Intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro : menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado (pendekatan historis).

(1)

i

DALAM NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO (PENDEKATAN HISTORIS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Nama : Bitbit Pakarisa NIM : 07 4114 007

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Hidup Adalah Bermain (Kak Seto)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yang Maha Tak Tertebak Ayah dan kedua ibuku,

Gilang, Mega, Khery Serta semua orang yang kukasihi


(5)

v

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan saya untuk meyelesaikan skripsi ini.

2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih atas segala bimbingannya kepada saya untuk menyelesesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia. 4. Ayah dan kedua ibu saya, yang telah memberikan doa, semangat, dan

dukungan materiil kepada penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

5. Ketiga adikku, Gilang, Mega, dan Khery atas semangat yang diberikan kepada penulis selama pengerjaan skripsi.


(6)

(7)

(8)

(9)

ix

Pakarisa, Bitbit. 2012. “Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado: Pendekatan Historis.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, dan menganalisis serta mendeskripsikan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Penelitian ini diawali dengan analisis struktur teks sastra yang difokuskan pada analisis alur, deskripsi teks sejarah, yaitu situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, analisis teks sastra, yaitu intrik politik dalam novel Pagengeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, kemudian menarik relevansi antara fakta sejarah dengan hasil analisis teks sastra.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi. Metode analisis digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Metode perbandingan digunakan untuk menarik relevansi antara teks sastra dengan teks sejarah. Metode klasifikasi digunakan untuk mengklasifikasikan bantuk-bentuk intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Metode deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan teks sejarah dan hasil penelitian data.

Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah perbedaan kepentingan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda beserta pribumi kaki tangannya. (2) Teks sejarah mengenai situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 menggambarkan kerawanan politik yang berimbas terhadap kekacauan di tataran elit keraton Yogyakarta. Hal ini diakibatkan karena campur tangan kolonial Belanda dan Inggris dalam kebijakannya terhadap kerajaan Yogyakarta. (3) Intrik politik tergambarkan dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Intrik politik yang terdapat dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah meliputi(a) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya mengacaukan hubungan antara Inggris dengan keraton Yogyakarta, (b) intrik politik Sultan Hamengku Buwono III dalam usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (c) intrik politik orang-orang Belanda dalam


(10)

x

Danurejo IV dalam usahanya menduduki jabatan perwalian Atas Sultan Hamengku Buwono IV, (e) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (f) intrik politik Belanda dalam usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono IV, (g) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Terdapat relevansi antara teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 pada bab III dengan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Situasi politik pada teks sejarah yang relevan dengan intrik politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah buktinya.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado menggambarkan intrik politik yang terjadi pada masa-masa sebelum pecahnya perang Jawa. Intrik Politik dilakukan oleh Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, dan Belanda sebagai salah satu pemicu penting terjadinya perang Jawa dalam novel tersebut.


(11)

xi

Pakarisa, Bitbit. 2012. “The Political Intrigues inPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, A Novel by Remy Sylado: A Historical Approach”. An Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Department of Indonesian Literature, Literature Faculty, Sanata Dharma University.

This study focuses on the political intrigue in a novel by Remy Sylado entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. There are four purposes in this study. They are (1) to analyze and describe a structural analysis focused on plot analysis, (2) to elaborate a political situation in Yogyakarta in 1811-1825, and (3) to analyze and to explain the political intrigue in a novel entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

In the research, the researcher conducted historical approach. The researcher started the study by analyzing the structure of literature texts focused on plot analysis. Then, the researcher analyzed the description of history texts which was politics situation in Yogyakarta in 1811-1825. The next step was analyzing the literature text which was political intrigue in the novel. The last step the researcher did was finding out the relevancy between history facts and the result of analyzing the literature text.

Method used in this study was analysis, descriptive, comparison, and classification method. Analysis method was employed to analyze the content of literature text. Comparison method was used to gain the relevance between literature text and historical text. Classification method was used to classify the forms of political intrigues in novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Descriptive method was used to describe historical text and the research findings

There were essential results of the study. They were the plot used in the novel was the compound plot. The events occurred did not flow chronologically or progressively. It was caused by an event engaged with flash back. The main conflict in the novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah was the different interest between Prince Diponegoro, the Netherlands, and his native assistants. The next result was the history texts which were related to politics situation in Yogyakarta in 1811-1825 outlined the politics susceptibility which gave effect to the disorder in royal Yogyakarta. This was due to the intervention of the Netherlands and England in the policy of the Yogyakarta Empire. The researcher also found another result that was political intrigue described in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. The intrigues in the novel were (1) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to break the relationship between England and the Yogyakarta Empire, (2) Sultan Hamengku Buwono III‘s political intrigue in his effort to eliminate Paku Alam I, (3) the Netherlands’ political intrigue to eliminate Sultan Hamengku Buwono III, (4) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to occupy the vice of Sultan Hamengku Buwono IV, (5) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to eliminate


(12)

xii

Buwono IV, and (7) Danurejo IV’s political intrigue to eliminate Prince Diponegoro. There was the relevancy between the history texts related to politics situation in Yogyakarta in 1811-1825 that the researcher employed in chapter III and political intrigue in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah in chapter IV. The proof of this was the politics situation in the history texts engaged with political intrigue in the novel.

The conclusion of the research was the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah by Remy Sylado described the political intrigues occurred in pre Javanese war. The intrigues done by Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, and the Netherlands could be admitted as the causes of Java war in the novel.


(13)

xiii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… ... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... viii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Tinjauan Pustaka……….. 13

1.6 Landasan Teori... 13

1.6.1 Teori Alur... 13


(14)

xiv

1.7.1 Politik……… .. 16

1.7.2 Intrik……… 18

1.7.3 Intrik Politik………. 18

1.8 Pendekatan………. .. 18

1.9 Metode Penelitian………... 19

1.9.1 Metode Pengumpulan Data……… 20

1.9.2 Metode Analisis Data………... 21

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data... 23

1.10 Sumber Data………. 23

1.10.1 Sumber Data Primer... . 23

1.10.2 Sumber Data Sekunder... 24

1.11 Sistematika Penyajian………... 24

BAB II ANALISIS ALUR NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH... 25

2.1 Tahap Penyituasian……….. 25

2.2 Tahap Pemunculan Konflik………. 32

2.3 Tahap Peningkatan Konflik………. 71

2.4 Tahap Klimaks……… 84

2.5 Tahap Penyelesaian……….. 87


(15)

xv

INGGRIS DAN BELANDA TAHUN 1811-1825... 91 3.1 Situasi Politik di Yogyakarta Sebelum Tahun 1811. ... 92

3.1.1 Permulaan Berdirinya Kerajaan Mataram

Yogyakarta……… 92

3.1.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono II Tahun 1792-1810.. 93 3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa

Pemerintahan Inggris Tahun 1811-1816... 99 3.2.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono III Tahun 1812-1814. 101 3.2.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816 ... 105 3.3 Situasi Politik pada Masa Pemerintahan Belanda

Tahun 1816-1825 ... 107 3.3.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825... 107 3.3.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono V Tahun 1822-1826 . 110


(16)

xvi

MENUJU SOSOK KHALIFAH... 117 4.1 Intrik Politik pada Masa

Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III ... 118 4.1.1 Usaha Danurejo IV Mengacaukan Hubungan Antara

Inggris dengan Keraton Yogyakarta……… 118 4.1.2 Intrik Politik Sultan Hamengku Buwono III

dalam Usaha Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya... 121 4.1.3 Intrik Politik Orang-Orang Belanda dalam Peristiwa

Kematian Sultan Hamengku Buwono III ... 123 4.2 Intrik Politik pada Masa Pemerintahan

Sultan Hamengku Buwono IV……… ... 127 4.2.1 Intrik Politik Danurejo IV dalam Usaha

Menduduki Jabatan Perwalian atas

Sultan Hamengku Buwono IV ... 127 4.2.2 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya ... 131 4.2.3 Intrik Politik Belanda dalam Peristiwa Kematian

Sultan Hamengku Buwono IV... 134 4.3 Intrik Politik pada Masa Perwalian


(17)

xvii

Pangeran Diponegoro sebagai Lawan Politiknya .. 138

4.4 Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah... 146

BAB V PENUTUP……….. 155

5.1 Kesimpulan……… . 155

5.2 Saran……… 157


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo (1979: 65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra juga merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan (Sardjono, 1992: 10).

Objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 2006: 171).


(19)

Dalam konteks sastra, sejarah juga dapat menjadi inspirasi utama pengarang dalam menciptakan karya sastra.Dick Hartoko menjelaskan jika roman historis, roman sejarah, mengambil bahan dan tokoh-tokohnya dari masa silam, biasanya dengan maksud untuk menampilkan suasana pada zaman tertentu. Bahan diterima dari penelitian sejarah tetapi diolah, diatur dan ditafsirkan menurut daya imajinasi sendiri (1986: 60).

NovelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado adalah salah satu karya sastra yang bersumber dari sejarah. Sejarah Pangeran Diponegoro menjadi dasar penciptaan novel sejarah ini. Oleh karena itu, novel ini bisa dikategorikan sebagai novel sejarah.

NovelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado merupakan kelanjutan dari karya sekuel pertamanya yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Pada sekuel yang pertama diceritakan tentang kehidupan masa kecil Pangeran Diponegoro hingga saat sebelum dia menikah. Pada sekuel yang pertama ini juga untuk pertama kali Ontowiryo (nama kecil dari Pangeran Diponegoro) memilih nama Diponegoro sebagai nama pangerannya dan direstui oleh ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono III. Sejak kecil Ontowiryo dibesarkan oleh eyang buyutnya, Ratu Ageng, di luar lingkungan keraton, yaitu di Tegalrejo. Ontowiryo dididik untuk gemar membaca sekaligus dilatih untuk mahir melempar lembing, menganggar keris, dan berpacu dengan kuda. Pada usia sepuluh tahun Otowiryo dituntut untuk memahami Qur’an dan menguasai bacaan-bacaan kebudayaan Jawa seperti primbon, suluk, serta kitab-kitab kawruh. Ratu


(20)

Ageng berpendapat bahwa kepandaian dan kemampuan seperti itu harus dikuasai oleh calon pemimpin seperti Ontowiryo. Suami Ratu Ageng yang merupakan Sultan Hamengku Buwono I sudah memiliki firasat tentang kepemimpinan Ontowiryo di masa yang akan datang dalam memerangi Belanda sejak ia masih balita.

Pada sekuel yang pertama ini menggambarkan perjalanan spiritual Ontowiryo. Ontowiryo lebih suka pergi ke bukit-bukit, ke hutan, ke goa-goa untuk bersemedi daripada mengikuti perkembangan situasi keraton. Pada fase itulah tercetus pertama kali dalam pikiran Ontowiryo bahwa pada usia empat puluh tahun dia harus menyelamatkan Jawa dari penjajahan. Sekuel yang pertama ini diakhiri dengan cerita Pangeran Diponegoro yang mulai memikirkan calon istrinya.

Sekuel novel yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah menggambarkan konflik-konflik yang dialami oleh Diponegoro. Dalam novel ini dideskripsikan kolonialisme Belanda dan Inggris yang dibantu oleh kaki tangan orang-orang pribumi menjadi faktor utama terjadinya perang Jawa. Intrik politik menjadi alat utama untuk menjalankan dan memperebutkan kekuasaan baik pihak Belanda, pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton Yogyakarta sendiri.

Tokoh utama novel ini adalah Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro adalah anak tertua dari Sultan Raja, Hamengku Buwono III dengan salah satu selirnya yaitu Raden Ayu Mangkarawati. Diponegoro adalah santri


(21)

yang taat pada nilai-nilai keislaman sekaligus mencintai budaya Jawa sebagai identitasnya. Baginya Islam adalah cita-cita luhur keraton sejak Mataram Islam berdiri.

Dikisahkan bahwa Diponegoro jatuh cinta kepada Ratnaningsih. Karena Diponegoro adalah anak dari Sultan Raja, maka pernikahan Diponegoro dengan Ratnaningsih harus dilakukan dengan adat keraton. Namun sebagai seorang pemeluk agama Islam yang taat dan sejak kecil hidup di luar keraton, Diponegoro menolak prosesi pernikahan dengan cara keraton. Baginya Keraton sudah tidak lagi mencerminkan cita-cita rakyatnya. Pendudukan kolonial Belanda dan Inggris menjadikan keraton hanya sebagai boneka untuk kepentingan Kolonial. Keraton Yogyakarta pun semakin jauh dari nilai-nilai Islam yang diyakininya. Selain itu, dengan menikah seperti cara rakyat biasa, Diponegoro ingin membuktikan kepada rakyat Yogyakarta kalau dia adalah bagian dari mereka.

Ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkarawati sadar dirinya hanya seorang selir dari Sultan Raja padahal ia memiliki darah biru dari kerajaan di Madura. Apabila pernikahan tetap dilangsungkan dengan cara rakyat biasa, Mangkarawati khawatir garis keturunan darah birunya akan terputus. Berbagai usaha dilakukan oleh Mangkarawati untuk membujuk Diponegoro menikah sesuai dengan adat keraton. Mangkarawati meminta bantuan orang-orang terdekat Diponegoro yaitu Kyai Mojo, Ratu Ageng, dan Ratnaningsih sendiri untuk membujuk Diponegoro mengikuti keinginannya. Tetapi Diponegoro tidak bisa dibujuk dan tetap pada pendiriannya.


(22)

Pada akhirnya prosesi pernikahan dilakukan dengan cara adat keraton walaupun tetap dilangsungkan di luar kompleks keraton, yaitu di Tegalrejo. Diponegoro tidak bisa mengelak pernyataan salah satu ahli budaya dari Bantul yaitu Ki Projosubroto. Ki Projosubroto menjelaskan bahwa adat rakyat biasa sebenarnya tidak berbeda dengan adat keraton. Selama ini rakyatlah yang justru semakin jauh dari adatnya. Lebih lanjut, keraton berfungsi untuk menjadi benteng adat budaya dengan memelihara prosesi budaya Jawa.

Intrik politik mulai terlihat ketika muncul tokoh yang bernama Danurejo IV. Danurejo IV adalah patih adipati yang diangkat oleh Raffles pada masa pendudukan Inggris di Nusantara. Walaupun Danurejo IV diangkat oleh Inggris, namun perangainya yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan pribadi membuat ia bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang membayarnya.

Seorang barid diutus oleh keraton ke Vredeburg untuk memberikan undangan kepada Marlborough. Kebetulan saat itu Danurejo IV diutus oleh Van Rijnst, orang Belanda yang menjadi pegawai Inggris, untuk mencarikan tukang kerik guna mengobati sakit masuk anginnya Marlborough. Danurejo IV melihat barid tersebut. Berpura-pura membantu memberikan undangan tersebut kepada Marlborough, Danurejo IV justru dengan sengaja tidak langsung memberikan kartu undangan tersebut kepada Marlborough. Ia berencana untuk menunda memberikan kartu undangan hingga hari pernikahan Diponegoro. Ia sadar orang Inggris yang dikenal disiplin tidak akan datang apabila undangan diberikan secara


(23)

mendadak. Dengan begitu, Marlborough akan menganggap keraton meremehkannya.

Intrik-intrik politik mulai meningkat ketika Muntinghe, orang Belanda yang merupakan tuan tanah, memiliki rencana jangka panjang untuk membuka tanah di sebelah Tegalrejo. Rencana tersebut selalu dihalang-halangi oleh Sultan Raja. Lalu Muntinghe berpikir untuk membunuh Sultan Raja yang terlihat pada kutipan berikut:

“Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari tukang obat Cina. Pasti orang Cina punya obatnya. Lalu kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu untuk sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Sepuh Hamengku Buwono IV, sampai akhirnya Sultan Sepuh bebas dari pembuangan. Kenapa saya ingin Sultan Sepuh bebas? Dulu dengan pihak kita, dia mengecewakan. Tapi, sekarang, setelah Sultan Raja naik di bawah kendali Inggris, Sultan Raja lebih tidak baik terhadap kita ketimbang Sultan Sepuh. Lain dari itu, secara pribadi Sultan Sepuh menjanjikan kepada saya, bisa mengalihkan tanah di sebelah Tegalrejo itu untuk saya beli. Selama orang Belanda lain tidak pernah melihat itu.” (Remy, 2008: 121)

Dari kutipan di atas, Belanda yang berkepentingan untuk menguasai tanah di Yogyakarta melakukan intrik politik dengan cara membunuh Sultan Raja. Selama ini, Sultan Raja selalu menghalangi keinginan Muntinghe untuk investasi tanah di Tegalrejo. Selain itu, tanah di Tegalrejo tersebut dikuasai oleh Ratu Ageng dan Diponegoro adalah pewaris selanjutnya. Dengan kata lain, rencana Muntinghe ini secara langsung akan menimbulkan konflik dengan Pangeran Diponegoro.

Sultan Raja diangkat Inggris sebagai Sultan Hamengku Buwono III. Sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan tahtanya oleh Inggris karena dianggap sebagai kaki tangan Belanda.


(24)

Peristiwa sebelumnya adalah pernikahan Diponegoro yang tidak mengundang Crawfurd. Crawfurd adalah residen Inggris pada saat itu. Hubungan yang tidak harmonis antara Sultan Raja dengan Crawfurd semakin terlihat. Pada peristiwa tersebut, justru yang diundang adalah Marlborough walaupun secara birokrasi berada di bawah Crawfurd. Dengan kata lain, apabila Sultan Raja mati saat itu, maka pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang menghendaki kematian itu.

Dalam melaksanakan berbagai intrik politiknya, Belanda selalu menggunakan orang-orang pribumi yang bisa dibayar dengan uang. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Bukankah dalam peta tata pemerintahan di Nusantara, yang kita baca dari catatan-catatan VOC sejak dua ratus tahun lalu, perpanjangan tangan kita adalah manusia-manusia kelas tikus dan kucing seperti Danurejo IV?” Muntinghe tertawa. Dia terpuaskan. “Anda Betul,“ katanya (Remy, 2008: 146).

Dalam kutipan di atas, Engelhard berusaha meyakinkan Muntinghe untuk menggunakan Danurejo IV dalam menjalankan rencananya membunuh Sultan Raja. Pada akhirnya Danurejo IV berhasil menjalankan rencana tersebut dengan mempengaruhi Secodiningrat, tokoh pemimpin Cina di Yogyakarta untuk membuatkankan obat racun. Upah yang besar dari Belanda tidak bisa ditolak baik oleh Danurejo IV maupun Secodiningrat.

Pengganti Sultan Raja sebagai Hamengku Buwono IV adalah Djarot. Djarot adalah adik dari Diponegoro. Djarot yang masih berumur sebelas tahun masih belum matang untuk menjadi seorang raja. Praktis, keraton hanya dimanfaatkan Belanda dan Danurejo IV untuk kepentingan bisnis mereka.


(25)

Kepemimpinan Djarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV hanya berlangsung sebentar. Djarot dibunuh oleh Danurejo IV atas perintah dari Belanda. Danurejo IV kembali menggunakan jasa Secodiningrat untuk membuatkan racun. Djarot meninggal setelah diracun dalam perjalanan berliburnya di pantai selatan Yogyakarta.

Diponegoro mencurigai bahwa adiknya, Djarot tidak meninggal karena sakit. Dia menduga kalau Djarot meninggal karena dibunuh oleh Danurejo IV. Namun demikian, Diponegoro tidak langsung bertindak atas dasar kecurigaannya tersebut. Ia masih percaya dengan panggilan rohaninya yaitu akan berperang menyelamatkan Jawa ketika usianya menginjak 40 tahun.

Kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV segera digantikan oleh Sultan Menol. Sultan Menol masih berusia 4 tahun. Kali ini Diponegoro mau mendampingi Sultan Menol sebagai penasihatnya. Di lain pihak, Danurejo IV juga duduk sebagai penasihat. Hal ini menimbulkan konfrontasi langsung antara Diponegoro dengan Danurejo IV.

Di lain pihak, kekalahan Inggris dari Napoleon memaksa Inggris untuk mengembalikan wilayah jajahannya kepada Belanda. Perbedaan sistem antara kolonial Belanda dengan Inggris membuat situasi Jawa pada waktu itu tidak menentu. Inggris memaksakan sistem liberal di wilayah jajahannya untuk menjalankan politik kolonialnya. Sedangkan Belanda menjajajah dengan sistem pemungutan uang dan hasil rempah-rempah secara langsung.


(26)

Kesabaran Diponegoro makin diuji dengan adanya peraturan pemungutan pajak tanah paksa dari pemimpin Belanda di Batavia, Van Der Capellen. Diponegoro dilapori beberapa muridnya yang melihat langsung beberapa anak buah Wironegoro dan Danurejo IV memungut pajak secara paksa kepada rakyat Yogyakarta. Mendapat laporan seperti itu, Diponegoro mencoba untuk melihatnya sendiri. Diponegoro segera bertindak dengan memukuli para tukang pemungut pajak.

Melihat anak buahnya dipukuli oleh Diponegoro, Danurejo IV dan Wironegoro segera melapor kepada residen Belanda. Beberapa kali Residen Smissaert mengajak Diponegoro untuk berunding di kantornya yaitu villa Bedoyo. Danurejo IV berusaha mempengaruhi Smissaert untuk segera menindak tegas Diponegoro. Keberadaan Diponegoro membuat Danurejo IV tidak bisa leluasa untuk memperoleh keuntungan dari pemungutan pajak.

Rencana Muntinghe sebelumnya untuk proyek pemotongan jalan di Tegalrejo akhirnya direalisasikan. Beberapa suruhan Belanda diutus untuk mematok tanah yang memotong tanah milik Diponegoro. Melihat kejadian tersebut, Diponegoro langsung meminta anak buahnya untuk melepas kembali patokan-patokan tanah tersebut. Kejadian tersebut terus berulang sampai Smissaert tidak bisa menerima tindakan Diponegoro lagi. Akhirnya Smissaert memutuskan untuk menyerang Puri Tegalrejo dan babakan perang Jawa dimulai sejak saat itu


(27)

Penulis hanya akan menganilis karya Remy Sylado pada sekuel novel yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dikarenakan dalam rangka memahami intrik politik yang terjadi sebelum perang Jawa terjadi, pada sekuel yang kedua inilah intrik-intrik politik yang dilakukan oleh pihak Belanda, orang-orang pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton Yogyakarta sendiri meningkat. Hal ini terjadi karena kepentingan pihak-pihak tersebut yang ingin memperebutkan dan memanfaatkan kekuasaan yang ada. Situasi inilah yang mengharuskan Diponegoro untuk mengambil sikap, yaitu pernyataan perang terhadap kolonial. Dengan kata lain, Diponegoro mulai terlibat secara langsung dalam situasi politik di Jawa, khususnya daerah Yogyakarta waktu itu.

Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk menganalisis novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado. Penulis akan memaparkan intrik politik dalam novel ini yang menyebabkan terjadinya perang Jawa.

Dalam menganalisis intrik politik novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah , penulis akan menggunakan pendekatan historis. Menurut Ratna (2004: 65), pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pendekatan historis dengan demikian mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Lebih lanjut, Ratna (2004: 66) menjelaskan bahwa pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan


(28)

kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat kedekatan antara novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado dengan beberapa teks sejarah antara lain Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya Sagimun MD, dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperiumkarya Sartono Kartodirjo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado?

1.2.2 Bagaimana situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa pendudukan kolonial Belanda dan Inggris tahun 1811-1825? 1.2.3 Bagaimana intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran


(29)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado.

1.3.2 Mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825.

1.3.3 Menjelaskan intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Dalam dunia sastra Indonesia, Penelitian ini dapat menambah wawasan tentang penelitian sastra bercorak historis.

1.4.2 Penelitian ini dapat membantu praktisi sastra dalam memahami novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

1.4.3 Penelitian ini dapat menjadi referensi studi sejarah tentang Pangeran Diponegoro, khususnya intrik-intrik politik yang terjadi sebelum peristiwa perang Jawa.


(30)

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado belum pernah diteliti sama sekali.

1.6 Landasan Teori

Penulis menggunakan beberapa teori untuk kerangka berpikir. Teori-teori tersebut adalah teori alur, teori historis sastra, konsep politik, intrik, dan intrik politik.

1.6.1. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin, 1991 : 83).

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4) tahapclimaxatau tahap klimaks, dan (5) tahap denouementatau tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita,


(31)

pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap bertikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

1.6.2 Teori Sastra Historis

Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai beberapa peranan di antaranya sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan. Objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan


(32)

pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 2006:171).

Sesuai dengan perkembangan metode dan teori di satu pihak, usaha untuk menghindarkan sekat pemisah antar disiplin di pihak lain, masalah-masalah sosiologi dan sejarah dalam sastra justru menemukan tempat yang subur. Setidaknya ada tiga masalah yang perlu dikemukakan dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan historis, yaitu (1) relevansi fakta-fakta sejarah, dalam hal ini berkaitan dengan isi. (2) Homologi unsur-unsur, dalam hal ini berkaitan dengan struktur. (3) Relevansi proses kreatif dalam hal ini berkaitan dengan perkembangangenresastra (Ratna, 2005: 354).

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkhususkan pada relevansi fakta-fakta sejarah Diponegoro dengan novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Ratna (2005:356) menjelaskan bahwa keterlibatan fakta sejarah dapat diidentifikasikan secara jelas, seberapa jauh sebuah karya mencerminkan sejarah. Hubungan ini dapat dipahami melalui tokoh, kejadian, dan latar. Nama tokoh, nama tempat, dan tahun-tahun kejadian merupakan unsur-unsur yang sangat mudah untuk dikaitkan dengan sejarah umum, sisa peninggalan sejarah, dan sumber-sumber tertulis lain. Oleh karena itu, sastra sejarah bagi


(33)

masyarakat lama, novel sejarah bagi masyarakat modern dianggap sebagai memiliki fungsi-fungsi ganda, fungsi estetis sekaligus dokumen sosial

Keberadaan fakta-fakta sejarah dalam sastra tidak harus memberikan makna yang sama dengan sejarah. Tujuan karya sastra dengan sejarah jelas berbeda. Sesuai dengan hakikatnya, tujuan karya seni adalah kualitas estetis, artinya, apapun yang terkandung di dalamnya difungsikan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila fakta sejarah memberikan makna sebagai kebenaran yang dapat dipercaya, sebaliknya karya sastra justru memberikan pertimbangan lain, bahkan sebaliknya (Ratna, 2005:356)

1.7 Batasan Istilah 1.7.1 Politik

Penulis menggunakan konsep politik dalam rangka memahami intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanyaπολίτης(polites- warga negara) danπόλις(polis- negara kota). Secara etimologi kata ‘politik’ masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata ‘politis’ berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata ‘politisi’ berarti orang-orang yang menekuni hal politik


(34)

(http://id.wikipedia.org/wiki/Politik#Etimologi). Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian politik sebagai kebijakan.

Ramlan Surbakti (1992: 1-2), menjelaskan sejak awal hingga perkembangan yang terakhir ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep politik yang ketiga yaitu politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rakyat. Hal ini dikarenakan konsep politik ini digunakan sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam hal ini direpresentasikan oleh penguasa dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Jadi, konsep politik yang ketiga ini yang paling relevan dalam memahami intrik politik novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.


(35)

1.7.2 Intrik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intrik adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008: 544). Penulis menggunakan istilah intrik untuk mengidentifikasi segala bentuk penyebaran kabar bohong yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahuntuk menjatuhkan lawan politiknya masing-masing.

1.7.3 Intrik Politik

Politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rakyat (Surbakti, 1992: 2). Intrik adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008: 4). Dalam penelitian ini, penulis menggabungkan istilah intrik dan politik sebagai batasan istilah intrik politik yaitu usaha penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rakyat.

1.8. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis. Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini berdasarkan sejarahnya dan dibedakan dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Hal ini dikarenakan penelitian sastra dengan menggunakan pedekatan historis tidak bisa lepas dari fakta-fakta sejarah.


(36)

Diawali dengan melakukan analisis struktural terhadap novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Langkah selanjutnya adalah melihat teks sejarah yang berkaitan dengan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825. Setelah itu. penulis memfokuskan pada peristiwa-peristiwa yang menghadirkan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Langkah terakhir adalah menarik relevansi antara intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah dengan situasi politik di Yogyakarta tahun 1811-1825 dalam beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey,Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padamkarya Sagimun MD,dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo.

1.9 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14).


(37)

Metode penelitian meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data seperti berikut.

1.9.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka adalah studi yang mengambil objek penelitiannya dari kepustakaan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, sebuah drama, sekumpulan puisi atau cerpen, babad, geguritan, tradisi lisan, dan sebagainya dianggap valid sebagai objek, baik untuk menyusun makalah, skripsi, tesis, dan disertasi ( Ratna, 2004:17). Metode tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu isi novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut.

Dalam metode ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak adalah teknik penyediaan data dengan menyimak penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menyediakan data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Sudaryanto, 1993: 133-135). Dalam penelitian ini, objek bahasa yang dimaksud oleh Sudaryanto dapat diisi oleh objek penelitian apa pun, termasuk karya sastra. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra dan teks sejarah yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam


(38)

memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak.

1.9.2 Metode Analisis Data

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi data. Metode analisis digunakan untuk menganalisis unsur alur dan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra (Ratna, 2004:48)

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan situasi politik yang terjadi di Yogyakarta tahun 1811-1825. Metode deskriptif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena


(39)

alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72).

Metode perbandingan digunakan oleh peneliti untuk mengkomparasi novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado dengan beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padamkarya Sagimun MD,dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo. Metode perbandingan di sini terbatas pada pengertian metode perbandingan dalam hubungan intertekstual antara dua karya sastra yang saling menunjukkan persamaan. Prinsip metode perbandingan ini ialah persamaan antara karya sastra satu dengan karya sastra yang lain. Persamaan ini dapat berupa struktur, unsur pembentuk strukturnya, gaya bahasa, dan sebagainya.(Pradopo, 2002: 22)

Setelah menganalisis isi alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, penulis mengklasifikasikan hasil analisis data. Metode klasifikasi adalah metode yang menggunakan pengelompokan data untuk memperjelas hasil analisis data. Klasifikasi mendasarkan pengelompokannya pada data-data yang memiliki cirri penting (keraf, 1982:35). Penulis mengklasifikasikan intrik politik yang terjadi dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.


(40)

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif untuk menyajikan hasil analisis data. Metode deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Metode deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.

1.10 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.10.1 Sumber Data Primer

Judul Buku : Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Pengarang : Remy Sylado

Tahun Terbit : 2008

Penerbit : Tiga Serangkai Halaman : 435 halaman


(41)

1.10.2 Sumber Data Sekunder

Judul Buku : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 jilid II

Pengarang : Peter Carey Tahun Terbit : 2012

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan KITLV

Halaman : 507 Halaman

1.11 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini, dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis struktur alur dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Bab tiga merupakan deskripsi mengenai situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris tahun 1811-1825. Bab empat merupakan analisis tentang intrik politik yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Bab lima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


(42)

BAB II

ANALISIS ALUR

NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan historis, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis struktur hanya pada analisis alur yang ada dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karena alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan intrik politik yang terjadi dalam novel ini.

Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu yang membentuk alur novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Tahapan alur yang digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro, 2007: 149). Analisis alur novel ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 TahapSituation/Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Tahap penyituasian dalam novel ini berisi pengenalan


(43)

tokoh-tokoh cerita. Tahap ini juga menjadi pembuka cerita, pemberian informasi awal cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian dalam novel ini adalah sebagai berikut.

Dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, subjudul dimulai dengan nomor tiga puluh satu. Subjudul nomor satu hingga tiga puluh diceritakan pada novel sequel yang pertama yaitu Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil.

Pada subjudul nomor tiga puluh, alur dimulai dengan pengenalan tokoh bernama Bendara Raden Ayu Ratnaningsih. Ratnaningsih digambarkan sebagai wanita cantik berkulit langsat, bertubuh singset, dan berpenampilan luwes (Hlm.1-2).

Pengenalan tokoh Raden Ayu Ratnaningsih beranjak ke pembuka cerita yaitu peristiwa pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Kedatangan Pangeran Diponegoro ke keraton dalam rangka silaturahmi pada hari Lebaran. Dalam peristiwa pertemuan tersebut dipaparkan juga tokoh bernama Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah paman Pangeran Diponegoro yang berperan sebagai tokoh yang mempertemukan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. (Hlm. 11)

Pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro membuat mereka saling jatuh cinta. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(1) “Namamu Ratnaningsih?” tanya Pangeran Diponegoro agak tersendat.“Ya, “ jawab Ratnaningsih agak kagok.“Oh,” kata Pangeran Diponegoro tertular kagok. Sekonyong terasa ada sesuatu yang terjadi di


(44)

lubuk hatinya, suatu kembaran pengalaman batin yang misterius, yang belum pernah dirasakannya sampai sepanjang usianya yang sekarang. (Hlm. 12)

Pembuka cerita berlanjut dengan pemunculan tokoh Ratu Ageng. Ratu Ageng adalah istri Sultan Hamengku Buwono I. Ia juga merupakan nenek buyut Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng adalah orang yang mengasuh Pangeran Diponegoro sejak kecil di Puri Tegalrejo.

Ratu Ageng melihat pertemuan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng melihat bahwa Pangeran Diponegoro jatuh cinta terhadap Raden Ayu Ratnaningsih. Ratu Ageng segera meminta keduanya untuk menentukan tanggal pernikahan. (Hlm. 13)

Tahap penyituasian mulai mengarah pada sikap tokoh Pangeran Diponegoro. Terjadi konflik kecil dalam penentuan pernikahan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak suka melangsungkan pernikahannya menurut istiadat keraton. Di lain pihak, ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah menurut istiadat keraton. (Hlm. 16)

Latar bergerak menuju ke Puri Tegalrejo, kediaman Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Dengan sikapnya yang melawan adat keraton, Pangeran Diponegoro berkata kepada Nenek Buyutnya, Ratu Ageng.

(2) “Maaf, Nek, “kata Pangeran Diponegoro lagi. “Siapa berani menyalahkan pilihan Nenek meninggalkan kraton dan hidup di luar kraton, di Tegalrejo ini? Nenek sendiri sudah melakukan perlawanan terhadap leluri keraton. Dan aku bangga pada Nenek.” Biarlah aku memilih jalanku menjadi seorang rakyat biasa di antara rakyat-rakyat jelata. Darah biruku toh tidak menjamin aku masuk surga. Tapi, kalau berada di tengah rakyat, dan berjuang bagi mereka, aku yakin Tuhan akan mencatatku, sebab seperti pepatah asing yang boleh diserap kebenarannya, adalah, suara rakyat merupakan suara Tuhan.” (Hlm. 17)


(45)

Sebagai tokoh protagonis dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, Pangeran Diponegoro lebih memilih untuk terikat pada adat bangsanya yaitu bangsa Jawa dan rakyatnya. Pangeran Diponegoro tidak setuju jika harus terikat pada adat keturunan darah birunya yaitu sebagai anak tertua dari selir Hamengku Buwono III. (Hlm. 17)

Latar bergerak ke rumah Raden Ayu Ratnaningsih. Ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi berkunjung ke rumah Ratnaningsih. Kedatangan ibu dan paman dari Pangeran Diponegoro tersebut bertujuan untuk membujuk Ratnaningsih supaya Pangeran Diponegoro mau menikah menurut adat keraton. Pangeran Bei berpendapat bahwa keponakannya yang sama-sama mereka percayakan harapannya untuk menjadi pemimpin rakyat tidak ada artinya jika tidak menunjukkan asalnya dari darah seorang pemimpin. Ratnaningsih menuruti perintah Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi untuk mencoba membujuk Pangeran Diponegoro agar mau menikah dengan adat keraton.(Hlm. 18-19)

Ratnaningsih mencoba membujuk Pangeran Diponegoro untuk menikah menurut adat keraton. Namun, Pangeran Diponegoro tetap pada pendiriannya. Pangeran Diponegoro merasa telah memberikan alasan kepada nenek buyutnya yang notabene adalah orang yang mengasuhnya sejak kecil dan paling mengerti dirinya. Ratnaningsih tidak kecewa karena sikapnya yang menurut terhadap Pangeran Diponegoro.(Hlm. 21)


(46)

Pada Subbab nomor tiga puluh satu, penyituasian bergerak pada sikap Raden Ajeng Mangkarawati. Raden Ajeng Mangkarawati mencari segala cara untuk membujuk anaknya supaya menikah dengan adat keraton. Mangkarawati tidak mungkin menyampaikan kegundahan tersebut pada suaminya, Sultan Hamengku Buwono III. Raden Ajeng Mangkarawati masih ingat bahwa suaminya yang baru saja naik tahta menjadi sultan karena rekayasa Raffless bahkan pernah ditolak Pangeran Diponegoro ketika ditawari jabatan di keraton. Satu-satunya harapannya adalah Atibroto Darmokusolo di desa Mojo, Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Mojo. Tokoh ini cukup dihormati oleh Pangeran Diponegoro. Mangkarawati berharap dengan bantuan Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro mau mengubah pendiriannya.(Hlm. 23-24)

Kiai Mojo diundang Raden Ajeng Mangkarawati ke Tegalrejo untuk membahas pernikahan Pangeran Diponegoro. Sebelumnya, Kiai Mojo sudah diminta bantuan oleh Raden Ajeng Mangkarawati untuk membujuk Pangeran Diponegoro supaya mau mengubah pendiriannya. Dalam rapat di Tegalrejo tersebut, Kiai Mojo gagal membujuk Pangeran Diponegoro untuk melangsungkan pernikahan sesuai adat keraton. Peristiwa tersebut membuat Kiai Mojo berpikir apa yang terjadi sehingga Pangeran Diponegoro bersikeras dengan sikapnya. Ketika rapat tersebut selesai dan ia pulang ke desa Mojo, Kiai Mojo berbicara sendiri di atas kudanya,

(3) Sementara di dalam pikiran Kiai Mojo, terus timbul pertanyaan, mengapa Pangeran Diponegoro demikian berkeras. Apakah kekecewaan Pangeran Diponegoro menjadi kebencian?Dia tahu, Pangeran Diponegoro telah berkali-kali mengatakan keadaan keraton sedang berubah menjadi sarang penyamun. Hampir saban pekan orang-orang di keraton bermabuk-mabuk minuman keras. Mereka telah menjadi


(47)

pribadi-pribadi Jawa yang pecah: meniru ha-hal lahir bangsa Barat yang kafir, dan mengira itu pantas, padahal keadaan rohani mereka tidak laras. ”pasti itu masalahnya”, Kata Kiai Mojo Bercakap sendiri di atas kudanya. Dia pun ingat bahwa gara-gara keadaan susila dan akhlak orang-orang di kraton sudah demikian kedodoran-dalam mana sultan sendiri tidak sanggup menjadi contoh yang baik- menyebabkan Ratu Ageng dulu menyingkir dari kraton dan membangun puri di Tegalrejo. (Hlm. 34)

Pada subbab tiga puluh dua, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan Kiai Mojo untuk berkunjung ke Surakarta. Pangeran Diponegoro sampai ke Surakarta pada siang hari. Sambil makan durian, Pangeran Diponegoro berdiskusi dengan Kiai Mojo dan para santrinya di pendopo Kiai Mojo. Mereka mendiskusikan tentang politik penjajahan Inggris yang tengah berkuasa di

Batavia, kebaikan dan keburukan raja-raja Jawa: Paku Buwono IV di Surakarta dan Hamengku Buwono III di Yogyakarta, roda bisnis orang-orang Cina, dan rakyat jelata yang makin susah tak bisa makan dan berpenyakit cacar. (Hlm. 43)

Baru pada malam harinya, Kiai Mojo menyampaikan maksudnya mengundang Pangeran Diponegoro ke Surakarta. Kiai Mojo menceritakan bahwa ibunda Pangeran Diponegoro pernah menangis di pendoponya karena pendirian Pangeran Diponegoro yang hanya mau menikah dengan adat rakyat biasa. Pangeran Diponegoro merasa sudah berkata pada nenek buyutnya bahwa ia harus membuktikan kalau ia bagian dari rakyat. Kiai Mojo memberikan saran kepada Pangeran Diponegoro untuk mengatakan apa yang pernah ia katakan kepada nenek buyutnya itu. (Hlm. 45-46)

Perdebatan mengenai tata cara pernikahan Pangeran Diponegoro berakhir pada subbab nomor tiga puluh tiga dengan munculnya seorang tokoh bernama Ki Pujosubroto. Ki Pujosubroto adalah ahli budaya yang sangat mahir dari Bantul.


(48)

Pada awalnya ia diundang ke Tegalrejo untuk menjelaskan tata cara pernikahan sesuai adat rakyat biasa karena reputasinya sebagai ahli budaya. Namun Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa adat perkawinan Jawa yang benar harus terikat pada tata cara yang diterapkan keraton. Lebih lanjut, Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa keratonlah yang menjadi benteng budaya Jawa termasuk tata cara pernikahan sejak Mataram Buddha sampai Mataram Islam. Dia juga menjelaskan bahwa justru rakyat Jawa yang mengindahkan adat istiadat tersebut. Pangeran Diponegoro tidak bisa membantah penjelasan Ki Pujosubroto. Setelah itu, Ki Pujosubroto menjelaskan tata cara pernikahan adat Jawa secara rinci dari kitab yang ia bawa di depan Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng, Raden Ajeng Mangkarawati, dan paman-pamannya yaitu Pangeran Bei dan Pangeran Mangkubumi. (Hlm. 49-52)

Setelah semuanya sepakat, maka persiapan lain segera diputuskan. Salah satunya adalah pemilihan tempat yang diputuskan oleh Ratu Ageng. Ratu Ageng memilih Puri Tegalrejo sebagai tempat pernikahan Pangeran Diponegoro. Bagi Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro besar di Tegalrejo, maka pesta pernikahannya juga harus dilangsungkan di Tegalrejo. (Hlm. 59)

Pada tahap penyituasian ini, terlihat sikap Pangeran Diponegoro sebagai tokoh protagonis. Sikapnya menggambarkan sebagai calon pemimpin rakyat kecil yang menolak segala bentuk penjajahan. Bahkan ia juga berani menentang tradisi keraton yang dianggapnya sebagai kaki tangan penjajah.


(49)

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado merupakan sekuel kedua dari novel sebelumnya yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Oleh sebab itu tahap penyituasian dalam novel ini tidak memuat gambaran pelukisan, pengenalan situasi latar, dan pengenalan tokoh secara terinci.

2.2 TahapGenerating Circumtances/Tahap Pemunculan Konflik

Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan. Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang berikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Pemunculan konflik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah mulai terlihat pada saat Pangeran Diponegoro mencoba melawan adat keraton dalam upacara pernikahan yang mulai direncanakannya. Masalah mengenai penentuan prosesi perkawinan Pangeran Diponegoro menggambarkan sikapnya yang membenci akhlak yang tidak baik akibat pengaruh dari penjajahan kolonial Inggris dan Belanda sebelumnya. (Hlm. 16)

Setelah masalah-masalah mengenai penentuan prosesi perkawinan Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih berakhir pada subbab tiga puluh tiga, muncul peristiwa lainnya yang memunculkan konflik-konflik baru. Pada subbab nomor tiga puluh empat, muncul tokoh baru yang bernama Danurejo IV. Danurejo IV adalah tokoh antagonis yang berperan sebagai patih setelah


(50)

diangkat oleh Gubernur Jenderal Inggris, Raffles. Danurejo IV digambarkan sebagai sosok yang tidak karuan, perangainya angkuh, dan congkak. (Hlm. 61)

Kemunculan Danurejo IV menyebabkan terciptanya konflik-konflik baru pada peristiwa-peristiwa berikutnya. Pemunculan konflik dimulai dengan intrik yang dilakukan Danurejo IV. Danurejo IV memanfaatkan pesta pernikahan Pangeran Diponegoro.

Danurejo IV mendapat undangan dari Tegalrejo dalam rangka pernikahan Pangeran Diponegoro. Pada awalnya, ia tidak begitu peduli dan hanya mengingat bahwa yang akan menikah itu adalah putra sulung Sultan Raja atau Sultan Hamengku Buwono III dari anaknya yang mencapai tiga puluh dua orang. Namun saat ia pergi ke Vredeburg, Danurejo IV bertemu dengan tokoh yang bernama Van Rijnst. Van Rijnst adalah tokoh orang Belanda yang sekarang bekerja untuk Inggris setelah Nusantara dikuasai oleh Inggris. Danurejo IV memberitahu kepada Van Rijnst tentang pernikahan salah satu anak Sultan Hamengku Buwono III, Pangeran Diponegoro. (Hlm. 61-62)

Danurejo IV menghasut Van Rijnst dengan memanfaatkan pernikahan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV memanfaatkan ketidaktahuan Van Rijnst tentang pernikahan tersebut untuk menghasut pihak Inggris. Danurejo IV mengatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono III keterlaluan karena pejabat tertinggi Inggris di Yogyakarta, yaitu tokoh yang bernama Residen Crawfurd belum tahu bahwa Sultan Hamengku Buwono III mau mantu. Ia juga menghasut Van Rijnst bahwa peran Inggris lewat Raffles yang sudah mengangkat Sultan


(51)

Hamengku Buwono III setelah menurunkan Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II, dilecehkan karena ketidaktahuan pihak Inggris tentang pernikahan anak Sultan Hamengku Buwono III tersebut. Selain itu, Danurejo IV juga menitikberatkan pembicaraan tentang pernikahan tersebut pada tempat perhelatannya yang dilaksanakan di luar keraton yaitu di Puri Tegalrejo. (Hlm. 62)

Dialog antara Van Rijnst dengan Danurejo IV di Vredeburg itu membuat Van Rijnst berpikir untuk memanfaatkan situasi tersebut. Van Rijnst ingin menghasut Crawfurd untuk memperoleh keuntungan pribadinya sebagai orang Belanda. Dalam pikirannya ia berbicara sendiri.

(4) “Ada hal ganjil di balik perhelatan putra Sultan Raja di Puri Tegalrejo dan bukan Keraton Yogyakarta.” Maunya, dengan membahas itu kepada Marlborough, tak usah Crawfurd, dia bisa pengaruhi kebijakan Inggris yang kepalang sudah menaikkan Sultan Raja di Takhtanya. Sementara dalam amatannya selama ini Sultan Sepuh sebagai Hamengku Buwono II yang sudah digeser oleh Raffles itu, lebih mudah dikendalikan oleh Belanda. (Hlm. 64)

Namun Crawfurd dalam pandangan Van Rijnst bukanlah orang yang mudah dihasut. Tokoh ini digambarkan sebagai residen yang berpenampilan serius khas orang Inggris. Usianya 29 tahun. Ia menjabat sebagai residen Yogyakarta pada periode 1811-1814 dan kemudian pada periode Januari 1816 sampai Agustus 1816. Keseriusannya tersebut membuatnya terkesan sebagai orang yang kaku. Selain itu, ia juga terkesan tak acuh kepada orang lain dan lebih sering duduk di meja kerjanya untuk menulis naskah History of the East Indian Archipelago. (Hlm. 71)

Van Rijnst kemudian mencoba untuk menghasut Marlborough. Marlborough adalah pejabat Inggris yang dinilai oleh Ratu Ageng sebagai


(52)

satu-satunya orang asing yang menunjukkan perhatiannya pada pribumi. Namun Marlborough saat itu sedang mengidap penyakit salesma. Timbul niat Van Rijnst untuk datang ke ruang kerja Marlborough menawarkan pengobatan tradisional Jawa yaitu mengerik-kerikkan uang sen ke kulit badan. Hal ini dilakukannya agar bisa mendekati Marlborough. Akhirnya Marlborough menyuruh Van Rijnst untuk meminta Danurejo IV mencarikan tukang kerik. (Hlm. 65)

Latar bergerak ke Tegalrejo. Di lain pihak, tiga hari sebelum perhelatan di Tegalrejo, Ratu Ageng memutuskan untuk mengundang pihak Inggris untuk datang ke acara pernikahan Pangeran Diponegoro. Orang yang diundang adalah Marlborough. (Hlm. 67)

Karena peristiwa sebelumnya yaitu Van Rijnst menyuruh Danurejo IV untuk mencarikan tukang kerik, maka timbul niat-niat licik Danurejo IV. Peristiwa tersebut adalah ketika Danurejo IV datang ke Vredeburg dengan membawa seorang tukang kerik. Kedatangan Danurejo IV kebetulan bersamaan dengan seorang utusan dai Puri Tegalrejo yang membawa undangan pernikahan Pangeran Diponegoro untuk Marlborough. Dengan Licik, Danurejo IV meminta undangan tersebut dan kemudian mengatakan kepada utusan Tegalrejo dan penjaga pos di depan Vredeburg bahwa ia akan menyerahkan undangannya kepada Marlborough. Namun, undangan tersebut sengaja ditunda diberikannya selama tiga hari. Ia berharap bahwa orang Inggris yang terkenal disiplin seperti Marlborough tidak akan datang karena undangan yang mendadak. Dengan demikian, Danurejo IV berharap bisa membuat keruh hubungan Inggris dan


(53)

Keraton Yogyakarta. Tujuan utama Danurejo IV sebenarnya terlihat dalam kutipan berikut

(5) Di luar itu, tujuannya yang utama adalah kepercayaan pihak Inggris akan semakin besar, dan jangkauan laba yang diraihnya dalam mengatur bisnis orang Cina akan semakin luas juga. Yang dia dambakan, jika Inggris menaruh rasa percaya kepadanya, dan namanya menjadi harum di mata penguasa tertinggi di Batavia yang beberapa waktu lalu menganugerahkannya sebagai patih, maka peta bisnis Cina yang bisa dipegangnya adalah seluruh bekas wilayah Mataram sebelum Perjanjian Giyanti: mulai dari Indramayu di barat sampai Blambangan di timur, termasuk Madura. (Hlm. 70)

Pada Subbab nomor tiga puluh lima, latar bergerak ke Puri Tegalrejo. Tiga hari sudah berlalu setelah Danurejo IV mengambil undangan pernikahan Pangeran Diponegoro milik Marlborough. Hari ini adalah hari pernikahan Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih. Keterangan Ki Pujosubroto tentang seluk beluk adat dilaksanakan dengan semestinya. (Hlm. 75)

Di sisi lain, pada subbab nomor tiga puluh enam, Danurejo IV melaksanakan intrik yang ia telah rencanakan sebelumnya. Sebelum berangkat ke pernikahan Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo, Danurejo IV singgah dulu ke Vredeburg. Seperti yang sudah ia rencanakan tiga hari sebelumnya, Danurejo IV baru memberikan undangan pernikahan Pangeran Diponegoro pada hari ini kepada Marlborough. Danurejo IV berhasil membuat Marlborough tidak datang ke pesta pernikahan Pangeran Diponegoro karena alasan undangan yang mendadak. (Hlm. 89-90)

Pada saat yang bersamaan ketika Danurejo IV keluar dari ruang Marlborough, Van Rijnst juga datang ke Vredeburg untuk menemui Marlborogh. Mereka berdua berpas-pasan. Van Rijnst melihat wajah Danurejo IV yang gembira. Kedatangan Van Rijnst dalam rangka undangan dari Marlborough yang


(54)

ingin berterimakasih terhadap Van Rijnst karena sarannya menggunakan pengobatan kerik berhasil. Dalam pertemuan tersebut, Van Rijnst menanyakan kepada Marlborough perihal kedatangan Danurejo IV sebelumnya yang terlihat gembira. Pertanyaan itu yang menyebabkan Danurejo IV ketahuan berbohong kalau undangan pernikahan Pangeran Diponegoro diberikan baru hari ini. Marlborough menjelaskan bahwa Danurejo IV datang ke kantornya untuk memberikan undangan pernikahan tersebut. Ternyata Van Rijnst mengetahui bahwa undangan tersebut telah diberikan kepada pos penjaga Vredeburg tiga hari sebelumnya. (Hlm. 93-94)

Latar kembali ke Tegalrejo. Danurejo IV yang baru saja singgah ke Vredeburg, telah sampai ke Tegalrejo untuk menghadiri acara pernikahan Pangeran Diponegoro. Di tengah-tengah pesta pernikahan, Danurejo IV juga menghasut Pangeran Mangkubumi. Danurejo IV mengaku bahwa sebelum ke acara ini, ia sempat singgah ke Vredeburg untuk menjemput Marlborough, tetapi yang bersangkutan tidak mau. (Hlm. 95)

Setelah peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro, latar bergerak kembali ke Vredeburg. Marlborough memanggil Danurejo IV yang kecewa dengan perbuatan Danurejo IV yang membohonginya. Dalam peristiwa tersebut, Danurejo IV berhasil lolos dari kemarahan Marlborough karena kemampuan berkelitnya yang hebat. Kendati demikian, peristiwa itu membuat Marlborough tidak lagi percaya terhadap Danurejo IV.(Hlm. 99)


(55)

Pada subbab nomor tiga puluh tujuh, alur bergerak ke Batavia. Setting waktunya adalah bulan Desember 1812. Marlborough datang ke Batavia untuk merayakan pesta pergantian tahun bersama Raffles dan pejabat Inggris lainnya di Batavia. Sebelum berangkat ke Batavia, Marlborough ternyata menyimpan rasa penasaran terhadap peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro yang dilangsungkan bukan di kompleks keraton. Marlborough menyimpulkan bahwa seakan-akan Sultan Hamengku Buwono III mengalah untuk meninggalkan keraton guna mendatangi pesta pernikahan tersebut demi Pangeran Diponegoro. (Hlm. 101-102)

Pesta pergantian tahun tersebut sempat dinodai oleh peristiwa tenggelamnya kapal Inggris Phoenix yang membuat kapten kapal tersebut, James Bowen Esq meninggal sepekan sebelum tahun baru. Kapal tersebut karam setelah kalah dalam pertempuran dengan Pangeran Anom di Sambas, utara Pontianak. Seluruh pejabat Inggris di Batavia mengenakan pakaian hitam untuk menghadiri peletakan nisan James Bowen Esq. Peristiwa tersebut membuat Raffles tertekan karena memerintahkan James Bowen Esq untuk menyerang Pangeran Anom di Sambas tanpa konsultasi dengan komando militer. (Hlm. 103)

Marlborough yang sedang berada di Batavia hadir di acara berkabung tersebut. Di sela-sela acara, Raffles mengundang Marlborough untuk berbincang-bincang mengenai keadaan di Yogyakarta pada malam harinya. Meskipun mendapat tekanan, Raffles masih tetap bersemangat untuk melanjutkan penulisan


(56)

bukunya History of Java walaupun dalam posisi yang tertekan seperti sekarang. (Hlm. 103)

Peristiwa selanjutnya adalah perbincangan antara Raffles dan Marlborough tentang Yogyakarta pada malam hari. Raffles meminta Marlborough untuk menceritakan hal-hal menarik yang terjadi di Yogyakarta, kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan Crawfurd. Raffles memang tidak begitu menyukai Crawfurd. Marlborough yang sebelum datang ke Batavia masih penasaran dengan peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro, menceritakan kejadian tersebut kepada Raffles. Marlborough menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut merupakan isyarat kekuatan kharisma Pangeran Diponegoro sampai-sampai membuat ayahnya yang raja itu datang ke tempat yang ia pilih untuk pestanya. Raffles tertarik dengan cerita Marlborough tersebut. Raffles meminta Marlborough untuk mencatat apa saja yang dianggap perlu untuk penyusunan bukunya. Dalam perbincangan tersebut, Raffles juga memberitahu kepada Marlborough tentang rencana-rencananya mengelola Nusantara.

(6) Hal istimewa yang menjadi perhatian saya, dan itu akan saya wujudkan dalam tindakan, adalah pada tahun depan ini saya akan mengeluarkan peraturan tentang pelarangan melakukan praktik jual-beli budak. (Hlm.106)

Selain itu, Raffles juga menyampaikan pandangannya tentang Belanda. Menurutnya, Belanda sudah melakukan kejahatan buruk yaitu perbudakan. Raffles digambarkan sebagai tokoh yang sangat membenci Belanda. (Hlm.106-107)

Pada siang harinya, Marlborough yang ternyata sangat dipercayai oleh Raffles diundang kembali ke kantor Raffles untuk melakukan pembicaraan yang


(57)

disebutnya rahasia. Bersama dengan Trowt, tokoh yang juga dipercayai olehnya, Raffles melakukan pembicaraan serius dengan Marlborough. Raffles berpesan kepada Marlborough untuk selalu berhati-hati terhadap orang Belanda yang ada di Vredeburg. Marlborough mengatakan hanya ada satu orang Belanda yang ada di Vredeburg, yaitu Van Rijnst yang ia sebut sebagai ilmuwan. (Hlm.108)

Penjelasan mengenai tokoh Van Rijnst terlihat dalam perbincangan tersebut. Raffles menyanggah pernyataan Marlborough bahwa Van Rijnst adalah seorang ilmuwan. Menurut catatan-catatan dari orang-orang Belanda yang ada di Batavia, Van Rijnst adalah seorang oportunis yang memiliki banyak kasus eksploitasi manusia. Lebih lanjut, dalam konteks politik, Raffles berpesan kepada Marlborough untuk berhati-hati terhadap semua orang Belanda. Raffles juga menunjukkan sebuah salinan surat awal abad ke tujuh belas tentang kejahatan Belanda terhadap orang-orang Inggris. Melalui perbincangan tersebut, timbul kebencian Marlborough terhadap Van Rijnst. (Hlm.111)

Peristiwa kepergian Marlborough ke Batavia di atas menjelaskan adanya ketidaksesuaian kepentingan Inggris dengan orang-orang Belanda. Pemunculan konflik ini terus berkembang ke ke peristiwa-peristiwa berikutnya. Rencana untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III adalah pemunculan konflik berikutnya.

Pada subbab tiga puluh delapan, Di Yogyakarta, Van Rijnst pergi ke rumah tokoh bekas residen Belanda pada zaman Daendels yang masih berada di Yogyakarta yaitu Engelhard. Terjadi percakapan di antara keduanya di serambi rumah Engelhard seperti pada kutipan berikut ini.


(58)

“Dengar? Dengar dari siapa?”(Hlm. 119)

Ternyata orang yang dimaksudkan Van Rijnst dalam dialog di atas ada di dalam rumah. Engelhard mempersilahkan tokoh bernama Muntinghe keluar dari dalam rumahnya. Dialog selanjutnya adalah seperti pada kutipan berikut.

(8) “Ya, saya tahu, karena saya bertemu langsung dengan Sultan Sepuh di tempat pembuangannya, bahwa dia bermaksud merebut kembali takhtanya yang sekarang diduduki oleh Sultan Raja,” Kata Muntinghe.

“Hambatannya, jangan lupa, Sultan Raja dinaikkan oleh Inggris, “kata Engelhard. “Ini memang rencana jangka panjang, “kata Muntinghe.

“Tujuannya apa?” tanya Van Rijnst.

“Rencana jangka panjang saya, saya ingin membuka tanah di sebelah Tegalrejo, “Kata Muntinghe. “Tanah itu bagus untuk investasi. Sementara Sultan Raja menghalang-halangi.” (Hlm. 119-120)

Muntinghe juga memiliki ide untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III untuk melancarkan roda bisnisnya. Ia juga memanfaatkan hubungan yang tidak harmonis antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Residen Crawfurd untuk melancarkan rencananya. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut

(9) “Makanya,” Kata Muntinghe, “Kalau Sultan Raja yang menghalang-halangi itu bisa mati sekarang, pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang menghendaki kematiannya itu.” (Hlm. 120)

(10) “Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari obat Cina. Pasti orang Cina punya obatnya. Lalu, kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu untuk sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Hamengku Buwono IV, sampai Sultan Sepuh bebas dari pembuangannya.(Hlm. 121)

Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang sempat bertemu dengan Muntinghe sebelumnya, menjanjikan kepadanya berupa pengalihkan tanah di Tegalrejo agar bisa dibeli. Sementara itu, soal penempatan putra mahkota, Van Rijnst berpendapat bisa memanfaatkan Danurejo IV. Danurejo IV mereka anggap sebagai sosok yang sempurna untuk dijadian anteknya. Muntinghe meminta Van Rijnst untuk mempertemukannya dengan Danurejo IV. (Hlm. 122)


(59)

Muntinghe adalah tuan tanah yang memiliki kekayaan yang sangat besar. Ia lahir di Amsterdam, dan lulus sekolah tinggi hukum di Groningen. Pada awalnya kedatangannya ke Batavia di masa pemerintahan Gubernur Jendral Albertus H. Weise, ia adalah sekretaris kedua pemerintahan pusat. Sekarang di masa pemerintahan Inggris, Muntinghe adalah anggota Right Honorable the Governor General in Council. Kekayaannya diperoleh dari bisnis spekulasi pertanahan, membeli Pamanukan, Indramayu, Kandanghaur dengan harga $30.000 lalu disewakan kepada orang Cina $10.000 per tahun. (Hlm. 114)

Sementara itu Engelhard adalah bekas residen Belanda yang dipecat oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808. Karena pemecatan tersebut, kekayaannya berupa tanah sekitar mancanegara Yogyakarta, daerah burung walet di Karangbolong, dan penghasilan F 100 per tahun disita dan jatuh ke tangan Daendels. Setelah Daendels ditarik pulang ke Belanda, Engelhard belum sempat mengambil kembali kekayaan-kekayaannya tersebut karena Nusantara sudah direbut oleh Inggris. (Hlm. 128)

Alur terus bergerak ke hari berikutnya. Danurejo IV yang sebelumnya diminta Van Rijnst untuk menemui Muntinghe di rumah Engelhard, mendatangi rumah Engelhard pada malam hari. Pertemuan tersebut tidak berjalan dengan baik bagi Danurejo IV dan Muntinghe. Hal ini dikarenakan prediksi Danurejo IV yang beranggapan pertemuan tersebut tidak jauh dari masalah bisnis sebelumnya ternyata salah. Muntinghe hanya bertanya-tanya seputar perasaan kedudukan Danurejo IV sebagai patih. Hal ini membuat Danurejo IV tidak begitu tertarik dan


(60)

menjadi terkesan sombong di mata Muntinghe. Peristiwa tersebut sempat membuat Muntinghe kecewa dan enggan memanfaatkan Danurejo IV. (Hlm. 123-124)

Pada subbab nomor tiga puluh sembilan, tahap pemunculan konflik berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dialami Pangeran Diponegoro, Danurejo IV, Residen Crawfurd, dan Engelhard secara bersamaan. Danurejo IV ternyata menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Muntinghe. Peristiwa berikutnya adalah Danurejo IV kembali mendatangi rumah Engelhard bertemu dengan Muntinghe untuk menyampaikan penyesalannya. Namun Muntinghe sudah pergi ke Surakarta. Engelhard mengatakan kepada Danurejo IV kalau lusa kemungkinan Muntinghe kembali lagi ke rumahnya. Danurejo IV memohon Engelhard untuk mempertemukannya lagi dengan Muntinghe. Danurejo IV berharap mendapat keuntungan dari pertemuan tersebut. Engelhard memberitahu bahwa sebenarnya Danurejo IV akan diberi tugas yang sangat rahasia oleh Muntinghe. Engelhard kemudian menyuruh Danurejo IV menemui Van Rijnst di Vredeburg untuk mencari tahu tugas rahasia tersebut. (Hlm. 126)

Latar berpindah ke Vredeburg. Danurejo IV menemui Van Rijnst untuk menanyakan tugas rahasia yang dipaparkan Engelhard pada peristiwa sebelumnya. Ternyata tugas rahasia tersebut adalah mencarikan obat yang bisa digunakan untuk racun. Ketika Danurejo IV menanyakan racun untuk siapa, Van Rijnst menjelaskan bahwa hal tersebut sangat rahasia. Taruhannya jika gagal adalah kepala Danurejo IV. Imbalannya adalah uang dalam jumlah yang besar. Van


(61)

Rijnst memberitahukan bahwa tugas tersebut bisa Danurejo IV laksanakan beberapa bulan lagi bertepatan dengan kepergiannya pulang ke Belanda. (Hlm. 127)

Di lain pihak, Marlborough yang pada akhir tahun 1812 berada di Batavia sudah kembali lagi ke Yogyakarta. Residen Crawfurd menanyakan perihal kepergiannya ke Batavia. Marlborouhg hanya memberitahukan bahwa di Batavia ia hanya diminta menceritakan situasi dan kejadian-kejadian yang menarik di Yogyakarta untuk bahan buku yang akan ditulis Raffles. Crawfurd sempat menanyakan perihal kabar bahwa dirinya akan segera ditarik oleh Raffles dari Yogyakarta. Namun Marlborough menjelaskan bahwa Raffles tidak menyinggung Crawfurd sama sekali. (Hlm. 132)

Alur berpindah ke kehidupan Pangeran Diponegoro. Setelah menikah, Saat ini Raden Ayu Ratnaningsih sudah hamil tujuh bulan. Sesuai adat Jawa, acara mitoni pun digelar. Ayah Pangeran Diponegoro yang hadir pada acara tersebut melakukan tradisi membanting kendi. Dalam kepercayaan Jawa, apabila kendi yang dibanting pecah, maka anak yang lahir adalah putri. Namun jika kendi yang dibanting tidak pecah, maka anak yang lahir adalah putra. Ternyata kendi tersebut tidak pecah. Segera setelah prosesi tersebut, Sultan Hamengku Buwono III mengajak Pangeran Diponegoro untuk berkuda ke Kaliurang besok harinya.(Hlm. 135-136)

Pada Subbab nomor empat puluh, dipaparkan alur selanjutnya yaitu peristiwa Pangeran Diponegoro berkuda dengan Ayahnya ke Kaliurang beserta


(62)

para pengawal keraton. Sesampainya di Kaliurang, Sultan Hamengku Buwono III memberitahukan maksudnya mengajak Pangeran Diponegoro berkuda ke Kaliuarang. Ia gembira karena kendi yang dibanting pada prosesi mitoni hari sebelumnya, tidak pecah. Artinya anak Pangeran Diponegoro adalah laki-laki dan bisa menjadi penerus tahkta kesultanan Yogyakarta di masa mendatang. Dengan kata lain, Sultan Hamengku Buwono III menginginkan Pangeran Diponegoro menjadi Pangeran Adipati Anom, calon Hamengku Buwono IV. Namun Pangeran Diponegoro menolak terlibat dalam tatanan pemerintahan keraton. Ia masih tetap pada pendiriannya untuk menjadi rakyat biasa di Puri Tegalrejo. (Hlm.138)

Dalam peristiwa tersebut, Sultan Hamengku Buwono III juga menyampaikan beberapa firasat buruknya kepada Pangeran Diponegoro. Sultan Hamengku merasa ada orang-orang yang yang membahayakan kedudukannya. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut

(11) “Aku punya firasat buruk, Belanda sedang main di belakangku, entah dengan Paku Alam I entah pula dengan Danurejo IV.”(Hlm.139)

Sultan Hamengku Buwono III juga memberitahukan kepada Pangeran Diponegoro bahwa dirinya tidak menyukai Crawfurd. Namun Crawfurd dianggap Sultan Hamengku Buwono III tidak bermain di belakangnya. Ketidaksukaannya hanyalah karena masalah ketidakcocokan dalam menangani tatanegara di Yogyakarta. (Hlm.139)

Karena Firasat buruknya, Sultan Hamengku Buwono III memberitahukan pada Pangeran Diponegoro bahwa ia pernah berencana ingin membunuh Paku Alam I. Dalam melakukan rencananya tersebut, Sultan Hamengku Buwono III


(1)

160

Sumardjo, Yacob.1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur Cahaya.

Surbakti, Ramlan. 1992.Memahami Ilmu Politik.Jakarta: Grasindo.

Sylado, Remy. 2008. Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Surakarta: Tiga Serangkai.

Sriwahyuningtyas dan Santoso, Wijaya Heru. 2011. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka.

Yudiono, K.S. 1986.Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

“Politik, Wikipedia Bahasa Indonesia”, Stable URL:


(2)

Bitbit Pakarisa lahir tanggal 22 Oktober 1987 di Surakarta. Mengawali pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 70 Surakarta pada tahun 1994-2000 dan dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Surakarta pada tahun 2000-2003. Penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Kristen 1 Surakarta pada tahun 2003-2006. Pendidikan terakhir yang ditempuh penulis pada tahun 2007 hingga sekarang di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(3)

ix

ABSTRAK

Pakarisa, Bitbit. 2012. “Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado: Pendekatan Historis.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, dan menganalisis serta mendeskripsikan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Penelitian ini diawali dengan analisis struktur teks sastra yang difokuskan pada analisis alur, deskripsi teks sejarah, yaitu situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, analisis teks sastra, yaitu intrik politik dalam novel Pagengeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, kemudian menarik relevansi antara fakta sejarah dengan hasil analisis teks sastra.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi. Metode analisis digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Metode perbandingan digunakan untuk menarik relevansi antara teks sastra dengan teks sejarah. Metode klasifikasi digunakan untuk mengklasifikasikan bantuk-bentuk intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Metode deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan teks sejarah dan hasil penelitian data.

Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah perbedaan kepentingan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda beserta pribumi kaki tangannya. (2) Teks sejarah mengenai situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 menggambarkan kerawanan politik yang berimbas terhadap kekacauan di tataran elit keraton Yogyakarta. Hal ini diakibatkan karena campur tangan kolonial Belanda dan Inggris dalam kebijakannya terhadap kerajaan Yogyakarta. (3) Intrik politik tergambarkan dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Intrik politik yang terdapat dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah meliputi(a) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya mengacaukan hubungan antara Inggris dengan keraton Yogyakarta, (b) intrik politik Sultan Hamengku Buwono III dalam usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (c) intrik politik orang-orang Belanda dalam


(4)

usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono III (d) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menduduki jabatan perwalian Atas Sultan Hamengku Buwono IV, (e) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (f) intrik politik Belanda dalam usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono IV, (g) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Terdapat relevansi antara teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 pada bab III dengan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Situasi politik pada teks sejarah yang relevan dengan intrik politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah buktinya.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado menggambarkan intrik politik yang terjadi pada masa-masa sebelum pecahnya perang Jawa. Intrik Politik dilakukan oleh Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, dan Belanda sebagai salah satu pemicu penting terjadinya perang Jawa dalam novel tersebut.


(5)

xi

ABSTRACT

Pakarisa, Bitbit. 2012. “The Political Intrigues inPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, A Novel by Remy Sylado: A Historical Approach”. An Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Department of Indonesian Literature, Literature Faculty, Sanata Dharma University.

This study focuses on the political intrigue in a novel by Remy Sylado entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. There are four purposes in this study. They are (1) to analyze and describe a structural analysis focused on plot analysis, (2) to elaborate a political situation in Yogyakarta in 1811-1825, and (3) to analyze and to explain the political intrigue in a novel entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

In the research, the researcher conducted historical approach. The researcher started the study by analyzing the structure of literature texts focused on plot analysis. Then, the researcher analyzed the description of history texts which was politics situation in Yogyakarta in 1811-1825. The next step was analyzing the literature text which was political intrigue in the novel. The last step the researcher did was finding out the relevancy between history facts and the result of analyzing the literature text.

Method used in this study was analysis, descriptive, comparison, and classification method. Analysis method was employed to analyze the content of literature text. Comparison method was used to gain the relevance between literature text and historical text. Classification method was used to classify the forms of political intrigues in novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Descriptive method was used to describe historical text and the research findings

There were essential results of the study. They were the plot used in the novel was the compound plot. The events occurred did not flow chronologically or progressively. It was caused by an event engaged with flash back. The main conflict in the novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah was the different interest between Prince Diponegoro, the Netherlands, and his native assistants. The next result was the history texts which were related to politics situation in Yogyakarta in 1811-1825 outlined the politics susceptibility which gave effect to the disorder in royal Yogyakarta. This was due to the intervention of the Netherlands and England in the policy of the Yogyakarta Empire. The researcher also found another result that was political intrigue described in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. The intrigues in the novel were (1) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to break the relationship between England and the Yogyakarta Empire, (2) Sultan Hamengku Buwono III‘s political intrigue in his effort to eliminate Paku Alam I, (3) the Netherlands’ political intrigue to eliminate Sultan Hamengku Buwono III, (4) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to occupy the vice of Sultan Hamengku Buwono IV, (5) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to eliminate


(6)

Paku Alam I, (6) the Netherlands’ political intrigue to eliminate Sultan Hamengku Buwono IV, and (7) Danurejo IV’s political intrigue to eliminate Prince Diponegoro.

There was the relevancy between the history texts related to politics situation in Yogyakarta in 1811-1825 that the researcher employed in chapter III and political intrigue in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah in chapter IV. The proof of this was the politics situation in the history texts engaged with political intrigue in the novel.

The conclusion of the research was the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah by Remy Sylado described the political intrigues occurred in pre Javanese war. The intrigues done by Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, and the Netherlands could be admitted as the causes of Java war in the novel.