17 Orang Tionghoa diharapkan berpakaian sebagaimana biasa termasuk
mengenakan kuncir dan merupakan pelanggaran kriminal “apabila tampil di depan umum dengan tersamar pakaian lain daripada pakaian
nasional itu, terkecuali dalam arak-arakan bertopeng atau kesenangan belaka”. Lain dari pada di Thailand, di Indonesia tidak ada prosedur
yang dilembagakan yang memungkinkan seorang penduduk Tionghoa dapat melepaskan diri dari golongan Tionghoa dan menjadi warga
penduduk pribumi. Ini tidak berarti bahwa hal semacam itu tidak pernah terjadi, karena jelas ada kasus-kasus serupa itu yang terjadi
tanpa diketahui pihak penguasa, dan rupanya terdapat satu kasus yang disetujui pula oleh pemerintah kolonial mengenai asimilasi peranakn
Tionghoa di Madura ke dalam status pribumi. Namun, pada umumnya politik Belanda barangkali memainkan peranan penting sekali dalam
memastikan bahwa suatu masyarakat peranakan yang mantap terbentuk dari keturunan imigran Tionghoa dan bahwa keturunan
imigran ini tidak terserap oleh penduduk pribumi. Coppel, Charles A,
1994:57-64
2.2.3 Kebijakan dan peraturan Pemerintah terhadap Minoritas Tionghoa selepas Kemerdekaan Indonesia.
a. Pembatasan dan Penekanan Secara Budaya
Dilihat dari sudut pandang kebudayaan bangsa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai bangsa
yang mempunyai pluralisme budaya. Menurut Horton dan Hunt 1984
6
, pluralisme budaya adalah suatu bentuk penyesuaian diri di mana suku
bangsa-suku adat-istiadat mereka yang berbeda, sementara itu turut bekerjasama secara damai dalam kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara nisbih sama. Hal ini berarti masing-masing suku bangsa tanpa
6
Horton,P.B. Dan Hunt, C.L. 1984 dalam Kasmun Saparaus 2003
18 dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas
mempunyai kedudukan sederajad dalam hal mengembangkan dimensi-dimensi kebudayaannya. Diantara suku bangsa-suku
bangsa yang ada dalam batas-batas tidak mengganggu atau tidak merugikan suku bangsa lain dapat mengembangkan agama atau
kepercayaannya, bahasa, adat istiadat dan pendidikannya. Akan tetapi, perlu disadari bahwa masing-masing suku
bangsa yang ada tidak mempunyai kesamaan status ekonomi dan politik, serta konsep kebudayaan. Realitas semacam ini sering
menjadi kendala utama dalam bidang pengembangan interaksi sosial antara suku bangsa, terutama yang dirasakan oleh suku
bangsa atau minoritas Tionghoa. Kendati belum ada bukti secara empirik mengenai perbedaan persepsi terhadap masalah ekonomi,
politik dan sosial-budaya tersebut, telah melahirkan kebijakan- kebijakan yang bersifat diskriminatif, untuk membatasi atau
menekan perkembangan kebudayaan suku bangsa Tionghoa. Munculnya, political will bangsa Indonesia, sebagaimana
dinyatakan melalui resolusi No. IIResMPR1966, yang menyatakan bahwa dengan kenyataan adanya dalam masyarakat
warga negara keturunan asing yang mengarah kepada exclusivisme, sehingga perlu dibuat pembinaan kesatuan bangsa.
Eksklusivitas sebagaimana yang dituduhkan sebenarnya, masih berupa steriotipe yang belum teruji. Berangkat dari kecurigaan
yang belum terbukti secara empirik tersebut, elite birokrasi melakukan usaha-usaha untuk membatasi perkembangan dimensi
kultural suku bangsa Tionghoa. Pembatasan terhadap perkembangan kebudayaan minoritas
Tionghoa ini tampak jelas dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang berkaitan dengan penetapan
kebijakan pokok tentang agama, kepercayaan, adat istiadat suku
19 bangsa Tionghoa. Dalam konsideran dari instruksi Presiden
tersebut disebut : “... bahwa agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina
Tionghoa di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya,
yang dalam
manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psychologis, mental, dan moral yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia
sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,. Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi
yang wajar....”
Bertolak dari
kutipan tersebut,
secara eksplisit
menunjukkan ada kekawatiran pemerintah dalam rangka melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan
Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas ini diambil agar kemapanan establisment kekuasaan yang
dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk
mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa melakukan
usaha-usaha untuk
melarang berkembangnya
kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan simpati mayoritas.
Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-
istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan.Saparaus, Kasmun, 2003:48
b. Pembatasan dan Tekanan Kehidupan Agama-Kepercayaan