13
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah
karya Remy Sylado belum pernah diteliti sama sekali.
1.6 Landasan Teori
Penulis menggunakan beberapa teori untuk kerangka berpikir. Teori-teori tersebut adalah teori alur, teori historis sastra, konsep politik, intrik, dan intrik
politik.
1.6.1. Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita Aminuddin, 1991 : 83.
Menurut Nurgiyantoro 2007: 149, tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu 1 tahap situation atau tahap penyituasian, 2 tahap
generating circumstances atau tahap pemunculan topik, 3 tahap rising action
atau tahap peningkatan konflik, 4 tahap climax atau tahap klimaks, dan 5 tahap denouement
atau tahap penyelesaian. Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita,
14
pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap bertikutnya Nurgiyantoro, 2007: 149.
Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap
berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah
dimunculkan pada
tahap sebelumnya
semakin berkembang
dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi
inti cerita semakin mencekam dan menegangkan Nurgiyantoro, 2007: 149. Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai
titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah
memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan jika ada diberi jalan
keluar atau ceritanya diakhiri Nurgiyantoro, 2007: 150.
1.6.2 Teori Sastra Historis
Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai beberapa peranan di antaranya sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan.
Objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat,
pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan
15
pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.
Dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi
pengarang Kuntowijoyo, 2006:171. Sesuai dengan perkembangan metode dan teori di satu pihak, usaha untuk
menghindarkan sekat pemisah antar disiplin di pihak lain, masalah-masalah sosiologi dan sejarah dalam sastra justru menemukan tempat yang subur.
Setidaknya ada tiga masalah yang perlu dikemukakan dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan historis, yaitu 1 relevansi fakta-fakta sejarah, dalam
hal ini berkaitan dengan isi. 2 Homologi unsur-unsur, dalam hal ini berkaitan dengan struktur. 3 Relevansi proses kreatif dalam hal ini berkaitan dengan
perkembangan genre sastra Ratna, 2005: 354. Dalam penelitian ini, penulis akan mengkhususkan pada relevansi fakta-
fakta sejarah Diponegoro dengan novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah
karya Remy Sylado. Ratna 2005:356 menjelaskan bahwa keterlibatan fakta sejarah dapat diidentifikasikan secara jelas, seberapa jauh sebuah karya
mencerminkan sejarah. Hubungan ini dapat dipahami melalui tokoh, kejadian, dan latar. Nama tokoh, nama tempat, dan tahun-tahun kejadian merupakan unsur-
unsur yang sangat mudah untuk dikaitkan dengan sejarah umum, sisa peninggalan sejarah, dan sumber-sumber tertulis lain. Oleh karena itu, sastra sejarah bagi
16
masyarakat lama, novel sejarah bagi masyarakat modern dianggap sebagai memiliki fungsi-fungsi ganda, fungsi estetis sekaligus dokumen sosial
Keberadaan fakta-fakta sejarah dalam sastra tidak harus memberikan makna yang sama dengan sejarah. Tujuan karya sastra dengan sejarah jelas
berbeda. Sesuai dengan hakikatnya, tujuan karya seni adalah kualitas estetis, artinya, apapun yang terkandung di dalamnya difungsikan untuk mencapai tujuan
tersebut. Apabila fakta sejarah memberikan makna sebagai kebenaran yang dapat dipercaya, sebaliknya karya sastra justru memberikan pertimbangan lain, bahkan
sebaliknya Ratna, 2005:356
1.7 Batasan Istilah 1.7.1 Politik