23 perkembangan agama Khonghucu atau Budha, yang dianut
minoritas Tionghoa. Pendekatan yang asimilatif tersebut, justru melahirkan
tekanan-tekanan secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek keagamaan. Tampaknya pemerintah masih setengah hati
menerima keberadaan agama Tionghua. Oleh karena itu, ketika Matakin atau Majelis Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia
meminta Departemen Agama mengakui Khonghucuisme sebagai agama, tetapi sidang kabinet pada tanggal, 27 Januari 1979 secara
tegas menyatakan bahwa Khonghucuisme bukanlah agama Suryadinata, 1978: 33; 1999: 182.
Disadari atau tidak, agama Khonghucu telah menjadi identitas Tionghoa di Indonesia dan sulit untuk dimusnahkan.
Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa tekanan dan pembatasan yang dilakukan bukan semakin melemahkan
identitas, tetapi sebaliknya dapat semakin mempererat jalinan etnis, untuk secara kompak mempertahankan identitas tersebut,
sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Suryadinata, 1999: 184 menyimpulkan bahwa “identitas etnis sering digunakan untuk
meningkatkan solidaritas etnis dan kepentingan ekonomi sebuah kelompok etnis”. Akibat, penekanan dan pembatasan tersebut
melahirkan perasaan senasib, sehingga terjadi kebiasaan untuk tolong-menolong inter-anggota minoritas Tionghoa, terutama
dalam bidang kewirausahaan.
c. Pembatasan dan Tekanan Adat Istiadat
24 Ternyata bukan agama saja yang dinilai “membahayakan”,
establisment penguasa dan kelompok mayoritas. Adat istiadat minoritas Tionghoa yang berkembang secara turun menurun juga
dianggap dapat mengganggu integritas dan dianggap sebagai sumber konflik. Oleh sebab itu muncul pembatasan terhadap
perkembangan adat-istiadat Tionghoa. Regulasi yang secara tegas membatasi perkembangan adat
istiadat minoritas Tionghoa, tertuang dalam Instruksi Presiden, No. 14 Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :
“tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinita kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus
dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Di samping itu, adat istiadat Cina harus
dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga”.
Secara formal Peraturan Presiden yang dikeluarkan pada bulan Desember 1967, untuk melakukan pembatasan hidup dan
berkembangnya adat istiadat Tionghoa dirasakan oleh minoritas sebagai suatu perlakuan yang kurang menghargai keberadaan
suku bangsa lain. Misalnya perayaan Tahun Baru Imlek, adat perkawinan, adat pemakanan jenazah dan lain sebagainya, hanya
boleh dilakukan di lingkungan keluarga saja. Berpijak pada kebijakan di atas, tampak bahwa Pemerintah
menggunakan model asimilasi yang mengharuskan minoritas Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya
menjadi pribumi Indonesia. Stereotipe yang muncul adalah kecinaan dianggap membahayakan pembentukan kebudayaan
nasional. Sebaliknya, minoritas Tionghoa yang tidak mematuhi adat istiadat Tionghoa, dianggap lebih “asimilatif-nasionalis”
25 daripada etnis Tionghoa lainnya. Namun demikian bukan berarti
seluruh adat istiadat Tionghoa telah terserap ke dalam kebudayaan nasional. Sampai saat ini sebagian besar minoritas
Tionghoa masih tetap kental karakteristik ke-Tionghoa-annya. Kebijakan Pemerintah, untuk melakukan pembatasan,
ternyata tidak dapat mematikan adat istiadat Tionghoa, tetapi sebaliknya semakin mengukuhkan identitas Tionghoa. Identitas
ini dapat menjadi perekat yang kuat, sehingga secara emosional diantara mereka mennjadi komunitas yang kohesif. Kohesifitas
tersebut dapat menunjang aktivitas jaringan kerjasama di bidang kewirausahaan. Saparaus, Kasmun, 2003:56
d. Pembatasan dan Tekanan Perkembangan Bahasa Tionghoa