Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan

27 antara mereka ada yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik...” Taher, 1997:133 Penilaian semacam itu dapat dimaklumi mengingat pemerintah telah melakukan pelarangan terhadap penggunaan bahasa Tionghoa digunakan secara terbuka. Di bidang jurnalistik misalnya, pemerintah melakukan pembatasan penerbitan dengan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Tionghoa. 8 Lahirnya, kebijaksanaan semacam ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Tionghoa secara terbuka dibatasi dan ditekan. Di samping itu, tampak bahwa ada tuntutan atau keharusan bagi minoritas Tionghoa untuk menanggalkan adat-istiadat dan bahasa yang berasal dari negeri Cina. Hal ini mengindikasikan adanya bentuk-bentuk larangan untuk mengembangkan kebudayaan dari kelompok masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam perkembangnya minoritas harus banyak mengadakan akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat. Adanya pembatasan dan tekanan tersebut minoritas Tionghoa mencari bentuk kebudayaan yang dirasakan cocok dan aman. Artinya, mereka lebih banyak bersikap “mengalah” dan menyembunyikan kebudayaan dan bahasa yang telah mereka miliki. Bahasa Tionghoa, hanya ditujukan diantara mereka saja. Pemanfaatan bahasa yang terbatas di lingkungan minoritas Tionghoa tersebut, justru dapat mempererat solidaritas mereka yang mempunyai dampak sangat luas dalam bidang-bidang kehidupan lain, termasuk di bidang kewirausahaan.

e. Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan

8 Penerbitan pers dalam bahasa asing bukan huruf latin misalnya TIonghoa hanya dimungkinkan atu penerbitan oleh Pemerintah Ketetapan MPRS No. XXXII1966, Pasal 4 28 Sejak jaman kolonial Belanda minoritas Tionghoa di Indonesia, telah mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai pendidikan bagi generasi muda. Tercatat sejak tahun 1901, telah didirikan sekolah Tionghoa yang dikelola oleh Tiong Hoa Hwee Koan THHK, di Jakarta. Tidak lama kemudian penguasa Belanda mendirikan HCS atau Sekolah Tionghoa dengan bahasa pengantar Belanda. Sekolah-sekolah Tionghoa diberikan kebebasan secara luas 9 . Dalam perkembangannya seolah-sekolah untuk peranakan Tionghoa berkembang pesat. Tercatat hingga tahun 1934 telah terdapat 450 sekolah berbahasa Cina di Hindia Belanda dan 117 sekolah rakyat berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa Suryadinata, 1984:158. Sekolah-sekolah bagi minoritas Tionghoa itu terus berkembang hingga Indonesia merdeka. Perkembangan itu terhenti ketika hubungan Republik Rakyat Cina dengan Indonesia mengalami ketegangan. Mulai tahun 1957, pemerintah Indonesia mulai mengadakan pengawasan secara ketat. Kondisi politik Indonsia pada waktu sedang memanas, dengan adanya pemberontakan anti integrasi di Sumatera dan Sulawesi. Dalam kondisi semacam ini pemerintah membuat pernyataan, bahwa sekolah-sekolah Tionghoa harus diawasi secara ketat demi keamanan dan kepentingan nasional Suryadinata, 1984:159. Guru-guru yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa diwajibkan meminta ijin kepada pemerintah, mereka harus menempuh tes, termasuk tes kelancaran Indonesia, serta melarang Warga Negara Indonesia untuk masuk ke sekolah Tionghoa. Di samping itu mengharuskan sekolah-sekolah Tionghoa untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Semua buku pegangan harus mendapat persetujuan pemerintah. Kurikulum sekolah diadakan 9 Sekolah-sekolah itu benar-benar diberi kebebasan menentukan kurikulum dan buku pegangannya, dan bahkan boleh mengundang guru dari Cina Suryadinata, 1984:154. 29 perubahan dengan lebih banyak memasukkan mata pelajaran mengenai Indonesia, yaitu; Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi mata pelajaran wajib. Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan larangan supaya tidak lagi didirikan sekolah-sekolah baru bagi minoritas Tionghoa. Bahkan semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup. Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan mengenai kebijakan pembatasan dan penutupan bagi sekolah berbahasa Tionghoa, pada tanggal 6 Juli 1966, menetapkan bahwa: “... mereka yang menjadi murid di bekas sekolah-sekolah asing tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional swasta. Mereka berhak untuk diterima di sekolah-sekolah negara jika mereka bisa memenuhi syarat-syarat masuk yang berupa seperti murid-murid lain dan mereka akan dibagi- bagi agar mereka tidak merupakan pengelompokan di salah satu sekolah ...” Coppel, 1994:136. Dalam praktek ternyata tidak secara serta merta suku Tionghoa untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Kebijakan pemerintah ini berubah setelah orde baru. Pada tahun 1968, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal dengan Peraturan Presiden No. B12Pres.11968 yang memberikan ijin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah itu, yang dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus atau SNPC yang didirikan pada tahun 1969. Sekolah-sekolah itu dinyatakan terbuka untuk asing dan warga negara Indonesia, tetapi siswa asing tidak boleh melebihi 40 dari jumlah seluruh siswa yang terdaftar. Suryadinata, 1984:163. Jadi proporsi jumlah siswa diprioritas kepada Warga Negara Indonesia. Kendati menurut peraturan jumlah warga Negara Indonesia harus melebihi jumlah 30 minoritas Tionghoa, tetapi pada kenyataannya sebagian besar siswanya adalah minoritas Tionghoa. Hingga tahun 1971 terdapat delapan sekolah SNPC, akan tetapi makin lama jumlah makin besar karena hanya di sekolah- sekolah itulah Tionghoa dapat masuk dengan mudah. Suryadinata, 1984:120. Perkembangan cepat dari sekolah- sekolah ini mengkawatirkan pemerintah, sehingga perlu diwaspadai. Kecurigaan pemerintah terhadap keberadaan SNPC semakin tinggi. Faktor penting yang melatar-belakangi sikap pemerintah adalah adanya anggapan bahwa pertumbuhan SNPC dapat memunculkan sikap eksklusif, yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah, yaitu berbentuk sebuah lembaga pendidikan yang dapat mempersubur proses asimilasi antara siswa warga negara Indonesia dengan siswa asing – Tionghoa. Tidak lama kemudian pada tahun 1974 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan penghapusan SNPC. Sekolah-sekolah itu diubah menjadi sekolah-sekolah biasa atau menjadi Sekolah Nasional Swasta. Dewasa ini, siswa-siswa sekolah Tionghoa banyak yang masuk pada sekolah swasta. Di samping itu pemerintah juga memberikan peluang bagi minoritas Tionghoa untuk meneruskan sekolah pada sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi pemerintah membatasi jumlah kira-kira hanya 10 jumlah dari seluruh siswa golongan mayoritas. Bahkan jumlah murid Tionghoa maksimum yang diijinkan belakangan dikatakan lima persen Coppel, 1994: 136. Di samping itu, mereka harus memiliki surat ijin belajar dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan menyertakan surat kewarganegaraan. Pengawasan ketat dan penghapusan sekolah-sekoloah khusus suku Tionghoa dapat dimengerti sebagai tindakan agar 31 tidak terjadi eklusivisme suku Tionghoa. Namun peraturan tidak tertulis yang terus berkembang hingga sekarang yang membatasi suku Tionghoa untuk dapat masuk ke sekolah negeri apalagi pada Universitas Negeri merupakan politik isolasi suku Tionghoa di bidang pendidikan. Untuk itu produk peraturan-peraturan pemerintah di bidang pendidikan menunjukkan bentuk pembatasan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesempatan sekolah bagi minoritas Tionghoa ini. Secara sistematis, pemerintah berusaha untuk mengendalikan jumlah masyarakat Tionghoa yang sekolah di sekolah-sekolah negeri. Perlakuan diskriminatif dan mendiskreditkan suku bangsa Tionghoa, merupakan manifestasi untuk mengisolasi suku bangsa Tionghoa. Usaha pemerintah untuk mengisolasi suku Tionghoa di bidang pendidikan tidak membuat suku tersebut terjepit, tetapi sebaliknya. Sikap diskriminatif tersebut dapat disiasati oleh minoritas Tionghoa, dengan cara masuk di sekolah swasta. Bahkan pada kenyataannya, sekolah swasta tersebut banyak yang disponsori oleh pengusaha Tionghoa sehingga berkembang pesat. Oleh karena itu sekolah-sekolah semacam itu mempunyai kualitas yang memadai. Di samping itu, banyak siswa Tionghoa yang masuk pada sekolah-sekolah dan atau universitas di luar negeri.

f. Pembatasan dan Tekanan Berupa Gerakan Rasisme

Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

Hubungan antara Kegiatan Menonton Program Metro Xin Wen dengan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Penonton Etnis Tionghoa.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB V

1 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 34

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB II

0 1 10