Dari penjabaran tersebut dapat dilihat bahwa dari keenam kategori yang telah dirumuskan dalam teori, terdapat empat kategori kemampuan berpikir kritis
yang muncul, yaitu secara berturut-turut kemampuan menginterpretasi, kemampuan melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir
kemampuan mengeksplanasi. Keempat kategori ini merupakan kemampuan- kemampuan yang dipandang sebagai kemampuan yang banyak diamati sebagai
bentuk berpikir kritis pada anak menurut ibu di Flores.
b. Pemahaman terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disposisi mengarah pada kecenderungan yang dimiliki, atau dapat dikatakan sebagai sifat yang menetap
yang cenderung berulang pada individu. Pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak yang mengacu pada komponen disposisi sangat sering muncul dalam
penelitian ini, bahkan jumlah jawaban partisipan yang mengacu pada disposisi berpikir kritis mencapai dua kali lipat jumlah jawaban yang mengacu pada
kemampuan berpikir kritis. Dari hasil FGD yang dilakukan, kategori disposisi berpikir kritis secara berturut-turut mulai dari yang paling banyak muncul adalah
sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis, kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Sedangkan kategori
yang tidak muncul adalah kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah.
Keingintahuan atau sikap ingin tahu adalah sikap ingin mengetahui
banyak hal dan ingin memiliki pengetahuan yang luas. Sikap ingin tahu ini adalah kategori yang sangat mendominasi jawaban subjek dalam keseluruhan proses
FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari jawaban para partisipan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beranggapan bahwa anak yang berpikir kritis adalah anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
P9. Ingin tahunya tinggi sekali. P12. Iya tinggi sekali ingin mencari tahu. P8. Kritis…
P20. Memang pada dasarnya anak-anak umur begini kan ingin tahu, to? he eh ingin cari tahu… ..... buat, dia bertanya, ini untuk apa, ini untuk
apa… bagaimana ini…
Setelah sikap ingin tahu, kategori kedua yang sering muncul adalah
kecenderungan berpikir yang sistematis, yaitu memiliki alur berpikir yang
terorganisir dan teratur dalam penyelidikan atau pemecahan masalah. Hal ini terlihat dari jawaban ibu yang menceritakan anaknya yang tetap persisten dengan
berbagai cara dalam penyelidikan atau pemecahan masalah. P6. Oo menangis main game, atau apa, lihat-lihat gambar, lihat-lihat
gambar yang disuka begitu di internet, terus kita bilang, ‘Eii pulsa internet so tidak ada lagi’. ‘Pergi isi ka…’ Begitu to, sampe kepada harus bisa
dapat itu. ‘Eii uang tidak ada lagi’ atau ‘Malam ni sudah tutup’… ‘Di ATM itu kan bisa’ Jadi semuaa, semua… Semua caranya… Sampai
kepada, kalau memang tida ada, ‘Kalau begitu kita ambil di nene punya kios saja’ tertawa. Sampe… sampe harus bisa menemukan… tertawa
jawabannya, untuk memenuhi keinginannya.
Jawaban berikut ini juga masih terkait dengan persistensi tersebut, di mana anak yang berpikir kritis juga dianggap fokus dan tekun dalam melakukan
penyelidikan. Hal ini terlihat misalnya dari jawaban salah seorang partisipan: P6. Dia angkat gorden semua, dia angkat jo susun, api unggun ni… para
partisipan dan moderator tertawa ‘Saya mau buat api unggun ini, saya eksperimen, saya punya eksperimen ini jangan ganggu.’ para partisipan
tertawa dan menimpali dengan berbicara bersamaan ….. Kadang eksperimennya dibawa sampai ke tempat tidur. partisipan tertawa
Disposisi ketiga yang cukup sering muncul adalah kecenderungan untuk menggunakan penalaran, di mana anak cenderung bersandar pada bukti dan
penalaran. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan di mana anaknya bersikap tidak mau menerima begitu saja dan mempertimbangkan sebab akibat.
P13. Anak, menurut saya anak yang kritis itu anak yang tidak mau menerima begitu saja. Harus ada sebab, akibat, kenapa kalau kita buat
harus ada sebabnya, harus ada akibatnya. P12. Hmm hmm. Tidak menerima begitu saja..
P13. Haaa tidak menerima begitu saja. Kenapa kita buat sesuatu harus ada sebab, dan harus ada akibatnya.
Disposisi ini juga terlihat dari jawaban beberapa partisipan bahwa anak dianggap berpikir kritis jika tidak mudah percaya tanpa bukti:
P21. Anak yang berpikir kritis itu menurut saya kalau anak itu tidak berpikir mau menerima apa saja. Mereka akan membutuhkan bukti.
Contoh saja setiap anak umur-umur begini, kalau kita orang tua menjanjikan sesuatu ke mereka, biasanya mereka mau bukti dulu.
Selain itu, jawaban lain yang muncul adalah anak yang senang melakukan uji coba untuk membuktikan, yang terlihat dari kutipan berikut:
P11. Dia senang eksperimen begitu. Kita coba dulu ee, betul ka ne [arti bahasa Indonesia: betul atau tidak]. Begitu dorang.
P8. Macam ade tadi, goyang ka tidak, berarti jatuh… [partisipan mengacu pada cerita anak yang menyuruh adiknya naik di kursi untuk melihat
apakah bisa jatuh atau tidak bila kursinya digoyang] partisipan tertawa P11. Uji coba. Mereka sering mencoba. Mencoba.
Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa hampir semua kategori disposisi berpikir kritis muncul pada jawaban partisipan, kecuali kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi yang paling banyak muncul adalah sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis,
kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada Anak