Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Berpikir Kritis Pada Anak

penilaian ibu terhadap hal tersebut. Penelitian ini akan melibatkan para ibu di Flores yang sedang mengasuh anak berusia 3 hingga 5 tahun, yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dalam hal usia atau tingkat pendidikan. Penelitian ini juga tidak hanya melihat berpikir kritis secara umum, namun juga melingkupi komponen-komponen kemampuan maupun disposisi berpikir kritis, yang diharapkan dapat memberi gambaran yang mendalam mengenai persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? Pertanyaan turunan: a. Bagaimana pemahaman ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? b. Bagaimana penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi persepsi orang tua, khususnya para ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak. Melalui Focus Group Discussion yang dilakukan terhadap para ibu yang sedang mengasuh anak prasekolah 3-5 tahun, diharapkan penelitian ini dapat mengungkap bagaimana ibu dengan latar belakang budaya Flores mempersepsikan perilaku berpikir kritis pada anak, sehingga dapat memberi gambaran mengenai kesiapan para ibu di Flores untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk berpikir kritis.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang psikologi dan menambah wawasan kepustakaan yang cukup mendalam mengenai persepsi orang tua di Indonesia terhadap berpikir kritis pada anak. Selain itu, penemuan yang terkait dengan budaya dapat memberi wawasan baru dalam bidang psikologi lintas-budaya, khususnya pada etnis Flores yang masih memerlukan pembangunan dan pengembangan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas pengasuhan orang tua di Flores. Dengan mengetahui tingkat pemahaman para ibu di Flores mengenai berpikir kritis pada anak serta melihat apakah masih banyak pandangan negatif para ibu terhadap anak yang berpikir kritis, dapat dirancang program intervensi atau sosialisasi yang dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak dan mengurangi penilaian negatif yang dimiliki ibu, agar nantinya para ibu dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif pada anak untuk berpikir kritis.

3. Manfaat Kebijakan

Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu pengambilan kebijakan oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah Flores dalam bidang pendidikan dan perkembangan anak. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penyuluhan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah terhadap orang tua murid maupun langsung ke berbagai lapisan masyarakat agar lebih memahami dan menyadari pentingnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berpikir kritis pada anak, dengan tetap mempertimbangkan aspek budaya yang terdapat dalam masyarakat. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai berpikir kritis, dan secara khusus berpikir kritis pada anak. Hal ini mencakup definisi dan komponen berpikir kritis serta usia dimulainya berpikir kritis pada anak. Kemudian penulis akan menjelaskan mengenai persepsi orang tua serta pandangan orang tua di Indonesia pada umumnya terhadap berpikir kritis, khususnya berpikir kritis pada anak. Penulis juga akan menggambarkan secara singkat karakteristik orang tua di Flores beserta budaya Lamaholot yang terkait dengan berpikir kritis maupun pengasuhan pada anak, sebelum akhirnya menjabarkan kerangka konseptual dari penelitian ini.

A. Berpikir Kritis 1.

Definisi Berpikir Kritis Critical thinking atau berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan Ennis, 2011. Berpikir kritis juga dijelaskan sebagai: a sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; b pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; serta c keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001. Fisher 2001 menjelaskan bahwa berpikir kritis berbeda dengan berpikir tidak reflektif, jenis berpikir di mana kita langsung mengarah ke kesimpulan, atau menerima beberapa bukti, tuntutan atau keputusan begitu saja, tanpa sungguh- sungguh memikirkannya. Hal ini dapat disebut sebagai cara berpikir yang pasif, berlawanan dengan cara berpikir kritis yang aktif mencari bukti-bukti, mempertanyakan, dan sebagainya. Dijelaskan pula bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu, misalnya kemampuan menginterpretasi dan mengevaluasi, memikirkan asumsi- asumsi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, serta menarik implikasi-implikasi dalam memikirkan dan memperdebatkan isu-isu. Fisher juga mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis meyakini bahwa terdapat situasi-situasi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks tertentu, yang perlu dihadapi dengan pemikiran yang kritis dan reflektif, sehingga ia akan cenderung menerapkan berpikir kritis pada situasi-situasi tersebut. Hal-hal ini mengarah pada dua komponen dari berpikir kritis, yaitu kemampuan dan disposisi.

2. Komponen-komponen Berpikir Kritis

Berpikir kritis terdiri atas dua komponen, yaitu: a skill atau kemampuan berpikir kritis, serta b disposisi, kebiasaan, dan karakter kepribadian untuk berpikir kritis Nieto Saiz, 2011. Kennedy et al. 1991 mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir kritis, sementara disposisi berpikir kritis merupakan komponen afektif, di mana keduanya akan membentuk perilaku berpikir kritis yang diwujudkan pada diri seseorang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, selama bertahun-tahun pendekatan dalam berpikir kritis hanya ditekankan pada komponen kemampuan saja. Padahal, baik kemampuan maupun disposisi sangat dibutuhkan. Tanpa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kemampuan berpikir kritis, seseorang belum tentu berkeinginan untuk berpikir kritis, sedangkan hanya memiliki disposisi pun tidak cukup, karena walaupun berkeinginan, individu tersebut tidak akan tahu cara berpikir kritis Nieto Saiz, 2011.

a. Kemampuan berpikir kritis

Dalam review yang dilakukan oleh Lai 2011 diungkapkan bahwa terdapat banyak pendapat ahli mengenai kemampuan berpikir kritis. Para ahli cenderung sependapat tentang kategori-kategori kemampuan apa saja yang dimiliki orang yang berpikir kritis, yang meliputi kemampuan menganalisis, melakukan inferensi, menilai, membuat keputusan atau menyelesaikan masalah, kemampuan mengajukan dan menjawab pertanyaan untuk mengklarifikasi, mendefinisikan istilah-istilah, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menginterpretasi dan menjelaskan, mengungkapkan penalaran secara verbal, memprediksi, dan melihat kedua sisi dari suatu masalah Ennis, 1985; Facione, 1990; Halpern, 1998; Paul, 1992; Willingham, 2007; Case, 2005; Lipman, 1988; Tindal Nolet, 1995; Paul, 1992, dalam Lai, 2011. Penelitian dengan teknik Delphi pada tahun 1988 sampai 1989 yang melibatkan 46 ahli di bidang berpikir kritis telah mengkategorikan kemampuan-kemampuan tersebut menjadi 6 kelompok kemampuan, yaitu kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi Facione, 1990. Keenam kategori inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena pengelompokan kategori yang komprehensif dan banyak digunakan oleh kebanyakan jurnal yang membahas tentang berpikir kritis. Bahkan kategori ini digunakan untuk membuat alat tes dalam hal kemampuan berpikir kritis Facione, 2013. Kemampuan-kemampuan ini pada hakikatnya merupakan proses-proses kognitif yang dijelaskan dalam taksonomi Bloom Anderson Krathwohl, 2000. Namun dalam taksonomi Bloom, kategori-kategori ini diterapkan dalam berbagai konteks yang bersifat umum, sedangkan dalam teori berpikir kritis hanya dikhususkan pada argumen, klaim, pemikiran dan bentuk representasi lainnya. Keenam kategori ini dijelaskan sebagai berikut: 1 Menginterpretasi. Secara umum kemampuan ini diartikan sebagai kemampuan untuk menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima. Menginterpretasi berarti mengubah dari suatu bentuk representasi ke dalam bentuk representasi lain Anderson Krathwohl, 2000. Kemampuan ini juga mencakup kemampuan seseorang untuk memahami dan mengungkapkan arti atau signifikansi dari suatu hal, dengan mendeskripsikan dan mendefinisikan suatu hal, menyebutkan, mengartikan, memahami makna tersirat maupun tersurat dari suatu pernyataan, mengelompokkan suatu hal dalam suatu kategori tertentu, serta memparafrasekan suatu informasi dengan kata-kata sendiri atau dengan bentuk ungkapan lain Facione, 1990. Kemampuan menginterpretasi ini berbeda dari sekadar mengerti dan memahami suatu hal, di mana terdapat penekanan pada aktivitas memaknai atau menafsirkan suatu hal berdasarkan pemahaman atau skema tertentu yang dimiliki seseorang. 2 Menganalisis. Kemampuan ini melibatkan aktivitas mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, argumen-argumen, ide-ide, serta elemen-elemen yang tersirat maupun tersurat dalam suatu pernyataan atau argumen dan menguraikan serta menganalisis elemen-elemen tersebut Facione, 1990. Hal ini sejalan dengan pengertian menganalisis secara umum, yaitu menguraikan suatu hal menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-relasinya Anderson Krathwohl, 2000. Misalnya, mampu mengidentifikasi pernyataan- pernyataan yang mendukung atau menentang suatu opini penulis dalam suatu paragraf, mencermati usulan-usulan terkait suatu masalah dan menelaah persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaannya, atau menentukan mana yang menjadi kesimpulan utama, klaim-klaim pendukung, atau elemen-elemen lain dalam suatu argumen Facione, 1990. 3 Mengevaluasi. Mengevaluasi berarti membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu Anderson Krathwohl, 2000. Standar dan kriteria yang dimaksud di sini adalah kualitas dan kredibilitas atau seberapa suatu pernyataan atau argumen dapat dipercaya, serta kekuatan logis yang dimilikinya Facione, 1990. Dalam berpikir kritis, objek yang dinilai dan dievaluasi dapat berupa klaim, argumen, pernyataan-pernyataan, atau bentuk representasi dari persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan, atau opini seseorang. 4 Melakukan inferensi. Kemampuan melakukan inferensi adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan hipotesis dari informasi yang ada Facione, 1990. Dalam melakukan inferensi, seseorang harus dapat menemukan pola-pola dari serangkaian data atau informasi yang tersedia Anderson Krathwohl, 2000. Inferensi mencakup kemampuan untuk menarik kesimpulan yang beralasan, menentukan pola sebab-akibat, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memprediksi, mengungkapkan dugaan, berasumsi, memperkirakan alternatif- alternatif terhadap suatu masalah, dan sebagainya. 5 Mengeksplanasi. Kemampuan mengeksplanasi atau menjelaskan adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan Facione, 1990. Contohnya adalah ketika seseorang menyampaikan argumen atau pendapatnya, menjelaskan suatu hal baik secara lisan maupun tertulis, menjelaskan langkah demi langkah penalarannya, menjelaskan dengan bukti dan data-data yang mendukung, dan sebagainya. 6 Melakukan swa-regulasi. Kemampuan melakukan swa-regulasi adalah kemampuan untuk memantau proses penalaran yang dilakukan diri sendiri. Hasil konsensus para ahli yang diperoleh melalui teknik Delphi mengartikan swa- regulasi sebagai kemampuan memantau aktivitas kognitif diri sendiri beserta hasil penalaran dan elemen-elemen yang digunakan dalam aktivitas tersebut, yang mencakup pemeriksaan diri dan koreksi diri Facione, 1990. Contohnya adalah ketika seseorang mampu merefleksikan pemikirannya sendiri, memeriksa kembali bukti-bukti dan langkah-langkah yang digunakannya, menyadari bias yang mungkin dimiliki, dan mengoreksi penalaran diri sendiri apabila ditemukan kesalahan dari hasil pemeriksaan diri tersebut.

b. Disposisi berpikir kritis

Disposisi berpikir kritis adalah motivasi internal yang konsisten untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang akan dipercaya atau dilakukan Facione, Facione Giancarlo, 2000. Menurut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI para ahli di bidang berpikir kritis, disposisi berpikir kritis atau komponen afektif dibutuhkan untuk membuat kemampuan berpikir kritis semakin mengakar dan bertumbuh dalam individu Facione, 1990. Terdapat beberapa disposisi berpikir kritis yang telah diungkapkan para ahli Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy, Fisher, Ennis, 1991; Bailin et al., 1999 yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis. Masing-masing kategori tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1 Fair-mindedness atau kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi ini menunjukkan kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Kategori ini mencakup berpikiran terbuka, berpikiran luas dan divergen, toleran, menghargai, dan mau mempertimbangkan pandangan serta sudut pandang yang berbeda. Individu yang memiliki disposisi ini juga cenderung fleksibel, peka terhadap bias, mau mengubah pandangan dan pendirian bila bukti atau hasil penalaran berlawanan dengan apa yang diyakini sebelumnya bahkan jika tidak mendukung kepentingan pribadinya, serta jujur secara intelektual. Dengan kata lain, ia dapat dikatakan bersikap objektif dan tidak berat sebelah dalam melakukan penyelidikan atau dalam menanggapi suatu informasi. 2 Inquiring Attitude atau sikap ingin tahu. Disposisi ini mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, sikap selalu bertanya, dan ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja. Individu yang memiliki sikap ingin tahu ini selalu penasaran terhadap hal-hal baru, mencari alasan atau penyebab dari suatu hal, ingin mempelajari sesuatu bahkan jika penerapannya dan manfaatnya tidak terlihat langsung. Individu tersebut juga tidak cepat puas dengan informasi atau pengetahuan yang terbatas. 3 Inclination to use reason atau kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Kategori ini mencakup disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan penalaran. Individu dengan disposisi ini juga memiliki keyakinan terhadap penalarannya, menghargai penalaran dan hasil penalaran yang baik, menggunakan dan menyebutkan sumber-sumber yang kredibel. Ia akan mencari informasi seakurat mungkin, serta tetap bersandar pada alasan dan penalaran ketika melakukan penilaian dalam konteks yang tidak pasti. 4 Systematicity atau kecenderungan berpikir yang sistematis. Disposisi ini merupakan kecenderungan untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur. Hal ini terlihat dari kecenderungan untuk fokus dan tetap menaruh perhatian pada isu dan topik yang sedang diselidiki atau masalah yang sedang dipecahkan, tekun, persisten dan tidak mudah menyerah, dan memiliki cara-cara tertentu yang tersistematis dan teratur dalam hal penyelidikan ataupun pemecahan masalah. Individu tersebut juga akan tetap memperhatikan situasi keseluruhan atau gambaran besar dari suatu hal atau masalah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Berpikir Kritis Pada Anak

Biasanya, berpikir kritis dilihat sebagai sebuah kualitas yang baru akan dimiliki setelah anak cukup besar, atau bahkan seringkali hanya ditekankan pada sekolah atau perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dengan usia muda pun, apabila mendapat stimulasi yang tepat, dapat memiliki baik kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Sebuah studi literatur dari Lai 2011 yang membahas konsep berpikir kritis dari pandangan berbagai ahli menemukan bahwa berlawanan dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa anak-anak pada tahap praoperasional belum mampu bernalar secara abstrak dan melihat perspektif orang lain, terdapat banyak penemuan akhir-akhir ini bahwa anak-anak berusia dini sudah terlibat dalam banyak proses kognitif yang sama dengan yang dilakukan orang dewasa. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia sangat muda sudah mampu berpikir kritis atau mempelajari cara berpikir yang lebih kompleks Gelman Markman, 1986; Silva, 2008; Willingham, 2007; dalam Lai, 2011. Peneliti-peneliti awal cenderung menyimpulkan bahwa anak tidak mampu berpikir kritis, namun menurut Kennedy et al 1991 anak seringkali dianggap tidak mampu berpikir kritis dikarenakan kurangnya latar belakang pengetahuan yang dimiliki anak, bukan karena anak tidak mampu berpikir kritis. Murphy et. al 2014 juga mengungkapkan bahwa anak-anak berusia muda telah mampu berpikir dan melakukan penalaran secara kritis, dan bahwa berpikir secara kritis dan analitis didasarkan pada kemampuan-kemampuan yang telah berkembang sejak masa kanak-kanak awal. Juga disebutkan bahwa anak-anak bahkan dari yang berusia di bawah lima tahun telah banyak mengajukan pertanyaan dan menunjukkan rasa ingin tahu, berusaha mencari penyebab sesuatu secara deduktif, mengapresiasi perspektif orang lain, berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan metakognisi, mengembangkan teori pikiran, dan menunjukkan banyak perilaku lain yang dapat dikategorikan sebagai elemen dari berpikir kritis Chandra, 2008. Di samping itu, anak-anak juga memiliki disposisi untuk berpikir kritis yang cukup menonjol dibandingkan dengan usia-usia lain. Menurut Padji 1992, anak-anak dengan nafsu belajarnya merupakan penyelidik lingkungan yang aktif. Mereka mengasah sifat keingintahuannya, mencari pemecahan masalah dan gemar menghubung-hubungkan, mempelajari secara langsung pelajaran yang berarti bagi diri mereka. Anak juga memiliki rasa ingin tahu, yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak, di mana masa bertanya ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 6 tahun Syamsu, 2000. Karena itulah, dorongan dan dukungan untuk berpikir kritis sudah harus diberikan sejak anak-anak berusia dini. Para ahli menyatakan bahwa sejak usia dini, anak-anak harus diajarkan untuk bernalar, mencari fakta-fakta yang relevan, mempertimbangkan pilihan-pilihan, serta memahami pandangan orang lain Facione, 1990. Hal ini dikarenakan berpikir kritis, yang merupakan satu dari beberapa bentuk berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking, sangat jarang diperoleh hanya dengan perkembangan individu secara alamiah, melainkan harus dipelajari melalui sejumlah instruksi atau pengajaran Arons, 1979; Kuhn, 1993; dalam Nieto Saiz, 2011. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada usia dini anak, terutama sebelum anak-anak mulai bersekolah, orang tua khususnya ibu sebagai caregiver utama sangat berperan penting untuk mendidik dan mengasuh anaknya. Hal ini juga didukung dengan budaya di Indonesia yang lebih menekankan peran ibu sebagai pengasuh utama bagi anak. Menurut Chandra 2008, ibu memegang peranan yang signifikan bagi anak dikarenakan ibu merupakan figur utama yang mengasuh anak terutama pada anak berusia dini, termasuk dalam hal mengembangkan dan mendorong berpikir kritis pada anak. Anak-anak belajar berpikir secara kritis ketika mereka memiliki kesempatan dan alasan untuk berpikir secara kritis; ketika mereka mengamati orang lain yang berpikir secara kritis; dan ketika mereka diminta untuk memberikan informasi, tantangan, perdebatan yang lebih didasari oleh rasa hormat dibandingkan kekuatan dan kekuasaan Smith, 1986, dalam Davis-Seaver, 2000. Berinteraksi dengan individu-individu yang kompeten juga sangat memengaruhi kualitas berpikir anak-anak. Konsep Vygotsky tentang zone of proximal development ZPD menyarankan bahwa melalui bimbingan dan bantuan dari orang-orang di lingkungan sekitar, anak-anak dapat mengembangkan cara belajar mereka Santrock, 2012. Bimbingan dan bantuan dari figur-figur di sekitar anak yang sangat penting bagi anak adalah dari orangtua, terutama ibu. Ibu memegang peranan penting dalam tahap awal anak-anak belajar, di mana pengasuhan ibu terkait pengembangan berpikir kritis pada anak tentunya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana ibu memandang, bereaksi, dan berperilaku terhadap berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat melalui persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

C. Persepsi Ibu Terhadap Berpikir Kritis Pada Anak