristen (GE, art. 2) terutama agar

“mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan dan dari hari ke hari makin menyadari karunia iman yang telah mereka terima..., supaya mereka dibina untuk


(52)

menghayati hidup mereka sebagai manusia yang baru dalam kebenaran dan kekudusan sejati.”

Pernyataan tersebut memberikan tempat yang istimewa bagi kegiatan pewartaan sebab dengan pewartaan, pengalaman hidup manusia diterangi oleh terang iman dan memberi manusia pengalaman iman yang memungkinkan mereka bertumbuh menuju kedewasaan iman.

Untuk itu, sekolah Katolik “menjembatani iman dan kebudayaan” (KWI-MNPK, 1991: 94). Sekolah Katolik berada dalam masyarakat yang berkembang dari zaman ke zaman, sehingga ia berada dalam suatu kebudayaan

manusia. Sekolah Katolik memerlukan “keterbukaan, kemampuan, dan

kesediaan untuk memperkaya dan diperkaya oleh segala dan setiap kebudayaan tanpa terikat hanya pada satu kebudayaan” (GS, art. 58). Adanya dialog antara kebudayaan dan Injil sangat diperlukan agar sekolah Katolik tetap Katolik dan mampu membawa warganya dalam terang iman.

Peran terang iman, yaitu Injil sangat penting di sekolah Katolik sebab “sekolah Katolik menimba inspirasi dan kekuatannya dari Injil tempatnya berakar” (KWI-MNPK, 1991: 100). Proses pendidikan di sekolah adalah sebuah perjalanan bersama Kristus menuju kesempurnaan. Sebagaimana Kristus mengajar para rasul, demikian pula para guru mengajar para murid. Pengajaran Kristus adalah pengajaran yang berisi Kabar Gembira dalam masyarakat Yahudi saat itu. Injil bagi sekolah Katolik berfungsi sebagai penafsir dan penata kebudayaan.

Melalui Injil, para guru menemukan karya Allah dalam sejarah manusia sejak zaman Kitab Suci hingga sekarang. Injil pula yang menjadi penuntun


(53)

para guru dalam mengembangkan rasa estetika dalam mengajar, dan membentuk mereka seturut Sang Guru sejati, yaitu Yesus. Bagi siswa, Injil memampukan mereka untuk membina suara hati. Suara hati menjadi pegangan dalam menghadapi kebudayaan yang kerap tidak sesuai dengan nilai Injil. Maka sepantasnya sarana rohani seperti Injil, bacaan rohani, ruang doa, salib dan rosario disediakan sekolah.

Salah satu bentuk pewartaan Injil di sekolah adalah melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK). Mengingat fungsinya sebagai bentuk pewartaan, maka mata pelajaran PAK memiliki kedudukan yang penting dalam sekolah Katolik.

e. Aspek Marturia: Sekolah Mendorong Warganya untuk Terlibat Memberi Kesaksian

Jemaat Perdana disebut Katolik karena kesaksian hidup mereka. Mereka pun disukai semua orang karena kesaksian hidup mereka (Kis 2:47). Aspek marturia berhubungan dengan bagaimana sekolah Katolik mampu menghadirkan nilai-nilai Kristiani baik bagi warganya maupun untuk lingkungan sekitar. Kesaksian diberikan oleh sekolah Katolik bukan karena sekolah menyandang nama “Katolik” namun karena kesaksian hidup warganya; para guru, karyawan, dan siswa.

Sekolah Katolik memiliki citra yang positif. Menurut Go (1995: 77), sekolah Katolik dikenal disiplin dan bermutu. Disiplin berarti pelajaran berlangsung lancar dan berhasil serta memampukan siswa untuk menghadapi kehidupan di masa depan. Bermutu berarti profesional dan didukung dengan


(54)

dedikasi yang tinggi. Alasan inilah yang menyebabkan sebuah sekolah dikenal sebagai sekolah Katolik oleh masyarakat.

Lebih dari hal tersebut, “mutu pengajaran agama yang dipadukan ke dalam keseluruhan pendidikan para siswa adalah alasan mengapa orang tua lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik” (KWI-MNPKI, 1991: 109). Pernyataan ini berarti bahwa nilai-nilai Kristiani yang diperoleh dalam pelajaran agama dihayati dalam dinamika keseharian di sekolah sehingga membentuk karakter siswa. Karakter siswa yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai Kristiani ini “mendorong cara hidup yang kontras dengan budaya modern dan tentu saja merelakan diri untuk hidup bagi orang lain” (Groome, 1992: 32). Hal di atas tidak berarti sekolah Katolik anti terhadap perkembangan dunia modern, sebab “sekolah Katolik memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena berada di tengah manusia yang berkembang dari zaman ke zaman, di mana kebutuhan manusia semakin berkembang” (KWI-MNPK, 1991: 22). Sekolah Katolik memenuhi tanggung jawabnya untuk mendidik manusia muda sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan berpegang pada nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai Kristiani itulah yang memampukan lulusan sekolah Katolik untuk bersaksi di tengah dunia.

Aspek marturia ini juga berhubungan dengan bagaimana yayasan menampakkan kekatolikannya. Hal ini sehubungan dengan cara yayasan memperlakukan warganya sesuai dengan hukum kasih. Sebagaimana Yesus memperlakukan Para Rasul sebagai rekan kerja dan sahabat (Yoh 15:9-17), demikian pula hendaknya Yayasan Katolik memperlakukan warganya.


(55)

B.Minat Belajar

1. Pengertian Minat Belajar

Winkel (2014: 219) mengatakan bahwa minat belajar adalah “kecenderungan subjek yang menetap untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu.” Minat berhubungan dengan perasaan senang dan tidak senang terhadap subjek. Ketika subjek merasa senang maka dia akan tertarik untuk memperlajari sebuah materi. Maka perlu diciptakan suasana atau cara untuk menimbulkan rasa senang agar subjek tertarik belajar dan rasa senang ini perlu dipertahankan.

Minat berhubungan dengan suasana hati (stemming). Stemming adalah suasana hati yang berlangsung agak lama, lebih tenang, berkesinambungan dan ditandai dengan perasaan senang atau tidak senang (Wunds dalam Ani Pujiastuti, 2011). Stemming bersumber dari kedalaman jiwa individu, maka berada dalam alam bawah sadar. Meski demikian kadangkala faktor ekstern juga dapat mempengaruhinya. Ketika seseorang diperlakukan dengan baik, maka dia akan merasa senang sehingga tertarik akan sesuatu; demikian pula sebaliknya.

Winkel (2014: 219) membedakan antara stemming dasar dan stemming

aktual. Stemming dasar sulit diubah sebab berhubungan dengan kepribadian seseorang. Stemming aktual dapat diubah karena bersumber dari pengalaman individu di mana faktor ekstern lebih berpengaruh. Berdasarkan penjelasan di atas, minat dapat bersumber dari dalam diri individu dan dapat pula dipengaruhi faktor ekstern.


(56)

Pendapat yang senada diungkapkan oleh Mahfudh Shalahuddin (1990: 95), “minat adalah perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan.” Perhatian dalam bahasa Inggris disebut passion, yaitu suatu gairah atau perasaan yang kuat terhadap suatu objek. Perhatian yang sedemikian kuat dapat mendorong seseorang untuk berbuat aktif dalam suatu pekerjaan. Berdasarkan pendapat ini, minat dapat berupa kehendak yang kuat yang bersumber dari perasaan yang mendalam.

2. Macam-macam Minat Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya “Minat berasal dari ketertarikan akan suatu objek, maka tidak dapat dipaksakan oleh orang lain” (Sefrina, 2013: 28). Ketika individu tertarik pada objek maka dia akan mengamati lebih mendalam dan terdorong untuk lebih intensif lagi untuk memahaminya. Tanpa dorongan dari pihak luar pun individu sudah berminat.

Mahfudh Shalahuddin (1990: 95) mengatakan bahwa “minat dapat muncul ketika suatu objek berhubungan dengan fungsi-fungsi kebutuhan, cita-cita/keinginan, pengaruh kebudayaan, dan tersedianya kemungkinan mengembangkan pengalaman.” Berdasarkan penjelasan ini, minat tidak hanya bersumber dari dalam individu namun ada faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berminat.

Suardiman (2008: 95) berpendapat bahwa “minat dapat dibangkitkan dengan cara: membangkitkan adanya suatu kebutuhan, menghubungkan dengan persoalan yang lampau, memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil


(57)

yang lebih baik dan menggunakan berbagai bentuk dalam belajar.” Pendapat ini semakin memperkuat pandangan bahwa minat seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal.

Menurut Sefrina (2013: 28), faktor dari luar individu dapat mempengaruhi namun tidak dapat memaksakan karena minat adalah hasil proses pemikiran, emosi serta pembelajaran. Hal ini berarti bahwa minat bukanlah hal yang sekali jadi, melainkan terus menerus dibentuk oleh faktor intern maupun ekstern. Proses tersebut melibatkan kemampuan akal budi, afeksi dan psikomotorik manusia. Dengan demikian, minat menjadi keputusan bebas seseorang. Minat dalam hal ini disebut sebagai interest.

Berdasarkan uraian mengenai faktor yang dapat menimbulkan minat di atas, maka minat dapat dibedakan menjadi dua (Siregar 2011: 178). Pertama, minat pembawaan yaitu minat yang muncul dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, baik kebutuhan maupun lingkungan. Kedua, minat yang muncul karena pengaruh dari luar di mana minat ini dapat berubah karena faktor lingkungan dan kebutuhan.

Secara garis besar, minat dapat berpengaruh pada perbuatan belajar (Suardiman, 1979: 52) karena minat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar individu (Ngalim Purwanto, 1996: 107). Minat merupakan hasil perpaduan dari faktor intern dan faktor ekstern yang diolah oleh individu sehingga individu tersebut dapat memutuskan tertarik untuk belajar sesuatu atau tidak. Hal ini dikuatkan oleh pendapat


(58)

Suardiman (2008: 95), “minat dapat menjadi alat motivasi yang pokok bagi individu.”

C.Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK) 1. Hakikat PAK

Pendidikan Agama Katolik di sekolah dipahami sebagai “proses pendidikan dalam iman atau proses pendidikan agar para siswa semakin beriman” (Heryatno, 2003: 21). Mata pelajaran PAK merupakan bentuk katekese Gereja yang dilaksanakan dalam sekolah karena melalui mata pelajaran PAK Kabar Gembira diwartakan dan siswa dihantar untuk menghubungkan kenyataan dunia dengan terang iman, yaitu Injil. Sebagai bentuk katekese, mata pelajaran PAK juga bersintesa dengan tujuan sekolah, maka katekese tersebut dijalankan dalam lingkup pendidikan formal yang dilembagakan dan didasarkan pada sistem yang sudah dibakukan berdasarkan standar nasional pendidikan.

Satu hal penting dari pelajaran PAK adalah “perkembangan nilai-nilai religius dan motivasi religius” (KWI-MNPK, 1991: 127). PAK berdasarkan pernyataan tersebut bervisi spiritual sebab berhubungan dengan hal religius. PAK secara konsisten memperkembangkan kedalaman hidup, jati diri, dan inti hidup siswa. PAK secara sadar mengembangkan rasa, kepekaan hati, imaginasi dan dimensi hidup siswa. Dengan demikian, PAK tidak hanya mengutamakan segi kognitif namun memberi bekal bagi siswa untuk menghadapi kenyataan hidup dan menjawab tantangan di masa depan dalam rangka menanggapi panggilan hidupnya.


(59)

2. Tujuan PAK

Tujuan PAK menurut Groome (2010: 48) yaitu “demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah, untuk menghidupi iman Kristiani dan untuk kebebasan manusia.” Tujuan tersebut bersifat holistik dan konatif. Disebut holistik karena PAK bermaksud mengembangkan secara utuh dan serentak segi kognitif, afektif dan praksis hidup peserta. Disebut konatif karena PAK mendorong siswa untuk setia, senang hati dan tekun mewujudkan tujuannya. PAK secara keseluruhan mendorong siswa untuk berjuang dengan setia demi mencapai perkembangan pengetahuan, sikap, dan tindakan. Antara pengetahuan, sikap, dan tindakan adalah kesatuan di mana mengetahui dengan benar berarti melaksanakan dengan berpegang pada nilai-nilai Krisitiani.

Dapiyanta (2008: 32) berpendapat bahwa PAK ditantang untuk mengambil pilihan tujuan yang jelas, mengingat PAK adalah salah satu mata pelajaran di sekolah dan sekolah berada di bawah pengaturan sistem pendidikan suatu negara. Selama ini, tujuan PAK bersifat mendua namun tidak tuntas. Tujuan PAK mendua antara orientasi pada pengembangan hidup beriman atau pengetahuan iman. Mangunwijaya (dalam Dapiyanta, 2008: 33) mengatakan, “untuk mencapai yang minimal, yakni pengetahuan, banyak orang tidak puas, sedangkan untuk mencapai pengembangan hidup beriman, sangat sulit karena PAK masuk dalam sebuah sistem pendidikan suatu negara.” Pendapat Dapiyanta dan Mangunwijaya ini menjadi pertanyaan yang selalu aktual karena PAK berhubungan dengan proses hidup beriman seseorang di


(60)

mana iman bukan hal yang sekali jadi dan terus berproses, di mana proses tersebut sulit jika diukur secara sistem pendidikan.

Adanya permasalahan di atas menunjukkan bahwa mata pelajaran PAK bukanlah hal yang sepele. PAK perlu diberi keleluasaan sedemikian rupa mengingat tujuan umum PAK adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah perkembangan dan kedewasaan iman. PAK di sekolah diharapkan membantu siswa supaya mengetahui dan semakin peka terhadap rahmat Tuhan yang dilimpahkan dalam dirinya dan tekun menanggapinya.

a. Demi Terwujudnya Nilai-nilai Kerajaan Allah

Kerajaan Allah adalah tema dan tujuan utama dalam pemberitaan dan kehidupan Yesus. Oleh karena itu, mata pelajaran PAK bermaksud mengantar orang-orang ke arah iman Kristiani. “Kerajaan Allah sebagai metapurpose

pendidikan dalam iman menuntut proses pendidikan yang membentuk dan memberdayakan seluruh dimensi kehidupan peserta sebagai mitra Yesus dalam memperjuangkan terwujudnya Kerajaan tersebut” (Heryatno, 2003: 24).

Groome (2010: 69-72) menyebutkan dua belas pernyataan yang berkaitan dengan arah dasar pendidikan iman demi Kerajaan Allah.

1) Kerajaan Allah merupakan simbol yang mengungkapkan tindakan Allah yang senantiasa hadir dan berkarya di tengah-tengah kehidupan manusia. Kerajaan Allah merupakan kekuatan tindakan Allah yang sesuai dengan sifat utama Allah: penuh belas kasih, sabar dan setia, menghendaki keadilan, kedamaian, cinta kasih, keutuhan, dll.


(1)

(9)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(10)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(11)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

(12)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(13)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

(14)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MIND MAPPING DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PKn KELAS X DI SMA SANTA MARIA MEDAN TAHUN PELAJARAN 2014/2015.

0 1 45

PENGARUH FASILITAS BELAJAR DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI KELAS XI IS SMA KATOLIK BUDI MURNI 2 MEDAN TAHUN AJARAN 2013/2014.

0 2 25

Pengaruh pendidikan religiositas terhadap kontrol diri siswa-siswi kelas XI SMA Regina Pacis Surakarta tahun pelajaran 2015-2016.

0 0 2

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dalam mengerjakan PR matematika pada siswi kelas X dan XI SMA Santa Maria Yogyakarta yang tinggal di asrama tahun ajaran 2015/2016.

0 0 197

Pengaruh cerita terhadap empati siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK) kelas VIII SMP Maria Immaculata Yogyakarta.

0 0 144

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe numbered-heads together terhadap motivasi belajar pendidikan Agama Katolik siswi kelas XI di SMA Santa Maria Yogyakarta.

1 9 236

Pengaruh kreativitas guru dalam proses belajar-mengajar terhadap motivasi belajar siswa kelas XI dan XII pada mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik di SMA Sang Timur Yogyakarta.

1 18 184

Pengaruh kreativitas guru dalam proses belajar mengajar terhadap motivasi belajar siswa kelas XI dan XII pada mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik di SMA Sang Timur Yogyakarta

0 21 182

PERSEPSI SISWI KELAS XI SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20072008 TENTANG MANFAAT PELAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL

0 0 96

DESKRIPSI MOTIVASI BELAJAR SISWI-SISWI KELAS X SMA SANTA MARIA YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 20092010: IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN BELAJAR YANG SESUAI

0 0 115