Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono II tahun 1792- 1810

93 tempat kedudukan raja, 3Mancanegara, yaitu daerah-daerah taklukan kerajaan.Sagimun, 1955:31 Nagara Agung langsung dikuasai dan diperintah oleh raja dan patih beserta bupati-bupati yang juga menjadi nayaka-nayaka boleh disamakan dengan menteri-menteri dari kabinet kerajaan. Para pegawai raja biasanya mendapat tanah lungguh di daerah Nagara Agung, sedangkan di daerah Mancanegara dikuasai dan diperintah oleh bupati-bupati yang mewakili raja di daerah-daerah itu dan biasanya tinggal di luar ibu kota kerajaan. Bupati-bupati mancanegara itu dikepalai oleh seorang bupati wadana bupati kepala.Sagimun, 1955:31 Wilayah keraton Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti adalah sebagai berikut, 1Nagara meliputi kota tempat kedudukan raja atau Sultan Yogyakarta, 2Nagara Agung meliputi daerah-daerah di sekitar ibu-kota Ngayogyakarta Adiningrat, Pajang di sebelah barat daya Surakarta, Sukowati di sebelah timur laut Surakarta, Bagelan, Kedu, Bumi-Gede di sebelah barat laut Surakarta, 3 Mancanegara meliputi daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa Tulungagung, Japan Mojokerto, Jipang Bojonegoro, Teras, Karas, Selo, Warung, Grobogan. Sagimun, 1955:32

3.1.2 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono II tahun 1792- 1810

Pada tanggal 2 April 1792, Pangeran Adipati Anom Raden Mas Sundara diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II setelah Sultan Hamengku Buwono 94 I meninggal pada tanggal 24 Maret 1792. Dalam literatur, baik dalam babad maupun tulisan asing, Sultan Hamengku Buwono I digambarkan sebagai seorang yang berhasil memimpin keraton Yogyakarta dan dicintai oleh rakyatnya. Hal ini berlainan dengan gambaran Sultan Hamengku Buwono II, yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sepuh Sukanto, 1958:47. Carey 2012:183 mengatakan bahwa masa pemerintahan Sultan Sepuh adalah awal kekacauan politik di Yogyakarta secara berturut-turut hingga meletusnya perang jawa pada tahun 1825. Segera setelah pengangkatannya, Sultan Sepuh mengganti sebagian besar bupati-bupati dan pegawai-pegawai semasa Sultan Hamengku Buwono I. Pejabat- pejabat kerajaan yang baru ini tidak sebaik seperti pada masa Sultan Hamengku Buwono I. Reformasi kepejabatan yang dilakukan Sultan Sepuh merupakan strategi politiknya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan keinginannya. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Sepuh memberlakukan beberapa kebijakan yang secara garis besar membuat kekayaan pribadinya meningkat berkali lipat. Sultan Sepuh meningkatkan beban pajak kepada penduduknya baik di wilayah Negara Agung, maupun Mancanegara. Beban mereka terdiri dari empat macam pajak yaitu pajak tanah, pajak pacumpleng, pajak kerigaji, dan yang terakhir adalah aneka pajak dan tugas rodi tidak tetap yang dikenal dengan sejumlah nama seperti taker tedhak, wang bekti, gugur gunung, dan pagaweyan. Walaupun aneka pajak tersebut tidak terlalu membebani di wilayah Negara 95 Agung, tetapi merupakan beban yang sangat berat di Mancanegara wilayah timur di mana pajak-pajak tersebut diatur oleh para bupati.Carey, 66:2012 Sampai Agustus 1812, ketika kewajiban-kewajiban rodi bupati wilayah timur di ibu kota kerajaan ditiadakan, beban kerja yang sangat berat ditimpakan kepada tenaga kerja dari daerah wilayah-wilayah timur. Hal ini terjadi khususnya di Yogyakarta dalam program kebijakan Sultan Sepuh lainnya yaitu melaksanakan aneka proyek pembangunan untuk pesanggrahannya. Carey, 66:2012 Sementara itu, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II inilah Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal untuk wilayah Hindia Timur oleh pemerintah Belanda-Prancis Sagimun, 35:1955. Pada tanggal 5 Januari 1808, Marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia. Misi utamanya adalah menjadikan Jawa dan kepulauan Nusantara lainnya sebagai Pangkalan Militer dalam rangka menghadapi ancaman Inggris di Lautan Hindia.Carey, 184-185:2012 Pada periode ini, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II beserta kedatangan Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur telah memicu serangkaian kekacauan di Keraton Yogyakarta. Kebijakan aneka pajak yang diterapkan Sultan Sepuh dan misi militer Daendels membuat rakyat yang berada dalam pemerintahan Keraton Yogyakarta menjadi sengsara. Berbagai kepentingan politik pun akhirnya muncul akibat dari kebijakan Sultan Sepuh dan Daendels. Walaupun tugas darurat Daendels bersifat militer, ia juga diberi kekuasaan yang besar untuk melaksanakan reformasi pada pemerintahan yang korup warisan 96 VOC. Kepengurusan VOC sudah diserahkan kepada kekuasaan pemerintahan Belanda menyusul kebangkrutan perusahaan dagang itu pada tahun 1799. Carey, 186:2012 Misi militer Daendels dalam masa pemerintahannya ini berdampak besar terhadap situasi politik di Yogyakarta. Carey 186:2012 mengatakan bahwa salah satu pertimbangan strategis terpenting Daendels dalam merencanakan pertahanan Jawa adalah menetralisir kedudukan keraton-keraton yang mandiri. Kewenangan dan pengaruh keraton itu dianggap oleh Daendels bisa menjadi pesaing bagi pemerintahannya. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta merupakan ancaman besar karena sumber daya militer dan cadangan dananya yang kuat dari hasil aneka pajak yang pernah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II. Pada tanggal 28 Juli 1808, Daendels menetapkan peraturan upacara resmi baru dalam konteks hubungan pemerintah kolonial dengan keraton-keraton di Jawa. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan misalnya minister-minister residen dilarang mempersembahkan sirih atau minuman, akan tetapi mereka harus menyuruh mempersembahkannya oleh pesuruh-pesuruh yang berpakaian, selang- seling kepada raja dan kepada minister. Selain itu, tempat duduk minister harus sejajar dengan tempat duduk raja Sukanto, 59:1958. Dengan kata lain, Daendels menginginkan kedudukan pemerintahannya sejajar dengan keraton Yogyakarta secara simbolis walaupun hal ini merupakan penghinaan terhadap adat-istiadat keraton. Peraturan Daendels tentang tata cara upacara resmi keraton dengan 97 pemerintahan kolonial menjadi dasar awal perselisihan diantara Sultan Sepuh dengan Daendels. Selain itu, untuk menjalankan misi pertahanan militernya atas ancaman serbuan Inggris, Daendels makin menekan keraton-keraton untuk membuka pintu masuk bagi persediaan kayu kawasan mancanegara timur. Semua tuntutan tertuju pada tonggak-tonggak kayu keras untuk pembangunan garis-garis pertahanan laut yang baru di benteng Lodewijk di Surabaya. Namun pada awal 1809, tuntutannya diperluas hingga mencakup larangan swasta untuk menjual kayu jati lewat perbatasan ke daerah-daerah pasisir yang dikuasai oleh Belanda dan hal ini secara nyata menandakan berlakunya monopoli kayu oleh pemerintahan Daendels Carey, 248:2012. Dengan kata lain, penduduk wilayah timur keraton Yogyakarta dirugikan baik oleh kebijakan Sultan Sepuh maupun kebijakan Daendels. Hal ini menimbulkan pemberontakan yang dipimpin oleh bupati yang mengepalai wilayah timur, Raden Ronggo. Carey, 300:2012 Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahkta kerajaan pada awal Januari 1811 oleh Daendels. Selanjutnya Daendels mengangkat Putra Mahkota, ayah Pangeran Diponegoro, sebagai Sultan Hamengku Buwono III yang lebih dikenal sebagai Sultan Raja. Akan tetapi Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh oleh Daendels diperbolehkan tinggal di dalam keraton. Sagimun 37:1955 berpendapat bahwa kondisi dimana Sultan Raja yang telah diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono III berada berdampingan dengan Sultan Sepuh di keraton membuat keadaan politik intern keraton Yogyakarta menjadi kacau. 98 Kekacauan ini terbukti ketika pemerintahan Belanda-Prancis berhasil dikalahkan Inggris oleh ekspedisi yang dilakukan Lord Minto dan Raffles. Sultan Sepuh memanfaatkan situasi ini untuk merebut tahktanya kembali dari Sultan Raja. Dalam masa-masa seperti ini, patih Danurejo II dibunuh oleh Sultan Sepuh karena banyak membantu Daendels dalam misi menjatuhkan Sultan Sepuh sebagai raja Yogyakarta. Sagimun, 39:1955 Hal ini meninggalkan warisan penderitaan yang menjelma dalam pengelompokan politik pada awal abad ke sembilan belas. Pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III bupati Madiun di Madiun pada November-Desember 1810, misalnya, menggugah dukungan yang besar di daerah itu karena pemberontakan tersebut merupakan gerakan daerah yang secara bersama ditujukan baik kepada Pakubuwono IV, Sultan Hamengku Buwono II, maupun kepada Belanda. Pada waktu yang sama, banyak diantara para bupati wilayah timur mendukung ayah Diponegoro, Putra Mahkota Yogyakarta, melawan Sultan Sepuh selama pertarungan kekuasaan di keraton pada 1810-1812 karena Putra Mahkota Yogyakarta jauh lebih lunak dalam menuntut kerja rodi.Carey, 68:2012

3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa Pemerintahan Inggris tahun 1811-1816