Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rsud Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
INTISARI
Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 dan 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika yang tidak rasional berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
Jenis penelitian ini adalah non-ekperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi yaitu pasien anak yang dirawat inap periode Januari-Desember 2013 berumur 0-12 tahun, didiagnosis positif demam tifoid, dengan penyakit penyerta, menerima terapi antibiotika dan membaik. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.
Hasil yang diperoleh terhadap 40 kasus (60% laki-laki dan 40% perempuan), pasien terbanyak adalah kelompok umur >5-12 (57,5%). Kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%), kategori IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan kategori IVB (4%). Adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional menurut Gyssens sehingga diperlukan pengawasan untuk meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotika.
(2)
ABSTRACT
Typhoid fever is one of the major health problems in developing countries, including Indonesia. Based on the health profile of Indonesia in 2009 and 2010, typhoid fever reaches 3rd of 10 ranks in main diseases of inpatient at the hospital. The treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the irrational use of antibiotics can effect of increasing in antibiotic resistance. The purpose of this study is to find out the rational use of antibiotics on children with typhoid fever based on Gyssens criteria in inpatient installation of RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta January-December 2013.
This research was non-experimental with evaluative descriptive study which was retrospective. Inclusion criteria were pediatric in-patient 0-12 years, positive diagnose typhoid fever, with complication, antibiotic prescription and recovered. Gyssens method was used to evaluate the rationality of the use of antibiotics on children with typhoid fever.
The results of the 40 cases (60% male and 40% female), most patients are >5-12 age group (57,5%). Appropriate usage category of antibiotics by Gyssens: category 0 (47,3%), category IIA (21,6%), category IIB (17,6%), category IIIB (2,7%), IVA category (6,8%), and category IVB (4%). According to Gyssens, there is the existence of irrational use of antibiotics so it needs supervision to improve the rationality of the use of antibiotics.
Key words: Typhoid fever, children, antibiotics, inpatient installation, Gyssens
(3)
EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA
GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI-DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Disusun Oleh:
Hermina Aprilita Ajum
NIM : 118114171
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
i
EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA
GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI-DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Disusun Oleh:
Hermina Aprilita Ajum
NIM : 118114171
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
iii
(7)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Allah Bapa dalam Surga, Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu
membimbing, melindungi, memberkati, dan menyertai segala usaha saya
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya dengan baik.
Bapa, Mama, nene Ancik Berahi, nene Uci Berahi, kaka Teddi, Jeni dan
Diana.
Sahabat dan teman-teman seperjuanganku
(8)
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens Di Instalasi Rawat Inap
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember
2013” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan
proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah
membantu memberikan ijin pada penelitian ini untuk melakukan
penelitian di luar kampus.
2. Staf Instalasi Rekam Medik RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing
yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran serta sabar dalam
memberikan bimbingan dan dukungan terhadap penulis dalam proses
(9)
vi
4. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr. I
Wayan Sudana yang telah memberikan izin kepada penulis dalam
melakukan penelitian ini.
5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK dan ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt
sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran
yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku Samuel Santosa Djun dan Maria Avelina Ngamal
atas Doa, kasih sayang, semangat, pengertian dan dukungan baik
moral maupun materi selama menjalani perkuliahan hingga
terselesainya skripsi ini.
7. Nene Ancik Berahi dan Nene Uci Berahi atas dukungan Doa
8. Kaka Teddi dan adik-adik saya Jeni dan Diana, yang selalu
memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat dan teman-teman seperjuangan Rosi Sowi, Baptissa Dela,
Novi Seran, Rysa Pardede, Risna Hariani, Sherlly Mecilia, Rany
Willem, Regi Gregoria dan Wirna.
10.Teman kecilku Sari Jebarus dan Tesa Siseng yang selalu
bersama-sama dari kecil hingga kuliah yang selalu memberikan motivasi.
11.Rekan-rekan skripsi (Mira, Ratna dan Nova) yang selalu mendukung
dan kompak dalam penyusunan skripsi dari awal sampai akhir.
12.Teman-teman FSM D 2011, FKK B 2011, dan seluruh angkatan
2011, untuk kebersamaan dan semua kisah yang telah kita lalui.
(10)
(11)
(12)
(13)
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
INTISARI ... xv
ABSTRACT ... xvi
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 4
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 6
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 7
2. Tujuan Khusus ... 7
BAB II PENELAAH PUSTAKA A. Demam Tifoid ... 8
(14)
xi
C. Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011) ... 21
D. Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak ... 23
E. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional ... 25
F. Evaluasi Penggunaan Antibiotika ... 27
G. Keterangan Empiris ... 32
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33
C. Subyek Penelitian ... 35
D. Bahan Penelitian... 35
E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36
F. Instrumen Penelitian... 36
G. Tata Cara Penelitian 1. Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan ... 37
2. Tahap Pengambilan Data ... 38
3. Pengolahan Data... 38
H. Tata Cara Analisis ... 39
I. Keterbatasan Penelitian ... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien Anak Dengan Demam Tifoid ... 42
B. Profil Penggunaan Obat Secara Keseluruhan ... 47
C. Profil Penggunaan Antibiotika ... 48
D. Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode Gyssens 55 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
LAMPIRAN ... 79
(15)
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011)
untuk demam tifoid... 17 Tabel II. Profil penggunan obat secara keseluruhan pada pasien anak
penderita demam tifoid ... 47 Tabel III. Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika ... 50 Tabel IV. Durasi penggunaan antibiotika ... 52 Tabel V. Distribusi kerasionalan penggunaan antibiotika berdasarkan
kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 ... 55
Tabel VI. Distribusi hasil evaluasi penggunaan tiap antibiotika
berdasarkan kategori Gyssens di RSUD Panembahan
(16)
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram alur metode Gyssens ... 29 Gambar 2. Persentasi jumlah pasien laki-laki dan perempuan penderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember
2013……….. 42
Gambar 3. Persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Januari-Desember 2013 ... 43 Gambar 4. Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 ... 44 Gambar 5. Persentasi jumlah pasien anak yang didiagnosis akhir
penyakit demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Januari-Desember 2013 ... 46 Gambar 6. Persentasi jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak
yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Januari-Desember 2013 ... 48
Gambar 7. Persentasi penggunaan terapi antibiotika tunggal dan
kombinasi pada pengobatan pasien anak dengan demam tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Januari-Desember 2013 ... 49 Gambar 8. Profil rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang
menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
(17)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar diagnosis pasien anak dengan demam tifoid di RSUD
Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013 ... 80
Lampiran 2. Golongan Obat yang Digunakan Pasien Selama Rawat Inap ... 81
Lampiran 3. Rekam Medis 1 ... 83
Lampiran 4. Rekam Medis 2 ... 86
Lampiran 5. Rekam Medis 3 ... 88
Lampiran 6. Rekam Medis 4 ... 90
Lampiran 7 Rekam Medis 5 ... 92
Lampiran 8 Rekam Medis 6 ... 94
Lampiran 9 Rekam Medis 7 ... 95
Lampiran 10 Rekam Medis 8 ... 98
Lampiran 11 Rekam Medis 9 ... 100
Lampiran 12 Rekam Medis 10 ... 104
Lampiran 13 Rekam Medis 11 ... 105
Lampiran 14 Rekam Medis 12 ... 107
Lampiran 15 Rekam Medis 13 ... 110
Lampiran 16 Rekam Medis 14 ... 113
Lampiran 17 Rekam Medis 15 ... 117
Lampiran 18 Rekam Medis 16 ... 121
Lampiran 19 Rekam Medis 17 ... 124
Lampiran 20 Rekam Medis 18 ... 126
Lampiran 21 Rekam Medis 19 ... 128
Lampiran 22 Rekam Medis 20 ... 129
Lampiran 23 Rekam Medis 21 ... 132
Lampiran 24 Rekam Medis 22 ... 135
Lampiran 25 Rekam Medis 23 ... 137
Lampiran 26 Rekam Medis 24 ... 140
Lampiran 27 Rekam Medis 25 ... 142
Lampiran 28 Rekam Medis 26 ... 144
Lampiran 29 Rekam Medis 27 ... 146
Lampiran 30 Rekam Medis 28 ... 149
Lampiran 31 Rekam Medis 29 ... 152
Lampiran 32 Rekam Medis 30 ... 154
Lampiran 33 Rekam Medis 31 ... 156
Lampiran 34 Rekam Medis 32 ... 159
Lampiran 35 Rekam Medis 33 ... 162
Lampiran 36 Rekam Medis 34 ... 165
Lampiran 37 Rekam Medis 35 ... 166
Lampiran 38 Rekam Medis 36 ... 170
Lampiran 39 Rekam Medis 37 ... 171
Lampiran 40 Rekam Medis 38 ... 174
Lampiran 41 Rekam Medis 39 ... 176
(18)
xv
INTISARI
Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 dan 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika yang tidak rasional berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
Jenis penelitian ini adalah non-ekperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi yaitu pasien anak yang dirawat inap periode Januari-Desember 2013 berumur 0-12 tahun, didiagnosis positif demam tifoid, dengan penyakit penyerta, menerima terapi antibiotika dan membaik. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.
Hasil yang diperoleh terhadap 40 kasus (60% laki-laki dan 40% perempuan), pasien terbanyak adalah kelompok umur >5-12 (57,5%). Kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%), kategori IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan kategori IVB (4%). Adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional menurut Gyssens sehingga diperlukan pengawasan untuk meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotika.
(19)
xvi
ABSTRACT
Typhoid fever is one of the major health problems in developing countries, including Indonesia. Based on the health profile of Indonesia in 2009 and 2010, typhoid fever reaches 3rd of 10 ranks in main diseases of inpatient at the hospital. The treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the irrational use of antibiotics can effect of increasing in antibiotic resistance. The purpose of this study is to find out the rational use of antibiotics on children with typhoid fever based on Gyssens criteria in inpatient installation of RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta January-December 2013.
This research was non-experimental with evaluative descriptive study which was retrospective. Inclusion criteria were pediatric in-patient 0-12 years, positive diagnose typhoid fever, with complication, antibiotic prescription and recovered. Gyssens method was used to evaluate the rationality of the use of antibiotics on children with typhoid fever.
The results of the 40 cases (60% male and 40% female), most patients are >5-12 age group (57,5%). Appropriate usage category of antibiotics by Gyssens: category 0 (47,3%), category IIA (21,6%), category IIB (17,6%), category IIIB (2,7%), IVA category (6,8%), and category IVB (4%). According to Gyssens, there is the existence of irrational use of antibiotics so it needs supervision to improve the rationality of the use of antibiotics.
Key words: Typhoid fever, children, antibiotics, inpatient installation, Gyssens
(20)
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama
di negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid.
Demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella
typhi (Saraswati et al., 2012). Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kebersihan perorangan dan kebersihan makanan, lingkungan
yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang
kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Nani
dan Muzakkir, 2014).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 terdapat 17 juta
kasus demam tifoid per tahun di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600 ribu kasus. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6
juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam tifoid tinggi
(>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tenggara. Di
Indonesia, diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun
(Nani dan Muzakkir, 2014).
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 demam tifoid menempati urutan
ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di Rumah Sakit yaitu sebanyak
80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang. Profil Kesehatan Indonesia tahun
(21)
rawat inap di Rumah Sakit yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274
orang (Pramitasari, 2013).
Kasus tersangka deman tifoid di Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk (Juwita, 2013). Insidensi
tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak (Riyatno dan Sutrisna, 2011).
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid pada
kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3/100.000 penduduk (Sidabutar,
2010).
Demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit yang sangat popular
baik di kalangan petugas medis bahkan oleh masyarakat awam sehingga apabila
seorang anak mengeluh demam maka antibiotika akan menjadi pilihan untuk
mengobatinya. Penggunaan berbagai jenis antibiotika secara luas yang tidak tepat
akibat mudahnya mendapatkan obat tersebut di masyarakat, akan menimbulkan
peningkatan kejadian bakteri yang resisten terhadap antibiotika termasuk S. typhi
(Alam, 2011).
Salah satu faktor yang dianggap paling berpengaruh terhadap
peningkatan resistensi antibiotika adalah penggunaan antibiotika secara tidak
rasional (WHO, 2001). Mengoptimalkan penggunaan antibiotika dapat dilakukan
dengan monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotika di rumah sakit yang
merupakan tempat paling banyak ditemukan penggunaan antibiotika (Lestari et
(22)
Pada penelitian ini mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika
pada pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pemilihan
metode Gyssens dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas
penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid dengan
mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi,
keefektifan, toksisitas, harga, spektrum, durasi pemberian, dosis, interval, cara dan
waktu pemberian (Kemenkes RI, 2011).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) di Instalasi
Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta ditemukan ketidakrasionalan penggunaan
antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yaitu ketidaktepatan dosis
sebesar 70,98%, ketidaktepatan frekuensi pemberian sebesar 48,39%, dan
ketidaktepatan durasi pemberian sebesar 25,81%. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa masih ada penggunaan antibiotika yang kurang rasional pada pasien anak
dengan demam tifoid.
Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011
menunjukan demam tifoid masuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah
sakit yaitu sebanyak 2.860 kasus (Dinkes Yogyakarta, 2012). Berdasarkan
penelusuran peneliti, demam tifoid pada anak masih merupakan penyakit
terbanyak pasien rawat inap walaupun tidak termasuk dalam 10 besar penyakit
terbanyak rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2013. Selain
itu, informasi mengenai pengurusan perizinan penelitian di rumah sakit ini cukup
jelas. Berdasarkan kedua hal tersebut menjadi alasan peneliti memilih RSUD
(23)
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini ingin melihat beberapa data di Instalasi Rawat Inap RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013
meliputi:
a. Seperti apa karakteristik pasien anak dengan demam tifoid?
b. Seperti apa profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak
dengan demam tifoid?
c. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam
tifoid?
d. Seperti apa kerasioanalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid?
2. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi kerasionalan
penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang pernah
dilakukan, antara lain :
a. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih
Yogyakarta Periode Januari-Desember 2010” yang dilakukan oleh Rufaldi (2011). Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah dalam hal
metode penelitian yang digunakan yaitu metode Gyssens. Penelitian ini
berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan subyek
penelitian. Dalam penelitian ini subyek penelitiannya berfokus pada pasien
(24)
Pada penelitian Rufaldi (2011), subyek penelitiannya hanya berfokus pada
pasien anak dengan demam tifoid tanpa penyakit lain dan atau komplikasi.
b. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Agoesdjam
Ketapang Periode Juni 2008-Juni 2009” yang dilakukan oleh Pratiwi (2010). Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan
kajian yang diteliti. Pada penelitian ini menggunakan metode Gyssens untuk
mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.
Pada penelitian Pratiwi (2010), menggunakan metode Drug Related Problem
(DRP) untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid.
c. Penelitian dengan judul “Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien Anak di Istalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode
Januari 2000-Desember 2001” yang dilakukan oleh Triana (2003). Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian
yang diteliti. Pada penelitian ini mengevaluasi penggunaan antibiotika pada
pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pada
penelitian Triana (2003), lebih ditekankan pada kajian penggunaan obat
demam tifoid bagi pasien anak.
d. Penelitian dengan judul “Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012” yang
(25)
tersebut dalam hal waktu, lokasi, subyek, dan kajian yang diteliti. Pada
penelitian ini subyek penelitiannya berfokus pada pasien anak dengan demam
tifoid dan mengevaluasi penggunaan antibiotika menggunakan metode
Gyssens. Pada penelitian Artanti (2013), subyek penelitiannya orang dewasa
dan pokok kajiannya lebih ditekankan pada hubungan sanitasi lingkungan,
higiene perorangan, dan karakteristik individu dengan kejadian demam tifoid.
Berdasarkan data-data tersebut penelitian mengenai “Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak dengan Demam Tifoid
berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013” belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
a. Mendapatkan data kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak
dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens sehingga dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi bagi tenaga medis di rumah sakit dalam meningkatkan
penggunaan antibiotika yang rasional. Khususnya bagi farmasis, dapat sebagai
bahan evaluasi untuk lebih berperan dalam meningkatkan kualitas penggunaan
antibiotika kepada pasien.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran mengenai cara
evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid yang dikaji dari segi kualitas berdasarkan kriteria Gyssens dan
(26)
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan khusus terhadap data di
Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Januari-Desember 2013 meliputi:
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien anak dengan demam tifoid.
b. Mengidentifikasi profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien
anak dengan demam.
c. Mengidentifikasi profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid.
d. Mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak
dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dengan metode
(27)
8
BAB II
PENELAAH PUSTAKA
A. Demam Tifoid 1. Defenisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi (Butler, 2011), serta ditandai dengan adanya demam
yang berlangsung cukup lama (lebih dari 7 hari), gangguan saluran pencernaan,
penurunan atau gangguan kesadaran (komplikasi yang lazim disebut tifoid toksik)
(Purwadianto et al., 2014), serta dapat berpotensi parah dan mengancam nyawa
seseorang (Newton and Mintz, 2013).
Demam tifoid termasuk penyakit menular (Sharma and Malakar, 2013)
dan dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis (Riyatno dan Sutrisna, 2011) tanpa air bersih atau
sanitasi lingkungan yang baik (Neil et al., 2012).
2. Etiologi
Penyebab dari penyakit demam tifoid adalah Salmonella typhi yang
merupakan bakteri gram negatif (Kaur and Jain, 2012), tidak berspora, tidak
berkapsul, dan memiliki flagella dan bakteri ini dapat bertahan lama di air, saluran
(28)
Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen yaitu sebagai berikut (Nasronudin, 2007).
a. Antigen O (somatik) : terletak pada lapisan luar yang mempunyai
komponen protein, lipoposakarida (LPS) dan lipid serta sering disebut
endotoksin.
b. Antigen H (flagela) : terdapat pada flagela, fimbriae dan pili dari kuman,
berstruktur kimia protein.
c. Antigen Vi (antigen permukaan) : terdapat pada selaput dinding kuman
untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein.
3. Epidemiologi
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia terutama di negara-negara yang
sedang berkembang di daerah tropis yang kondisi sanitasi lingkunganya buruk.
Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oceania,
tetapi 80% kasus berasal dari Indonesia, Bangladesh, China, India, Laos, Nepal,
Pakistan, atau Vietnam. Di setiap Negara demam tifoid paling sering terjadi di
daerah tertinggal. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (3,6 per 1000
penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun (Brusch, 2014).
Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid dan diperkirakan
terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan
sepanjang tahun. Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insiden yang
tidak berbeda jauh antar daerah. Serangan penyakit lebih bersifat sporadis dan
(29)
4. Patogenesis
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi (Hatta et al., 2011). Jumlah kuman
yang dapat menginfeksi tubuh manusia bervariasi yaitu antara 1000 sampai 1 juta
kuman (Kaur and Jain, 2012). Kemudian kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis dan selanjutnya berkembang biak (Nelwan, 2012).
Bila respon humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat bertahan hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke peyer’s patch ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus toraksikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bekterimia pertama yang asimtomatik) (Kaur and Jain, 2012).
Kuman dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yakni di hati, limpa,
dan sumsum tulang (Rahman et al., 2010). Kuman juga dapat melakukan replikasi
dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke
dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia yang kedua kalinya,
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia kedua
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen
(30)
5. Komplikasi
Menurut Guntur (2006), komplikasi yang sering terjadi pada penderita
demam tifoid adalah sebagai berikut.
a. Tifoid toksin (demam tifoid ensefalopati)
Tifoid toksin adalah demam tifoid berat dengan gejala utama gangguan
atau penurunan kesadaran secara akut.
b. Syok septik
Demam tifoid berat yang sering bersamaan atau akibat komplikasi demam
tifoid yang serius. Ditandai dengan gejala-gejala sepsis berat dan
kegagalan vaskular.
c. Perdarahan dan perforasi usus
Perdarahan dan perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau
setelah itu. Perforasi terjadi pada bagian distal ileum. Perdarahan intestinal
dengan gejala klinis hematoscezia (makroskopis) atau dengan test
pendarahan tersembunyi (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai
dengan nyeri abdomen akut dan petanda peritonitis. Suhu tubuh biasanya
menurun tiba-tiba dengan peningkatan frekuensi nadi. Pemeriksaan
perforasi intestinal ini ditunjang dengan foto polos abdomen 3 posisi.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritonium sehingga didapatkan pekak hati
menghilang pada pemeriksaan fisik. Pada foto perut dalam posisi tegak
(31)
d. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi terapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri nyeri perut yang hebat,
dinding perut tegang dan nyeri pada tekanan.
e. Hepatitis tifosa
Ditemukan ikterus hepatomegali dan nyeri pada perabaan. Terdapat
kelainan uji fungsi hati. Komplikasi seperti osteomielitis, arthritis, dan
peradangan organ lainnya juga dapat ditemukan. Ensefalopati tifoid
kadangkala ditemukan dan memerlukan penanganan khusus.
f. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil salmonelia atau koinfeksi dengan mikroba
lain yang sering menyerang paru. Didapatkan gejala-gejala klinis
pneumonia dan ditunjang dengan pemeriksaan foto polos toraks.
g. Pankreatitits tifosa
Pada pemeriksaan klinis didapat nyeri perut hebat, mual dan muntah.
6. Manifestasi Klinis
Demam tifoid memiliki gejala klinis yang tidak khas dan bervariasi dari
ringan sampai berat (Saraswati, 2012). Masa inkubasi demam tifoid adalah 6-30
hari dan onset dari penyakit ini sangat berbahaya, dengan peningkatan rasa letih
secara bertahap dan demam yang meningkat setiap hari dari 38°C sampai 40°C.
Umumnya pada pagi hari demam turun dan pada sore atau malam hari demam
(32)
Secara umum penyakit ini ditandai dengan demam lebih dari 7 hari (bila
tidak segera diobati), gangguan pola buang air besar, mual, muntah, sulit makan,
sakit kepala, pusing, badan dan persendian nglilu-ngilu, batuk pilek, gangguan
pencernaan yang timbul berupa rasa tidak nyaman di perut, diare sampai susah
buang air besar (Cahyono, 2010).
Pada minggu pertama ditemukan gejala klinis dan keluhan seperti
demam, menggigil, sakit kepala, anoreksia, sakit tenggorokan, mialgia, psikosis,
dan kebingungan terjadi pada 5-10% kasus (Kaur and Jain, 2012). Terjadi juga
nyeri perut dan perut menjadi lembut, dalam beberapa kasus terjadi nyeri kolik
pada kuadran kanan atas, terjadi sembelit, batuk kering, malaise, dan delirium
(Brusch, 2014).
Pada akhir minggu pertama, demam akan meningkat dari 39°C sampai
40°C, timbul bintik-bintik merah seperti warna ikan salmon, blanching, truncal,
maculopapules dengan lebar 1-4 cm dan umumnya sembuh 2-5 hari (Brusch,
2014). Pada minggu kedua, perut menjadi buncit, splenomegali lunak, bradikardi
(Brusch, 2014), konstipasi atau diare dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien
(terutama anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi HIV) (Kaur and Jain,
2012).
Tanpa pengobatan dan diagnosis yang benar demam tifoid dapat
berlangsung lama sampai minggu ketiga (Kaur and Jain, 2012) dengan demam
terus menerus, anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan, distensi
abdomen, takipnea dengan thready pulse, dan diare (Brusch, 2014). Pada minggu
(33)
7. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid atas dasar gambaran klinis penyakit sangat
penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini (Nelwan, 2012), namun
sulit karena gejala klinis yang muncul beragam dan umumnya serupa dengan
gejala klinis penyakit demam lain, seperti malaria dan demam berdarah (Mitra et
al., 2010). Dalam menentukan diagnosis pasti dari penyakit ini diperlukan pemeriksaan laboratorium (Rachman et al., 2011). Pemeriksaan laboratorium
yang paling sering digunakan adalah hematologi, urinalisasi, feses, dan uji
serologis (Aziz and Haque, 2012).
Pemeriksaan hematologi pada pasien penderita demam tifoid bisa
didapatkan anemia yang disebabkan karena kehilangan darah dan peradangan.
Jumlah sel darah putih (WBC) juga sering rendah. Leukositosis umumnya terjadi
dalam 10 hari pertama pada anak-anak yang disebabkan karena bakteremia,
infeksi lokal, perforasi usus, atau komplikasi ekstraintestinal lainnya. Dapat juga
terjadi trombositopenia (Owens, 2014). Kultur darah merupakan gold standard
metode diagnostik dan hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid
(Rachman et al., 2011). Pada biakkan air kemih (urinalisasi) hasilnya positif pada
minggu sakit ke 2 dan 3. Air kemih yang diambil secara steril diputar dan
endapanya dibiakan pada perbenihan diperkaya dan selektif. Pada biakkan tinja
(feses) hasilnya positif selama masa sakit dan diperlukan biakkan berulang untuk
mendapatkan hasil positif. Biakan tinja berguna pada penderita yang sedang
diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier. Biakkan untuk
(34)
setiap minggu. Bila pada minggu ke 4 biakan feses masih positif maka pasien
sudah tergolong karier (Kemenkes RI, 2006).
Tes serologi yang dapat digunakan dalam menentukan diagnosis demam
tifoid adalah tes Widal (Rachman et al., 2011), Tubex, Typhidot dan Typhidot M
(Mitra et al., 2010). Tes Widal adalah tes serologi untuk mendeteksi antibodi IgM
dan IgG terhadap antigen O dan H Salmonella typhi dalam sampel darah pasien
(Anagha et al., 2012). Hasil uji widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga
dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang
dengan spesies lain (enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan
adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena
pederita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang
dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk dan adanya penyakit
imunologik lain (Utami, 2010). Tubex adalah tes semikuantitatif yang
menggunakan partikel aglutinasi polystyrene untuk mendeteksi antibodi IgM dari
serum pasien terhadap antigen O9 Salmonella typhi (Wain and Hosoglu, 2008).
Typhidot adalah tes yang menggunakan antigen 50 kD untuk mendeteksi antibodi
IgM dan IgG secara spesifik terhadap Salmonella typhi (Mitra et al., 2010).
Typhidot M adalah dot enzyme immunoassay untuk mendeteksi IgM secara
spesifik terhadap Salmonella typhi (Narayanappa et al., 2010). Typhidot M
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran
(35)
8. Penatalaksanaan
Menurut Widoyono (2011), pada dasarnya pengobatan demam tifoid
memakai prinsip triologi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu sebagai berikut.
a. Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah
bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan
keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar
dan kecil.
b. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet
Terapi simptomatis dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
perbaikan keadaan umum penderita yakni vitamin, antipiretik untuk
kenyamanan penderita terutama untuk anak dan antimetik jika penderita
muntah (Hadinegoro, 2008). Terapi suportif yang terpenting adalah pemberian
cairan dan kalori (Guntur, 2006). Diet diberikan agar tidak memperberat kerja
usus, pada awal penderita diberi makanan berupa bubur saring selanjutnya
penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan kemudian nasi biasa
sesuai kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu
dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono,
(36)
c. Pemberian antibiotika
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam
tifoid. Terapi antibiotika lini pertama untuk pengobatan demam tifoid adalah
kloramfenikol, amoksisilin atau ampisilin dan trimetropim-sulfametoksazol.
Antibiotika lini kedua adalah fluoroquinolon seperti siprofloksasin,
norfloksasin, ofloksasin dan levofloksasin. Antibiotika alternatif lain yang
sering digunakan adalah sepalosporin (seperti seftriakson, sefotaksim,
sefiksim), aztreonam dan azitromisin (Purwadianto et al., 2014).
Tabel I. Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid (WHO, 2011)
Optimal Therapy Alternative Effective Drugs
Susceptibility Antibiotic Daily dose mg/kg
Days Antibiotic Daily dose mg/kg Days Mild disease Fully sensitive Ciprofloxacin or Ofloxacin
15 5-7 Chloramphenicol 50-75 14-21 Amoxycilin 75-100 14 Cotrimoxazole 8-40 14 Multi drug
resistant
As above or Cefixime
15 7-14 Azythromycin 8-10 7 15-20 7-14 Cefixime 15-20 7-14 Quinolone
resistance
Azythromycin 8-10 7 Cefixime 20 7-14 Rocephine 75 10-14
Severe illness Fully
sensitive
Ciprofloxacin or Ofloxacin
15 10-14 Chloramphenicol 100 14-21 Amoxycilin 100 14 Cotrimoxazole 8-40 14 Multi drug
resistant
As above or Sefiksime
15 10-14 Rocephine 75 10-14 15-20 10-14 Cefotaxime 80 10-14 Quinolone
resistance
Rocephine 75 10-14
Fluoroquinolone 20 7-14 Cefotaxime 80 10-14
Azythromycin 8-10 7
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan
demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan
secara oral. Umumnya perbaikan klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan
(37)
antara 7-14 hari (Rampengan, 2013). Kloramfenikol tidak berkhasiat
mematikan kuman, sehingga sering kali timbul “pembawa basil”, juga dapat
mengakibatkan anemia aplastis fatal, serta resistensi dari obat ini sudah
seringkali dilaporkan (Tjay dan Rahadja, 2010). Dosis yang diberikan untuk
anak-anak sebesar 50-100 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam, dengan dosis
maksimal 4 g/hari untuk pemberian secara i.v (Lacy et al, 2009). Dosis untuk
bayi <2 minggu sebesar 25 mg/kg/hari diberikan setiap 4 jam dan bayi
berumur 2 minggu sampai 1 tahun diberikan dosis sebesar 50 mg/kg/hari
setiap 4 jam untuk pemberian secara i.v (Finch et al., 2010).
Amoksisilin atau ampisilin kurang efektif dalam menurunkan
demam dibandingkan kloramfenikol karena bekerja agak lambat yaitu setelah
5-6 hari baru demam akan hilang sedangkan kloramfenikol rata-rata 3 hari
(Tjay dan Rahadja, 2010). Amoksisilin/ampisilin diberikan karena
meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol (Utami, 2010).
Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 50-100 mg/kg/hari
diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari untuk pemberian
secara oral. Pemberian secara i.v untuk ampisilin dengan dosis yang
dianjurkan adalah 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis
maksimal 2-4 g/hari selama 10 hari (Lacy et al., 2009).
Pemberian Trimetropim-sulfametoksazol dengan dosis yang
dianjurkan untuk anak >12 tahun 960 mg diberikan setiap 12 jam, umur 6
(38)
tahun 240 mg diberikan setiap 12 jam, dan umur 6-12 tahun 480 mg diberikan
setiap 12 jam untuk pemberian secara oral (Finch et al., 2010).
Antibiotika lini kedua yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid adalah golongan fluoroquinolon seperti siprofloksasin, norfloksasin,
ofloksasin dan levofloksasin. Fluoroquinolon merupakan obat yang efektif
untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap
fluoroquinolon dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari
2%. Fluoroquinolon tidak dapat diberikan kepada anak-anak karena dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012).
Pemberian sepalosporin generasi ke-3 seperti seftriakson,
sefotaksim, dan sefiksim. Seftriakson dengan dosis untuk neonatus sebesar
20-50 mg/kg/hari, anak umur >1 bulan 20-50 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan sampai
80 mg/kg/hari (Finch et al., 2010), untuk anak-anak 75-80 mg/kg satu kali
dalam sehari untuk pemberian secara i.v. selama 5-14 hari (Lacy et al., 2009).
Sefotaksim dengan dosis 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2
g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Sefiksim dengan dosis untuk anak-anak 20
mg/kg/hari (maksimum 400 mg), dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2
dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al., 2009).
Antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk pengobatan
demam tifoid adalah aztreonam dan azitromisin. Pemberian aztreonam dengan
dosis untuk anak sebesar 30 mg/kg setiap 6-8 jam (dapat ditingkatkan sampai
(39)
dosis untuk anak >6 bulan sebesar 10 mg/kg/hari untuk 3 hari, untuk anak
dengan berat 15-25 kg sebesar 200 mg/hari untuk 3 hari, 26-35 kg sebesar 300
mg/kg untuk 3 hari, dan 36-45 kg sebesar 400 mg/kg untuk 3 hari untuk
pemberian secara p.o (Finch et al., 2010).
B. Antibiotika
Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan
jamur yang memiliki khasiat untuk menghambat perkembangbiakan atau
membunuh mikroorganisme (Sutedjo, 2008). Antibiotika dapat bekerja secara
primer dengan menghentikan pembelahan sel (bakteriostat) atau dengan
membunuh mikroorganisme secara langsung (bakterisida) (Brooker, 2009).
Menurut Setiabudy (2007), berdasarkan luas kerjanya antibiotika
dibedakan sebagai berikut.
1. Antibiotika spektrum sempit
Antibiotika spektrum sempit efektif melawan satu jenis organisme.
Antibiotika berspektrum sempit bersifat selektif maka obat-obat ini lebih aktif
dalam melawan organisme tunggal dari pada antibiotika berspektrum luas.
2. Antibiotika spektrum luas
Antibiotika spektrum luas efektif terhadap organisme baik gram
positif maupun gram negatif. Antibiotika spektrum luas seringkali dipakai
untuk mengobati infeksi dimana mikroorganisme yang menyerang belum tentu
(40)
C. Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011)
1. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotika
a. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotika
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan
daya kerja antibiotika.
b. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika
sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotika secara
tepat.
c. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat
Pemberian antibiotika secara bersamaan dengan antibiotika lain, obat lain
atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari
interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti
penurunan absorbsi obat atau penundaan absorbsi hingga meningkatkan
efek toksik obat lainnya.
d. Faktor biaya
Antibiotika yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat
merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak
paten (obat paten). Harga antibiotika dengan kandungan yang sama bisa
berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding generiknya. Sediaan
parenteral bisa 1000 kali lebih mahal dari sediaan oral dengan kandungan
yang sama. Peresepan antibiotika yang mahal dengan harga diluar batas
(41)
antibiotika oleh pasien sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan
terapi.
2. Prinsip penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan definitif
a. Antibiotika Terapi Empiris
Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan
antibiotika pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan
pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Lama pemberian
antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam, selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya.
b. Antibiotika Terapi Definitif
Penggunaan antibiotika untuk terapi definitif adalah penggunaan
antibiotika pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab
dan pola resistensinya. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya
menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai
berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Jika
kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotika parenteral harus
segera diganti dengan antibiotika per oral. Lama pemberian antibiotika
defenitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai
(42)
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainya.
D. Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak
Menurut Michael et al., (2008) ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam proses pemilihan obat khususnya antibiotika pada anak
diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Farmakokinetika
a. Absorbsi
Kecepatan absorbsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada
cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Pada neonatus jumlah
obat-obatan yang diabsorbsi di usus sulit untuk diprediksi karena terjadi perubahan
biokimiawi dan fisiologis di saluran gastrointestinal berupa peningkatan asam
lambung yang diikuti dengan penurunan kecepatan pengosongan lambung dan
gerak peristaltik.
b. Distribusi
Proses distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh massa jaringan,
kandungan lemak, aliran darah, permeabilitas membran dan ikatan protein.
Distribusi cairan tubuh anak-anak akan berbeda dengan dewasa karena cairan
tubuh anak secara persentase berat badan lebih besar. Pada umumnya ikatan
protein pada neonatus lebih rendah daripada kelompok usia diatasnya.
(43)
secara tidak langsung akan mempengaruhi waktu paruh dan konsentrasi obat
di dalam sirkulasi sistemik.
c. Metabolisme
.Hati merupakan organ terpenting dalam proses metabolisme obat di
dalam tubuh. Perbandingan relatif volume hati terhadap berat badan menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Kecepatan metabolisme obat paling besar
terjadi pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak kemudian akan
menurun mulai pada usia anak sampai dewasa.
d. Eksresi
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus pada
proses ekskresi di ginjal kurang efisien dibandingkan kelompok usia anak
karena kelompok usia tersebut masih dalam tahap awal proses pematangan
organ.
2. Pertimbangan efek terapi dan toksik
Penilaian efek terapetik dan efek toksik suatu obat sangat perlu dilakukan
sebelum memutuskan jenis obat yang akan digunakan karena terdapat
kemungkinan timbulnya respon tubuh anak yang bervariasi setelah terpapar obat.
Hal lain yang juga memerlukan perhatian khusus adalah persepan obat-obatan
dengan indeks terapi sempit. Konsentrasi obat di dalam darah harus selalu dijaga
agar selalu konstan pada dosis terapetik, apabila konsentrasi obat di dalam darah
melebihi dosis terapetik obat dapat menimbulkan efek toksik, sedangkan jika
konsentrasi obat dalam darah lebih rendah daripada dosis terapetik obat tidak
(44)
3. Perhitungan dosis obat
Penentuan dosis obat pada anak-anak dianjurkan mengacu pada buku-buku
standar pengobatan anak dan buku pedoman terapi anak, agar didapatkan hasil
terapetik yang lebih dominan dan mengurangi efek toksisitas yang mungkin
muncul.
E. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional
Menurut WHO (2001), kriteria penggunaan obat yang rasional adalah
sebagai berikut.
1. Tepat indikasi
Pemilihan antibiotika berdasarkan keluhan yang dialami pasien dan disertai
dengan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.
2. Tepat dosis
Dosis obat yang diberikan berada dalam range terapi obat tersebut. Pemberian
dosis obat juga harus disesuaikan dengan umur, berat badan dan kronologis
penyakit yang di derita pasien.
3. Tepat cara pemberian
Cara pemberian obat yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan
kondisi pasien. Misalnya secara per Oral, per Rektal, Intravena, Intratekal,
(45)
4. Tepat interval waktu pemberian
Rentang waktu pemberian obat harus sesuai dengan aturan pemakaian yang
telah ditentukan. Misalnya per 4 jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per
24 jam, dan lain-lain.
5. Tepat lama pemberian
Pada kasus tertentu pemberian antibiotika memerlukan durasi/jangka waktu
tertentu. Tidak terlalu singkat atau terlalu lama. Misalnya selama 3 hari, 5
hari, 7 hari, 10 hari, 1 bulan, dan lain-lain.
6. Obat yang diberikan harus efektif dan terjamin mutunya
Menghindari pemberian obat yang kedaluwarsa dan tidak sesuai dengan jenis
keluhan penyakit.
7. Tersedian setiap saat dengan harga yang terjangkau
Jenis obat mudah didapatkan kapanpun diperlukan dan dengan harga yang
dapat dijangkau oleh pasien.
8. Meminimalkan efek samping obat
Mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan dari
(46)
F. Evaluasi Penggunaan Antibiotika
Menurut Kemenkes RI (2011), evaluasi penggunaan antibiotika
bertujuan untuk.
1. Mengetahui jumlah penggunaan antibiotika di rumah sakit
2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit
3. Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotika di rumah
sakit secara sistematik dan terstandar
4. Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit
Berdasarkan Kemenkes RI (2011) tentang pedoman pelayanan
kefarmasian untuk terapi antibiotika, evaluasi penggunaan antibiotika dapat
dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat
dilakukan dengan penghitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed
days), untuk mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotika yang digunakan. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssen, untuk
mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika.
Penelitian ini menggunakan metode Gyssen untuk mengevaluasi
penggunaan antibiotika yang rasional. Metode Gyssens dapat mengevaluasi
seluruh aspek penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, alternatif yang
lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit, lama
pengobatan, dosis, interval, rute pemberian dan waktu pemberian.
Diagram alur Gyssens merupakan alat yang penting dalan proses
(47)
alur Gyssens akan terbagi dalam beberapa kategori. Kategori ketepatan
penggunaan antibiotika menurut Gyssens, yaitu sebagai berikut ini.
Kategori 0 = penggunaan antibiotika tepat/bijak
Kategori I = penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
Kategori IIA = penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Kategori IIB = penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC = penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA = penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori IIIB = penggunaan antibiotika terlalu singkat
Kategori IVA = ada antibiotika lain yang lebih efektif
Kategori IVB = ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC = ada antibiotika lain yang lebih murah
Kategoti IVD = ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih
sempit
Kategoti V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategoti VI = data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
(48)
(49)
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan
melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan
antibiotika (Kemenkes RI, 2011).
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada
halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapa dievaluasi. Diagnosis
kerja dapat ditegakan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila
data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan dibawahnya, apakah ada infeksi
yang membutuhkan antibiotika?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V
Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat?
3. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang kurang toksik?
4. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lebih murah?
5. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVC
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
(50)
6. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti
di kategori IVD
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang?
7. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu
singkat?
8. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis
antibiotika yang diberikan sudah tepat?
9. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIA
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval
antibiotika yang diberikan sudah tepat?
10.Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIB
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute
pemberian antibiotika sudah tepat?
11.Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIC
Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12.Bila penggunaan antibiotikanya tidak tepat waktu, berhenti di kategori I. 13.Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika
(51)
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran kualitatif
mengenai evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan
demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD
(52)
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-ekperimental karena
observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada intervensi serta perlakuan
dari peneliti terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Rancangan
penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk
mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta
atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi,
kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan
(Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data
dilakukan dengan melakukan penelusuran data masa lalu pasien dari catatan
rekam medis pasien pada periode tertentu (Notoatmodjo, 2010).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Karakteristik pasien anak dengan demam tifoid meliputi jenis kelamin, umur,
jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan dan distribusi
diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak. Umur dapat dibagi menjadi
tiga kelompok usia yaitu neonatus (umur ≤1 tahun), balita (umur >1-5 tahun), dan anak sekolah (umur >5-12). Jumlah pasien anak yang menderita demam
(53)
diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak dibagi menjadi 2 yaitu demam
tifoid dan demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi.
2. Profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam
tifoid selama pasien dirawat inap meliputi antibiotika, antimikotika/antifungi,
obat gangguan saluran cerna, obat susunan saraf pusat, obat saluran
pernapasan, obat antihistamin, hormon, vitamin, mineral dan elektrolit.
3. Profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid meliputi
jenis antibiotika, dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika, durasi
penggunaan antibiotika dan rute pemberian antibiotika.
a. Jenis antibiotika adalah semua jenis antibiotika (antibiotika tunggal dan
kombinasi) yang diberikan pada pasien anak dengan demam tifoid yang
menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
b. Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika. Dosis adalah jumlah obat
yang diberikan kepada pasien dalam satuan berat (g, mg, ug) atau satuan
isi (Liter, mL, UI). Frekuensi atau interval pemberian obat, misalnya per 4
jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per 24 jam, dan lain-lain.
c. Durasi penggunaan antibiotika adalah lama waktu (hari) pemakaian
antibiotika kepada pasien.
d. Rute pemberian antibiotika adalah cara yang digunakan dalam
memasukan antibiotika ke dalam tubuh, misalnya per oral, intravena, dan
(54)
4. Rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid
adalah rasionalitas penggunaan antibiotika yang dievaluasi secara kualitatif
menggunaakan metode Gyssens. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan
literatur sebagai referensi. Literatur yang digunakan adalah WHO (2011),
Purwadianto (2014), Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009),
Tjay dan Rahardja (2010), dan berbagai jurnal terkait.
C. Subyek Penelitian
Pengambilan subyek dalam penelitian ini dipilih sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu semua pasien berumur 0-12 tahun yang
didiagnosis positif menderita penyakit demam tifoid, baik dengan penyakit
penyerta dan atau komplikasi atau tidak, di rawat inap, menerima terapi
antibiotika dan dinyatakan sembuh oleh dokter RSUD Panembahan Senopati
Bantul periode Januari-Desember 2013. Kriteria eksklusi yaitu rekam medik
pasien yang tidak lengkap dan diagnosis akhir pasien bukan demam tifoid.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah rekam medik dari pasien anak
yang didiagnosis positif menderita penyakit demam tifoid, baik dengan penyakit
penyerta dan atau komplikasi atau tidak, di rawat inap, menerima terapi
antibiotika, dan dinyatakan sembuh oleh dokter RSUD Panembahan Senopati
(55)
E. Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Jl. Dr.
Wahidin Sudiro Husada Bantul, Yogyakarta. Waktu penelitian dilakukan pada
tanggal 15-31 Juli 2014.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Formulir untuk mengambil data
Penelitian ini menggunakan formulir yang memuat data rekam medis pasien.
Data-data rekam medis yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya
berisi nomor rekam medik, nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal
masuk/dirawat, gejala klinis, diagnosa penyakit, data laboratorium,
pengobatan yang diterima di rumah sakit tersebut seperti antibiotika dan
obat-obat lain, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara
pemberian, dan lama pasien dirawat di rumah sakit.
2. Diagram Gyssens
Diagram Gyssens adalah suatu diagram alir yang memuat ketepatan
penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, efektifitas, toksisitas, harga,
spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian
(56)
3. Kategori Gyssens
Skala nominal 0-VI yang digunakan untuk mengkategorikan rasionalitas
penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens.
4. Literatur sebagai referensi evaluasi
Literatur yang digunakan adalah WHO (2011), Purwadianto (2014),
Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009), Tjay dan Rahardja
(2010), dan berbagai jurnal terkait.
G. Tata Cara Penelitian
1. Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan
Pada tahap ini dimulai dengan studi pustaka mengenai kerasionalan
penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid, lalu menentukan
permasalahan, cara menganalisis masalah, dan penyusunan proposal. Kemudian
menentukan Rumah Sakit yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu Rumah
Sakit Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Setelah itu mengurus surat
perizinan untuk mendapatkan izin penelitian, yaitu :
a. Meminta surat pengantar penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma
b. Mengajukan surat pengantar penelitian dari Fakultas beserta proposal ke
BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta
c. Mengajukan surat ijin penelitian dari BAPPEDA Daerah Istimewa
(1)
Reduksi Negatif Negatif mmol/L
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Urin Negatif Negatif
BJ 1.020 1.015-1.025
Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul
pH 7,0 4,8-7,4
Protein Negatif Negatif g/L
Urobilinogen 66 3,2-16 umol/L
Nitrit Negatif Negatif
Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul
Sedimen Urin
Eritrosit 0-1 0-1 /LPK
Lekosit 0-1 1-6 /LPK
Sel Epitel Positif Positif /LPK
Kristal
Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK
Asam Urat Negatif Negatif /LPK
Amorf Negatif Negatif /LPK
Silinder
Eritrosit Negatif Negatif /LPK
Leukosit Negatif Negatif /LPK
Granular Negatif Negatif /LPK
Bakteri Negatif Negatif /LPK
Lain-lain - Negatif /LPK
Terapi Antibiotika
Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian
Infus D5% 5 tpm 18, 19, 20, 21, 22, 23
Injeksi Ampisillin 3x500 mg 18, 19, 20, 21, 22, 23 Injeksi Sefotaksim 3x500 mg 18, 19, 20, 21, 22, 23 II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen
1. Kasus Ampisilin
Kategori Gyssen Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap).
Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella
typhi.
Kategori IVA Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ).
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik.
Kategori IVB Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy
et al, 2009).
Kategori IVC Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah).
Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013).
Kategori IVD Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et
al, 2014).
Kategori IIIA Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011).
(2)
Kategori IIIB Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Kategori IIA Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis).
Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak.
Kategori IIB Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan.
Kesimpulan Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
2. Sefotaksim
Kategori Gyssen Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap).
Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella
typhi.
Kategori IVA Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif).
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik.
Kategori IVB Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy
et al, 2009).
Kategori IVC Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah).
Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013).
Kategori IVD Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014).
Kategori IIIA Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011).
Kategori IIIB Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). (Permenkes, 2011).
Kategori IIA Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis).
Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Kategori IIB Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian).
Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009).
Kategori IIC Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian).
(3)
intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat.
Kategori I Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian).
Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001).
Kategori 0 Lolos kategori 0
Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens.
Kesimpulan Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 42. Rekam Medis 40 I. Kasus 40
No. RM : 365598 Dirawat tanggal : 20-24 Agustus 2013 Informasi Pasien
RW (L), umur 7 tahun, BB 21,5 kg, dengan keluhan muntah sudah 5 kali sejak kemarin, disertai nyeri perut. Suhu tubuh 37°C. Diagnosa akhir: vomited dengan Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik.
Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Tanggal Pemeriksaan (Agustus)
Nilai Normal Satuan 20
Hematologi
Hemoglobin 13,7 L:13-17; P:12-16 gr%
Lekosit 10,51 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul
Eritrosit 4,91 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul
Trombosit 380 150-450 ribu/ul
Hematokrit 39,4 L:42-52; P:36-46 %
Hitung Jenis Lekosit
Eosinofil 2 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 3 2-5 %
Segmen 46 51-67 %
Limfosit 44 20-35 %
Monosit 5 4-8 %
WIDAL
Typhus-O Positif 1/160 Negatif
Typhus-H Positif 1/320 Negatif
P. Typhus-A Negatif Negatif
P. Typhus-O Positif 1/160 Negatif
Urinalisasi
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Reduksi Negatif Negatif mmol/L
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Urin Negatif Negatif
BJ 1.010 1.015-1.025
Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul
pH 7,0 4,8-7,4
Protein Negatif Negatif g/L
Urobilinogen 3,2 3,2-16 umol/L
Nitrit Negatif Negatif
Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul
Sedimen Urin
Eritrosit 0-1 0-1
Lekosit 0-1 1-6
Sel Epitel Positif Positif
Kristal
Ca Oksalat Negatif Negatif
Asam Urat Negatif Negatif
Amorf Negatif Negatif
Silinder
(4)
Leukosit Negatif Negatif /LPK
Granular Negatif Negatif /LPK
Bakteri Negatif Negatif /LPK
Lain-lain - Negatif /LPK
Terapi Antibiotika
Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian
Infus KaEN 3B 8 tpm 20, 21, 22, 23, 24
Injeksi Ampicillin 3x500 mg 20
Injeksi Sefotaksim 3x750 mg 21, 22, 23, 24
Domperidon Syrup 3x1 cth 20
Parasetamol Syrup 3x1 ½ cth 20, 21, 22, 23, 24
Phenitoin 80 mg 2x1 24
Heptasan 2x1 ½ tablet 24
Asam Folat 2x1 ½ tablet 24
Lacto B 2x1 24
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 40
1. Ampisilin
Kategori Gyssen Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap).
Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella
typhi.
Kategori IVA Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ).
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik.
Kategori IVB Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy
et al, 2009).
Kategori IVC Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment:untuk obat sejenis tidak ada yang lebih murah
Kategori IVD Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014).
Kategori IIIA Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2-3 hari (Permenkes, 2011).
Kategori IIIB Tidak lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika terlalu singkat karena tidak sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2-3 hari (Permenkes, 2011).
Kesimpulan Penggunaan antibiotika terlalu singkat (kategori IIIB)
2. Sefotaksim
Kategori Gyssen Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap).
Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella
typhi.
(5)
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik.
Kategori IVB Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy
et al, 2009).
Kategori IVC Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah).
Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013).
Kategori IVD Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014).
Kategori IIIA Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011).
Kategori IIIB Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat).
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Kategori IIA Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis).
Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 mg/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih.
(6)