25 daripada etnis Tionghoa lainnya. Namun demikian bukan berarti
seluruh adat istiadat Tionghoa telah terserap ke dalam kebudayaan nasional. Sampai saat ini sebagian besar minoritas
Tionghoa masih tetap kental karakteristik ke-Tionghoa-annya. Kebijakan Pemerintah, untuk melakukan pembatasan,
ternyata tidak dapat mematikan adat istiadat Tionghoa, tetapi sebaliknya semakin mengukuhkan identitas Tionghoa. Identitas
ini dapat menjadi perekat yang kuat, sehingga secara emosional diantara mereka mennjadi komunitas yang kohesif. Kohesifitas
tersebut dapat menunjang aktivitas jaringan kerjasama di bidang kewirausahaan. Saparaus, Kasmun, 2003:56
d. Pembatasan dan Tekanan Perkembangan Bahasa Tionghoa
Kebijakan paling menonjol yang dipraktekkan selama rezim Order Baru terhadap suku bangsa Tiongha bersifat
asimilatif. Akibatnya, terjadi kecenderungan untuk melakukan segala
pembatasan yang
dianggap kurang
mendukung terwujudnya proses asimilasi. Konsep yang dijadikan payung
asimilasi adalah terciptanya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam sebuah negara dan bangsa yang bersifat multietnik. Oleh
karena itu, kebijakan asimilatif bertujuan untuk menyerap suku bangsa Tionghoa ke dalam kelompok mayoritas atau pribumi
Suryadinata, 1999: 84. Usaha penyerapan atau peleburan berbagai aspek kehidupan,
termasuk unsur bahasa Tionghoa merupakan salah satu bentuk asimilasi yang harus diperjuangkan.
Lenyapnya bahasa Tionghoa merupakan indikator terkikisnya identitas Tionghoa, yang sekaligus sebagai salah satu simbol
keberhasilan kebijakan asimilasi total di bidang kebudayaan. Oleh karena itu, pengakuan terhadap perkembangan bahasa Tionghoa,
26 dianggap tidak sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia,
serta merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip: “Satu Nusa, Satu bangsa dan Satu Bahasa”. Dengan kata lain,
menghidupkan keberadaan
bahasa Tionghoa
dianggap bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa.
Tentu saja stereotipe, semacam ini menunjukkan penilaian yang berlebihan dan dipolitisir. Sebab, pada kenyataannya, tidak ada
larangan yang ditujukan kepada bahasa daerah dari etnis tertentu. Sebaliknya bahasa daerah dianggap salah satu asset kebudayaan
nasional, sehingga perlu dikembangkan. Masing-masing suku bangsa memiliki bahasa daerah.
Pembatasan terhadap penggunaan bahasa secara bebas atas suku bangsa tertentu menunjukkan adanya perlakuan
kurang demokratis dan tidak adil. Ironisnya, elite penguasa justru
membuat kebijakan untuk membatasi penggunaan bahasa Tionghoa. Sejak tahun 1960, pemerintah melarang penggunaan
bahasa Cina
7
Esensi kebijakan pemerintah tersebut untuk melebur bahasa Tionghoa dan menghidupkan bahasa Indonesia di
kalangan mereka. Penggunaan bahasa Tionghoa selain dianggap menentang kebijakan pemerintah juga dimaknai sebagai dosa
besar. Mengutip pernyataan Siswono Yudohusado, yang dieleminir sebagai salah satu dosa besar adalah:
“... Diantara mereka masih ada yang menggunakan bahasa ibu Cina dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula, masih ada
diantara mereka yang memegang erat adat-istiadat dan tradisi nenek moyang mereka. Dalam konteks itu, sangat disayangkan
bahwa sebagian dari mereka kurang atau tidak mengenal adat- istiadat Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di
7
Pemerintah menginstruksikan kepada orang Tionghoa untuk menggunakan Bahasa Indonesia terhadap nama-nama toko, melarang semua surat kabar berbahasa Cina dan melarang untuk
mengimpor semua bentuk penerbitan dalam bahasa Cina. Taher, 1997:133
27 antara mereka ada yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik...” Taher, 1997:133
Penilaian semacam itu dapat dimaklumi mengingat pemerintah telah melakukan pelarangan terhadap penggunaan
bahasa Tionghoa digunakan secara terbuka. Di bidang jurnalistik misalnya, pemerintah melakukan pembatasan penerbitan dengan
menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Tionghoa.
8
Lahirnya, kebijaksanaan semacam ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Tionghoa secara terbuka dibatasi dan ditekan.
Di samping itu, tampak bahwa ada tuntutan atau keharusan bagi minoritas Tionghoa untuk menanggalkan adat-istiadat dan bahasa
yang berasal dari negeri Cina. Hal ini mengindikasikan adanya bentuk-bentuk larangan untuk mengembangkan kebudayaan dari
kelompok masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam perkembangnya minoritas harus banyak mengadakan akulturasi dan asimilasi
dengan kebudayaan setempat. Adanya pembatasan dan tekanan tersebut minoritas
Tionghoa mencari bentuk kebudayaan yang dirasakan cocok dan aman. Artinya, mereka lebih banyak bersikap “mengalah” dan
menyembunyikan kebudayaan dan bahasa yang telah mereka miliki. Bahasa Tionghoa, hanya ditujukan diantara mereka saja.
Pemanfaatan bahasa yang terbatas di lingkungan minoritas Tionghoa tersebut, justru dapat mempererat solidaritas mereka
yang mempunyai dampak sangat luas dalam bidang-bidang kehidupan lain, termasuk di bidang kewirausahaan.
e. Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan