Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono III tahun 1812- 1814

101 Agustus 1812 memperparah masalah-masalah sosial di keraton-keraton dan secara lebih luas lagi dalam masyarakat Jawa. Carey, 2012:446

3.2.1 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono III tahun 1812- 1814

Sultan Hamengku Buwono III diangkat oleh Raffles menjadi raja Yogyakarta pada juni 1812. Setelah itu, putra Sultan Hamengku Buwono III, Bendoro Raden Mas Sudomo diangkat menjadi Putra Mahkota. Ibunda Sultan Hamengku Buwono III, Ratu Kedaton diangkat menjadi Ratu Ageng. Ratu Ageng diberi tugas khusus sebagai pengasuh Putra Mahkota. Istri Sultan Hamengku Buwono III, diangkat menjadi Ratu Kencono. Carey, 2012:413 Banyak pengangkatan baru menyangkut mereka yang memberikan dukungan paling besar kepada Sultan Hamengku Buwono III semasa perebutan kekuasaan dengan ayahnya, Sultan Sepuh. Yang terkemuka diantara mereka adalah anggota keluarga Danurejan. Ikatan baru yang penting antara keluarga dekat Sultan Hamengku Buwono III dan Danurejan juga dijalin melalui pernikahan dua putri Danurejan dengan putra-putra raja baru. Pernikahan ini membawa genapnya pemulihan martabat keluarga Danurejan setelah tidak menentu di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II.Carey, 2012:432 Meskipun kerawanan besar yang menyertai awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, kekuasaan singkatnya selama dua puluh sembilan bulan itu merupakan salah satu kurun kemakmuran yang berlangsung damai dan 102 berhasil bagi Yogyakarta. Dalam hal pemerintahan kerajaan, perbaikan penting telah berhasil diwujudkan dibandingkan pemerintahan pendahulunya yang boros dan menyusahkan. Pembangunan banyak pondok berburu dan wisma di pedesaan yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II dihentikan dan diadakan penghematan ketat atas belanja keraton guna mengisi harta kekayaan. Pada saat wafatnya Sultan Hamengku Buwono III, November 1814, Keraton Yogyakarta telah memiliki kas keuangan sekitar 60.000 Dolar Spanyol. Carey, 2012:455 Pada paruh kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, terjadi beberapa perubahan politik penting. Pada 17 Maret 1813, melalui perjanjian yang diprakarsai oleh Raffles, persoalan tanah Pakualam akhirnya berhasil diselesaikan. Penyelesaian ini mengakui bahwa Pangeran yang berkedudukan merdeka itu dan keluarganya berada di bawah perlindungan langsung pemerintah kolonial dan pemerintah tersebut akan membayar Paku Alam berupa tunjangan bulanan sebesar 750 Dolar Spanyol.Carey, 2012:460 Perubahan penting lain dalam pemerintahan adalah pengangkatan patih baru. Sumodipuro diangkat sebagai Raden Adipati Danurejo IV pada 2 Desember 1813. Latar belakang pengangkatannya adalah keperluan yang semakin mendesak untuk mengganti penjabat patih, Mas Tumenggung Sindunegoro Danurejo III yang sudah pikun dan sering membuat kesalahan dalam membicarakan urusan dengan residen. Carey, 2012:462 Pada awalnya Patih Danurejo IV adalah pejabat yang cakap dan disukai. Namun seiring dengan pengaruh politiknya yang kuat sebagai patih yang 103 menghubungkan keraton Yogyakarta dengan pemerintahan kolonial, Danurejo IV berubah menjadi seorang pemeras dan pajabat yang korup. Ia memonopoli sumber pendapatan kerajaan. Ia juga menuntut uang dari penguasaan tanah jabatan baru yang ia tandatangai selain bergiat di bidang jual-beli tanah Yogyakarta. Semua wewenang dan kekuasaannya, menjadikan Patih Danurejo IV seseorang yang sangat kaya. Perilakunya menimbulkan bencana yaitu pemerintahan Yogyakarta mulai tersendat-sendat. Perselisihan di kalangan pejabat tinggi menjadi semakin parah. Babad Diponegoro menggambarkan Danurejo IV sebagai “setan berpakaian manusia yang merampok orang sembari duduk”.Carey, 2012:464 Empat hari setelah pelantikan Sumodipuro sebagai patih, Kapitan Cina, Tan Jin Sing diangkat menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat dengan tanah jabatan senilai 800 cacah. Surat pengangkatan dari Sultan ditandatangani oleh residen Yogyakarta, Crawfurd pada 6 Desember 1813 dan secara khusus menyatakan Tan Jin Sing telah diberi gelar dan tanah jabatan sebagai imbalan atas jasa-jasanya kepada pemerintah Inggris dan Sultan Hamengku Buwono III pada tahun 1812. Carey, 2012:466 Namun pengangkatan tersebut dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono III hanya karena tekanan. Perasaan anti Tionghoa di kalangan rakyat sudah memanas di Yogyakarta setelah bantuan orang-orang Cina melalui Tan Jin Sing terhadap ekspedisi Raffles Juni 1812 untuk mengepung keraton Yogyakarta. Jadi, pengangkatan Tan Jin Sing sebagai seorang bupati miji Yogyakarta pejabat yang 104 langsung di bawah perintah Sultan tidak terjadi pada saat yang baik dalam hubungan Tionghoa dengan Jawa. Carey, 2012:466 Dengan demikian situasi politik di Yogyakarta menjadi semakin rawan terhadap intrik-intrik politik. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, kekuatan politik yang dimiliki seorang patih dipegang oleh Danurejo IV. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Danurejo IV adalah pejabat yang tidak punya moral, koruptor, dan dikenal sebagai kaki tangan kolonial. Selain itu, muncul kekuatan politik baru di Yogyakarta yang secara langsung berada dalam perlindungan pemerintahan Inggris yaitu Pakualaman yang dipimpin oleh musuh Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono III, yaitu Notokusumo. Selain itu, kekuatan Cina secara politis juga telah disahkan oleh Raffles setelah pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Raden Tumenggung. Dalam situasi politik seperti di atas, Tanggal 3 November 1814, Sultan Hamengku Buwono III wafat. Cerita babad menyiratkan bahwa wafatnya Sultan Hamengku Buwono III dengan tiba-tiba menimbulkan kecemasan luar biasa di keraton. Ratu Ageng, Ibunda Sultan Hamengku Buwono III, khawatir jika putra mahkota belum siap menjadi raja Yogyakarta. Sementara itu, Diponegoro menyatakan bahwa tidak seorang pun di Yogyakarta yang memperkirakan Sultan wafat secepat itu. Carey, 2012:475 105 3.2.2 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816. Putra Mahkota, Djarot adik Pangeran Diponegoro tetapi berbeda ibu diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku Buwono IV pada bulan September tahun 1814. Pada saat itu, Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia tiga belas tahun. Sukanto,1958:100 Wafatnya Sultan Hamengku Buwono III secara mendadak merupakan pertanda buruk bagi Yogyakarta, karena terjadi tepat ketika harapan sedang tumbuh bahwa nasib baik kesultanan mungkin akan terpulihkan setelah malapetaka pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Kenyataan bahwa Yogyakarta sekarang harus diperintah oleh seorang yang masih kanak- kanak membuka lebar kemungkinan persekongkolan dan korupsi di keraton. Carey, 2012:47 Garnham selaku residen Yogyakarta pada masa ini, membentuk dewan perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, dan dua bupati keraton Raden Tumenggung Ronodiningrat dan Raden Tumenggung Mertonegoro, diangkat menjadi wali Sultan Hamengku Buwono IV.Carey, 2012:476 Pilihan Garnham terhadap orang-orang yang diangkat menjadi dewan perwalian tidak berkenan pada Raffles. Raffles kemudian mengirimkan perintah agar Paku Alam I yang ditunjuk sebagai wali Sultan satu-satunya. Hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan keraton Yogyakarta. Situasi politik yang 106 demikian menempatkan Paku alam I sebagai pejabat yang mengontrol kesultanan Carey, 2012:477. Fakta bahwa Sultan Hamengku Buwono IV adalah raja yang masih berumur tiga belas tahun membuat posisi dewan perwalian yang diduduki Paku Alam I menjadi sangat penting Peristiwa-peristiwa sejak meninggalnya Sultan Hamengku Buwono III secara mendadak hingga pengangkatan Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV, membuka segala kemungkinan adanya intrik-intrik politik di belakang semua kejadian tersebut. Seperti sudah dituliskan pada bagian sebelumnya, hubungan antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Paku Alam I atau Notokusumo tidak baik semenjak kemelut politik pada masa akhir pemerintahan Sultan Sepuh. Dugaan Sultan Hamengku Buwono III terhadap Notokusumo yang ingin merebut kekuasaannya pada akhirnya benar-benar terjadi setelah Sultan Hamengku Buwono III meninggal. Kedudukan politik yang kuat Paku alam I di lingkungan keraton Yogyakarta mendorong Paku Alam I memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan pribadi seperti membeli sejumlah bidang tanah sebagai milik sendiri dan bergaya hidup mewah di kediamannya. Pada saat yang sama, banyak tindakan yang lebih kecil mengobarkan kejengkelan dan menggarisbawahi ambisi politiknya yang berlebihan. Paku Alam I menuntut dirujuk sebagai Pangeran Adipati, gelar yang sebelumnya ditolak oleh Inggris. Ia juga meminta agar ditentukan urutan pengganti, kalau-kalau Sultan Hamengku Buwono IV tiba-tiba 107 wafat, dengan harapan agar pemerintahan kolonial memastikan dirinya sebagai pewaris takhta kerajaan Yogyakarta. Carey, 2012:478 Pernyataan residen Crawfurd tentang Sultan Hamengku Buwono IV menunjukkan bahwa Raja Yogyakarta tersebut sejalan dengan kepentingan politik Inggris. Ia tidak menunjukkan ambisi yang memungkinkan bentrokan dengan kepentingan orang Eropa. Carey, 2012:480 Namun, Kepulauan Nusantara kembali mengalami peralihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda. Pada Mei 1815, keputusan akhir telah diambil oleh Pemerintahan Inggris untuk meninggalkan Jawa sesuai dengan syarat-syarat Perjanjian Wina 9 Juni 1815 dan Konvensi London 13 Agsutus 1814, yang telah menyetujui kembalinya semua bekas koloni Belanda yang dikuasai Inggris sejak 1803. Keputusan ini merupakan bagian kebijakan Inggris yang lebih luas untuk menegakkan kembali kekuatan Belanda guna mengimbangi kemungkinan ancaman dari pihak Prancis yang bangkit lagi sesudah perang revolusioner dan perang Napoleon.Carey, 2012:502

3.3 Situasi Politik pada Masa Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825