12
2.2. Perjalanan Etnis Tionghoa di Indonesia
“...banyak orang Indonesia kini masih menganggap orang Tionghoa secara politis, kultural dan sosial sebagai asing sebagaimana orang asing lain
yang sesungguhnya, sekalipun mereka itu mungkin mempunyai kartu kewarganegaraan Indonesia di dalam kantong mereka”.
1
Orang Tionghoa selalu merupakan minoritas kecil di Indonesia. Dalam tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang,
mungkin saja mereka itu tidak pernah dianggap mewakili lebih dari 2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk pada waktu itu.
Dalam tahun-tahun pertumbuhan nasionalisme Indonesia pada bagian awal abad ini, kata bangsa ras digunakan untuk menunjukkan
pengertian nasion. Kebanyakan kaum nasionalis Indonesia berpikir bahwa bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari berbagai suku bangsa
atau suku pribumi asli. Dengan begitu, sama luasnya dengan suatu bagian dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan
sebagai pribumi inlander. Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit perkecualian digolongkan sebagai “Timur Asing” Vreemde Oosterlingen,
dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bangsa tersendiri, bangsa Tionghoa. Wibisono,Christianto,2004:42-43
2.2.1 Stereotip Orang Tionghoa
Orang Indonesia pribumi tidak saja menganggap orang Tionghoa itu sebagai bangsa lain, tetapi banyak dari mereka juga
percaya bahwa sebagai kelompok, orang Tionghoa itu memiliki berbagai sifat negatif, sebagai berikut :
Orang Tionghoa itu suka berkelompok-kelompok, mereka menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di
kawasan tersendiri. Mereka selalu berpegang teguh kepada
1
Suryadinata ,Leo 2002 dalam Wibisono,Christianto 2004
13 kebudayaan negara leluhur mereka. Kesetiaan mereka kepada
Indonesia, dalam keadaan paling baik meragukan, dalam keadaan paling buruk, bersikap bermusuhan terhadap Indonesia. Orang
Tionghoa yang tampaknya memihak kepada Indonesia tidak bersungguh-sungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukan itu
demi alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang sebenarnya untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunisme
semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti
orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita. Setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh Belanda, orang
Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan terhadap massa Indonesia dan menghalangi-halangi kebangkitan
golongan pengusaha nasional atau pribumi. Masih tidak puas dengan kedudukan mereka yang dominan itu, mereka pun terlibat dalam
subversi ekonomi, karena mereka ahli dalam bidang penyogokan dan penyelundupan.
Mengumpulkan citra semacam ini dari sumber-sumber tertulis adalah satu hal, sebaliknya sampai di mana gabungan stereotip yang
mewakili orang Tionghoa itu dalam pemikiran orang Indonesia dapat dibentuk merupakan hal lain. Tidak pernah diusahakan di sini untuk
mengunakan cara-cara penelitian untuk mengetahui pandangan yang dianut orang Indonesia, atau sebagian dari mereka yang menjadi
gambaran yang sebenarnya mengenai orang Tionghoa sebagai suatu kelompok. Tidak diragukan bahwa banyak yang berpendapat, paling
tidak sebagian dari orang Tionghoa dikecualikan dari gambaran umum itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan dan
ucapan orang Indonesia tentang orang Tionghoa, termasuk pernyataan-pernyataan pemerintah tentang “masalah Tionghoa”, dan
terutama dalam percakapan diantara orang Tionghoa sendiri mengenai cara terbaik untuk menetralkan mereka, memberi kesan bahwa mereka
14 itu bukannya tidak penting. Karena itu, rupanya diperlukan sekali
untuk meneliti bagaimana citra ini sampai terbentuk dan sampai dimana mereka itu mempunyai setitik kebenaran, sebelum mencoba
membatasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat Indonesia yang dalam hal ini paling berurat akar. Mellaz, August,2002:43-44
2.2.2 Sifat Eksklusif dan Superioritas