Tahap Situation Penyituasian ANALISIS ALUR

25

BAB II ANALISIS ALUR

NOVEL PANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH KARYA REMY SYLADO Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan historis, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis struktur hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karena alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan intrik politik yang terjadi dalam novel ini. Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa- peristiwa penting dalam urutan waktu yang membentuk alur novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah . Tahapan alur yang digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian Nurgiyantoro, 2007: 149. Analisis alur novel ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 Tahap Situation Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah . Tahap penyituasian dalam novel ini berisi pengenalan 25 26 tokoh-tokoh cerita. Tahap ini juga menjadi pembuka cerita, pemberian informasi awal cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian dalam novel ini adalah sebagai berikut. Dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, subjudul dimulai dengan nomor tiga puluh satu. Subjudul nomor satu hingga tiga puluh diceritakan pada novel sequel yang pertama yaitu Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Pada subjudul nomor tiga puluh, alur dimulai dengan pengenalan tokoh bernama Bendara Raden Ayu Ratnaningsih. Ratnaningsih digambarkan sebagai wanita cantik berkulit langsat, bertubuh singset, dan berpenampilan luwes Hlm.1- 2. Pengenalan tokoh Raden Ayu Ratnaningsih beranjak ke pembuka cerita yaitu peristiwa pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Kedatangan Pangeran Diponegoro ke keraton dalam rangka silaturahmi pada hari Lebaran. Dalam peristiwa pertemuan tersebut dipaparkan juga tokoh bernama Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah paman Pangeran Diponegoro yang berperan sebagai tokoh yang mempertemukan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. Hlm. 11 Pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro membuat mereka saling jatuh cinta. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut. 1 “Namamu Ratnaningsih?” tanya Pangeran Diponegoro agak tersendat.“Ya, “ jawab Ratnaningsih agak kagok.“Oh,” kata Pangeran Diponegoro tertular kagok. Sekonyong terasa ada sesuatu yang terjadi di 27 lubuk hatinya, suatu kembaran pengalaman batin yang misterius, yang belum pernah dirasakannya sampai sepanjang usianya yang sekarang. Hlm. 12 Pembuka cerita berlanjut dengan pemunculan tokoh Ratu Ageng. Ratu Ageng adalah istri Sultan Hamengku Buwono I. Ia juga merupakan nenek buyut Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng adalah orang yang mengasuh Pangeran Diponegoro sejak kecil di Puri Tegalrejo. Ratu Ageng melihat pertemuan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng melihat bahwa Pangeran Diponegoro jatuh cinta terhadap Raden Ayu Ratnaningsih. Ratu Ageng segera meminta keduanya untuk menentukan tanggal pernikahan. Hlm. 13 Tahap penyituasian mulai mengarah pada sikap tokoh Pangeran Diponegoro. Terjadi konflik kecil dalam penentuan pernikahan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak suka melangsungkan pernikahannya menurut istiadat keraton. Di lain pihak, ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah menurut istiadat keraton. Hlm. 16 Latar bergerak menuju ke Puri Tegalrejo, kediaman Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Dengan sikapnya yang melawan adat keraton, Pangeran Diponegoro berkata kepada Nenek Buyutnya, Ratu Ageng. 2 “Maaf, Nek, “kata Pangeran Diponegoro lagi. “Siapa berani menyalahkan pilihan Nenek meninggalkan kraton dan hidup di luar kraton, di Tegalrejo ini? Nenek sendiri sudah melakukan perlawanan terhadap leluri keraton. Dan aku bangga pada Nenek.” Biarlah aku memilih jalanku menjadi seorang rakyat biasa di antara rakyat-rakyat jelata. Darah biruku toh tidak menjamin aku masuk surga. Tapi, kalau berada di tengah rakyat, dan berjuang bagi mereka, aku yakin Tuhan akan mencatatku, sebab seperti pepatah asing yang boleh diserap kebenarannya, adalah, suara rakyat merupakan suara Tuhan.” Hlm. 17 28 Sebagai tokoh protagonis dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah , Pangeran Diponegoro lebih memilih untuk terikat pada adat bangsanya yaitu bangsa Jawa dan rakyatnya. Pangeran Diponegoro tidak setuju jika harus terikat pada adat keturunan darah birunya yaitu sebagai anak tertua dari selir Hamengku Buwono III. Hlm. 17 Latar bergerak ke rumah Raden Ayu Ratnaningsih. Ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi berkunjung ke rumah Ratnaningsih. Kedatangan ibu dan paman dari Pangeran Diponegoro tersebut bertujuan untuk membujuk Ratnaningsih supaya Pangeran Diponegoro mau menikah menurut adat keraton. Pangeran Bei berpendapat bahwa keponakannya yang sama-sama mereka percayakan harapannya untuk menjadi pemimpin rakyat tidak ada artinya jika tidak menunjukkan asalnya dari darah seorang pemimpin. Ratnaningsih menuruti perintah Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi untuk mencoba membujuk Pangeran Diponegoro agar mau menikah dengan adat keraton.Hlm. 18-19 Ratnaningsih mencoba membujuk Pangeran Diponegoro untuk menikah menurut adat keraton. Namun, Pangeran Diponegoro tetap pada pendiriannya. Pangeran Diponegoro merasa telah memberikan alasan kepada nenek buyutnya yang notabene adalah orang yang mengasuhnya sejak kecil dan paling mengerti dirinya. Ratnaningsih tidak kecewa karena sikapnya yang menurut terhadap Pangeran Diponegoro.Hlm. 21 29 Pada Subbab nomor tiga puluh satu, penyituasian bergerak pada sikap Raden Ajeng Mangkarawati. Raden Ajeng Mangkarawati mencari segala cara untuk membujuk anaknya supaya menikah dengan adat keraton. Mangkarawati tidak mungkin menyampaikan kegundahan tersebut pada suaminya, Sultan Hamengku Buwono III. Raden Ajeng Mangkarawati masih ingat bahwa suaminya yang baru saja naik tahta menjadi sultan karena rekayasa Raffless bahkan pernah ditolak Pangeran Diponegoro ketika ditawari jabatan di keraton. Satu-satunya harapannya adalah Atibroto Darmokusolo di desa Mojo, Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Mojo. Tokoh ini cukup dihormati oleh Pangeran Diponegoro. Mangkarawati berharap dengan bantuan Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro mau mengubah pendiriannya.Hlm. 23-24 Kiai Mojo diundang Raden Ajeng Mangkarawati ke Tegalrejo untuk membahas pernikahan Pangeran Diponegoro. Sebelumnya, Kiai Mojo sudah diminta bantuan oleh Raden Ajeng Mangkarawati untuk membujuk Pangeran Diponegoro supaya mau mengubah pendiriannya. Dalam rapat di Tegalrejo tersebut, Kiai Mojo gagal membujuk Pangeran Diponegoro untuk melangsungkan pernikahan sesuai adat keraton. Peristiwa tersebut membuat Kiai Mojo berpikir apa yang terjadi sehingga Pangeran Diponegoro bersikeras dengan sikapnya. Ketika rapat tersebut selesai dan ia pulang ke desa Mojo, Kiai Mojo berbicara sendiri di atas kudanya, 3 Sementara di dalam pikiran Kiai Mojo, terus timbul pertanyaan, mengapa Pangeran Diponegoro demikian berkeras. Apakah kekecewaan Pangeran Diponegoro menjadi kebencian?Dia tahu, Pangeran Diponegoro telah berkali-kali mengatakan keadaan keraton sedang berubah menjadi sarang penyamun. Hampir saban pekan orang- orang di keraton bermabuk-mabuk minuman keras. Mereka telah menjadi pribadi- 30 pribadi Jawa yang pecah: meniru ha-hal lahir bangsa Barat yang kafir, dan mengira itu pantas, padahal keadaan rohani mereka tidak laras. ”pasti itu masalahnya”, Kata Kiai Mojo Bercakap sendiri di atas kudanya. Dia pun ingat bahwa gara-gara keadaan susila dan akhlak orang-orang di kraton sudah demikian kedodoran-dalam mana sultan sendiri tidak sanggup menjadi contoh yang baik- menyebabkan Ratu Ageng dulu menyingkir dari kraton dan membangun puri di Tegalrejo. Hlm. 34 Pada subbab tiga puluh dua, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan Kiai Mojo untuk berkunjung ke Surakarta. Pangeran Diponegoro sampai ke Surakarta pada siang hari. Sambil makan durian, Pangeran Diponegoro berdiskusi dengan Kiai Mojo dan para santrinya di pendopo Kiai Mojo. Mereka mendiskusikan tentang politik penjajahan Inggris yang tengah berkuasa di Batavia, kebaikan dan keburukan raja-raja Jawa: Paku Buwono IV di Surakarta dan Hamengku Buwono III di Yogyakarta, roda bisnis orang-orang Cina, dan rakyat jelata yang makin susah tak bisa makan dan berpenyakit cacar. Hlm. 43 Baru pada malam harinya, Kiai Mojo menyampaikan maksudnya mengundang Pangeran Diponegoro ke Surakarta. Kiai Mojo menceritakan bahwa ibunda Pangeran Diponegoro pernah menangis di pendoponya karena pendirian Pangeran Diponegoro yang hanya mau menikah dengan adat rakyat biasa. Pangeran Diponegoro merasa sudah berkata pada nenek buyutnya bahwa ia harus membuktikan kalau ia bagian dari rakyat. Kiai Mojo memberikan saran kepada Pangeran Diponegoro untuk mengatakan apa yang pernah ia katakan kepada nenek buyutnya itu. Hlm. 45-46 Perdebatan mengenai tata cara pernikahan Pangeran Diponegoro berakhir pada subbab nomor tiga puluh tiga dengan munculnya seorang tokoh bernama Ki Pujosubroto. Ki Pujosubroto adalah ahli budaya yang sangat mahir dari Bantul. 31 Pada awalnya ia diundang ke Tegalrejo untuk menjelaskan tata cara pernikahan sesuai adat rakyat biasa karena reputasinya sebagai ahli budaya. Namun Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa adat perkawinan Jawa yang benar harus terikat pada tata cara yang diterapkan keraton. Lebih lanjut, Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa keratonlah yang menjadi benteng budaya Jawa termasuk tata cara pernikahan sejak Mataram Buddha sampai Mataram Islam. Dia juga menjelaskan bahwa justru rakyat Jawa yang mengindahkan adat istiadat tersebut. Pangeran Diponegoro tidak bisa membantah penjelasan Ki Pujosubroto. Setelah itu, Ki Pujosubroto menjelaskan tata cara pernikahan adat Jawa secara rinci dari kitab yang ia bawa di depan Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng, Raden Ajeng Mangkarawati, dan paman-pamannya yaitu Pangeran Bei dan Pangeran Mangkubumi. Hlm. 49-52 Setelah semuanya sepakat, maka persiapan lain segera diputuskan. Salah satunya adalah pemilihan tempat yang diputuskan oleh Ratu Ageng. Ratu Ageng memilih Puri Tegalrejo sebagai tempat pernikahan Pangeran Diponegoro. Bagi Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro besar di Tegalrejo, maka pesta pernikahannya juga harus dilangsungkan di Tegalrejo. Hlm. 59 Pada tahap penyituasian ini, terlihat sikap Pangeran Diponegoro sebagai tokoh protagonis. Sikapnya menggambarkan sebagai calon pemimpin rakyat kecil yang menolak segala bentuk penjajahan. Bahkan ia juga berani menentang tradisi keraton yang dianggapnya sebagai kaki tangan penjajah. 32 Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado merupakan sekuel kedua dari novel sebelumnya yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil . Oleh sebab itu tahap penyituasian dalam novel ini tidak memuat gambaran pelukisan, pengenalan situasi latar, dan pengenalan tokoh secara terinci.

2.2 Tahap Generating CircumtancesTahap Pemunculan Konflik