110
Demikianlah berakhirnya pemerintahan adik Diponegoro. Masa ini menutup suatu bab yang menyedihkan dalam sejarah Yogyakarta. Di lingkungan
keraton, tunas persaingan antara Diponegoro dengan Danurejo IV dengan cepat berkobar
menjadi permusuhan
terbuka. Perpecahan
menyeluruh hanya
memerlukan waktu beberapa bulan lagi.Carey, 2012:591
3.3.2 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono V Tahun 1822- 1826
Setelah meninggalnya Sultan Djarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV, anaknya, Pangeran Menol yang masih berusia tiga tahun diangkat menjadi Sultan
Hamengku Buwono V. Pada hari Kamis, 19 Desember 1822, Putra Mahkota diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono V. Ratu Ageng Nenek Sultan
Hamengku Buwono V, Ratu Kencono Ibu Sultan Hamengku Buwono V istri resmi mendiang Sultan Hamengku Buwono IV, Pangeran Mangkubumi, dan
Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali Sultan. Pengangkatan Ratu Ageng dan Ratu Kencono berkaitan dengan pengasuhan dan perawatan Sultan Hamengku
Buwono V. Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi bertanggung jawab atas pengelolaan kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Danurejo IV bertugas
memberi laporan keuangan wilayah kesultanan kepada para wali setiap tiga bulan dan membayarkan uang perwalian langsung kepada mereka. Carey, 2012:598
Pada masa ini kekisruhan politik di keraton Yogyakarta mencapai puncaknya. Hal ini karena kedudukan Pangeran Diponegoro dan Pangeran
111
Mangkubumi sebagai wali yang berlawanan dengan kepentingan Danurejo IV. Untuk pertama kalinya, Pangeran Diponegoro menduduki sebuah jabatan penting
dalam susunan pemerintah keraton Yogyakarta. Kondisi ini tidak disukai oleh Danurejo IV karena keberadaan Pangeran Diponegoro menjadi penghalang
baginya dalam memonopoli pemerintahan. Hal ini segera tercermin dalam penjelasan berikutnya yaitu mengenai permasalahan penyewaan tanah.
Pada masa Sultan Hamengku Buwono V, permasalah utama yang dihadapi keraton adalah menyangkut peraturan baru yang ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal Van Der Capellen. Peraturan baru tersebut adalah penghapusan sistem penyewaan tanah oleh swasta. Kartodirjo 1999:338 menjelaskan, Van Der
Capellen menentang sistem ini oleh karena bersama dengan penyewaan desa atau tanah, tenaga rakyat dapat digunakan oleh penyewa. Akibatnya ialah bahwa
dengan demikian eksploitasi rakyat oleh penyewa dapat meraja-lela tidak kurang daripada lingkungan tradisional atau Feodal. Sehubungan dengan itu sejak tahun
1817 secara berturut-turut dikeluarkan larangan bagi Cina untuk berusaha di Priangan, dan bagi Eropa di tanah kerajaan.
Pada kenyataannya penyewaan tanah kepada swasta sudah dijalankan sejak Sultan Sepuh bertahta dan mencapai puncaknya pada pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono IV. Kebijakan ini menimbulkan permasalahan yang sangat serius dalam konteks keuangan keraton Yogyakarta. Hal ini karena pihak swasta
yang sudah terlanjur menyewa tanah-tanah milik kerajaan secara bersamaan meminta ganti rugi uang yang sangat banyak dan tidak sebanding dengan nilainya
112
kepada pihak keraton. Niat baik Van Der Capellen tersebut ternyata justru dimanfaatkan oleh para penyewa tanah untuk menguras keuangan keraton.
Terbukti kebijakan Van Der Capellen menyeret Pangeran Diponegoro pada perseteruan dengan Danurejo IV dan Ratu Ageng. Carey 2012:632
menjelaskan, Sebagai seorang wali Sultan Hamengku Buwono V dengan tanggung jawab khusus atas penataan keuangan keraton, Diponegoro diminta
memimpin dalam perundingan ganti rugi terhadap penyewa tanah. Urusan pertama menyangkut Bedoyo tanah yang disewa Nahuys untuk vilanya semasa
menjabat sebagai residen, dimana Nahuys meminta jumlah uang ganti rugi yang sangat besar yaitu 50.000 Dolar Spanyol.
Residen pengganti
Nahuys, Smissaert
mengundang Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro ke pertemuan di wisma residen dengan dihadiri oleh Patih Danurejo IV, menekan keduanya dalam masalah itu dan
meminta Danurejo IV memberi rincian uang yang dikeluarkan oleh Nahuys untuk upah harian pekerjanya. Pertemuan tersebut berakhir dengan perselisihan di kedua
belah pihak. Kedua wali Sultan langsung kembali ke keraton membahas masalah itu dengan Ratu Ageng, sembari menegaskan akibatnya yang parah terhadap
keuangan keraton jika jumlah uang yang diminta oleh Smissaert disetujui. Namun Ratu Ageng, atas prakarsanya sendiri mengingat perlunya menjaga agar
gubernemen tetap bersikap baik, memerintahkan Danurejo IV menerima jumlah yang diusulkan oleh residen. Kesepakatan pembayaran ganti rugi tersebut sebesar
113
26.000 dolar Spanyol. Peristiwa ini berakibat dengan keengganan Pangeran Diponegoro menjadi wali Sultan Hamengku Buwono V. Carey, 2012:636
Meskipun ada pertentangan antara Diponegoro dan dua orang saingannya yang utama, Ratu Ageng dan Danurejo IV, ia tampaknya telah menunaikan tugas-
tugasnya sebagai wali dengan sebaik-baiknya selama hampir setahun setelah penunjukannya. Baru setelah Smissaert tiba pada pertengahan Februari 1823, dan
asistennya Chevallier, pada 26 Agustus tahun yang sama, pertentangan pribadi ini menyebabkan tidak mungkinnya terjalin kerjasama. Waktu itu seluruh masalah
penghapusan penyewaan tanah dan ganti rugi bagi orang-orang Eropa penyewa tanah telah merusak hubungan antara para wali sultan dan pejabat gubernemen di
Yogyakarta Carey, 2012:600. Di satu sisi, kelompok sekitar Danurejo IV berada di sebelah pihak penguasa Belanda. Sementara itu, Pangeran Diponegoro dan
Pangeran Mangkubumi tidak setuju dengan kepentingan Danurejo IV dan kelompoknya.Carey, 2012:642
Dalam masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V ini Yogyakarta dipimpin residen Smissaert. Van Der Capellen mengangkat Smissaert dengan
harapan agar ada seorang pejabat tinggi di Yogyakarta yang akan lebih patuh daripada Nahuys dalam hal penyewaan tanah Carey, 2012:611. Carey
2012:615 mencatat bahwa Smissaert sering tidak berada di Yogyakarta. Dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai residen, Smissaert bergantung pada bawahan
seperti Patih Danurejo IV. Situasi ini sangat menguntungkan Danurejo IV dalam memanfaatkan kelemahan residen untuk kepentingannya sendiri.
114
Smissaert sebagai residen Yogyakarta memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil Yogyakarta, satu diantaranya melewati pagar sebelah timur
Tegalrejo, milik Pangeran Diponegoro. Pada 17 Juni 1825, jalan ini mulai dipasangi patok oleh para bawahan Patih Danurejo IV. Terhalangnya jalan itu
menyebabkan terganggunya
Diponegoro dan
mereka yang
tinggal di
pemukimannya serta desa-desa sekitarnya. Lagipula Danurejo IV tidak memberitahukan perintah Smissaert itu kepada Diponegoro dan ia baru tahu
setelah patok-patok ditancapkan. Perbuatan Danurejo IV itu, yang hampir pasti disengaja, sama dengan pelanggaran tata krama secara terang-terangan sehingga
mau tidak mau terjadilah percekcokan antara orang-orang Diponegoro dan para pekerja jalan. Penduduk desa-desa sekitar Tegalrejo segera terlibat juga Carey,
2012:704. Peristiwa inilah yang menjadi pertanda berawalnya perang Jawa yang terjadi dalam kurun waktu 1825-1830.
Kebijakan Van Der Capellen menyebabkan kemerosotan taraf hidup petani di daerah Yogyakarta dan sekitarnya dalam tahun-tahun sesudah Belanda kembali
berkuasa, memicu timbulnya pergolakan petani yang terus menerus dalam paruh kedua 1820-an seandainya perang jawa pun tidak terjadi. Sejumlah perlawanan
para petani terus terjadi dan semakin tinggi intensitasnya dalam kurun 1817-1822. Paduan ganti rugi penyewaan lahan dan politik aneksasi Van Der Capellen
memperparah situasi politik dan ekonomi di keraton Yogyakarta.Carey, 2012:708
115
3.4 Rangkuman