Persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak

(1)

PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA ANAK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Gabriela Elisabeth Edawani 129114041

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly. What is essential is invisible to the eye.” - Antoine de


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk:

Mama dan Papa yang selalu ada, yang takkan kulupa. Piter, yang selalu jadi temanku bertumbuh dan bertambah dewasa.


(6)

(7)

vii

PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA ANAK

Gabriela Elisabeth Edawani ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak, khususnya bagaimana ibu memahami dan menilai berpikir kritis pada anak, yang meliputi kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis isi kualitatif sebagai metode analisis data. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Focus Group Discussion, yang melibatkan 22 orang ibu dari tiga daerah di Larantuka, Flores Timur, yang berpartisipasi dalam tiga kelompok FGD yang berbeda. Kredibilitas penelitian ini dapat dilihat dengan mengklarifikasi bias, membangun kepercayaan partisipan, melakukan thick description dan melakukan FGD pada tiga kelompok partisipan yang berbeda, memastikan tidak adanya pergeseran kode, mengarsip data-data yang diperoleh, serta melakukan beberapa try outsebelum mengambil data yang sebenarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ibu di Flores memiliki pemahaman yang cukup luas dan mencakup hampir semua kategori berpikir kritis, baik dalam hal kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Walaupun begitu, penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak masih mengandung kontradiksi antara penilaian positif dan negatif. Beberapa ibu juga masih ragu-ragu dalam menentukan penilaian. Bila dibandingkan, kemampuan berpikir kritis pada anak cenderung dinilai secara positif, sedangkan disposisi berpikir kritis pada anak lebih banyak dinilai secara negatif oleh para ibu di Flores. Kata kunci: berpikir kritis, anak, persepsi, ibu, Flores, budaya.


(8)

viii

MOTHER’S PERCEPTION TOWARDS CRITICAL THINKING ON CHILDREN IN FLORES

Gabriela Elisabeth Edawani

ABSTRACT

This research aimed to reveal the perception of mothers in Flores towards critical thinking in children, especially their understanding and judgment on this particular subject, which includes the skills and dispositions of critical thinking in children. This is a qualitative research that used qualitative content analysis as the data analysis method. The method used to collect the data is Focus Group Discussion, involving 22 mothers from 3 regions in Larantuka, East Flores, who participated in three different Focus Group Discussion sessions. This research’s credibility was based on the researcher’s efforts to clarify biases, built participant’s trust, employed thick description and collecting the data from three different groups. The researcher also made sure that there’s no change of the coding’s meaning, archived all collected data, and employed several try outs before taking the real data. The results showed that mothers’ understanding of critical thinking in children is quite comprehensive and included almost every category of critical thinking skill and disposition that the experts had made. Nevertheless, the mother’s judgment towards critical thinking in children still contains contradiction between positive and negative judgments. Some mothers are still in doubt of deciding whether critical thinking in children is evaluated positively or negatively. If compared, critical thinking skill in children tends to be perceived positively, while critical thinking disposition tends to be viewed negatively.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkat dan kasih karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan YME yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari tahap ke tahap.

5. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi proses kuliah dari awal hingga akhir, memberikan nasihat-nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri.


(11)

xi

6. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi. dan ibu Diana Permata Sari, M.Sc., yang telah memberikan banyak masukan-masukan yang berarti demi mengembangkan dan memperbaiki skripsi yang telah saya buat ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia psikologi.

8. Mama, Papa, dan Piter yang selalu mendukung, mendorong, dan mendoakan dalam proses hingga skripsi ini selesai. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. I love you beyond words. Takkan kulupa :)

9. Agatha, Melani, dan Rezky yang selalu setia menghadapi aku dan kerumitanku, dan juga semua teman-teman di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang sudah memberi dorongan, selalu mengingatkan, mendukung dan menyemangati selama berkuliah dan selama mengerjakan skripsi. Terimakasih!

10. Teman-teman satu bimbingan skripsi “Anak-anak Profesor” yang sangat suportif dan gayeng! Bangga bisa punya kelompok bimbingan yang bisa seperti kalian! Khususnya untuk Ci Vania dan Ka Pika, juga Reka, Rikjan, Lenny, Raras, Mba Maria dan Mas Tama, dan semua anggota geng yang sudah sering sekali saya repotkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan kebingungan saya. Thank youdan semangat untuk yang masih berjuang! 11. Untuk Om Oncu, Mama Oa, dan Tanta Eda yang sudah ikut sibuk dalam


(12)

xii

semua keluarga di Larantuka yang selalu mendukung dengan tulus dan penuh kasih. Saya sangat bersyukur punya kalian semua. You are my new home. 12. Untuk Opa Ulen dan Opa Bence yang sudah jadi narasumber yang spesial dan

memberi pandangan-pandangan luar biasa mengenai Lamaholot dan Flores Timur. I’m so proud beyond words.

13. Untuk Opa Inyo Fernandez, yang sejak awal proses skripsi sudah memberi dukungan dan dorongan yang sangat berharga untuk Elni, dan berdiskusi serta memberi masukan mengenai budaya dan perkembangan di Flores Timur. Juga untuk Tante Marni yang selalu hadir dengan tangan terbuka dan membantu ketika Elni kesulitan. Thank you, thank you, I’m forever thankful!

14. Semua ibu di Larantuka yang sudah bersedia diajak berdiskusi dan berbagi, terimakasih untuk semua cerita yang berkesan, terimakasih untuk kesediaan dan keterbukaannya. Tanpa Tanta semua, skripsi ini tidak berjalan. Terimakasih!

15. Untuk teman berkesenian dalam musik maupun seni rupa, teman-teman di Sadharjazz, Jazz Mben Senen, teman-teman-teman-teman ngeband di sana sini, teman-teman melukis dan berburu event dari berbagai tempat. Terimakasih untuk kesempatan dan semua pembelajarannya. Tanpa kalian semua, saya pasti sudah menjadi zombie yang menyeret langkah tanpa nyawa. ;)

16. Untuk keluarga UKM Taekwondo Sanata Dharma baik yang masih aktif maupun yang sudah veteran. Sekali keluarga tetap keluarga! <3

17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah membantu dan memberikan dukungan selama ini.


(13)

xiii

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.


(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ix

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xiv

DAFTAR TABEL...xiiii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat Teoritis... 10


(15)

xv

3. Manfaat Kebijakan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

A. Berpikir Kritis... 12

1. Definisi Berpikir Kritis ... 12

2. Komponen-komponen Berpikir Kritis... 13

B. Berpikir Kritis pada Anak... 20

C. Persepsi Orangtua Terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 23

D. Orangtua di Flores ... 26

E. Kerangka Konseptual ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 31

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Partisipan ... 33

D. Peran Peneliti... 35

E. Metode Pengambilan Data... 36

1. Protokol Observasi... 37

2. Protokol FGD... 38

3. Perekaman Data ... 39

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 40

G. Kredibilitas Penelitian ... 43

H. Isu-Isu Etis yang Mungkin Muncul... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47


(16)

xvi

B. Hasil Penelitian... 49

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ... 49

2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 58

3. Temuan-temuan Tambahan... 63

C. Pembahasan ... 71

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ... 71

2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 76

BAB V PENUTUP... 82

A. Kesimpulan... 82

B. Keterbatasan Penelitian ... 85

C. Saran... 86

1. Bagi Peneliti Selanjutnya... 86

2. Bagi Para Ibu ... 86

3. Bagi Pemerintah atau Instansi Terkait... 87

DAFTAR ACUAN... 88


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Diri Partisipan...34

Tabel 2. Protokol FGD ...38

Tabel 3. Kriteria Koding...41


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Protokol Observasi...91 Lampiran 2. Contoh Informed Consent...92 Lampiran 3. Contoh Lembar Identitas ...93


(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini, berpikir kritis menjadi semakin penting untuk dimiliki setiap orang. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga perlu dilatih dan diajarkan untuk berpikir kritis. Salah satu alasannya adalah kehadiran informasi yang kini membombardir kita melalui media dan teknologi yang berkembang sangat pesat dan semakin mudah diakses bahkan oleh anak-anak, misalnya pornografi atau media yang mengandung unsur kekerasan yang dapat diperoleh melalui internet ataupun layar televisi. Apabila tidak berhati-hati, anak-anak dapat mengalami kecanduan pornografi, terpengaruh konten-konten kekerasan yang banyak ditemui di media, ataupun terjerumus ke dalam kejahatan yang berbasis online. Bahkan menurut data yang diambil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2011 hingga 2014, dalam kurun waktu empat tahun ini saja, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai 1.022 anak (Setyawan, 2015). Mengingat urgensi dari permasalahan ini, langkah yang perlu dilakukan adalah memberi anak-anak dasar yang kuat, sehingga mampu memilah informasi yang baik dan yang buruk. Salah satu dasar yang dimaksud adalah berpikir kritis.

Berpikir kritis adalah berpikir yang reflektif, masuk akal, dan berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan (Ennis, 2011). Berpikir kritis mencakup sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang,


(21)

pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, serta keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001). Berpikir kritis termasuk salah satu higher order thinking atau proses berpikir tingkat tinggi dan tidak sama dengan kemampuan-kemampuan maupun proses kognitif yang sederhana (Nieto & Saiz, 2011). Orang yang berpikir kritis tidak hanya menerima secara pasif informasi yang masuk, tapi juga memproses apa yang diterima tersebut sehingga dapat menentukan apa yang akan diyakini dan dipercaya.

Berpikir kritis terdiri dari kemampuan berpikir kritis dan disposisi berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir kritis. Dari hasil konsensus 46 ahli dalam penelitian dengan teknik Delphi tentang Keterampilan dan Sub-Keterampilan dasar Berpikir Kritis, disepakati bahwa kemampuan berpikir kritis terdiri dari 6 komponen, yaitu kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan inferensi, mengeksplanasi, serta melakukan swa-regulasi. Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan arti atau signifikansi dari suatu hal. Kemampuan menganalisis adalah kemampuan mengamati ide-ide dan mengidentifikasi bagian-bagian serta relasi-relasi antar bagian tersebut. Kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan untuk memeriksa kredibilitas dan kekuatan logis dari pernyataan, klaim, argumen, atau bentuk representasi lain. Kemampuan melakukan inferensi mengacu pada kemampuan untuk menarik kesimpulan, memikirkan alternatif-alternatif, serta menemukan bukti-bukti yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan tersebut. Kemampuan mengeksplanasi


(22)

adalah kemampuan menyatakan argumen dan hasil penalaran beserta prosedur yang dilakukan. Sedangkan kemampuan untuk melakukan swa-regulasi berarti kemampuan untuk memeriksa penalaran diri dan melakukan koreksi apabila ditemui suatu kesalahan (Facione, 1990).

Disposisi berpikir kritis menurut Facione, Facione dan Giancarlo (2000) adalah motivasi internal yang konsisten untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Terdapat sejumlah disposisi berpikir kritis yang telah diungkapkan para ahli (Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy, Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999) yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis. Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah adalah kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Sikap ingin tahu mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, kecenderungan untuk selalu bertanya serta ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja. Kecenderungan untuk menggunakan penalaran adalah disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan penalaran. Sedangkan kecenderungan berpikir yang sistematis merupakan disposisi untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur.

Kedua komponen ini, baik kemampuan maupun disposisi, perlu dimiliki seseorang agar dapat berpikir kritis. Nieto dan Saiz (2011) menyatakan bahwa


(23)

selama bertahun-tahun, asesmen dan pengajaran berpikir kritis hanya difokuskan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis, namun belakangan ini sudah mulai muncul pendapat dari para ahli bahwa penguasaan kemampuan berpikir kritis saja tidak menjamin seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang bisa saja memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, namun belum tentu ia akan menggunakannya apabila tidak memiliki disposisi sebagai komponen afektif dari berpikir kritis.

Para ahli melalui penelitian dengan teknik Delphi menyatakan bahwa kemampuan maupun disposisi berpikir kritis seharusnya diajarkan sejak masa kanak-kanak awal (Facione, 1990). Menurut Chandra (2008), saat yang paling tepat untuk mendorong pola pikir kritis adalah saat-saat dini di mana anak masih berada dalam periode yang krusial dan formatif dari pertumbuhan kognitif mereka. Ia juga mengungkapkan bahwa ide untuk mendorong berpikir kritis bahkan pada anak-anak berusia di bawah lima tahun bukanlah sesuatu yang baru, dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa berpikir kritis sudah ada pada anak-anak dengan usia muda. Karena itulah, berpikir kritis perlu diajarkan dan dilatih sejak usia dini, bahkan sebelum anak mulai bersekolah. Terlebih lagi, anak-anak masih seperti kanvas kosong yang dengan cepat menerima apa yang diajarkan secara langsung maupun tidak langsung kepada mereka. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak-anak pada masa ini sudah membutuhkan berpikir kritis dalam menghadapi informasi yang membombardir anak di dunia teknologi ini. Apabila melalui proses pengasuhan kebiasaan atau perilaku berpikir kritis tidak ditanamkan sejak kecil, atau justru dihambat serta dianggap tabu dan tidak sopan, hal ini dapat terbawa oleh anak hingga dewasa dan


(24)

nantinya akan sulit untuk diubah. Di sinilah peran orang tua, khususnya ibu sebagai caregiver dan pendidik anak di usia awal sangat besar. Ibu di Indonesia pada umumnya lebih banyak mengasuh dan mendidik anak serta lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, terutama ketika anak berusia dini, apabila dibandingkan dengan ayah. Namun pertanyaannya adalah, apakah para ibu memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang berpikir kritis, serta apakah ibu menilai berpikir kritis sebagai hal yang baik atau justru menganggapnya sebagai hal yang buruk? Pandangan yang dimiliki ibu, yang meliputi bagaimana ibu memahami mengenai berpikir kritis serta bagaimana ibu memberi penilaian terhadap berpikir kritis pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dan penerapannya dalam pengasuhan, yang pada akhirnya menentukan apakah mereka mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuan berpikir kritis anak. Pemahaman dan penilaian ibu tersebut dapat didalami lebih jauh melalui persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.

Sudah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan berpikir kritis, namun penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya masih lebih terfokus pada dunia pendidikan, seperti penelitian Richmond (2007), yang membahas bepikir kritis dalam dunia pendidikan di negara-negara berkembang. Ia melakukan eksperimen tentang bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir kritis pelajar di negara berkembang, dan meneliti bagaimana kesadaran terhadap kebutuhan berpikir kritis beserta halangan-halangan yang ditemui. Terdapat juga penelitian dari Lun (2010) yang membahas bagaimana berpikir kritis pada mahasiswa di universitas dipengaruhi oleh budaya, khususnya budaya kolektif di Asia.


(25)

Penelitian-penelitian yang dilakukan juga lebih banyak melihat berpikir kritis dengan anak sebagai fokusnya, bukan pada orang tua yang sebenarnya berperan penting untuk membentuk kemampuan berpikir kritis anak. Padahal menurut Seitz dan Provence (1990, dalam Duncan & Magnuson, 2004), intervensi yang berfokus langsung pada orang tua akan memberi hasil yang efisien, mengingat orang tua berperan sebagai pendidik pertama dan terbaik bagi anak. Walaupun begitu, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2008), yang mengungkap perkembangan berpikir kritis pada anak berusia 4 sampai 5 tahun beserta program yang dapat diterapkan bagi ibu untuk dapat menciptakan interaksi yang mendukung pola pikir kritis anak di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan usia sangat muda sudah menunjukkan komponen kognitif maupun afektif dari berpikir kritis, serta bahwa program intervensi yang diberikan pada ibu sebagai caregiver utama bagi anak, dapat meningkatkan perkembangan berpikir kritis pada anak. Penelitian ini menyarankan peneliti selanjutnya untuk mengambil sampel yang lebih luas atau dari settingatau konteks yang berbeda, mengingat penelitian ini hanya melibatkan para partisipan yang berdomisili di Jakarta. Selain itu, ia juga menyarankan agar peneliti selanjutnya lebih mendalami kesiapan para ibu di Indonesia untuk terlibat dalam usaha-usaha meningkatkan pola pikir kritis anak, agar selanjutnya informasi ini dapat digunakan untuk mendukung intervensi yang diterapkan pada orang tua.

Akan tetapi, peneliti belum pernah menemukan penelitian yang mendalami kesiapan ibu untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan


(26)

berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat salah satunya melalui bagaimana ibu memahami dan menilai berpikir kritis pada anak. Penelitian yang membahas anggapan masyarakat dalam budaya Indonesia terhadap berpikir kritis memang sudah pernah dilakukan, misalnya penelitian Chandra (2004) tentang berpikir kritis pada budaya Jawa, Batak Toba, dan Minangkabau. Penelitian ini melihat nilai-nilai apa saja yang dianggap penting atau diinginkan dalam masing-masing budaya dan pandangan atau praktik apa saja dalam budaya tersebut yang dapat mendukung maupun menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Akan tetapi, penelitian ini masih lebih berfokus pada masyarakat umum, bukan pada ibu terkait pengasuhan terhadap anak. Penelitian ini memang mengungkap secara singkat bagaimana orang tua di Indonesia merespon rasa ingin tahu dan perilaku bertanya pada anak, namun hal ini tidak diteliti lebih lanjut dan mendalam. Penelitian ini juga hanya menggunakan subjek dari para petinggi adat dan kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga kurang menggambarkan masyarakat awam atau mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Penelitian ini juga tidak mendalami hingga komponen-komponen kemampuan maupun disposisi berpikir kritis.

Selain itu, kebanyakan penelitian yang telah diuraikan peneliti sebelumnya dilakukan pada subjek di daerah Jawa dan Indonesia bagian Barat, dan sangat jarang atau bahkan belum ada yang meneliti hal sejenis pada masyarakat di Indonesia bagian Timur, misalnya daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Padahal budaya, kebiasaan, serta nilai-nilai yang dianggap penting oleh ibu di Flores tentunya memiliki perbedaan dengan daerah-daerah lain, mengingat tingginya


(27)

keberagaman dan kebudayaan di antara daerah-daerah yang berbeda di Indonesia. Budaya Lamaholot di Flores juga mendukung daya kritis melalui praktik musyawarah yang demokratis, di mana terdapat anggapan bahwa pembicaraan bersama mengawali segala kegiatan bersama (Hayon, 2008). Namun menurut seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor, kekritisan yang sebenarnya dimiliki orang-orang Flores seringkali tidak diekspresikan karena lingkungan bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara, yang terbawa hingga dewasa dalam kehidupan bermasyarakat (komunikasi pribadi, 25 November, 2016). Selain itu, tingkat ekonomi, pembangunan serta kualitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur masih tergolong rendah. Dengan berusaha meningkatkan pola pikir kritis pada anak-anak sebagai generasi penerus, masyarakat diharapkan dapat berkembang hingga mencapai tingkat yang lebih baik, baik dalam hal pendidikan maupun kehidupan ekonomi dan sosial. Selain itu pula, berdasarkan pengalaman dan pengamatan peneliti, masyarakat Flores banyak yang bermigrasi ke kota-kota lain di luar pulau. Apabila tidak diimbangi dengan pola pikir kritis, dikhawatirkan mereka akan kesulitan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka di tanah perantauan. Selain itu, hidup berdampingan dengan etnis lain juga dapat menyebabkan konflik apabila tidak disertai pola pikir yang terbuka dan mau melihat sudut pandang yang berbeda.

Melihat defisiensi-defisiensi tersebut, peneliti beranggapan bahwa perlu dilakukan sebuah penelitian yang berfokus pada bagaimana ibu mempersepsikan berpikir kritis pada anak, khususnya membahas bagaimana pemahaman dan


(28)

penilaian ibu terhadap hal tersebut. Penelitian ini akan melibatkan para ibu di Flores yang sedang mengasuh anak berusia 3 hingga 5 tahun, yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dalam hal usia atau tingkat pendidikan. Penelitian ini juga tidak hanya melihat berpikir kritis secara umum, namun juga melingkupi komponen-komponen kemampuan maupun disposisi berpikir kritis, yang diharapkan dapat memberi gambaran yang mendalam mengenai persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? Pertanyaan turunan:

a. Bagaimana pemahaman ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? b. Bagaimana penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi persepsi orang tua, khususnya para ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak. Melalui Focus Group Discussion yang dilakukan terhadap para ibu yang sedang mengasuh anak prasekolah (3-5 tahun), diharapkan penelitian ini dapat mengungkap bagaimana ibu dengan latar belakang budaya Flores mempersepsikan perilaku berpikir kritis pada anak, sehingga dapat memberi gambaran mengenai kesiapan para ibu di Flores untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk berpikir kritis.


(29)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang psikologi dan menambah wawasan kepustakaan yang cukup mendalam mengenai persepsi orang tua di Indonesia terhadap berpikir kritis pada anak. Selain itu, penemuan yang terkait dengan budaya dapat memberi wawasan baru dalam bidang psikologi lintas-budaya, khususnya pada etnis Flores yang masih memerlukan pembangunan dan pengembangan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas pengasuhan orang tua di Flores. Dengan mengetahui tingkat pemahaman para ibu di Flores mengenai berpikir kritis pada anak serta melihat apakah masih banyak pandangan negatif para ibu terhadap anak yang berpikir kritis, dapat dirancang program intervensi atau sosialisasi yang dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak dan mengurangi penilaian negatif yang dimiliki ibu, agar nantinya para ibu dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif pada anak untuk berpikir kritis.

3. Manfaat Kebijakan

Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu pengambilan kebijakan oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah Flores dalam bidang pendidikan dan perkembangan anak. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penyuluhan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah terhadap orang tua murid maupun langsung ke berbagai lapisan masyarakat agar lebih memahami dan menyadari pentingnya


(30)

berpikir kritis pada anak, dengan tetap mempertimbangkan aspek budaya yang terdapat dalam masyarakat.


(31)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai berpikir kritis, dan secara khusus berpikir kritis pada anak. Hal ini mencakup definisi dan komponen berpikir kritis serta usia dimulainya berpikir kritis pada anak. Kemudian penulis akan menjelaskan mengenai persepsi orang tua serta pandangan orang tua di Indonesia pada umumnya terhadap berpikir kritis, khususnya berpikir kritis pada anak. Penulis juga akan menggambarkan secara singkat karakteristik orang tua di Flores beserta budaya Lamaholot yang terkait dengan berpikir kritis maupun pengasuhan pada anak, sebelum akhirnya menjabarkan kerangka konseptual dari penelitian ini.

A. Berpikir Kritis 1. Definisi Berpikir Kritis

Critical thinking atau berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan (Ennis, 2011). Berpikir kritis juga dijelaskan sebagai: (a) sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (b) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; serta (c) keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001).

Fisher (2001) menjelaskan bahwa berpikir kritis berbeda dengan berpikir tidak reflektif, jenis berpikir di mana kita langsung mengarah ke kesimpulan, atau menerima beberapa bukti, tuntutan atau keputusan begitu saja, tanpa


(32)

sungguh-sungguh memikirkannya. Hal ini dapat disebut sebagai cara berpikir yang pasif, berlawanan dengan cara berpikir kritis yang aktif mencari bukti-bukti, mempertanyakan, dan sebagainya. Dijelaskan pula bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu, misalnya kemampuan menginterpretasi dan mengevaluasi, memikirkan asumsi-asumsi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, serta menarik implikasi-implikasi dalam memikirkan dan memperdebatkan isu-isu. Fisher juga mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis meyakini bahwa terdapat situasi-situasi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks tertentu, yang perlu dihadapi dengan pemikiran yang kritis dan reflektif, sehingga ia akan cenderung menerapkan berpikir kritis pada situasi-situasi tersebut. Hal-hal ini mengarah pada dua komponen dari berpikir kritis, yaitu kemampuan dan disposisi.

2. Komponen-komponen Berpikir Kritis

Berpikir kritis terdiri atas dua komponen, yaitu: (a) skill atau kemampuan berpikir kritis, serta (b) disposisi, kebiasaan, dan karakter kepribadian untuk berpikir kritis (Nieto & Saiz, 2011). Kennedy et al. (1991) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir kritis, sementara disposisi berpikir kritis merupakan komponen afektif, di mana keduanya akan membentuk perilaku berpikir kritis yang diwujudkan pada diri seseorang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, selama bertahun-tahun pendekatan dalam berpikir kritis hanya ditekankan pada komponen kemampuan saja. Padahal, baik kemampuan maupun disposisi sangat dibutuhkan. Tanpa


(33)

kemampuan berpikir kritis, seseorang belum tentu berkeinginan untuk berpikir kritis, sedangkan hanya memiliki disposisi pun tidak cukup, karena walaupun berkeinginan, individu tersebut tidak akan tahu cara berpikir kritis (Nieto & Saiz, 2011).

a. Kemampuan berpikir kritis

Dalam review yang dilakukan oleh Lai (2011) diungkapkan bahwa terdapat banyak pendapat ahli mengenai kemampuan berpikir kritis. Para ahli cenderung sependapat tentang kategori-kategori kemampuan apa saja yang dimiliki orang yang berpikir kritis, yang meliputi kemampuan menganalisis, melakukan inferensi, menilai, membuat keputusan atau menyelesaikan masalah, kemampuan mengajukan dan menjawab pertanyaan untuk mengklarifikasi, mendefinisikan istilah-istilah, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menginterpretasi dan menjelaskan, mengungkapkan penalaran secara verbal, memprediksi, dan melihat kedua sisi dari suatu masalah (Ennis, 1985; Facione, 1990; Halpern, 1998; Paul, 1992; Willingham, 2007; Case, 2005; Lipman, 1988; Tindal & Nolet, 1995; Paul, 1992, dalam Lai, 2011). Penelitian dengan teknik Delphi pada tahun 1988 sampai 1989 yang melibatkan 46 ahli di bidang berpikir kritis telah mengkategorikan kemampuan-kemampuan tersebut menjadi 6 kelompok kemampuan, yaitu kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi (Facione, 1990). Keenam kategori inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena pengelompokan kategori yang komprehensif dan banyak digunakan oleh kebanyakan jurnal yang membahas tentang berpikir kritis. Bahkan kategori ini


(34)

digunakan untuk membuat alat tes dalam hal kemampuan berpikir kritis (Facione, 2013). Kemampuan-kemampuan ini pada hakikatnya merupakan proses-proses kognitif yang dijelaskan dalam taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2000). Namun dalam taksonomi Bloom, kategori-kategori ini diterapkan dalam berbagai konteks yang bersifat umum, sedangkan dalam teori berpikir kritis hanya dikhususkan pada argumen, klaim, pemikiran dan bentuk representasi lainnya. Keenam kategori ini dijelaskan sebagai berikut:

1) Menginterpretasi. Secara umum kemampuan ini diartikan sebagai kemampuan untuk menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima. Menginterpretasi berarti mengubah dari suatu bentuk representasi ke dalam bentuk representasi lain (Anderson & Krathwohl, 2000). Kemampuan ini juga mencakup kemampuan seseorang untuk memahami dan mengungkapkan arti atau signifikansi dari suatu hal, dengan mendeskripsikan dan mendefinisikan suatu hal, menyebutkan, mengartikan, memahami makna tersirat maupun tersurat dari suatu pernyataan, mengelompokkan suatu hal dalam suatu kategori tertentu, serta memparafrasekan suatu informasi dengan kata-kata sendiri atau dengan bentuk ungkapan lain (Facione, 1990). Kemampuan menginterpretasi ini berbeda dari sekadar mengerti dan memahami suatu hal, di mana terdapat penekanan pada aktivitas memaknai atau menafsirkan suatu hal berdasarkan pemahaman atau skema tertentu yang dimiliki seseorang.

2) Menganalisis. Kemampuan ini melibatkan aktivitas mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, argumen-argumen, ide-ide, serta elemen-elemen yang tersirat maupun tersurat dalam suatu pernyataan atau argumen dan


(35)

menguraikan serta menganalisis elemen-elemen tersebut (Facione, 1990). Hal ini sejalan dengan pengertian menganalisis secara umum, yaitu menguraikan suatu hal menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-relasinya (Anderson & Krathwohl, 2000). Misalnya, mampu mengidentifikasi pernyataan-pernyataan yang mendukung atau menentang suatu opini penulis dalam suatu paragraf, mencermati usulan-usulan terkait suatu masalah dan menelaah persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaannya, atau menentukan mana yang menjadi kesimpulan utama, klaim-klaim pendukung, atau elemen-elemen lain dalam suatu argumen (Facione, 1990).

3) Mengevaluasi. Mengevaluasi berarti membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu (Anderson & Krathwohl, 2000). Standar dan kriteria yang dimaksud di sini adalah kualitas dan kredibilitas atau seberapa suatu pernyataan atau argumen dapat dipercaya, serta kekuatan logis yang dimilikinya (Facione, 1990). Dalam berpikir kritis, objek yang dinilai dan dievaluasi dapat berupa klaim, argumen, pernyataan-pernyataan, atau bentuk representasi dari persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan, atau opini seseorang.

4) Melakukan inferensi. Kemampuan melakukan inferensi adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan hipotesis dari informasi yang ada (Facione, 1990). Dalam melakukan inferensi, seseorang harus dapat menemukan pola-pola dari serangkaian data atau informasi yang tersedia (Anderson & Krathwohl, 2000). Inferensi mencakup kemampuan untuk menarik kesimpulan yang beralasan, menentukan pola sebab-akibat,


(36)

memprediksi, mengungkapkan dugaan, berasumsi, memperkirakan alternatif-alternatif terhadap suatu masalah, dan sebagainya.

5) Mengeksplanasi. Kemampuan mengeksplanasi atau menjelaskan adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan (Facione, 1990). Contohnya adalah ketika seseorang menyampaikan argumen atau pendapatnya, menjelaskan suatu hal baik secara lisan maupun tertulis, menjelaskan langkah demi langkah penalarannya, menjelaskan dengan bukti dan data-data yang mendukung, dan sebagainya.

6) Melakukan swa-regulasi. Kemampuan melakukan swa-regulasi adalah kemampuan untuk memantau proses penalaran yang dilakukan diri sendiri. Hasil konsensus para ahli yang diperoleh melalui teknik Delphi mengartikan swa-regulasi sebagai kemampuan memantau aktivitas kognitif diri sendiri beserta hasil penalaran dan elemen-elemen yang digunakan dalam aktivitas tersebut, yang mencakup pemeriksaan diri dan koreksi diri (Facione, 1990). Contohnya adalah ketika seseorang mampu merefleksikan pemikirannya sendiri, memeriksa kembali bukti-bukti dan langkah-langkah yang digunakannya, menyadari bias yang mungkin dimiliki, dan mengoreksi penalaran diri sendiri apabila ditemukan kesalahan dari hasil pemeriksaan diri tersebut.

b. Disposisi berpikir kritis

Disposisi berpikir kritis adalah motivasi internal yang konsisten untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang akan dipercaya atau dilakukan (Facione, Facione & Giancarlo, 2000). Menurut


(37)

para ahli di bidang berpikir kritis, disposisi berpikir kritis atau komponen afektif dibutuhkan untuk membuat kemampuan berpikir kritis semakin mengakar dan bertumbuh dalam individu (Facione, 1990). Terdapat beberapa disposisi berpikir kritis yang telah diungkapkan para ahli (Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy, Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999) yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis. Masing-masing kategori tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Fair-mindedness atau kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi ini menunjukkan kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Kategori ini mencakup berpikiran terbuka, berpikiran luas dan divergen, toleran, menghargai, dan mau mempertimbangkan pandangan serta sudut pandang yang berbeda. Individu yang memiliki disposisi ini juga cenderung fleksibel, peka terhadap bias, mau mengubah pandangan dan pendirian bila bukti atau hasil penalaran berlawanan dengan apa yang diyakini sebelumnya (bahkan jika tidak mendukung kepentingan pribadinya), serta jujur secara intelektual. Dengan kata lain, ia dapat dikatakan bersikap objektif dan tidak berat sebelah dalam melakukan penyelidikan atau dalam menanggapi suatu informasi.

2) Inquiring Attitude atau sikap ingin tahu. Disposisi ini mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, sikap selalu bertanya, dan ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja. Individu yang memiliki sikap ingin tahu ini selalu


(38)

penasaran terhadap hal-hal baru, mencari alasan atau penyebab dari suatu hal, ingin mempelajari sesuatu bahkan jika penerapannya dan manfaatnya tidak terlihat langsung. Individu tersebut juga tidak cepat puas dengan informasi atau pengetahuan yang terbatas.

3) Inclination to use reason atau kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Kategori ini mencakup disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan penalaran. Individu dengan disposisi ini juga memiliki keyakinan terhadap penalarannya, menghargai penalaran dan hasil penalaran yang baik, menggunakan dan menyebutkan sumber-sumber yang kredibel. Ia akan mencari informasi seakurat mungkin, serta tetap bersandar pada alasan dan penalaran ketika melakukan penilaian dalam konteks yang tidak pasti.

4) Systematicityataukecenderungan berpikir yang sistematis. Disposisi ini merupakan kecenderungan untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur. Hal ini terlihat dari kecenderungan untuk fokus dan tetap menaruh perhatian pada isu dan topik yang sedang diselidiki atau masalah yang sedang dipecahkan, tekun, persisten dan tidak mudah menyerah, dan memiliki cara-cara tertentu yang tersistematis dan teratur dalam hal penyelidikan ataupun pemecahan masalah. Individu tersebut juga akan tetap memperhatikan situasi keseluruhan atau gambaran besar dari suatu hal atau masalah.


(39)

B. Berpikir Kritis Pada Anak

Biasanya, berpikir kritis dilihat sebagai sebuah kualitas yang baru akan dimiliki setelah anak cukup besar, atau bahkan seringkali hanya ditekankan pada sekolah atau perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dengan usia muda pun, apabila mendapat stimulasi yang tepat, dapat memiliki baik kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Sebuah studi literatur dari Lai (2011) yang membahas konsep berpikir kritis dari pandangan berbagai ahli menemukan bahwa berlawanan dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa anak-anak pada tahap praoperasional belum mampu bernalar secara abstrak dan melihat perspektif orang lain, terdapat banyak penemuan akhir-akhir ini bahwa anak-anak berusia dini sudah terlibat dalam banyak proses kognitif yang sama dengan yang dilakukan orang dewasa. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia sangat muda sudah mampu berpikir kritis atau mempelajari cara berpikir yang lebih kompleks (Gelman & Markman, 1986; Silva, 2008; Willingham, 2007; dalam Lai, 2011).

Peneliti-peneliti awal cenderung menyimpulkan bahwa anak tidak mampu berpikir kritis, namun menurut Kennedy et al (1991) anak seringkali dianggap tidak mampu berpikir kritis dikarenakan kurangnya latar belakang pengetahuan yang dimiliki anak, bukan karena anak tidak mampu berpikir kritis. Murphy et. al (2014) juga mengungkapkan bahwa anak-anak berusia muda telah mampu berpikir dan melakukan penalaran secara kritis, dan bahwa berpikir secara kritis dan analitis didasarkan pada kemampuan-kemampuan yang telah berkembang sejak masa kanak-kanak awal. Juga disebutkan bahwa anak-anak bahkan dari


(40)

yang berusia di bawah lima tahun telah banyak mengajukan pertanyaan dan menunjukkan rasa ingin tahu, berusaha mencari penyebab sesuatu secara deduktif, mengapresiasi perspektif orang lain, berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan (metakognisi), mengembangkan teori pikiran, dan menunjukkan banyak perilaku lain yang dapat dikategorikan sebagai elemen dari berpikir kritis (Chandra, 2008). Di samping itu, anak-anak juga memiliki disposisi untuk berpikir kritis yang cukup menonjol dibandingkan dengan usia-usia lain.

Menurut Padji (1992), anak-anak dengan nafsu belajarnya merupakan penyelidik lingkungan yang aktif. Mereka mengasah sifat keingintahuannya, mencari pemecahan masalah dan gemar menghubung-hubungkan, mempelajari secara langsung pelajaran yang berarti bagi diri mereka. Anak juga memiliki rasa ingin tahu, yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak, di mana masa bertanya ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 6 tahun (Syamsu, 2000).

Karena itulah, dorongan dan dukungan untuk berpikir kritis sudah harus diberikan sejak anak-anak berusia dini. Para ahli menyatakan bahwa sejak usia dini, anak-anak harus diajarkan untuk bernalar, mencari fakta-fakta yang relevan, mempertimbangkan pilihan-pilihan, serta memahami pandangan orang lain (Facione, 1990). Hal ini dikarenakan berpikir kritis, yang merupakan satu dari beberapa bentuk berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking, sangat jarang diperoleh hanya dengan perkembangan individu secara alamiah, melainkan harus dipelajari melalui sejumlah instruksi atau pengajaran (Arons, 1979; Kuhn, 1993; dalam Nieto & Saiz, 2011).


(41)

Pada usia dini anak, terutama sebelum anak-anak mulai bersekolah, orang tua (khususnya ibu sebagai caregiver utama) sangat berperan penting untuk mendidik dan mengasuh anaknya. Hal ini juga didukung dengan budaya di Indonesia yang lebih menekankan peran ibu sebagai pengasuh utama bagi anak. Menurut Chandra (2008), ibu memegang peranan yang signifikan bagi anak dikarenakan ibu merupakan figur utama yang mengasuh anak terutama pada anak berusia dini, termasuk dalam hal mengembangkan dan mendorong berpikir kritis pada anak. Anak-anak belajar berpikir secara kritis ketika mereka memiliki kesempatan dan alasan untuk berpikir secara kritis; ketika mereka mengamati orang lain yang berpikir secara kritis; dan ketika mereka diminta untuk memberikan informasi, tantangan, perdebatan yang lebih didasari oleh rasa hormat dibandingkan kekuatan dan kekuasaan (Smith, 1986, dalam Davis-Seaver, 2000). Berinteraksi dengan individu-individu yang kompeten juga sangat memengaruhi kualitas berpikir anak-anak. Konsep Vygotsky tentang zone of proximal development (ZPD) menyarankan bahwa melalui bimbingan dan bantuan dari orang-orang di lingkungan sekitar, anak-anak dapat mengembangkan cara belajar mereka (Santrock, 2012). Bimbingan dan bantuan dari figur-figur di sekitar anak yang sangat penting bagi anak adalah dari orangtua, terutama ibu. Ibu memegang peranan penting dalam tahap awal anak-anak belajar, di mana pengasuhan ibu terkait pengembangan berpikir kritis pada anak tentunya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana ibu memandang, bereaksi, dan berperilaku terhadap berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat melalui persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.


(42)

C. Persepsi Ibu Terhadap Berpikir Kritis Pada Anak

Menurut Padji (1992), orang tua memegang peranan penting dalam tahap awal anak-anak belajar dengan memberi contoh apa yang diinginkan dan bagaimana hal itu bisa dilakukan, melakukan koreksi dan menunjukkan kesalahan, serta memberikan semangat dan dukungan yang penting untuk mengatasi kemunduran dan belajar dari kegagalan. Ia juga mengungkapkan bahwa anggapan-anggapan yang dimiliki orang tua, apabila keliru atau kurang tepat, dapat menghambat peran penting mereka dalam meningkatkan keterampilan otak anak-anak mereka.

Hal ini dapat dikaji lebih jauh dengan mendalami persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada objek-objek fisik maupun objek sosial, di mana sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, persepsi, ingatan dan lain-lain (Young, 1956). Pengertian lain juga dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2013) bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian dianalisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.

Berdasarkan pengertian tersebut, dalam penelitian ini persepsi dibatasi pada pemahaman (atau interpretasi, pemaknaan) dan penilaian (atau tanggapan dan evaluasi) ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Pemahaman mengacu pada sejauh apa para ibu di Flores memahami cakupan berpikir kritis pada anak, yang


(43)

pada hakikatnya terdiri dari kemampuan dan disposisi. Sedangkan penilaian mengacu pada bagaimana ibu menilai dan menanggapi berpikir kritis pada anak, yang menekankan pada apakah ibu menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang positif atau negatif.

Persepsi ini perlu diteliti karena menurut Sherif (1969, dalam Sadli, 1977), pengalaman dan tingkah laku merupakan sebuah kesatuan. Apa yang dilakukan seseorang baik sebagai ucapan, ekspresi, atau perilaku tidak terlepas dari caranya mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai suatu hal. Berdasarkan hal ini, persepsi orang tua terhadap berpikir kritis pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya, yang pada akhirnya dapat sangat memengaruhi perkembangan berpikir kritis pada anak. Sherif juga mengungkapkan bahwa persepsi sebagai salah satu proses psikologis dalam diri individu dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu maupun faktor-faktor situasi atau stimulus di luar individu. Faktor dalam diri individu mencakup motif-motif sikap, ambisi, keadaan fisik atau mental seseorang, sikap yang berhubungan dengan norma-norma sosial, bahasa, pengaruh dari pengalaman yang lalu, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor situasi atau stimulus mencakup objek, orang, kelompok, hasil kebudayaan, dan lain-lain.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap persepsi ibu di Indonesia adalah faktor budaya. Mulyana (2005) mengungkapkan bahwa persepsi itu terikat oleh budaya (culture-bound). Ia berpendapat bahwa bagaimana kita memaknai pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut, di mana faktor-faktor seperti agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat


(44)

ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa dapat sangat memengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas.

Sayangnya, budaya Indonesia yang kurang suportif dalam mendukung perkembangan berpikir kritis telah diungkapkan oleh para ahli dari Eropa yang mempelajari budaya Jawa (Magnis-Suseno, 1993; Mulder, 1984; 1996, dalam Chandra, 2008). Dijelaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia, kepatuhan terhadap standar-standar moral dan religius dinilai sebagai kualitas yang paling diinginkan, sementara menjadi individu yang independen dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan pemikirannya dipandang tidak penting samasekali. Keluarga, sekolah, dan masyarakat hanya memberikan kesempatan yang terbatas bagi individu untuk mengungkapkan opini atau ide-ide mereka. Anak-anak tidak diizinkan berbicara sebelum ditanya atau diizinkan terlebih dahulu, terutama dalam memberi komentar yang bersifat kritis. ‘Anak yang baik’ adalah mereka yang patuh, penurut, bergantung, dan submisif. Mereka yang independen dan menunjukkan opini pribadi yang berbeda dari pendapat figur-figur otoritas akan dianggap tidak menunjukkan rasa hormat (Setiadi, 1986; Chandra, 2004; dalam Chandra, 2008). Walaupun begitu, ditemukan bahwa dalam budaya yang berbeda, pandangan terhadap berpikir kritis pada masyarakatnya juga cukup berbeda, dan ditemukan nilai-nilai budaya yang mendukung maupun menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Nilai-nilai yang mendukung berpikir kritis misalnya prinsip Dalihan Na tolu dari Batak Toba yang menekankan prinsip demokratis pada masyarakatnya. Terdapat juga atmosfer yang egalitarian dan setara dalam budaya Minangkabau, di mana setiap pendapat


(45)

diberi kesempatan untuk didengarkan dan dipertimbangkan. Selain itu, penggunaan seni budaya dan artefak seringkali menjadi sarana untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda dalam budaya Jawa. Akan tetapi, dalam budaya Jawa berpikir kritis dihambat oleh kepatuhan terhadap figur otoritas yang sangat ditekankan, di mana figur otoritas dianggap selalu benar dan tidak perlu mempertanyakan atau memperdebatkan keputusan yang diambilnya. Hal ini tidak terlihat dalam budaya Minangkabau, yang menganggap semua orang memiliki kedudukan yang setara dan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas. Sedangkan dalam budaya Batak Toba, walaupun orang yang lebih tua dihormati dan masih terdapat diskriminasi gender, terdapat prinsip-prinsip untuk teguh dalam pendirian dan berani untuk menyampaikan pendapat yang berbeda, bahkan untuk memberi kritik dan masukan kepada para pemimpin (Chandra, 2004). Akan tetapi, penelitian ini maupun penelitian-penelitian lain yang dilakukan di Indonesia belum ada yang dilakukan pada Indonesia bagian Timur, misalnya pada masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena itulah penelitian ini difokuskan pada para ibu di Flores, khusunya di Larantuka.

D. Orang Tua di Flores

Flores adalah salah satu dari empat pulau besar yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Identitas budaya yang dominan terutama di daerah Larantuka, tempat peneliti mengambil data penelitian, adalah budaya Lamaholot, yang mencakup masyarakat dalam wilayah Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata (Bebe, 2014). Masyarakat Lamaholot memiliki warisan visi dan misi yang masih dipertahankan hingga saat ini, di mana


(46)

masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan “kemurnian hidup”, yang memiliki dasar-dasar yaitu kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepastian (Sanga, 2008). Masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan seseorang untuk berkata yang benar, bertindak dan bersikap yang benar, menjunjung tinggi kejujuran dan mau mengakui kesalahan, bersikap adil terkait hak dan kewajiban, serta mengambil keputusan dengan tegas dan tidak menimbulkan kebingungan. Secara umum, peneliti beranggapan bahwa keempat dasar ini masih sejalan dengan sifat-sifat dan kemampuan yang dimiliki orang yang berpikir kritis.

Daya kritis juga didorong melalui praktik musyawarah yang selalu diterapkan sebagai salah satu nilai dan norma moral utama masyarakat Lamaholot, yaitu pembicaraan bersama mengawali segala kegiatan bersama. Misalnya, sebelum sebuah rumah adat (Koke Bale) dibangun dan kebun bersama (Eta) dikerjakan, akan ada pembicaraan bersama yang melibatkan semua warga lewat pemimpin sukunya. Dalam pembicaraan ini semua pihak didengarkan dan tak seorang pun disingkirkan, dan tidak ada “kebijaksanaan” yang semata-mata turun dari atas (Hayon, 2007).

Orang tua di Flores tidak terlepas dari nilai-nilai budaya tersebut. Dalam penelitian ini, subjek difokuskan pada ibu, karena berdasarkan pengamatan peneliti, budaya di Flores yang sifatnya patriarki masih menerapkan peran tradisional para ibu sebagai caregiver utama, dan ayah sebagai tulang punggung keluarga. Ibu seringkali menghabiskan waktunya di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, walau terkadang hal ini tidak berlaku di beberapa keluarga, yang ibunya ikut bekerja, atau membayar kenalan atau keluarga untuk mengerjakan


(47)

pekerjaan-pekerjaan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa para ibu di Flores pada umumnya lebih sering menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka.

Dalam budaya Lamaholot, anak diharapkan untuk tumbuh menjadi individu yang berkualitas. Hal ini misalnya terlihat dari ritual adat pada upacara untuk bayi ohon ana/ohon kewae, di mana bayi diangkat tinggi-tinggi dan diucapkan afirmasi ola dike tugu sare (“semoga sang anak menjadi seorang pekerja yang baik/berhasil”) dan hiko ema liat bapa(“semoga anak tumbuh besar melebihi orang tuanya”). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mempersiapkan, mengkondisikan dan mendorong tumbuhnya generasi yang lebih baik sudah melekat erat dalam budaya Lamaholot (Hurit, 2016).

Walaupun begitu, masyarakat dalam kebudayaan Lamaholot cenderung lebih memperhatikan dan mengunggulkan laki-laki, orang tua, atau yang dituakan, serta orang kaya atau berpendidikan, dan lebih mudah mengabaikan para perempuan, anak-anak, dan orang miskin atau tak berpendidikan (Kleden, 2007). Bahkan dari wawancara dengan seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor, daya kritis anak di Flores Timur seringkali mengalami hambatan kultur dikarenakan anak harus patuh, mengikuti, dan tidak boleh mempersoalkan apa yang dikatakan oleh orang tua sebagai kebenaran mutlak (komunikasi pribadi, 25 November, 2016). Bahkan menurutnya, tidak jarang orang tua maupun guru membentak dan memarahi anak apabila bertanya atau menunjukkan kesalahan orang tua. Hal ini terbawa hingga dewasa ke dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal menurutnya lagi, orang Flores adalah orang-orang yang sebenarnya


(48)

memiliki daya kritis, namun kekritisan itu tidak diekspresikan karena lingkungan bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara.

E. Kerangka Konseptual

Dari penjabaran di atas, kerangka konseptual penelitian ini berangkat dari pentingnya berpikir kritis, yang pada hakikatnya terdiri dari komponen kemampuan dan disposisi. Kemampuan berpikir kritis itu sendiri dibagi lagi menjadi kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi berpikir kritis terdiri dari kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa berpikir kritis ini ternyata sudah dimiliki oleh anak-anak usia dini, yang justru berada pada masa-masa di mana mereka membutuhkan dorongan dan stimulasi dari lingkungan sekitar untuk mengembangkan hal tersebut, terutama dari ibu sebagai caregiver utama bagi anak. Sayangnya persepsi atau anggapan orang tua pada umumnya terhadap berpikir kritis pada anak di Indonesia seringkali negatif, karena anak dianggap harus patuh dan tidak mempersoalkan apa yang dikatakan orang tua, seperti yang juga terjadi dalam etnis Flores di Nusa Tenggara Timur. Dalam budaya Flores, terdapat visi misi dan beberapa ritual adat yang sebenarnya mendukung berpikir kritis pada anak, namun pada kenyataannya, orangtua masih bersikap superior terhadap anak, bahkan memarahi atau membentak anak yang sedang berpikir kritis. Padahal, bagaimana ibu mempersepsikan berpikir kritis


(49)

pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua yang pada akhirnya dapat mendukung atau menghambat berpikir kritis pada anak mereka. Apakah para ibu di Flores cukup memahami konsep berpikir kritis itu sendiri beserta komponen-komponennya, dan apakah mereka menilai berpikir kritis pada anak sebagai suatu hal yang dianggap positif atau negatif, menjadi inti dari penelitian ini. Skema penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.


(50)

31 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang berusaha menangkap makna mengenai isu atau masalah yang diteliti sesuai dengan apa yang diyakini atau dihayati oleh para partisipan, di mana peneliti menginterpretasikannya secara subjektif dalam rangka membentuk gambaran yang holistik dari topik yang diteliti (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015).

Penelitian kualitatif mengumpulkan data dalam lingkungan alamiahnya yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dengan analisis data yang bersifat induktif maupun deduktif (Creswell, 2014). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).

Penelitian ini dilakukan untuk menggali dan mengetahui pemahaman dan penilaian ibu di Flores terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti menggunakan focus group discussion (FGD) sebagai metode pengumpulan data, yang diharapkan dapat lebih mendorong para partisipan untuk saling berbagi dan menjawab pertanyaan partisipan secara natural dan leluasa.


(51)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk melihat persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak. Berpikir kritis, yang diartikan sebagai berpikir yang reflektif, masuk akal, dan berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan, terdiri atas kemampuan dan disposisi. Kemampuan merujuk pada aspek kognitif dari berpikir kritis, yang terdiri dari kemampuan menginterpretasi, kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi, kemampuan mengeksplanasi, serta kemampuan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi berpikir kritis merujuk pada aspek afektif yang menunjukkan sifat atau kecenderungan yang berulang atau konsisten, yang terdiri dari kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis.

Persepsi ibu dibatasi pada pemahaman dan penilaian ibu terhadap kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Pemahaman yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah dalam pandangan ibu, komponen-komponen atau kategori-kategori apa saja yang termasuk dalam kemampuan serta disposisi berpikir kritis pada anak berusia 3-5 tahun, dengan kata lain, bagaimana ibu menginterpretasikan berpikir kritis pada anak. Sedangkan penilaian ibu dimaksudkan pada apakah kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak dinilai dan dievaluasi secara positif ataukah secara negatif oleh para ibu, yang mencakup pikiran, pendapat, serta perasaan ibu yang muncul ketika anak mereka berpikir kritis. Temuan-temuan di luar fokus penelitian tersebut yang masih relevan dengan topik ini akan disampaikan pada subbab tersendiri.


(52)

C. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah para ibu dari anak-anak berusia 3-5 tahun yang berdomisili di Larantuka, Flores Timur. Dalam rangka merekrut partisipan, peneliti bekerjasama dengan beberapa TK di tiga kecamatan di Larantuka, Flores Timur, yaitu TK Maria Veloty Sarotari, TK Nelly Waibalun, dan TK Muller Lamawalang untuk menghubungi sejumlah ibu dari anak-anak yang bersekolah di TK tersebut. Peneliti memilih partisipan yang lancar berbahasa Indonesia atau bahasa Nagi (bahasa Melayu Larantuka yang masih memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia) untuk memudahkan pemahaman dan komunikasi. Peneliti tidak menentukan kriteria tingkat pendidikan atau batasan usia partisipan dikarenakan peneliti memang tidak berusaha membandingkan jawaban yang muncul dalam tingkat pendidikan atau usia yang berbeda-beda, melainkan berusaha melibatkan berbagai kalangan untuk dapat memperoleh gambaran yang luas mengenai persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak.

Dalam masing-masing kelompok FGD, para partisipan kebanyakan sudah saling mengenal satu sama lain, sehingga mempermudah peneliti sebagai moderator untuk mendorong terjadinya diskusi yang mengalir dan natural di antara para partisipan. Hal ini juga membantu menciptakan suasana interaksi yang lebih ‘naturalistik’ (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015).

Total partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang ibu yang terbagi dalam 3 kelompok FGD, di mana masing-masing kelompok terdiri dari 6-10 orang ibu. Beberapa data tentang para partisipan dapat dilihat pada Tabel 1.


(53)

Tabel 1

Data Diri Partisipan

Inisial Usia Pekerjaan Agama Asal daerah Pendidikan terakhir FGD 1 – TK Nelly Waibalun

P1 36 Wiraswasta Katolik Lewolere S1 – Surabaya P2 36 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun D2 – Bali P3 30 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Kawaliwu SD – Kawaliwu P4 36 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Nangapanda SD – Nangapanda P5 40 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka P6 35 Konsultan Katolik Lewolere S1 – Surabaya

FGD 2 – TK Maria Veloty Sarotari P7 37 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Adonara Timur

D1 Public Relation – Bandung

P8 24 Guru SD Katolik Flores Timur

SMA P9 26 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Solor SMA – Larantuka P10 33 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Adonara Timur

SMA – Larantuka P11 43 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Sarotari SMA P12 34 Perawat Katolik Waibalun D3

FGD 3 – TK Muller Lamawalang P13 27 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMA – Maumere P14 27 Guru SD Katolik Waibalun S1 – Kupang P15 38 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMU – Waibalun P16 23 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Lamawalang SMK – SMK Lamaholot P17 24 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Lembata SMK – Larantuka P18 28 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka P19 44 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Lamawalang SMP – SMP Ratu Damai

P20 30 Ibu Rumah Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka P21 36 PNS Katolik Lamawalang DIII – AKBID Kartini P22 26 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Flores Timur


(54)

D. Peran Peneliti

Seperti halnya penelitian kualitatif lainnya, dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti turun langsung ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data melalui FGD. Peran peneliti selama FGD berlangsung adalah sebagai moderator yang mengajukan pertantujyaan-pertanyaan dan menjaga ketertiban dalam diskusi, namun peneliti tidak memainkan peran sentral dan lebih mengutamakan inter-relasi atau hubungan antar partisipan (Supratiknya, 2015).

Kaitan peneliti dengan lokasi penelitian adalah peneliti berasal dari keluarga dengan etnis Flores, walaupun peneliti hanya sesekali berlibur dan tinggal sementara di sana. Walaupun tinggal di luar Flores, peneliti masih sering mengikuti perkumpulan keluarga atau berinteraksi dengan masyarakat Flores yang juga merantau. Keluarga besar peneliti tinggal di Flores, walaupun partisipan tidak diambil dari keluarga peneliti untuk menghindari bias.

Dalam rangka merekrut partisipan, peneliti mengajukan surat permohonan kerjasama kepada kepala sekolah dari ketiga TK yang dipilih untuk membantu menghubungi sejumlah orang tua dari anak yang berusia 3-5 tahun. Setiap orang tua yang direkomendasikan kepala sekolah dikirimi surat undangan dan dihubungi kembali secara personal oleh peneliti melalui telepon untuk mengkonfirmasi kesediaannya. Peneliti juga menjelaskan gambaran FGD yang akan dilaksanakan dan memberikan lembar informed consent yang kemudian ditandatangani oleh para partisipan. Dalam hal ini, peneliti berperan menjaga kerahasiaan data serta kepercayaan yang telah diberikan partisipan terhadap peneliti.


(55)

E. Metode Pengambilan Data

Focus group discussion (FGD) merupakan metode kualitatif mendalam menggunakan sebuah kelompok kecil yang bersifat homogen yang mendiskusikan topik atau topik-topik yang menjadi agenda suatu penelitian (Lakshman, Charles, Viswas, Sinha, & Aurora, 2000; Subramony, Lindsay, Middlebrook, & Fosse, 2002; dalam Supratiknya, 2015). FGD bertujuan untuk mendorong pengungkapan diri di kalangan para partisipan (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015). Dalam hal ini, partisipan didorong untuk saling mendalami jawaban masing-masing, saling meminta penjelasan, dan saling mengklarifikasi maksud-maksud yang mungkin terungkap hanya secara samar-samar, serta memudahkan partisipan yang merasa kesulitan mengungkapkan diri untuk tetap berpartisipasi (Supratiknya, 2015).

Peneliti memilih metode ini karena kelebihan yang dimiliki FGD adalah dapat mendorong para partisipan untuk mengungkapkan pandangan mereka dan berdiskusi secara spontan seakan-akan sedang bercerita dan berbagi satu sama lain. Peneliti juga beranggapan bahwa FGD cocok digunakan dalam penelitian ini karena peneliti juga menyoroti budaya dan norma yang ada, yang ingin melihat persepsi ibu di Flores secara normatif, sehingga dinamika antar partisipan dalam menyampaikan pendapat atau bahkan kecenderungan untuk mengikuti pendapat partisipan lain juga dapat menjadi data yang dapat dipertimbangkan dan menunjukkan pandangan para ibu dalam masyarakat Flores. Sedangkan kelemahan FGD adalah ada kemungkinan beberapa partisipan yang mendominasi,


(56)

atau bila ada partisipan yang enggan berbicara di depan banyak orang. Peneliti sebagai moderator mengantisipasi kelemahan ini dengan mendorong setiap partisipan yang masih sedikit mengungkapkan pendapat untuk ikut bercerita, serta pada awal FGD peneliti menghimbau para partisipan untuk saling menghargai dan mau mendengarkan jawaban dari partisipan yang lain.

FGD dilakukan pada 3 kelompok yang berbeda untuk mendapatkan jawaban yang kaya dan jenuh (saturated). Hal ini juga dilakukan untuk dapat melihat apakah jawaban yang diperoleh cukup konsisten pada ketiga kelompok, yang dapat meningkatkan kredibilitas hasil yang diperoleh. Dalam FGD ini, peneliti berusaha mendorong munculnya diskusi antar partisipan untuk mengungkap persepsi partisipan terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mempermudah mengumpulkan partisipan, FGD dilaksanakan di ruangan sekolah tempat anak partisipan bersekolah.

Sebelum FGD dilakukan, sesuai yang disarankan oleh Creswell (2009, dalam Supratiknya, 2015) peneliti menyiapkan beberapa prosedur perekaman data yang dipersiapkan untuk mendukung FGD, yaitu protokol observasi, protokol wawancara, serta prosedur perekaman data:

1. Protokol Observasi. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi reaksi-reaksi para partisipan yang mendukung sumber data primer, yakni FGD. Instrumen ini berisi catatan peneliti sebagai moderator terhadap reaksi-reaksi partisipan (gestur, mimik, atau antusiasme), kondisi lingkungan (setting waktu dan tempat) dan dinamika FGD secara keseluruhan. Hasil observasi ini nantinya akan diintegrasikan dalam data verbatim sehingga dapat menjadi data


(57)

tambahan yang melengkapi jawaban verbal partisipan. Protokol observasi dicatat oleh peneliti sebagai moderator dan didiskusikan bersama seorang asisten moderator yang juga mengikuti jalannya FGD dan membantu dalam hal teknis pelaksanaan FGD.

2. Protokol FGD. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang didasarkan pada rumusan masalah dan teori-teori yang digunakan peneliti, untuk membantu peneliti melakukan diskusi yang terarah dan dapat memunculkan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Protokol FGD

Pertanyaan wawancara Pertanyaan

pembuka

1. Selamat pagi/siang/malam Tanta, mari kita saling berkenalan dulu. Silahkan saling bergantian menyebutkan nama, supaya mudah untuk berkomunikasi.

Pertanyaan pendahuluan

1. Bagaimana sih rasanya mengasuh anak usia 3-5 tahun? Ada pengalaman atau cerita yang paling berkesan?

2. Apa saja sih harapan Tanta terhadap anak Tanta? Pertanyaan

transisi

1. Pernahkah Tanta mendengar istilah berpikir kritis sebelumnya?

2. Coba ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang berpikir kritis?

Pertanyaan kunci

PEMAHAMAN

1. Apabila Tanta membayangkan anak yang berpikir kritis, dalam bayangan Tanta, itu yang seperti apa? Bisa berikan contohnya?

2. Ketika mendengar kata ‘anak yang berpikir kritis’ apa yang pertama kali muncul dalam benak Tanta?


(58)

3. Coba Tanta ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang berpikir kritis pada anak.

4. Menurut Tanta, kemampuan anak apa saja/anak bisa melakukan apa, yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis pada anak?

5. Menurut Tanta, sifatanak apa saja/anak sukamelakukan apa, yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis pada anak?

PENILAIAN

1. Bagaimana pendapat atau anggapan Tanta apabila melihat anak yang berpikir kritis? (atau, bila melihat anak Tanta berpikir kritis?) Bisa ceritakan pengalaman Tanta?

2. Apakah yang membuat Tanta berpendapat / beranggapan …. (sesuai jawaban sebelumnya) terhadap anak yang berpikir kritis? (Atau, mengapa Tanta berpikir bahwa … ?)

3. Dari sifat-sifat dan perbuatan anak yang berpikir kritis yang tadi sudah tanta sebutkan, yang mana saja yang tanta senang? Atau, adakah yang tanta tidak suka?

Pertanyaan penutup

1. Apakah masih ada yang ingin disampaikan tentang anak yang berpikir kritis?

3. Perekaman Data. Data utama dalam penelitian ini berupa verbatim hasil FGD yang dipadukan dengan catatan hasil observasi untuk memperkaya hasil temuan. Data observasi ini juga akan bermanfaat untuk melihat gestur, mimik, atau antusiasme para partisipan yang dapat menyumbangkan informasi yang bermanfaat mengenai reaksi partisipan terhadap pandangan atau pertanyaan tertentu. Jenis data yang dikumpulkan adalah wawancara kualitatif yang direkam dengan menggunakan perekam suara, serta catatan observasi atau


(59)

catatan lapangan mengenai tingkah laku para partisipan selama diskusi berjalan. Peneliti hanya menggunakan data audio dikarenakan para partisipan sempat menunjukkan keenganan dan rasa sungkan untuk direkam menggunakan perekam video, sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi keleluasaan partisipan dalam mengungkapkan pandangannya.

F. Analisis dan Interpretasi Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK), yang dilakukan dengan cara menafsirkan data secara subjektif melalui proses klasifikasi yang sistematis dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015). Dengan analisis isi kualitatif ini, peneliti akan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam sejumlah kecil kategori yang mengungkapkan makna yang serupa, di mana tujuan klasifikasi ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena yang sedang diteliti (Supratiknya, 2015).

Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, yaitu analisis isi terarah. Dalam analisis isi deduktif, teori atau hasil penelitian sebelumnya dipakai untuk membantu merumuskan pertanyaan penelitian, atau membantu menemukan skema awal pengodean (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015). Transkrip FGD akan dibaca dan dikoding, di mana peneliti akan mengklasifikasikan data tersebut, mana informasi yang termasuk ke dalam pemahaman ibu tentang berpikir kritis, yang mencakup kemampuan dan disposisi, serta mana yang termasuk penilaian, yang mencakup penilaian positif maupun


(60)

negatif. Jika ada data yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kode-kode tersebut, maka peneliti membaca ulang dan jika perlu menambahkan kode baru. Beberapa kriteria yang digunakan untuk koding dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3

Kriteria Koding

Pemahaman Terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Kemampuan Disposisi

a. Menginterpretasi: mampu menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima. Kategori ini meliputi kemampuan memparafrasekan dengan kata-kata sendiri atau dengan bentuk ungkapan lain, menyebutkan, mengartikan, memahami makna tersirat maupun tersurat dari suatu pernyataan, mendeskripsikan dan mendefinisikan suatu hal, mengelompokkan/mengkategorisasi. b. Menganalisis: mampu menguraikan suatu pernyataan atau argumen menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-relasinya. Kategori ini meliputi kemampuan untuk menelaah, mengidentifikasi bagian-bagian, membandingkan usulan-usulan yang saling terkait, menemukan kaitan antara satu konsep dengan yang lain, menentukan fokus utama atau sudut pandang suatu pernyataan.

a. Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah: bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan yang berbeda. Kategori ini meliputi kecenderungan untuk berpikiran terbuka, berpikiran luas dan divergen, toleran, menghargai, mau mempertimbangkan pandangan serta sudut pandang yang berbeda, fleksibel, peka terhadap bias, mau mengubah pandangan dan pendirian bila bukti atau hasil penalaran berlawanan dengan apa yang diyakini sebelumnya (bahkan jika tidak mendukung kepentingan pribadinya), fleksibel, objektif dan tidak berat sebelah, jujur secara intelektual.

b. Ingin tahu: sikap ingin tahu dan ingin berpengetahuan luas. Kategori ini meliputi kecenderungan untuk selalu bertanya, ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja,


(61)

c. Mengevaluasi: mampu membandingkan suatu argumen atau klaim dengan standar dan kriteria tertentu terkait dengan kualitas dan kekuatan logisnya. Kategori ini meliputi kemampuan untuk mengukur, menilai apakah suatu pernyataan dapat diterima, memastikan, menuntut adanya bukti, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan, menunjukkan keragu-raguan, dll.

d. Melakukan inferensi: mampu menemukan pola-pola serta membentuk kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan hipotesis dari informasi yang ada. Kategori ini meliputi kemampuan untuk menarik kesimpulan, menentukan pola sebab-akibat, memprediksi, mengungkapkan dugaan, berasumsi, memperkirakan alternatif-alternatif, dll.

e. Mengeksplanasi: mampu menyampaikan dan menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan. Kategori ini meliputi kemampuan untuk berargumen, menjelaskan secara lisan maupun tertulis, menjelaskan langkah demi langkah penalarannya, menjelaskan

penasaran terhadap hal-hal baru, mencari alasan atau penyebab dari suatu hal, ingin mempelajari sesuatu bahkan jika penerapannya dan manfaatnya tidak terlihat langsung, tidak mau berhenti dan tidak cepat puas dengan informasi atau pengetahuan yang terbatas, keinginan untuk berpengetahuan luas.

c. Kecenderungan untuk menggunakan penalaran: cenderung bersandar pada bukti dan penalaran. Kategori ini meliputi kecenderungan untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, menggunakan logika ketimbang pengambilan keputusan tanpa dasar, tanggap terhadap situasi yang membutuhkan penalaran, yakin terhadap penalarannya, menghargai penalaran dan hasil penalaran yang baik, menggunakan dan menyebutkan sumber-sumber yang kredibel, mencari informasi seakurat mungkin, tetap bersandar pada alasan dan penalaran ketika melakukan penilaian dalam konteks yang tidak pasti.

d. Pemikiran yang sistematis: memiliki alur berpikir yang


(62)

dengan bukti dan data-data yang mendukung, dll.

f. Melakukan swa-regulasi: mampu memantau proses penalaran yang dilakukan. Kategori ini meliputi kemampuan untuk merefleksikan, memeriksa kembali, mengkonfirmasi, mengklarifikasi, menyadari bias, dan mengoreksi penalaran diri sendiri.

terorganisir dan teratur. Kategori ini meliputi kecenderungan untuk fokus dan berusaha untuk tetap menaruh perhatian pada topik penyelidikan atau pemecahan masalah yang sedang dilakukan, tekun, persisten dan tidak mudah menyerah, dan memiliki cara-cara tertentu yang tersistematis dan teratur dalam hal penyelidikan ataupun pemecahan masalah, tetap memperhatikan situasi keseluruhan atau gambaran besar dari suatu hal atau masalah. Penilaian terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Penilaian positif Penilaian negatif

Partisipan memandang anak yang berpikir kritis (baik disposisi maupun kemampuan) secara positif, di mana partisipan memiliki pandangan bahwa berpikir kritis adalah hal yang baik, serta menunjukkan emosi dan tanggapan yang positif ketika anaknya berpikir kritis.

Partisipan memandang anak yang berpikir kritis (baik disposisi maupun kemampuan) secara negatif, di mana partisipan memiliki pandangan bahwa berpikir kritis adalah hal yang tidak baik atau menunjukkan emosi dan tanggapan negatif ketika anaknya berpikir kritis.

G. Kredibilitas Penelitian

Untuk memastikan bahwa penelitian ini mengandung informasi yang dapat dipercaya atau kredibel, peneliti melakukan beberapa cara. Pertama, peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dimiliki oleh peneliti dalam melakukan


(1)

DAFTAR ACUAN

Anderson, L.W., & Krathwohl, D.R., (Peny.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of bloom’s taxonomy of educational objectives(Ed. rev.). United States: Longman, Inc.

Bailin, S., Case, R., Coombs, J.R., & Daniels, L.B. (1999). Conceptualizing critical thinking. Journal of Curriculum Studies, 31(3), 285-302.

Baker, M., & Rudd, R. (2001). Relationships between critical and creative thinking. Journal of Southern Agricultural Education Research, 51(1), 173-188.

Bebe, M.B. (2014). Panorama budaya Lamaholot: Kekerabatan, ritus perjamuan, adat kematian, rekonsiliasi, dan bahasa arkais. Larantuka: YPPS Press. Chandra, J.S. (2004). Notions of critical thinking in Javanese, Batak Toba and

Minangkabau culture. Dalam B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner, & Y.P. Poortinga (Peny.). Ongoing themes in psychology and culture: Selected papers from the Sixteenth International Congress of the International Association for Cross-cultural Psychology (hh. 275-294). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Chandra, J.S. (2008). A Vygotskian perspective on promoting critical thinking in young children through mother-child interactions. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan. Murdoch University, Australia.

Creswell, J.W. (2014). Penelitian kualitatif & desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davis-Seaver, J. (2000). Critical thinking in young children. New York: Edwin Mellen Press.

Duncan, G.J., & Magnuson, K. (2004). Individual and parent-based intervention strategies for promoting human capital and positive behavior. Dalam P.L., Chase-Lansdale, K, Kiernan., & R.J., Friedman (Peny.), Human Development Across Lives and Generations: The Potential for Change, hh. 93-138. Cambridge: Cambridge University Press.

Facione, P.A., Facione, N.C., & Giancarlo, C.A. (2000). The disposition toward critical thinking: Its character, measurement, and relationship to critical thinking skill. Informal Logic, 20, 61-84.


(2)

Facione, P.A. (1990). Critical thinking: A statement of expert consensus for purposes of educational assessment and instruction. Executive Summary: The Delphi Report. California Academic Press.

Facione, P.A. (2013). Critical thinking: What it is and why it counts. Measured Reasons and The California Academic Press. Millbrae: Insight Assessment.

Fisher, A. (2001). Critical thinking: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Hayon, Y.S. (2007). Etika dan moralitas Lamaholot bagi pejabat publik: Belajar dari tradisi pembangunan koko bale dan pembukaan eta (etan). Dalam Herin S.S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah (hh. 107-166). Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.

Hurit, S.P. (2016, November). Menjadi manusia Lamaholot. Warta Flobamora, 23, 16-19.

Kennedy, M., Fisher, M.B., & Ennis, R.H. (1991). Critical thinking: Literature review and needed research. Dalam L. Idol & B.F. Jones (Peny.), Educational values and cognitive instruction: Implications for reform(hh. 11-40). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum & Associates.

Kleden, P.B. (2007). Relevansi etika lokal dalam era globalisasi: Sebuah pengantar. Dalam Herin S. S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah (hh. 7-22).Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.

Lai, E.R. (2011). Critical thinking: A literature review. Pearson Research Report. Lun, V.M.-C. (2010). Examining the influence of culture on critical thinking in

higher education. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan. Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand.

Mulyana, D. (2005).Ilmu komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Murphy, P.K., Rowe, M.L., Ramani, G., & Silverman, R. (2014). Promoting critical-analytic thinking in children and adolescents at home and in school. Educational Psychology Review, 26, 561-578. New York: Springer Science and Business Media.

Nieto, Ana M., & Saiz, Carlos. (2011). Skills and dispositions of critical thinking: Are they sufficient?Anales De Psicología, 27(1), 202-209.


(3)

Padji. (1992). Meningkatkan keterampilan otak anak (psikologi perkembangan anak): Menyongsong masa depan yang lebih cemerlang. Bandung: CV Pionir Jaya.

Richmond, J.E.D. (2007). Bringing critical thinking to the education of developing country professionals. International Education Journal, 8(1), 1-29.

Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Organizational behavior (ed. ke-15). USA: Pearson.

Sadli, S. (1977). Persepsi sosial mengenai perilaku menyimpang. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Sanga, F. (2007). Nilai-nilai dasar budaya Lamaholot: Sebuah konsep pembangunan daerah yang berpijak pada kearifan lokal. Dalam Herin S.S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah (hh. 36-72). Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.

Santrock, J.W. (2012). Life-span development: Jilid 1 (ed. ke-13). University of Texas, Dallas: Mc Graw-Hill.

Setyawan, Davit. (2015, Februari 11). KPAI: Ribuan anak indonesia jadi korban pornografi internet. Diakses tanggal 19 Agustus 2016 dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-ribuan-anak-indonesia-jadi-korban-pornografi-internet-2/g

Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam psikologi.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Syamsu, Yusuf L.N. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(4)

(5)

(6)