19 bangsa Tionghoa. Dalam konsideran dari instruksi Presiden
tersebut disebut : “... bahwa agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina
Tionghoa di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya,
yang dalam
manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psychologis, mental, dan moral yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia
sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,. Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi
yang wajar....”
Bertolak dari
kutipan tersebut,
secara eksplisit
menunjukkan ada kekawatiran pemerintah dalam rangka melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan
Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas ini diambil agar kemapanan establisment kekuasaan yang
dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk
mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa melakukan
usaha-usaha untuk
melarang berkembangnya
kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan simpati mayoritas.
Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-
istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan.Saparaus, Kasmun, 2003:48
b. Pembatasan dan Tekanan Kehidupan Agama-Kepercayaan
20 Secara umum, minoritas Tionghoa di Indonesia menganut
agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Sebagian ada yang memeluk agama dan atau kepercayaan Khonghucu, Budha,
Hindu, Islam, kristen dan Katolik. Dari keenam agama dan kepercayaan tersebut, ajaran Kong Hu Chu merupakan ajaran
tertua dan kuat melekat dalam kehidupan minoritas Tionghoa di Indonesia, terutama menyangkut soal-soal kekeluargaan misalnya
berbakti kepada leluhur dan orang tua. Beberapa tata cara dan kebiasaan seperti pemberian korban, penghormatan dan
sembahyangan masih bertahan dan dirayakan di kalangan minoritas Tionghoa.
Ketika itu pemerintah menerapkan kebijakan pluralisme agama yang menimbulkan kecenderungan bagi minoritas
Tionghoa untuk mempertahankan identitas mereka dibalik identitas agama Suryadinata, 1999: 182. Namun demikian pada
awal Orde Baru, secara kualitas dan kuantitas dari waktu ke waktu perkembangannya penganut Khonghucu cenderung
mengalami kemunduran. Salah satu faktor yang ditengarai sebagai penyebabnya adalah munculnya peraturan pada
pemerintah Orde Baru, yang membatasi perkembangan ritus-ritus keagamaan yang bersumber dari negeri leluhur.
Salah satu bentuk peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan keagamaan minoritas Tionghoa yaitu, Instruksi Presiden,
No. 14 Tahun 1967 yang menyatakan: “... Pertama: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan
memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas kultural yang
berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau
perorangan. Kedua: Perayaan-perayaan pesta agama dan
21 adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di
depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung
PAKEM....”
Bertolak dari isi Instruksi Presiden tersebut, secara formal ada larangan untuk mengembangkan agama atau kepercayaan
yang secara natural telah dimiliki sebagai warisan leluhurnya. Misalnya, penempatan agama Khonghucu, diluar agama resmi
yang ada di Indonesia, dan hanya sekedar sebuah kepercayaan. Hal ini berarti Pemerintah mengadakan usaha-usaha untuk
menghambat berkembangnya agama dan atau kepercayaan, minoritas Tionghoa berasal dari tanah leluhur mereka. Pemerintah
secara terencana dan sistematis juga ingin membatasi bahkan meniadakan segala macam bentuk agama, kepercayaan dan adat
istiadat yang berasal dari Cina. Larangan itu dilakukan semata- mata karena alasan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak
wajar atau negatif sehingga dikhawatirkan dapat menghambat proses asimilasi secara wajar. Di samping itu, munculnya
Instruksi Presiden 1967, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dari pihak elite birokrasi, agar agama leluhur minoritas Tionghoa
ini tidak secara vulgar diajarkan di Indonesia, dengan alasan dapat mengundang
kerawanan sosial
dan konflik.
Hal ini,
mengindikasikan bahwa elite pemerintahan berpihak pada pihak mayoritas, katimbang berpihak pada perkembangan kebudayaan
dan agama minoritas Tionghoa. Di samping itu pemerintah menyarankan agar praktek-
praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga.
22 Akibat praktis dari instruksi itu, pertunjukan-pertunjukan
barongsay, arakan-arakan toapekong, perayaan Imlek hanya dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga Greif,
1991:xix dan tempat ibadah. Dianggap tidak terlalu istimewa adanya perayaan tersebut bagi bangsa Indonesia, dalam
penanggalan nasional sering tidak diklasifikasikan sebagai hari besar.
Kebijakan Pemerintah atas keberadaan kehidupan agama minoritas Tionghoa dapat diartikan bahwa pada satu sisi dapat
mengurangi kesenjangan sosial budaya antara minoritas Tionghoa dengan mayoritas, dan pada pihak lain terdapat usaha-usaha untuk
menekan dan membatasi kekeluasaan atau kebebasan beragama yang bersumber dari tanah leluhur bagi minoritas Tionghoa.
Bahkan, kebijakkan untuk membatasi kebebasan beragama secara formal terus dilakukan. Melalui UU No.51969, pemerintah
menyatakan dua agama minoritas, agama Budha dan Konghucu, sebagai agama yang diakui secara resmi. Hal ini berarti bahwa
pemerintah tidak sekedar mengakui kedua agama itu sebagai agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, tetapi
didalamnya juga mempunyai makna untuk memberikan kebebasan melaksanakan ritual-ritual yang menjadi kewajiban
agamanya. Pengakuan agama-agama minoritas tidak sejalan dengan
kebijaksanaan umum pemerintah Orde Baru Soeharto terhadap Tionghoa warga negara Indonesia, yaitu kebijakan asimilasi
Suryadinata, 1984:203. Dengan adanya pengakuan itu berarti pemerintah ingin untuk melebur minoritas Tionghoa ke dalam
masyarakat mayoritas, dengan harapan konflik etnis tidak akan pernah terjadi. Hal ini justru menjadi ancaman bagi
23 perkembangan agama Khonghucu atau Budha, yang dianut
minoritas Tionghoa. Pendekatan yang asimilatif tersebut, justru melahirkan
tekanan-tekanan secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek keagamaan. Tampaknya pemerintah masih setengah hati
menerima keberadaan agama Tionghua. Oleh karena itu, ketika Matakin atau Majelis Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia
meminta Departemen Agama mengakui Khonghucuisme sebagai agama, tetapi sidang kabinet pada tanggal, 27 Januari 1979 secara
tegas menyatakan bahwa Khonghucuisme bukanlah agama Suryadinata, 1978: 33; 1999: 182.
Disadari atau tidak, agama Khonghucu telah menjadi identitas Tionghoa di Indonesia dan sulit untuk dimusnahkan.
Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa tekanan dan pembatasan yang dilakukan bukan semakin melemahkan
identitas, tetapi sebaliknya dapat semakin mempererat jalinan etnis, untuk secara kompak mempertahankan identitas tersebut,
sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Suryadinata, 1999: 184 menyimpulkan bahwa “identitas etnis sering digunakan untuk
meningkatkan solidaritas etnis dan kepentingan ekonomi sebuah kelompok etnis”. Akibat, penekanan dan pembatasan tersebut
melahirkan perasaan senasib, sehingga terjadi kebiasaan untuk tolong-menolong inter-anggota minoritas Tionghoa, terutama
dalam bidang kewirausahaan.
c. Pembatasan dan Tekanan Adat Istiadat