31 tidak terjadi eklusivisme suku Tionghoa. Namun peraturan tidak
tertulis yang terus berkembang hingga sekarang yang membatasi suku Tionghoa untuk dapat masuk ke sekolah negeri apalagi pada
Universitas Negeri merupakan politik isolasi suku Tionghoa di bidang pendidikan.
Untuk itu produk peraturan-peraturan pemerintah di bidang pendidikan menunjukkan bentuk pembatasan pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan dan kesempatan sekolah bagi minoritas Tionghoa ini. Secara sistematis, pemerintah berusaha
untuk mengendalikan jumlah masyarakat Tionghoa yang sekolah di
sekolah-sekolah negeri.
Perlakuan diskriminatif
dan mendiskreditkan suku bangsa Tionghoa, merupakan manifestasi
untuk mengisolasi suku bangsa Tionghoa. Usaha pemerintah untuk mengisolasi suku Tionghoa di
bidang pendidikan tidak membuat suku tersebut terjepit, tetapi sebaliknya. Sikap diskriminatif tersebut dapat disiasati oleh
minoritas Tionghoa, dengan cara masuk di sekolah swasta. Bahkan pada kenyataannya, sekolah swasta tersebut banyak yang
disponsori oleh pengusaha Tionghoa sehingga berkembang pesat. Oleh karena itu sekolah-sekolah semacam itu mempunyai kualitas
yang memadai. Di samping itu, banyak siswa Tionghoa yang masuk pada sekolah-sekolah dan atau universitas di luar negeri.
f. Pembatasan dan Tekanan Berupa Gerakan Rasisme
Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik-
bawaan; di samping itu banyak juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Dalam perkembangan
berikutnya ada gejala saling mengagungkan rasnya sehingga memunculkan anti dengan ras yang lain. Akibatnya, sering
32 muncul tindakan-tindakan bersifat destruktif yang dilakukan oleh
kelompok ras dominan terhadap kelompok ras minoritas. Perlakuan semacam itu juga dapat ditemukan pada masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Gelombang anti ras Tionghoa terjadi secara laten, dan muncul konflik sepihak. Artinya, hampir tidak
pernah terjadi perlawanan balik yang dilakukan oleh minoritas Tionghoa.
Segi hubungan antar kelompok suku bangsa, rasisme tersebut diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Jadi rasisme secara
lebih longgar merupakan cara memperlakukan orang berdasarkan pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri
individu. Hal ini berarti pula bahwa kelompok mayoritas bertindak secara sewenang-wenang terhadap hak, harga diri
kelompok minoritas. Akibatnya, yang tampak adalah perlakuan- perlakuan yang diskriminatif dan kurang adil.
Bagi minoritas Tionghoa Indonesia, perlakuan semacam ini dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan sosial. Diskriminasi
tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, tetapi secara kolektif tidak diberikan kesempatan yang sama sebagai warga
negara Indonesia. Dalam kegiatan sehari-hari, lembaga-lembaga masyarakat secara sistematis mendiskriminasikan anggota
kelompok-kelompok tertentu, dalam kegiatan bisnis, sekolah atau pendidikan, rumah sakit, partai politik, instansi pemerintahan.
g. Tekanan Sosial Berupa Genocide
33 Bentuk tekanan sosial psikologis yang lain adalah berupa
ancaman terjadinya konflik secara terbuka, yang terjadi sebagai akibat masalah ras atau suku bangsa, yang bersumbu pada
pembantaian Tionghoa. Tragedi pembantian Tionghoa pernah terjadi, pada tahun 1740, ketika Jawa dalam kekuasaan
Pemerintahan Belanda, yang dikenal dengan peristiwa “Geger Cina”.
Catatan sejarah
Indonesia menunjukkan
bahwa pembantaian
orang-orang Tionghoa
di Indonesia
telah berlangsung lama. Penyebabnya adalah untuk menunjukkan
luapan kemarahan kepada penguasa dan orang Tionghoa, dengan menciderai dan membunuhnya secara fisik Kwik Kian Gie dan
Nurcholish Madjid, 1999: 58. Usaha untuk memusnahkan minoritas Tionghoa, sudah pernah muncul pada masa
Kolonialisme Belanda. Banyak orang Tionghoa yang dibunuh secara massal.
Konflik semacam ini ditandai dengan adanya pengrusakan atau penghancuran secara fisik dari suatu kelompok tertentu
terhadap kelompok lain yang menjadi target. Dalam hal ini terdapat
usaha-usaha suatu
kelompok mayoritas
untuk memusnahkan kelompok minoritas. Dengan cara semacam ini
mereka dapat menghilangkan atau memusnahkan yang lain, terutama suku Tionghoa. Ancaman, pembantaian Tionghoa
tersebut, pada satu sisi proses asmilasi menjadi sulit dan pada sisi lain sebagian besar minoritas Tionghoa semakin lekat
karakteristik ke Tionghoa-annya. Berbagai kejadian yang menjepit keberadaannya telah melahirkan penilaian negatif
terhadap kelompok mayoritas. Orang Tionghoa telah mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan asimilisi. Kendati
demikian, atas peristiwa-peristiwa tragis yang ditujukan kepadanya telah membangkitan kembali solidaritas kebersamaan
diantara mereka.
h. Pembatasan dan Tekanan Berupa Kerusuhan dan Kekerasan