Pemahaman terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak

masih bersamaan dengan jam anak-anak bermain membuat banyaknya distraksi dari luar ruangan. Walaupun begitu, diskusi tetap berjalan dengan tertib, di mana setiap orang menyampaikan pendapatnya dengan sopan dan teratur, serta menurut peneliti tetap memunculkan data yang padat pula.

B. Hasil Penelitian

Hasil penelitian disajikan berdasarkan dua pertanyaan utama, yaitu bagaimana pemahaman ibu terhadap berpikir kritis pada anak, serta bagaimana penilaian ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Temuan-temuan yang menjawab kedua pertanyaan ini kemudian dikumpulkan menurut kategori-kategori yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Temuan-temuan tambahan yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori-kategori tersebut juga akan dijelaskan pada bagian ini.

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pemahaman ibu terhadap anak yang berpikir kritis mencakup dua komponen berpikir kritis, yaitu kemampuan dan disposisi berpikir kritis.

a. Pemahaman terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak

Dari hasil penelitian, kemampuan berpikir kritis pada anak menurut pemahaman ibu mulai dari yang paling sering muncul hingga yang paling jarang muncul adalah kemampuan menginterpretasi, kemampuan untuk melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir kemampuan mengeksplanasi. Kemampuan yang paling banyak muncul adalah kemampuan menginterpretasi, yaitu kemampuan menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima. Kemampuan ini dapat terlihat dari jawaban partisipan, di mana anak dianggap berpikir kritis ketika ia mampu menafsirkan sesuatu berdasarkan pemahamannya. Hal ini dapat terlihat misalnya pada kutipan berikut: P12. Bapanya bilang ‘ade, itu terbalik’. Jadi ambil sendal dia balik memeragakan dengan membalik telapak tangannya. ‘Ini mama, ini kan balik’. ‘Bukaan, maksudnya ganti, kiri ke kanan, kanan ke…’ he eh… Kalau begitu itu, mereka kritis… Bentuk lain dari kategori ini adalah anak dianggap mampu berpikir kritis ketika sudah dapat menangkap makna tersirat dari suatu ekspresi. Hal ini terlihat dari cerita salah seorang partisipan: P2. Jadi kalau bapanya suara besar sedikit, paling dia bilang, ‘Heii bapa, engko pung suara besar apa saja, ada masalah apa maka?’ para partisipan bergumam pelan ‘Ada masalah ka ema?’ atau ka dia bilang, ‘Ema itu dia marah engko ka?’ apa… ‘Engko ada masalah apa ka bapa?’ hmmm Sudah seperti itu kalau saya punya… Ha ah, berarti dia bisa lihat bapanya omong nada tinggi, berarti ada sesuatu, dia bisa lihat? P2. Ha ah, iya… Kemampuan untuk memahami dan mendefinisikan istilah juga diungkapkan para partisipan sebagai kemampuan berpikir kritis pada anak, yang dapat dikategorikan ke dalam kemampuan menginterpretasi. P6. Dia selalu bilang, ‘tunggu ee, saya buat eksperimen dulu.’ Jadi suatu kali saya tanya, ‘Eksperimen itu apa?’ Dia bilang, ‘Eksperimen itu ka, kita coba-coba dulu, jadi apa tidak.’ partisipan tertawa Selain itu, salah seorang partisipan juga menceritakan pengalaman ketika anaknya dapat mengkategorisasi suatu hal sebagai salah satu bentuk kemampuan berpikir kritis. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan mengenai anaknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang menganggap bahwa ayah dan ibunya termasuk dalam ‘soba’ atau orang yang berpacaran. P9. Saya punya tu macam nonton di TV tu. Mereka pacaran data, dia bilang saya dengan bapanya, bapanya dengan apa… pacar? partisipan tertawa Itu… P11. Soba… Soba. P9. Ha ah begitu… Jadi dorang lihat… [soba=istilah dalam bahasa Nagi yang berarti pacar] Pandangan partisipan tentang kemampuan menginterpretasi juga terlihat dari jawaban partisipan bahwa anak-anak sangat cepat tangkap, yang cukup sering muncul dalam FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan sebagai berikut: P9. Kalau di pacaran itu kan anak-anak itu kan macam… dorang cepat sekali tangkap. Itu. hm hm Yang di TV pun mereka cepat sekali. P15. Cepat tangkap to anak-anak seumuran begini. Pandangan partisipan bahwa anak-anak cepat tangkap tersebut juga masih berkaitan dengan anggapan partisipan bahwa anak dapat memahami apa yang diajarkan dan menerapkannya. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan mengenai anaknya yang mengerti dengan yang diajarkan di sekolah pelajaran menulis dan menerapkannya tersebut dengan ikut menulis. P22. Ternyata di sekolah, ooh dia sudah pintar. Tulis, ikut. Kita tulis, dia ikut. Pokoknya dia sudah bisa… apa… mengerti dengan pendidikan di sekolah. Para partisipan juga cukup sering mengungkapkan bahwa anak yang berpikir kritis dalam pandangan mereka mampu memahami sesuatu secara mandiri, yang terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut: P6. Ha ah… Ce… Kalau buka, mulai dari buka laptop sampai cari permainan semua, sampai tau caranya main itu sendiri belajar, tidak pernah diajarin. Cara mainnya. Setelah kemampuan menginterpretasi, kemampuan kedua yang sering muncul adalah kemampuan untuk melakukan inferensi, yaitu kemampuan menemukan pola-pola serta membentuk kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan hipotesis dari informasi yang ada. Salah satu bentuk inferensi yang muncul adalah cerita ibu mengenai kemampuan anak untuk menarik kesimpulan. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut: “P6. Kalau tidak berdoa maka sakit. haaa… dia lihat sakit. Berarti kita tidak doa” “P18. Saya kan bilang, ‘anak kecil tidak boleh… kar… berdiri buka baju begitu nanti kita punya perut besar.’ ….. ‘Ooo.. jadi bapa punya perut besar itu karena angin ini dari kipas angin’ moderator dan partisipan tertawa. Karena masuk angin ini…” Selain itu, bentuk lain yang muncul terlihat dalam cerita partisipan mengenai anak yang mampu melihat alternatif-alternatif dan solusi. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: “P6. Haa… eksperimen yang dibuat tu biasanya mencampur warna. Haaa… ‘Warna, oh warna ini tidak ada, oh gampang. Ini, ini tambah ini jadi ini.’ Bisa. Jadi warna itu, eksperimen. ……. Saya pikir eks… dengan buat coba-coba tu melatih kekritisan anak to, kalau ini tidak bisa, berarti harus begini.” Contoh lain yang juga menunjukkan kemampuan untuk melakukan inferensi adalah membentuk asumsi dan hipotesis, yang terlihat dari jawaban ibu sebagai berikut: P8. Dia kalau buat sesuatu dia sudah pikir, kalau kita naik ini kursi, goyang begini, dia jatuh atau tidak. hmm partisipan tertawa kecil. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Para partisipan juga menganggap bahwa anak yang berpikir kritis adalah anak yang dapat berpikir jauh dan membuat prediksi, di mana anak dianggap memikirkan hal yang bahkan tidak dipikirkan oleh orangtua. Hal ini terlihat dari jawaban berikut: P11. Jadi dia bilang, ‘heii kalau begitu kita mazmur kita pung teman- teman te lihat nanti’, jo bapa bilang ‘Hai, engko kecil begini ini engko mau berpikir mazmur?’ para partisipan tertawa ‘Haa iya ka’. …… Jo itu, macam dia berpikir, torang tida berpikir sampai ke situ to, hmm tapi dia anak kecil-kecil dia bisa berpikir seperti itu… Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk menyimpulkan konsekuensi atau sebab-akibat dari suatu hal sebagai kemampuan yang dimiliki anak yang berpikir kritis. Hal ini juga termasuk ke dalam kemampuan untuk melakukan inferensi, yang terlihat dari jawaban P15 sebagai berikut: P15. Tapi mereka bisa berpikiran nah itu kritis itu bilang, ini saya pingin ini, saya suka ini akibatnya saya bisa beli ini. Saya buat ini, nanti dapatnya begini. Misalnya mereka main bola, main apa yang nakal-nakal nanti sebentar kecelakaan, misalnya kaki yang berdarah… oo tadi kalau saya tida main, saya tida mungkin dapat kecelakaan seperti ini… jadi apa yang… pas yang mereka…. itu… sudah tau akibatnya to, mereka lakukan, yang mereka lakukan itu sudah tahu akibatnya begini. Kalau kita melawan orang tua pasti akibatnya ada. Begitu. Kemampuan ketiga yang sering muncul adalah kemampuan mengevaluasi, yaitu kemampuan untuk membandingkan suatu argumen atau klaim dengan standar dan kriteria tertentu terkait dengan kualitas dan kekuatan logisnya. Hampir semua jawaban partisipan yang dikategorikan dalam kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan anak untuk memberi penilaian berdasarkan logika dan bukti yang ada. Bukti yang ditampilkan di sini adalah pernyataan dari partisipan P6: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI P6. Atau hal-hal kecil kan, kadang suka apa tu, untuk meloloskan supaya kami bisa pi kerja ni. ‘Mama mau pi kantor’ ‘Pi kantor tapi pakai celana pendek?’ atau kadang-kadang kita sudah pulang, ‘Tadi dari mana?’ ‘Dari kantor.’ ‘Kantor kenapa so pakai baju rumah?’ Itu kan sebenarnya hal-hal yang kritis… Walaupun begitu, terdapat jawaban-jawaban ibu mengenai kemampuan mengevaluasi yang sedikit berbeda dari teori yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu kemampuan mengevaluasi pada anak yang dikenakan pada objek yang lebih umum, misalnya ketika anak menilai apakah suatu tarian bagus atau tidak. Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk menilai mana yang baik dan buruk sebagai kemampuan anak untuk berpikir kritis, yang masih dapat dikaitkan dengan kemampuan untuk mengevaluasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengevaluasi yang dipandang para ibu sebagai kemampuan berpikir kritis tidak terbatas pada argumen dan klaim seperti pada teori berpikir kritis, tapi juga pada objek lain secara umum. Setelah kemampuan mengevaluasi, kemampuan yang juga muncul adalah kemampuan mengeksplanasi, yaitu kemampuan mengungkapkan dan menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan. Walaupun begitu, kemampuan ini hanya muncul satu kali dalam cerita salah seorang partisipan mengenai anaknya yang memberi penjelasan mengenai alur berpikirnya: P6. Susun apa, bongkar pasang yang… sekarang kan ada to, kayak di poni tapi ada konektornya tu ka. haa… ‘Aaaa lihat, kalau ini digabung ini, ema lihat, perhatikan.’ Dia suruh saya ni. hm hm ‘Ini, tida bisa bergerak begini. Terus kalau begini, tangannya bere… hayo kenapa?’ Kenapa? Heii, dia yang jawab sendiri, ‘Karena saya kancingnya begini, jadi tangannya… tertawa’ So mulai… Ini anak ini… Dari penjabaran tersebut dapat dilihat bahwa dari keenam kategori yang telah dirumuskan dalam teori, terdapat empat kategori kemampuan berpikir kritis yang muncul, yaitu secara berturut-turut kemampuan menginterpretasi, kemampuan melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir kemampuan mengeksplanasi. Keempat kategori ini merupakan kemampuan- kemampuan yang dipandang sebagai kemampuan yang banyak diamati sebagai bentuk berpikir kritis pada anak menurut ibu di Flores.

b. Pemahaman terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak