D. Evaluasi Kerasioanalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode
Gyssens
Evaluasi penggunaan antibiotika dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssens Kemenkes RI, 2011.
Tabel V. Distribusi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode
Januari-Desember 2013 Kategori Gyssens
Jumlah Persentase
35 47,3
I -
- IIA
16 21,6
IIB 13
17,6 IIC
- -
IIIA -
- IIIB
2 2,7
IVA 5
6,8 IVB
3 4,0
IVC -
- IVD
- -
V -
- VI
- -
Total 74
100 Berdasarkan Tabel V didapatkan hasil sebesar 47,3 penggunaan
antibiotika memenuhi kategori Gyssens 0 rasional. Kemudian 52,7 penggunaan antibiotika yang tidak rasional dengan rincian sebesar 21,6
termasuk dalam kategori IIA penggunaan antibiotika tidak tepat tepat dosis, 17,6 termasuk dalam kategori IIB penggunaan antibiotika tidak tepat interval
pemberian, 2,7 termasuk dalam kategori IIIB pemberian antibiotika terlalu singkat, 6,8 termasuk dalam kategori IVA ada antibiotika lain yang lebih
efektif dan 4,0 termasuk dalam kategori IVB ada antibiotika lain yang kurang toksiklebih aman. Tidak ditemukan antibiotika yang termasuk dalam kategori I
penggunaan antibiotika tidak tepat waktu, IIC penggunaan antibiotika tidak
tepat cararute pemberian, IIIA penggunaan antibiotika terlalu lama, IVC ada antibiotika lain yang lebih murah, IVD ada antibiotika lain yang spektrum
antibakterinya lebih sempit, V tidak ada indikasi penggunaan antibiotika, dan VI data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi.
Tabel VI. Distribusi Hasil Evaluasi Penggunaan Tiap Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 No.
Antibiotika Kategori Gyssens
Total IIA
IIB IIIB
IVA IVB
1. Sefotaksim
19 15
- 1
- -
35 2.
Ampisilin 8
- 12
1 -
- 21
3. Sefiksim
8 -
- -
- -
8 4.
Amikasin -
- -
- 4
- 4
5. Kloramfenikol
- -
- -
- 3
3 6.
Seftriakson -
1 -
- -
- 1
7. Amoksisilin
- -
1 -
- -
1 8.
Siprofloksasin -
- -
- 1
- 1
Jumlah 35
16 13
2 5
3 74
Tabel VI menunjukan hasil antibiotika dengan kategori 0 penggunaan antibiotika tepatbijak yaitu sefotaksim 19 kasus, ampisilin 8 kasus dan
sefiksim 8 kasus. Antibiotika dengan kategori IIA penggunaan antibiotika tidak tepat dosis yaitu sefotaksim 15 kasus dan seftriakson 1 kasus. Antibiotika
dengan kategori IIB penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian yaitu ampisilin 12 kasus dan amoksisilin 1 kasus. Antibiotika dengan kategori IIIB
penggunaan antibiotika terlalu singkat yaitu sefotaksim 1 kasus dan ampisilin 1 kasus. Antibiotika dengan kategori IVA ada antibiotika lain yang lebih
efektif yaitu amikasin 4 kasus dan siprofloksasin 1 kasus. Antibiotika dengan kategori IVB ada antibiotika lain yang kurang toksiklebih aman yaitu
kloramfenikol 3 kasus.
1. Penggunaan antibiotika tepatbijak kategori 0
Ketepatan dilihat dari kelengkapan data rekam medik, ada indikasi penggunaan antibiotika, tidak ada antibiotika yang spektrum antibakterinya lebih
sempit, tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah, tidak ada antibiotika lain yang kurang toksiklebih aman, tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif,
penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat, penggunaan antibiotika tidak terlalu lama, penggunaan antibiotika tepat rute pemberian, penggunaan antibiotika tepat
interval pemberian, penggunaan antibiotika tepat dosis, dan penggunaan antibiotika tepat waktu. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 35 kasus
penggunaan antibiotika yang rasional yaitu kasus 1 sefotaksim, kasus 2 sefotaksim, kasus 3 sefotaksim, kasus 4 sefotaksim, kasus 5 sefotaksim,
kasus 9 sefotaksim dan sefiksim, 12 sefiksim, kasus 13 sefiksim, kasus 14 ampisilin dan sefiksim, kasus 15 sefiksim dan ampisilin, kasus 16 sefotaksim,
dan sefiksim, kasus 17 sefotaksim, kasus 18 sefiksim, kasus 19 sefotaksim, kasus 20 ampisilin, kasus 21 sefotaksim, kasus 24 sefotaksim, kasus 25
ampisilin, kasus 27 sefotaksim, kasus 28 sefotaksim dan ampisilin, kasus 31 sefotaksim dan ampisilin, kasus 32 sefotaksim dan ampisilin, kasus 35
sefotaksim, ampisilin, dan sefiksim, kasus 37 sefotaksim, kasus 38 sefotaksim, kasus 39 sefotaksim. Salah satu contoh penggunaan antibiotika
yang rasional yaitu kasus 2 lampiran 4. Pada kasus 2, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid
komplikasi Dengue Hemorrhagic Fever dan infeksi saluran kencing. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam naik turun, batuk,
pilek, pusing, mual, muntah, nyeri perut, mimisan, sesak nafas, asma. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah trombosit dan
hematokrit. Penurunan jumlah trombosit dan hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Hasil pemeriksaan hitung jenis
lekosit pasien menunjukkan penurunan jumlah segmen dan peningkatan jumlah limfosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit ini dapat menggambarkan
kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Hasil pemeriksaan bakteri menunjukan hasil positif Sutedjo, 2008. Berdasarkan gejala
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan bahwa pasien anak tersebut terinfeksi bakteri Salmonella typhi sehingga diperlukan antibiotika
untuk penangananya. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella
typhi sehingga lolos kategori V ada indikasi penyakit infeksi. Sefotaksim merupakan salah satu antibiotika yang sering digunakan untuk terapi demam
tifoid yang diajurkan oleh WHO 2011. Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA tidak ada
antibiotika lain yang lebih efektif. Sefotaksim sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang
dapat membahayakan pasien Lacy et al, 2009 sehingga lolos kategori IVB tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik. Sefotaksim merupakan antibiotika
generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell,
efotax dan lapixime Pramudianto, 2013. Sefotaksim merupakan antibiotika
generik sehingga lolos kategori IVC tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah. Sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu
antibiotika yang direkomendasikan WHO 2011 untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga lolos kategori IVD tidak ada antibiotika lain yang spektrum
antibakterinya lebih sempit. Durasi penggunaan antibiotika ini selama 11 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena
menurut WHO 2011 lama penggunaan antibiotika ini untuk demam tifoid yaitu 10-14 hari sehingga lolos kategori IIIA penggunaan antibiotika terlalu lama dan
lolos kategori IIIB penggunaan antibiotika terlalu singkat. Dosis dan interval pemberian menurut Lacy et al. 2009, dosis sefotaksim sefotaksim 40-80 mgkg
dalam 2-3 dosis maksimum 1-2 ghari untuk pemberian secara i.mi.v Purwadianto et al., 2014. Pasien ini umur 2 tahun dengan berat badan 11 kg,
menerima obat 3x400 mghari 1200 mghari secara intravena, hal ini sesuai dengan kisaran dosis dan interval pemberian yang disarankan karena maksimum
dosis perhari menurut Purwadianto et al. 2014 adalah 1-2 ghari dengan interval pemberian 2-3 dosis perhari, sehingga antibiotika ini lolos kategori IIA tepat
dosis dan IIB tepat interval. Rute pemberian dilakukan secara intravena Purwadianto et al., 2014. Rute ini dirasa paling efektif karena kondisi pasien
yang mengalami mual dan muntah dan agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC tepat rute pemberian. Waktu pemberian antibiotika
ini sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi Meer and Gyssens, 2001, sehingga lolos kategori I tepat
waktu pemberian. Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.
2. Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu kategori I
Waktu pemberian antibiotikanya tepat atau tidak dapat dilihat berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi Meer and
Gyssens, 2001. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan
antibiotika yang tidak tepat waktu. 3.
Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis kategori IIA Ketidaktepatan dosis dapat disebabkan oleh dosis antibiotika yang
diberikan terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pemberian dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek toksis, sedangkan pemberian dosis terlalu rendah tidak
dapat menghasilkan efek terapetik yang sesuai Syamsuni, 2006. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 16 kasus penggunaan antibiotika yang tidak tepat dosis
pemberian yaitu seftriakson pada kasus 14 dan sefotaksim pada kasus 7, 10, 12, 14, 15, 20, 22, 25, 26, 29, 30, 33, 34, 36, dan 40. Salah satu contoh penggunaan
antibiotika yang tidak tepat dosis yaitu pada kasus 14 seftriakson dan sefotaksim lampiran 16.
Pada kasus 14, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 7 hari
yang lalu, pilek, mual, muntah, mimisan, gusi berdarah dan nyeri telan. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan hemoglobin, lekosit, eritrosit,
dan hematokrit. Penurunan jumlah hemoglobin, eritrosit dan hematokrit umumnya terjadi anemia atau gangguan pada saluran pencernaan. Penurunan lekosit
umumnya terjadi infeksi. Pada pemeriksaan hitung jenis lekosit terjadi penurunan jumlah batang dan peningkatan segmen. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit
dapat menggambarkan kejadian dan proses penyakit dalam tubuh terutama penyakit infeksi Sutedjo, 2008. Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan bahwa pasien anak tersebut terinfeksi bakteri Salmonella typhi sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya. Selama
perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim, seftriakson, ampisilin dan sefiksim. Pada kasus 14 ini sefotaksim dan seftriakson tidak lolos
kategori IIA penggunaan antibiotika tidak tepat dosis. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V ada
indikasi penyakit infeksi. Sefotaksim dan seftriakson merupakan salah satu antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid
Purwadianto et al, 2014. Penggunaan kedua antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA tidak ada
antibiotika lain yang lebih efektif. Sefotaksim dan seftriakson sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat
lain yang dapat membahayakan pasien Lacy et al, 2009 sehingga lolos kategori IVB tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik. Sefotaksim dan seftriakson
merupakan antibiotika generik sehingga lolos kategori IVC tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah. Kedua antibiotika ini merupakan antibiotika
berspektrum luas dan antibiotika yang di rekomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid Purwadianto et al, 2014 sehingga lolos kategori IVD tidak ada
antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit. Durasi penggunaan
sefotaksim selama pasien di rawat inap adalah 4 hari sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris yaitu 2-3 hari dan dapat dilanjutkan sampai
4 hari jika kondisi pasien membaik Permenkes, 2011. Durasi penggunaan seftriakson selama 3 hari dan penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam
tifoid adalah selama 5-14 hari Lacy et al, 2009. Penggunaan kedua antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena penggunaan sefotaksim telah
sesuai dengan penggunaan antibiotika secara empiris dan seftriakson merupakan antibiotika penggantilanjutan dari sefotaksim selama pasien di rawat inap.
Penggunaan kedua antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat sehingga lolos kategori IIIA penggunaan antibiotika terlalu lama dan lolos
kategori IIIB penggunaan antibiotika terlalu singkat. Dosis dan interval pemberian sefotaksim secara i.v adalah 40-80 mgkg dalam 2-3 dosis maksimum
1-2 ghari Purwadianto et al., 2014. Dosis dan interval pemberian seftriakson menurut Lacy et al. 2009 untuk anak-anak secara i.v adalah 75-80 mgkg satu
kali dalam sehari. Pasien ini umur 12 tahun dengan berat badan 27 kg selama di rawat inap menerima dosis sefotaksim dan seftriakson 3x1 ghari 3000 mghari
secara intravena. Dosis yang diberikan untuk pasien anak ini berlebih karena tidak sesuai dengan kisaran dosis yang disarankan Purwadianto et al., 2014 dan Lacy
et al. 2009 sehingga kedua antibiotika ini tidak lolos kategori IIA tepat dosis. 4.
Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian kategori IIB Ketepatan interval pemberian antibiotika berkaitan dengan dosis
antibiotika harian yang diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti dua kali sehari, tiga kali sehari, empat kali sehari, sehingga kadar obat dalam plasma
dapat dipertahankan Kee and Hayes, 2009. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 13 kasus penggunaan antibiotika ampisilin yang tidak tepat interval
pemberian yaitu pada kasus 1, 7, 8, 9, 11, 16, 21, 23, 27, 33, 37, 39 dan amoksisilin pada kasus 13. Salah satu contoh penggunaan antibiotika yang tidak
tepat interval pemberian yaitu kasus 1 lampiran 3. Pada kasus 1, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah panas, batuk pilek sudah 2 minggu, muntah dan BAB buang air besar lembek. Hasil pemeriksaan
darah pasien menunjukan penurunan jumlah hemoglobin, lekosit, hematokrit dan hitung jenis lekosit. Penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit umumnya
terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Penurunan jumlah lekosit dan hitung jenis lekosit penurunan eosinofil dan batang dapat terjadi
pada penderita infeksi tertentu. Hasil pemeriksaan bakteri menunjukan hasil positif. Hasil pemeriksaan IgM Salmonella menunjukan hasil negatif = 2 nilai
normal: positif = 4 Sutedjo, 2008. Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan bahwa pasien anak tersebut
terinfeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima
sefotaksim dan ampisilin. Sefotaksim lolos kategori 0 rasional sedangkan ampisilin tidak lolos kategori IIB penggunaan antibiotika tidak tepat interval
pemberian. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V ada indikasi penyakit infeksi. Ampisilin merupakan
salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid Purwadianto et al, 2014
dan penggunaan ampisilin terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif.
Ampisilin sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien Lacy et al,
2009 sehingga lolos kategori IVB tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik. Ampisilin merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin Pramudianto, 2013 sehingga lolos kategori IVC tidak ada antibiotika
sejenis yang lebih murah. Ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan merupakan antibiotika lini pertama untuk terapi demam tifoid Purwadianto et
al, 2014 sehingga lolos kategori IVD tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit. Durasi penggunaan ampisilin selama pasien di rawat
inap adalah 7 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari Lacy et al, 2009. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama dan
tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan dari sefotaksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan
antibiotika yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan sehingga lolos kategori IIIA penggunaan antibiotika terlalu lama dan lolos kategori IIIB
penggunaan antibiotika terlalu singkat. Dosis dan interval pemberian menurut Lacy et al. 2009, dosis ampisilin untuk anak-anak secara i.v adalah 100-150
mgkghari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 ghari Lacy et al, 2009. Pasien ini umur 2 tahun dengan berat badan 11 kg selama di rawat inap
menerima dosis ampisilin 3x350 mghari 1050 mghari secara intravena, hal ini
sesuai dengan kisaran dosis yang disarankan Lacy et al. 2009 sehingga antibiotika ini lolos kategori IIA tepat dosis. Interval pemberian dalam kasus ini
adalah 3 kali dalam sehari dan tidak sesuai dengan interval pemberian yang disarankan Lacy et al. 2009 yaitu setiap 6 jam 4 kali dalam sehari sehingga
antibiotika ini tidak lolos kategori IIB tidak tepat interval pemberian. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut penggunaan ampisilin termasuk kategori IIB
yaitu tidak tepat interval pemberian. 5.
Penggunaan antibiotika tidak tepat cararute pemberian kategori IIC Rute pemberian antibiotika merupakan salah satu faktor penting dalam
proses keberhasilan suatu terapi. Rute pemberian obat harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan kondisi pasien saat itu. Rute pemberian obat harus dipilih
rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien Djatmiko et al, 2008. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan antibiotika yang
tidak tepat cararute pemberian antibiotika. 6.
Penggunaan antibiotika terlalu lama kategori IIIA dan Penggunaan antibiotika terlalu singkat kategori IIIB
Lama pemberian antibiotika pada setiap jenis antibiotika sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparah dari suatu penyakit. Menurut
Permenkes 2011 lama pemberian antibiotika untuk terapi empiris dapat dilakukan selama 2-3 hari. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus
penggunaan antibiotika terlalu lama kategori IIIA dan ditemukan kasus penggunaan antibiotika terlalu singkat kategori IIIB. Berdasarkan hasil evaluasi
penggunaan antibiotika terlalu singkat terdapat pada kasus 23 sefotaksim dan
kasus 40 ampisilin. Salah satu contoh penggunaan antibiotika terlalu singkat yaitu kasus 23 lampiran 25.
Pada kasus 23, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 7 hari
yang lalu, mual, muntah, BAB cair, perut terasa nyeri dan sulit makan. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah hematokrit dan
peningkatan jumlah lekosit. Penurunan jumlah hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Peningkatan jumlah lekosit
menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit penurunan jumlah batang, limfosit dan monosit serta peningkatan
jumlah segmen. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit memberi informasi spesifik berhubungan dengan infeksi. Hasil pemeriksaan Widal menunjukan hasil
positif pada pemeriksaan Typhus O dan H serta P. Typhus O yang biasanya muncul apabila pasien mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga
diperlukan antibiotika untuk penangananya Sutedjo, 2008. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim, ampisilin dan
kloramfenikol. Pada kasus 23 ini sefotaksim tidak lolos kategori IIIB penggunaan antibiotika terlalu singkat. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri
Salmonella typhi sehingga lolos kategori V ada indikasi penyakit infeksi. Sefotaksim merupakan salah satu antibiotika yang sering digunakan untuk terapi
demam tifoid yang diajurkan oleh WHO 2011. Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA tidak
ada antibiotika lain yang lebih efektif. Sefotaksim sudah cukup aman digunakan
untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien Lacy et al, 2009 sehingga lolos kategori IVB tidak
ada antibiotika lain yang kurang toksik. Sefotaksim merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari
sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime Pramudianto, 2013. Sefotaksim merupakan antibiotika
generik sehingga lolos kategori IVC tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah. Sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan sefotaksim salah
satu antibiotika yang direkomendasikan WHO 2011 untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga lolos kategori IVD tidak ada antibiotika lain yang
spektrum antibakterinya lebih sempit. Durasi penggunaan sefotaksim selama pasien di rawat inap adalah 1 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama
dan terlalu singkat karena tidak sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari Permenkes, 2011.
Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama sehingga lolos kategori IIIA penggunaan antibiotika terlalu lama dan terlalu singkat sehingga tidak lolos
kategori IIIB penggunaan antibiotika terlalu singkat. 7.
Ada antibiotika lain yang lebih efektif kategori IVA Ada antibiotika lain yang lebih efektif dapat diartikan ada pilihan
antibiotika lain yang lebih direkomendasikan untuk kondisi pasien karena dinilai akan memberikan outcome therapy yang lebih optimal. Berdasarkan hasil evaluasi
ditemukan 2 jenis antibiotika yang masuk dalam kategori “ada antibiotika lain
yang lebih efektif”, yaitu amikasin dan siprofloksasin. Berdasarkan hasil evaluasi
ditemukan 5 kasus penggunaan antibiotika yang kurang aman yaitu kasus 7 amikasin, kasus 15 amikasin, kasus 15 amikasin, dan kasus 33 amikasin dan
siprofloksasin. Salah satu contoh kasus tersebut yaitu kasus 33 lampiran 35. Pada kasus 33, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 12 hari yang lalu, demam terus menerus, menggigil pada sore hingga malam hari, nafsu
makan menurun, batuk, pusing, mual, muntah, nyeri perut dan badan pegal-pegal. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah hemoglobin,
lekosit dan hematokrit. Penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Penurunan jumlah
lekosit menunjukan pasien anak menderita infeksi tertentu. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pasien menunjukkan penurunan jumlah eosinofil dan
peningkatan jumlah monosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit ini dapat menggambarkan kejadian dan proses penyakit dalam tubuh terutama penyakit
infeksi. Hasil pemeriksaan serologi pasien menggunakan tes Widal untuk menentukan diagnosis demam tifoid, menunjukan hasil positif pada pemeriksaan
typhus O dan H serta P. Typhus O, yang biasanya muncul apabila pasien mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga diperlukan antibiotika
untuk penangananya Sutedjo, 2008. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima ampisilin, sefotaksim, amikasin dan siprofloksasin.
Ampisilin, sefotaksim dan siprofloksasin merupakan antibiotika yang dianjurkan oleh WHO 2011 dan Purwadianto et al 2014 untuk penatalaksanaan demam
tifoid. Siprofloksasin merupakan antibiotika golongan fluoroquinolon. Antibiotika
fluoroquinolon merupakan obat yang efektif untuk demam tifoid, tetapi fluoroquinolon tidak dapat diberikan kepada anak-anak karena dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi sehingga siprofloksasin masuk dalam kategori
“ada antibiotika lain yang lebih efektif” Nelwan, 2012. Amikasin tidak termasuk dalam antibiotika yang dianjurkan oleh
WHO 2011 untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga amikasin masuk dalam kategori
“ada antibiotika lain yang lebih efektif”. Amikasin merupakan derivat kanamisin semi-sintetis yang memiliki spektrum kerja terluas dari semua
aminoglikosida, termasuk
terhadap Mycobacteria.
Aktivitasnya bagi
Pseudomonas paling kuat, tetapi terhadap basil Gram-negatif lainnya 2-3 kali lebih lemah kecuali Mycobacterium Tjay and Rahardja, 2010. Evaluasi kasus
33 lebih lengkap terlampir pada lampiran 35. 8.
Penggunaan antibiotika lain yang kurang toksiklebih aman kategori IVB Penggunaan antibiotika lain yang kurag toksiklebih aman dapat
disebabkan oleh adanya interaksi obat dan munculnya efek samping antibiotika yang tidak diinginkan. Penggunaan antibiotika menjadi tidak aman misalnya jika
muncul reaksi alergi atau antibiotika yang diterima kontraindikasi dengan kondisi klinis pasien. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 3 kasus penggunaan
antibiotika yang kurang aman, salah satu kasus antibiotika tersebut terdapat pada kasus 6 lampiran 8.
Pada kasus 6, pasien anak menerima peresepan kloramfenikol untuk penatalaksanaan demam tifoid. Diagnosa utama dari pasien anak itu adalah
demam tifoid berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Penggunaan kloramfenikol pada anak-anak menurut Permenkes 2011 kurang aman karena dapat menyebabkan efek samping yang cukup serius seperti neuritis
optic pada anak dan menurut Tjay dan Rahadja 2010 dapat menyebabkan anemia aplastis fatal serta resistensi dari antibiotika ini sudah seringkali
dilaporkan. Kloramfenikol dapat digunakan apabila tidak ada pilihan antibiotika lain yang lebih aman untuk anak-anak. Rumah Sakit Umum Panembahan
Senopati Bantul menyediakan jenis antibiotika lain yang lebih aman dan direkomendasikan
untuk penatalaksanaan
demam tifoid
seperti ampisilinamoksisilin dan sepalosporin generasi ke-3. Berdasarkan uraian singkat
tersebut penggunaan kloramfenikol untuk kasus ini dikategorikan dalah “ada
antibiotika lain yang kurang toksiklebih aman”. Evaluasi kasus 6 lebih lengkap terlampir pada lampiran 8.
Selain kasus 6, kategori “ada antibiotika lain yang kurang toksiklebih
aman”, juga terdapat pada kasus 11 kloramfenikol dan kasus 23 kloramfenikol.
9. Ada antibiotika lain yang lebih murah kategori IVC
Kategori IVC ini dievaluasi dengan membandingkan setiap antibiotika yang digunakan di RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan brand name dari
setiap antibiotika berdasarkan pada buku acuan MIMS Pramudianto, 2012. Semua antibiotika yang digunakan merupakan obat generik dan harganya lebih
murah dibandingkan dengan brand name dari setiap antibiotika sehingga tidak terdapat kasus yang masuk ke dalam kategori ini.
10. Ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit kategori IVD
Proses pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit harus berdasarkan hasil kultur dari spesimen yang relevan atau dari pola kuman
setempat Permenkes, 2011. Pada penelitian ini antibiotika yang digunakan untuk penatalaksanaan demam tifoid berdasarkan pada antibiotika yang disarankan
WHO 2011 dan Purwadianto 2014 untuk terapi demam tifoid. Penggunaan antibiotika untuk pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD
Panembahan Senopati Bantul sudah sesuai dengan yang disarankan WHO 2011 dan Purwadianto 2014 untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga tidak
terdapat kasus yang masuk ke dalam kategori ini. 11.
Peresepan antibiotika tanpa indikasi kategori V Antibiotika tanpa indikasi dapat diartikan sebagai antibiotika yang
diresepkan tidak sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi Permenkes, 2011. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan penggunaan
antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang masuk dalam kategori ini.
72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN