10
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Wacana dengan Kekuasaan
Sejarah politik Orde Baru merupakan sejarah yang juga mampu membuktikan bagaimana politik kekuasaan selalu harus ditopang dengan
politik pengetahuan beserta aparatus pendidikan yang menanamkan nilai- nilai ideologi negara secara hegemonik.
Fondasi kekuasaan yang dibangun pertama-tama adalah melakukan pembangunan tiang-tiang legitimasi baik secara politik maupun secara
moral. Salah satunya tentu saja membangun pengetahuan masyarakat bahwa memang rezim ini dibangun dengan kaki fondasi yang sah dan legitimit.
Pengetahuan-pengetahuan seperti sejarah, ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai-nilai sosial lainnya tentu saja dibangun atas kepentingan kekuasaan
saat itu. Bagi kekuatan yang kalah, tentu saja akan bernasib buruk karena rezim orde baru sangat lihai untuk menangkis kekuatan-kekuatan lawan
dengan segala peraturan dan kebijakan yang tidak memberi peluang lahirnya perubahan.
Wacana ideologi sangat efektif jika dibawa dan ditransmisikan oleh seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin kesadaran
masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dikonstruksi oleh negara terutama oleh lembaga pendidikan. Di dalam seperangkat pengetahuan ini
mengandung manifestasi kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini tidak harus terbentuk dalam kerja mekanis ataupun linier, melainkan diproduksi dan
direproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana atau pengetahuan tersebut diyakini, dan mengatur pola-pola hidup interaksi
masyarakat, maka disana kekuasaan bekerja. Cara kerja kekuasaan ini membentuk “disiplin” masyarakat. Model kekuasaan disiplin ini tidak harus
melalui kekuasaan represif fisik melainkan bentuk kontrol pengawasan yang
11 dibentuk oleh pengetahuan atau wacana. Kontrol kesadaran ini meletakkan
masyarakat selalu ada dibawah kontrol yang dibentuk oleh kekuasaan. Perangkat pengetahuan ini dapat dipakai untuk menentukan seluruh
tingkah laku dan mengurangi wilayah “illegalitas” yaitu pelanggaran hukum. Hukuman menjadi efektif karena memberi gagasan kepada setiap
orang bahwa dengan melakukan “kejahatan” orang akan menerima kerugian yang lebih besar daripada kalau orang menaati hukum. Hukuman yang
berupa sistem tanda-tanda ini mengenai bukan lagi tubuh, melainkan menjadi tanda representasi yang mengenai pikiran. Tanda-tanda itu bisa
dibentuk oleh pendidikan, penjara, agama, institusi-institusi negara atau wacana yang sengaja dikembangkan dalam masyarakat.
Berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap
kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers
tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era
reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer.
Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut. Media dihajatkan
lahir sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara,
namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah solusi atas berbagai problemantika bangsa melalui wacana yang
dibangun.St. Tri Guntur Narwaya,2006: 67
12
2.2. Perjalanan Etnis Tionghoa di Indonesia