B. Profil Pengunaan Obat Secara Keseluruhan
Terapi pengobatan secara keseluruhan yang diterima pasien anak yang menderita demam tifoid tanpa penyakit lain maupun demam tifoid dengan
penyakit lain di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 terdiri dari 9 kelas terapi.
Tabel II. Profil Penggunaan Obat Secara Keseluruhan Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid
No. Penggolongan obat
Jumlah kasus N=40
Persentase 1.
Antibiotika 74
35,4 2.
Antimikotikaanti fungi 2
1 3.
Obat Gangguan Saluran Cerna 7
3,3 4.
Obat Susunan Saraf Pusat 39
18,7 5.
Obat Saluran Pernapasan 23
11,0 6.
Obat Antihistamin 4
2 7.
Hormon 3
1,4 8.
Vitamin 8
3,8 9.
Mineral dan Elektrolit 49
23,4 Jumlah
209 100
Pada Tabel II di atas menunjukan penggunaan obat terbanyak terdapat pada kelas terapi obat antibiotika 35,4, diikuti oleh mineralelektrolit 23,4,
obat susunan saraf pusat 18,7, obat saluran pernapasan 11,0, vitamin 3,8, obat gangguan saluran cerna 3,3, obat antihistamin 2, hormon
1,4, dan antimikotikaantifungi 1. Golongan antibiotika paling banyak digunakan karena terapi antibiotika
merupakan srategi utama dan efektif untuk pengobatan demam tifoid. Pemberian antibiotika bertujuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman
Tjay dan Rahardja, 2010.
C. Profil Penggunaan Antibiotika
1. Jenis Antibiotika
Jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 terdiri dari 8 jenis antibiotika yaitu kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, siprofloksasin, sefotaksim, sefiksim,
seftriakson, dan amikasin.
Gambar 6. Persentasi jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 N=74
Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat dilihat bahwa jenis antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah sefotaksim
sebanyak 35 kasus 47,3 yang diikuti oleh ampisilin sebanyak 21 kasus 28,4. Sefotaksim dan ampisilin merupakan dua contoh obat yang digunakan
sebagai firs line therapy demam tifoid. Sefotaksim termasuk golongan sepalosporin generasi ke-3 yang memiliki spektrum kerja yang sangat luas,
aktivitas antibakterinya lebih kuat, dan efek sampingnya relatif rendah Haryanti
Sefotaksim 47,3
Ampisilin 28,4
Sefiksim 10,8 Amikasin 5,4
Kloramfenikol 4,1
Seftriakson 1,3
Amoksisilin 1,3
Siprofloksasin 1,3
et al, 2009. Ampisilin efektif untuk pengobatan demam tifoid karena dapat meningkatkan mortalitas akibat resistensi kloramfenikol Utami, 2010.
Dalam penggunaanya terapi antibiotika diberikan secara tunggal dan kombinasi. Terapi tunggal yang dimaksud adalah terapi menggunakan 1 satu
jenis antibiotika saja selama pasien dirawat. Terapi kombinasi adalah terapi menggunakan lebih dari 1 satu jenis antibiotika. Terapi kombinasi meliputi
penggantian jenis antibiotika dan penggunaan dua atau lebih antibiotika selama pasien dirawat. Tujuan pemberian antibiotika kombinasi adalah meningkatkan
aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik efek sinergis atau aditif, mengatasi infeksi campuran yang tidak dapat ditanggulangi oleh satu jenis antibiotika saja,
dan mengatasi kasus infeksi yang membahayakan jiwa yang belum diketahui bakteri penyebabnya Kemenkes RI, 2011. Persentase penggunaan antibiotika
tunggal dan kombinasi dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Persentasi penggunaan terapi antibiotika tunggal dan kombinasi pada pengobatan pasien anak dengan demam tifoid di RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 N=40
Berdasarkan Gambar 7 di atas persentasi penggunaan antibiotika kombinasi lebih banyak yaitu 23 kasus 57,5 dibandingkan dengan penggunaan
antibiotika tunggal yaitu sebanyak 17 kasus 42,5. Pada penelitian ini pemakaian antibiotika kombinasi lebih banyak daripada antibiotika tunggal karena
42,5 57,5
Tunggal Kombinasi
pemakaian antibiotika kombinasi dapat menanggulangi resistensi dan untuk mendapatkan efek yang lebih baik Djatmiko et al., 2008.
2. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Antibiotika
Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel III berikut.
Tabel III. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Antibiotika No.
Antibiotika Dosis
Frekuensi Jumlah
Kasus Persentase
1. Kloramfenikol
225 mg 3
1 1,2
500 mg 3
2 2,4
2. Ampisilin
250 mg 3
1 1,2
250 mg 4
1 1,2
300 mg 3
2 2,4
350 mg 3
1 1,2
350 mg 4
3 3,7
360 mg 3
1 1,2
400 mg 3
1 1,2
500 mg 3
8 9,8
500 mg 4
3 3,7
700 mg 4
1 1,2
750 mg 3
2 2,4
1 gram 3
1 1,2
3. Amoksisilin
250 mg 3
1 1,2
4. Siprofloksasin
¾ tablet 2
1 1,2
5. Sefotaksim
300 mg 3
3 3,7
350 mg 3
3 3,7
360 mg 3
1 1,2
400 mg 3
3 3,7
500 mg 3
12 14,6
750 mg 3
6 7,3
850 mg 3
1 1,2
1 gram 3
10 12,2
6. Sefiksim
25 mg 2
1 1,2
70 mg 2
1 1,2
75 mg 2
1 1,2
100 mg 2
5 6,1
7. Seftriakson
1 gram 3
1 1,2
8. Amikasin
150 mg 2
1 1,2
165 mg 3
1 1,2
180 mg 2
1 1,2
350 mg 3
1 1,2
Jumlah 82
100
Pada Tabel III di atas menunjukan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim dengan dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali per
hari 14,6 dan 1 gram dengan frekuensi 3 kali per hari 12,2 serta ampisilin dengan dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali per hari 9,8.
Penentuan dosis antibiotika yang diberikan harus disesuaikan dengan diagnosis penyakit, tingkat keparahan penyakitinfeksi, riwayat kesehatan, efek
dan mekanisme kerja antibiotika, serta efek samping obat karena berhubungan dengan kondisi intrinsik pasien seperti fungsi ginjal normal, fungsi hati, umur dan
berat badan pasien. Terutama penentuan dosis untuk anak-anak harus diperhatikan karena sistem organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat ginjal
dan hati perkembangannya belum sempurna. Hal ini menyebabkan proses ADME dalam tubuhnya belum optimal. Bila dosis obat tidak tepat maka obat dapat
menjadi racun dalam darah yang dapat mempengaruhi organ hati dan ginjal pada anak Kee and Hayes, 2009.
Frekuensi penggunaan
antibiotika dipengaruhi
oleh sifat
farmakokinetika obat dan kondisi klinis pasien. Hal yang perlu diperhatikan dalam farmakokinetika obat adalah waktu-paro eliminasi t ½ eliminasi dari
antibiotika. Waktu-paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat di dalam darah berkurang menjadi setengah 50 dari kadar semula Brunton et
al, 2011. Interval pemberian obat bertujuan untuk menjaga konsentrasi obat di dalam cairan plasma agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal
sehingga obat dapat bekerja dengan baik dan memberikan efek. Interval pemberian obat harus tepat agar pengobatan berjalan efektif, efisien dan aman
bagi pasien Kee and Hayes, 2009.
3. Durasi Penggunaan Antibiotika
Durasi penggunaan antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel IV berikut. Tabel IV. Durasi Penggunaan Antibiotika
No. Antibiotika
Durasi hari
Jumlah Kasus N=40
Persentase 1.
Kloramfenikol 4
2 2,7
5 1
1,4 2.
Ampisilin 1
1 1,4
2 1
1,4 3
1 1,4
4 8
10,8
5 5
6,8 6
2 2,7
7 1
1,4 9
2 2,7
3. Amoksisilin
4 1
1,4 4.
Siprofloksasin 2
1 1,4
5. Sefotaksim
1 1
1,4 2
1 1,4
3 1
1,4
4 14
18,9
5 7
9,5 6
4 5,4
Lanjutan Tabel IV. Durasi Penggunaan Antibiotika 7
4 5,4
8 2
2,7 10
1 1,4
6. Sefiksim
1 1
1,4 2
1 1,4
3 2
2,7 4
1 1,4
7 2
2,7 8
1 1,4
7. Seftriakson
3 1
1,4 8.
Amikasin 2
1 1,4
4 2
2,7 7
1 1,4
Jumlah 74
100
Pada Tabel IV di atas menunjukan durasi penggunaan antibiotika tersering adalah sefotaksim yaitu selama 4 hari 18,9 yang diikuti oleh
ampisilin selama 4 hari 10,8. Durasi pengobatan adalah waktu yang dibutuhkan agar pengobatan suatu penyakit maksimal. Durasi penggunaan
antibiotika untuk pasien demam tifoid tidak sama untuk setiap golongan antibiotika. Menurut WHO 2011, durasi penggunaan kloramfenikol adalah 14-
21 hari, ampisilinamoksisilin selama 14 hari, siprofloksasinofloksasi selama 5-7 hari mild disease dan 10-14 hari severe illness, sefotaksimseftriakson selama
10-14 hari, serta sefiksim 7-14 hari mild disease dan 10-14 hari severe illness.
4. Rute Pemberian Antibiotika
Rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Gambar 8. Profil rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 N=74
Berdasarkan Gambar 8 di atas rute pemberian antibiotika yang paling sering digunakan adalah secara intravena. Dari 74 jenis antibiotika yang
diresepkan untuk 40 pasien anak, sebanyak 64 antibiotika 86,5 diberikan secara intravena dan sebanyak 10 antibiotika 13,5 diberikan kepada pasien
secara peroral. Pemilihan cara pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien Djatmiko et al., 2008. Rute pemberian antibiotika
secara peroral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika
secara parenteral Permenkes, 2011.
13,5
86,5
Peroral Intravena
D. Evaluasi Kerasioanalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode