penentuan awal bulan kamariah dalam persepektif aboge (studi terhadap pedoman kegiatan keagamaan dan rutinitas seharihari bagi komunitas aboge di wilayah Kabupaten Pati Jawa Tengah )

(1)

(Studi Terhadap Pedoman Kegiatan Keagamaan dan Rutinitas Sehari-hari bagi Komunitas Aboge di Wilayah Kabupaten Pati Jawa Tengah )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUNDALIFAH NIM: 1111044100098

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Tengah). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.

Menurut diskursus hisab kejawen, sistem Aboge telah berubah menjadi Asapon. Namun di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati masih menggunakan sistem Aboge dalam penentuan awal bulan Kamariah dan dalam menjalankan tradisi-tradisi yang berkaitan dengan keagamaan dalam kehidupan mereka. Berkaca dari hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Desa Kembang yang masih kental dengan tradisi-tradisi

ini. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui metode dan fungsi dari kalender Aboge di

Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif. Yang dijadikan objek penelitian ini merupakan tokoh-tokoh Aboge yang meliputi Sesepuh Aboge, anggota Islam Aboge. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara/ interview dan dokumentasi. Hasil penelitian yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah dalam menentukan awal bulan Kamariah murni menggunakan hisab Jawa

sistem Aboge tanpa ada perubahan ke Asapon. Karena mereka menganggap

perhitungan Aboge bersifat paten (abadi), nyata dan sakral juga sebagai budaya

peninggalan sesepuh yang harus dijaga agar tetap lestari. Masyarakat Desa Kembang

Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati mengimplementasikan sistem Aboge sebatas

dalam rutinitas sehari-hari seperti Membeli hewan ternak, Pernikahan, Asahan, dan

lain-lain. Sedangkan dalam menentukan awal bulan yang di dalamnya terdapat ibadah

wajib seperti awal bulan Ramadan yang di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa, awal bulan Syawal, dan awal bulan Zulhijjah yang didalamnya ada kewajiban haji, masyarakat Desa Kembang mengikuti ketetapan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama.

Faktor-faktor masih digunakannya Aboge, pertama keyakinan masyarakat terhadap

Aboge yang merupakan warisan nenek moyang sehingga harus dilestarikan, karena

selain penentuan awal bulan juga menyangkut hari-hari baik. Kedua kurangnya

sosialisasi kalender Jawa, mereka hanya mengenal tahun Jawa Aboge, sedangkan

Ajumgi, Amiswon, dan Asapon tidak diketahui. Ketiga pendidikan yang relatif

rendah, kebanyakan penganut Aboge adalah orang tua yang hanya menamatkan SD,


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji Syukur bagi Allah SWT atas berkat rahmat, nikmat, hidayah serta ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Shalawat serta salam dihaturkan pada Nabiyullah Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya Syari’at Islam yang pengaruh dan manfaatnya dapat kita rasakan sampai saat ini.

Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, bantuan, dorongan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini tentu akan terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada yang terhormat:

1. Kementrian Agama RI cq yang telah memberikan bantuan dan beasiswa

sampai penulis menyelesaikan studi;

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali


(7)

Syakhsiyyah dan Sri Hidayati, M.Ag selaku sekretaris Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah;

4. Dra. Maskufa, MA selaku Dosen Pembimbing yang telah rela meluangkan

waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi;

5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi;

6. Juremi, PA selaku kepala Desa Kembang, Mbah Sukamto, Mbah Yusuf

Rustam, Mbah Sahlan, Mbah Rami dan Kasemo yang bersedia diwawancara sebagai narasumber dari penelitian penulis;

7. Kepada orang tua tercinta Bapak Subhan dan Ibu Rasmi’ah, Kakak dan

Adik tersayang (Nur Rohman, Ratnasari dan Ika Maya Shofiatin) yang telah memberikan motivasi serta memberikan nasehat-nasehat kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini;

8. Orang terkasih A. Sholeh Spd.I, teman-teman terdekat (Juniarti Harahap,


(8)

yang telah memberi semangat dan masukan-masukan serta nasehat kepada penulis;

9. Semua orang yang pernah hadir dalam kehidupan penulis untuk

memberikan ilmu, nasehat, dan gambaran hidup. Jazakumullah khairal

Jaza’.

10.Serta berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan seluruhnya, semoga

amal baik mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan skripsi ini dan wawasan ilmu penulis. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya. Amiin.

Jakarta, 13 Maret 2015

Mundalifah


(9)

HALAMAN JUDUL………i

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.………iii

LEMBAR PERNYATAAN ……..………iv

ABSTRAK………....v

KATA PENGANTAR………vi

DAFTAR ISI………...ix

DAFTAR TABEL………..xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Identifikasi Masalah………6

C. Pembatasan Dan Rumusan Masalah………...7

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………..7

E. Review Kajian Terdahulu………...7

F. Metode Penelitian………..………..10

G. Sistematika Penulisan………...12

BAB II DISKURSUS KOMUNITAS ABOGE A. Sejarah Singkat Aboge………..…14


(10)

B. Wilayah Penyebaran Aboge……….…….23 C. Praktek Komunitas Aboge………...………..……...24

BAB III KONDISI SOSIAL DESA KEMBANG DAN MODEL

PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

A. Demografi Masyarakat Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti

Kabupaten Pati…….……….32

B. Profil Komunitas Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti

Kabupaten Pati………...………...36

C. Model dan Metode Penentuan Awal Bulan Sistem Aboge….…..37

BAB IV APLIKASI PENENTUAN AWAL BULAN DALAM SISTEM

ABOGE DAN PEMERINTAH SERTA ANALISIS PENERAPAN ABOGE SEBAGAI SISTEM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

A. Aplikasi Penentuan Awal Bulan Sistem Aboge dan Pemerintah

…………..………….………...50

B. Analisis Terhadap Metode dan Fungsi Penentuan Awal Bulan

Kamariah Dalam Perspektif Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati………...………..55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...………63


(11)

Lampiran 2: Hasil Wawancara………...………....…….

Lampiran 3: Surat Permohonan Data/Wawancara………..…

Lampiran 4: Almanak Kitab Mujarrabat………


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 2.1. Nama-nama bulan dalam Almanak Saka.………...…….15

Tabel 2 2.2. Urutan hari………...………18

Tabel 3 2.3. Urutan Pasaran.………....………..18-19 Tabel 4 2.4. Rumus-rumus dalam tahun Alip..…………...………19-20 Tabel 5 2.5. Rumus-rumus dalam tahun Ehe.………... 20-21 Tabel 6 2.6. Nama-nama tahun dan pasaran kalender Jawa untuk setiap tahun.….21 Tabel 7 2.7. Rincian tentang tahun dan pasaran kalender Jawa.…..………...22

Tabel 8 2.8. Urutan hari yang menjadi dasar utama dalam kalender Jawa……… 27

Tabel 9 2.9. Rumus menentukan hari dan pasaran dalam setiap tahun Aboge..27-28 Tabel 10 3.1. Jumlah Penduduk Desa Kembang berdasarkan umur ……….33

Tabel 11 3.2. Jumlah penduduk Desa Kembang berdasarkan pendidikan…………34

Tabel 12 3.3. Jumlah peternakan Desa Kembang………..35

Tabel 13 3.4. Rumus mendirikan bangunan……...………...44

Tabel 15 3.5. Rumus memanen hasil pertanian…………...………..46

Tabel 16 3.6. Rumus menentukan arah bepergian………...…………..47

Tabel 17 3.7. Rumus membeli hewa……….……….48


(13)

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan sering muncul dalam kehidupan manusia, sejak pertama kali umat

manusia diciptakan oleh Allah SWT. sampai datangnya hari kiamat.1 Begitu pula

perbedaan untuk menentukan awal bulan Kamariah, yang mana didalamnya banyak ditemukan perbedaan pendapat, sistem atau cara untuk menentukannya. Perbedaan tidak selalu bermuara pada benar disatu pihak dan salah dipihak lain. Perbedaan ini tidak jarang menimbulkan keresahan, bahkan terkadang menimbulkan adanya

pertentangan fisik dikalangan umat Islam.2 Namun, perbedaan inilah yang akan

menjadi muara pada semangat untuk selalu memurnikan ajaran Allah melalui

petunjuk yang dibawakan oleh Rasulullah Saw.3

Salah satu fenomena sosial keagamaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat adalah terjadinya perbedaan penetapan awal bulan Kamariah, terutama penetapan awal bulan Ramadan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan antara kelompok hisab dan kelompok rukyat saja, melainkan sering pula terjadi disebabkan adanya perbedaan intern

1

Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab (Jakarta: Amythas Publicita, 2007), h. 6.

2

Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji., Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat (T.tt., tp, 2004), h. 1.

3


(14)

2

kalangan yang berpegang pada rukyat dan perbedaan intern kalangan yang berpegang pada hisab.4

Sebagaimana Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah

yang berbunyi: Shumu li ru‟yatihi wa afthiru li ru‟yatihi fain ghumma „alaikum fa

istakmiluhu tsalatsina yauman, artinya “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (tanggal) dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh

hari” (H.R. Muttafaq Alaih).5

Hadis tersebut menjelaskan bahwa cara penentapan awal bulan Kamariah khususnya awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah adalah dengan menyaksikan hilal atau rukyatul hilal yaitu melihat secara langsung hilal sesaat setelah matahari

terbenam pada hari ke-29 atau dengan jalan istikmal.6 Namun, dalam memahami dan

memenuhi perintah hadis tersebut selalu saja mengundang polemik. Polemik itu tidak hanya dalam wacana, tetapi berimplikasi pada awal dimulainya pelaksanaan ibadah puasa dengan segala macam kegiatan ibadah didalamnya, penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan tidak jarang, berpengaruh pada harmonitas sosial antara sesama

pemeluk Islam.7 Oleh sebab itu, penggunaan metode ataupun cara dalam menentukan

4

Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji., Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, h. 3.

5

Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 21.

6

Maskufa, Ilmu Falak (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), Cet. II. h. 152.

7 Ahmad Rofiq, “mungkinkah Hisab dan Rukyat Dipersatukan”, dalam

Ahmad Izzuddin,

Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha (Jakarta: Erlangga, 2007), h. xiii-xiv.


(15)

awal bulan disesuaikan dengan argumentasi yang dipegang oleh suatu kelompok atau organisasi.

Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada umumnya beranggapan bahkan menuduh bahwa perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Memang benar bahwa perbedaan itu ditimbulkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus-kasus yang sering kali terjadi, justru perbedaan itu disebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan di kalangan ahli

rukyat sendiri.8 Bahkan di Indonesia sejak dulu sudah dikenal dengan adanya

pemikiran hisab rukyat mazhab tradisional Islam Jawa. Kelompok tersebut mempunyai metode penetapan awal bulan Ramadan tersendiri.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perbedaan penentuan awal bulan Kamariah, terutama penetapan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha tidak sepenuhnya karena perbedaan di kalangan hisab atau pun rukyat karena terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab dan kelompok yang berpedoman

pada rukyat,9 bahkan ada juga kelompok yang bersandarkan pada perhitungan tahun

Jawa lama (khuruf Aboge) dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat

8

BJ.Habibie, Rukyat dengan Teknologi Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal (Jakarta: Gema Insani Press, 1994, Cet. Pertama), h. 79.

9Wahyu Widiana, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan Permasalahannya di Indonesia”,

dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, ed., Hisab Rukyat dan Perbedaannya (T.tt., Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004), h. 5.


(16)

4

tenggelamnya matahari).10 Kelompok-kelompok ini sangat sulit untuk disatukan

karena mempunyai alasan fikih masing-masing, yang berbeda satu sama lain.

Kelompok yang menekankan pedomannya pada rukyat dipresentasikan oleh organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia (NU), yang mana sistem

penentuan awal bulan Kamariah biasa disebut ru‟yah al-hilal bi al-fi‟li atau istikmal

(menyempurnakan bulan Syakban 30 hari). Sedangkan kedudukan hisab hanyalah

sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat.11 Organisasi kemasyarakatan terbesar

kedua yang dipresentasikan Muhammadiyah, yang mana sistem penentuan awal dan

akhir bulan Ramadan melalui Majlis Tarjih menggunakan hisab wujud al-hilal (milad

al-hilal). Kendatipun demikian, Muhammadiyah menyatakan “apabila ahli hisab

menetapkan bahwa (tanggal) bulan belum tampak, atau sudah wujud tetapi tidak

kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, Majlis

Tarjih memutuskan bahwa rukyat lah yang muktabar”. Karena itulah Muhammadiyah

lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai Mazhab Hisab.12

Sedangkan kelompok yang menekankan pedomannya pada perhitungan tahun

Jawa lama dan rukyatul hilal adalah pemikiran hisab rukyah yang dianut oleh Aboge

(penganut Islam Alip Rebo Wage). Hal ini timbul karena persentuhan Islam dengan budaya lokal atau yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri di luar dugaan

10

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 82.

11

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah, h. 110.

12


(17)

dan melahirkan pemikiran tersendiri, dalam pemikiran hisab rukyat.13 Dalam

pemikirannya ada beberapa prinsip utama, yakni pertama, prinsip penentuan tanggal

selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah dina niku tukule enjing lan

ditanggal dalu (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya). Kedua,

bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan Aboge selalu genap 30

hari. Adapun istilah Aboge dapat dirinci bahwa a berasal dari Alip, salah satu dari

delapan tahun siklus windu, bo mengacu pada rebo (hari Rabu), dan ge berasal dari

Wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Kelompok ini merupakan kelompok keagamaan yang cukup konsisten dalam menentukan awal bulan karena hitungan komunitas Aboge ini hanya untuk rutinitas keagamaan dan kegiatan sehari-hari sedangkan untuk menentukan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah khususnya

awal bulan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha mengikuti ketetapan Pemerintah.14

Aboge ini tersebar di beberapa daerah Indonesia. Salah satunya adalah Aboge yang terdapat di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati.

Perbedaan-perbedaan tersebut tentu akan memberikan dampak hukum terhadap waktu dari pelaksanaan suatu ibadah. Sebagai contoh apabila ibadah puasa dilaksanakan sebelum waktunya maka ibadah puasa tersebut dinyatakan tidak sah atau batal, namun sebaliknya apabila telah dinyatakan masuk waktunya untuk berpuasa sementara umat Islam belum juga melaksanakannya, maka umat Islam

13

Alfina Rahil Ashidiqi, “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi Terhadap Komunitas Aboge Di Purbalingga)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 4.

14


(18)

6

tersebut berarti telah melalaikan ibadah puasa sebagaimana yang telah diwajibkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu sudah sepantasnya umat Islam memiliki sistem

penanggalan yang mapan, ajeg dan mampu memberikan kepastian tanggal agar tidak

menimbulkan kebimbangan dan keraguan bagi umat Islam itu sendiri, sehingga akan lebih menambah keyakinan dan kekhusyukan dalam melaksanakan suatu ibadah.

Seiring dengan semakin maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi saat ini, tentu akan semakin memberi kemudahan bagi umat Islam dalam membuat sistem penanggalan yang berdasarkan almanak astronomi dan peredaran

bulan (lunar system).15

Berangkat dari keadaan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dan menuangkannya dalam tulisan yang berjudul “PENENTUAN AWAL

BULAN KAMARIAH DALAM PERSPEKTIF ABOGE (Studi Terhadap Pedoman Kegiatan Keagamaan dan Rutinitas Sehari-hari bagi Komunitas Aboge di Wilayah

Kabupaten Pati Jawa Tengah)”.

B. Identifikasi Masalah

1. Banyaknya sistem atau cara dalam menentukan awal bulan Kamariah.

2. Terjadinya perbedaan awal dan akhir Ramadan.

3. Banyaknya ormas-ormas/ golongan yang memiliki pendapat atau

pemahaman tersendiri.

15

Chairul Zen S., Al-Falaky, “Penentuan Awal Bulan Qomariah”, artikel diakses pada 25 September 2014 dari http://sumut. Kemenag.go.id./penentuan-awal-bulan-qomariah.html.


(19)

C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan judul diatas, agar pembahasan yang akan diteliti tidak melebar tanpa arah karena banyaknya pemikiran penetapan awal bulan

Kamariah di Indonesia maka penulis batasi dalam hal “Penentuan Awal Bulan

Kamariah di Komunitas Aboge di Daerah Pati)”, khususnya dalam penentuan

awal bulan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. 2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas maka dalam penelitian ini permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana metode kalender Aboge yang ada di komunitas Aboge Pati?

2. Apa saja fungsi dari kalender Aboge di komunitas Aboge di Pati?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui metode yang digunakan komunitas Aboge di Pati dalam

menentukan awal bulan.

2. Untuk mengetahui fungsi/ kegunaan dari kalender Aboge.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Judul Skripsi : “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi


(20)

8

Oleh : Alfina Rahil Ashidiqi, SJAS 2009

Skripsi ini membahas tentang suatu fenomena atau kenyataan sosial yang berupa studi kasus komunitas Aboge di Purbalingga dalam menentukan awal bulan Kamariah berdasarkan Hisab Aboge yang bermuara pada seluk beluk atau sejarah konsep penanggalan Jawa. Komunitas Aboge di Purbalingga memahami perhitungan Aboge sebagai interpretasi dari surat Yunus ayat 5 dan menggunakan rujukan Kitab Primbon Sembahyang dan Mujarrab dalam menentukan awal bulan Kamariah. Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis.

Sedangkan skripsi yang penulis tulis membahas tentang fenomena pada

komunitas Aboge di Desa Kembang yang masih menggunakan hitungan

Aboge, namun tidak untuk menentukan awal bulan Kamariah yang berkaitan dengan ibadah melainkan hanya untuk kegiatan keagamaan dan rutinitas sehari-hari yang diinterpretasi dari Tafsir al-Hidayah surat Fusilat ayat ke 41, dibagian asbabun nuzul HR. Ibnu Jarir ayat 9, 10, 11, dan 12 karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi-antropologi.

2. Judul Skripsi : “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dalam Perspektif

Hizbut Tahrir”

Oleh : Jumiatil Huda, SJAS 2011

Skripsi ini membahas tentang perbedaan pendapat antara intern kalangan hisab dan rukyat, namun lebih kepada kalangan rukyat karena menurut


(21)

penulis salah satu penyebab perbedaan pendapat dikalangan rukyat adalah

tentang mathla’, penelitian ini lebih menekankan terhadap metode

rukyatulhilal yang berdasarkan hadis “shumu liru‟yatihi wa afthiru

liru‟yatihi” yang digali dari metodologi istinbath At-Ta‟âdul wa At-Tarajih dan kesepakatan pendapat para ulama atau mazhab yang sama-sama menggunakan sistem rukyatulhilal. Tapi bukan berarti menafikan adanya metode hisab. dalam skripsi ini, penulisnya menginginkan dengan adanya institusi politik pemersatu umat (Khilafah) harus bahkan wajib menyatukan umat secara global agar perbedaan pendapat tersebut mampu disatukan oleh keputusan seorang khalifah.

Sedangkan skripsi yang penulis tulis membahas tentang fenomena pada komunitas Aboge di Desa Kembang yang masih menggunakan hitungan Aboge, namun tidak untuk menentukan awal bulan Kamariah yang berkaitan dengan ibadah melainkan untuk kegiatan keagamaan dan rutinitas sehari-hari yang diinterpretasi dari Tafsir al-Hidayah surat Fusilat ayat ke 41, dibagian asbabun nuzul HR. Ibnu Jarir ayat 9, 10,11, dan 12 karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi-antropologi.


(22)

10

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah alat uji dan analisa yang digunakan untuk

mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliabel dan obyektif.16

Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan dua jenis penelitian, yaitu

penelitian lapangan (Field Research) dan penelitian Pustaka (Library Research).

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian yang diterapkan adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

tentang masalah-masalah manusia dan sosial.17 Strategi pendekatan yang

digunakan dalam penelitian adalah sosiologi-antropologi, yakni bertujuan untuk

mengetahui perkembangan masyarakat sederhana dan unsur-unsur tradisional18

dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber wawancara dan dari data atau dokumen tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap, perilaku dan persepsi dari komunitas Aboge yang melakukan penentuan awal bulan Kamariah menggunakan kalender Islam Jawa lama.

2. Sumber penelitian

Sumber data yang digunakan adalah sumber data yang bersifat primer dan skunder. Sumber data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung

16

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), h. 32.

17

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 85.

18

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 11.


(23)

dari subjek penelitian. Data ini meliputi wawancara dengan pemuka Agama

Sesepuh atau tokoh-tokoh Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti

Kabupaten Pati. Sedangkan sumber data skunder merupakan data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas pembahasan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan yang memberikan penjelasan tentang bahan data

primer.19 Antara lain adalah Buku-buku Ilmu Falak tentang Hisab Rukyat dan

perbedaannya serta literatur-literatur yang terkait dengan materi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah:

a. Wawancara atau interview

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau

lebih berhadap-hadapan secara fisik.20

b. Dokumentasi

Dokumentasi diperoleh dari data-data yang telah ada sebelumnya mengenai hal-hal atau variabel yang berupa buku-buku, jurnal, hasil penelitian, catatan, transkip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan

sebagainya.21

19

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 45.

20

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, h. 160.

21

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 274.


(24)

12

4. Analisis Data

Teknis analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami dan mempelajari skripsi ini, maka disini akan dijelaskan mengenai sistematika penulisan laporan penelitian, dimana penelitian ini terdiri dari lima bab dengan rancangan sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan tentang diskursus Komunitas Aboge, yang meliputi sejarah singkat Aboge, wilayah cakupan Aboge dan prakteknya.

Bab III merupakan pembahasan tentang Kondisi Sosial Desa Kembang dan Model Penentuan Awal Bulan Kamariah yang meliputi Demografi Masyarakat Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, Profil dan Model dan Metode Penentuan Awal Bulan Sistem Aboge.


(25)

Bab IV merupakan pembahasan tentang Aplikasi Penentuan Awal Bulan Sistem Aboge Dan Pemerintah Serta Analisis Penerapan Aboge Sebagai Sistem Penentuan Awal Bulan Kamariah yang meliputi Aplikasi penentuan Awal Bulan Sistem Aboge dan Pemerintah dan Analisis Terhadap Metode dan Fungsi Penentuan Awal Bulan Kamariah Dalam Perspektif Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati.


(26)

BAB II

DISKURSUS KOMUNITAS ABOGE

A. Sejarah Singkat Aboge

Hisab Rukyat Kejawen lebih dikenal dengan penanggalan Jawa atau kalender Jawa yang mempunyai arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal keagamaan, tetapi juga menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa yang disebut Pitungan Jawi yakni perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan

watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranatamangsa, dan lain-lainnya.1 Kalender

Jawa, dilihat dari masa penggunaannya, dibagi menjadi 2 periode yaitu periode Jawa Hindu dan Jawa Islam. Kalender Jawa Hindu menggunakan sistem kalender matahari

yang mengacu pada sistem kalender Saka di India.2

Almanak Saka di pakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan Almanak Saka dan Almanak Hijriyah secara bersama-sama. Permulaan tahun Saka dihitung mulai dari penobatan Aji Saka atau bertepatan pada hari sabtu tanggal 14 Maret tahun 78 Masehi satu tahun setelah penobatan Raja Hindu di India yaitu Prabusali Wahono (Aji Saka). Kemudian pada tahun 1555 saka atau 1633 M/ 1043 H diadakan perubahan oleh Sri Sultan

1

Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi atas Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah (Semarang: DIPA, 2006), h. 15.

2

Ruswa Darsono, Penanggalan Islam Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan


(27)

Muhammad yang terkenal dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bertahta di

Mataram.3

Perubahan itu menyangkut sistemnya yaitu tidak lagi didasarkan pada peredaran Matahari melainkan didasarkan pada peredaran Bulan disesuaikan dengan

sistem perhitungan tahun hijriyah.4 Sehingga nama-nama bulan ditetapkan dengan

urutan sebagai berikut:5

Nama Bulan

Umur

Wastu Wuntu

Sura 30 30

Sapar 29 29

Mulud 30 30

Bakdamulud 29 29

Jumadilawal 30 30

Jumadilakir 29 29

Rejeb 30 30

Ruwah 29 29

Pasa 30 30

3

Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2011), h. 17-18.

4 Takhrir Fauzi, “Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge Di Desa

Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Institus Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010), h. 29.

5

Harya Tjakraningrat dan Wibatsu Harianto Soembogo, Kitab Primbon Qomarrulsyamsi Adammakna (Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa, 1990), h. 22.


(28)

16

Sawal 29 29

Dulkaidah 30 30

Besar 29 30

Umur dalam setahun 354 hari 355 hari

Meskipun mengadopsi sejumlah ketentuan kalender Hijriyah, kalender Jawa mempunyai konsep dan aturan berbeda. Jadilah kalender Jawa sebagai sistem

penanggalan khas memadukan budaya Islam-Hindu-Jawa.6 Kebijakan tersebut

menjadikan perbedaan antara kalender Jawa dan kalender Masehi berselisih 1/120 hari, maka dari hal tersebut setiap 120 tahun kalender Jawa harus dimajukan satu hari, maksudnya satu tahun yang sebenarnya tahun panjang (Wuntu) dijadikan tahun Pendek (Wastu).

Untuk mengenalnya dalam pergantian tahun diperkenalkan “Huruf” dengan

penjelasan sebagai berikut:7

1. Mulai 1 Suro Alip tahun 1555/1043 H menjelang tahun 1674/1115 H hurufnya

JAMNGIYAH LEGI (jatuh pada hari Jumat Legi).

2. Mulai permulaan tahun 1674/1115 H sampai permulaan tahun 1747/1235 H

hurufnya CHOMSIYAH KLIWON (1 Suro Alip jatuh pada hari Kamis Kliwon).

6

M. Zaid Wahyudi, “Kalender Jawa, Akulturasi Budaya Jawa Hindu”, diakses pada 27 November 2014 dari Sains.Kompas.com/read/2014/11/06/20363101/kalender-jawa-akulturasi-budaya-islam-hindu.

7

Harya Tjakraningrat dan Wibatsu Harianto Soembogo, Kitab Primbon Qomarrulsyamsi Adammakna (Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa, 1990), h. 34.


(29)

3. Mulai permulaan tahun 1747/1235 H sampai permulaan tahun 1867/1355 H hurufnya ARBANGIYAH WAGE (Alip 1 Suro jatuh pada hari Rebo Wage yang disebut ABOGE).

4. Mulai permulaan tahun 1867/1355 H sampai permulaan tahun 1987/1475 H

hurufnya TSALATSIYAH PON (1 Suro Alip jatuh pada hari Selasa Pon yang disebut ASAPON).

Ajaran Islam Aboge pertama kali diperkenalkan oleh Ngabdullah Syarif Sayid

Kuning yang terkenal dengan nama Sayid Abdullah. Terminologi Aboge merupakan

akronim dari kata Alip, Rebo dan Wage. Aboge adalah sistem penghitungan kalender

yang didasarkan pada masa peredaran windu atau delapan tahun. Satu windu menurut kalender Aboge terdiri atas tahun Alip, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba, Wawu dan Jim

Akhir.8

Satu Windu tahun Jawa Islam berumur 8 tahun terdiri dari tahun Kabisat dan

Basithah:9

1. Tahun Kabisat (Wuntu/ Panjang):

Yaitu tahun Ehe, Dal, dan Jim Akhir dimana ketiga tahun tersebut masing-masing memiliki panjang hari sebanyak 355 hari.

2. Tahun Basithoh (Wastu/ Pendek):

Yaitu tahun Alip, Jim Awal, Ze, Be, dan Wawu dimana masing-masing tahun tersebut memiliki panjang hari sebanyak 354 hari saja.

8 Teguh Trianton, “Catatan Budaya”, diakses pada 19 November 2014 dari

http://catatan

budaya/2008/11/13/riset-masjid-sayid-Kuning-html.

9Muh. Choeza’I Ali


(30)

18

Menurut kalender Aboge, 1 Muharram yang pertama dipercaya jatuh pada

tahun Alip, hari Jum’at dengan pasaran Pon. Tahun Alip adalah tahun pertama,

sedangkan hari Jum’at dan pasaran Pon adalah hari dan pasaran pertama. Kalender

Aboge mengenal lima pasaran; yaitu Pon, Wage, Kliwon, Manis (legi) dan Pahing.

Kemudian jumlah hari dalam sebulan rata-rata 29 hingga 30 hari.10

Urutan hari dan pasaran diurutkan sesuai dengan awal harinya, berikut

tabelnya:11

No Hari Istilah Neptu

1 Rebo Siji (Ji) 7

2 Kemis Loro (Ro) 8

3 Jemuah Telu (Lu) 6

4 Setu Papat (Pat) 9

5 Ahad Lima (Ma) 5

6 senen Enem (Nem) 4

7 Selasa Pitu (Tu) 3

No Hari Istilah Neptu

1 Wage Ji 4

2 Kliwon Ro 8

10 Teguh Trianton, “Catatan Budaya”, diakses pada 19 November 2014 dari

http://catatan

budaya/2008/11/13/riset-masjid-sayid-Kuning-html.

11

Machfudz Syah, Ilmu Hikmat Sejati Intisari Mujarrobat dan Kitab Bertuah Lainnya, cet.6, (Pekalongan: CV. Bahagia, 1996), h. 43.


(31)

3 Manis Lu 5

4 Paing Pat 9

5 Pon Ma 7

Dalam perhitungan tahun Jawa Islam (penanggalan Aboge) permulaan tahun dimulai dengan tahun Alip yang memiliki dua belas bulan dengan rumus-rumus

sebagai berikut:12

No Singkatan Bulan Hari Pasaran

1 Ramjiji Muharram Rebo Wage

2 Parluji Sapar Jemuah Wage

3 Ludpatma Mulud Setu Pon

4 Ngukhirnemma Robingul Akhir Senen Pon

5 Diwaltupa Jumadil Awal Selasa Paing

6 Dikhirropat Jumadil Akhir Kemis Paing

7 Jablulu Rajab Jemuah Manis

8 wahmalu Ruwah Ahad Manis

9 Sanemro Pasa Senen Kliwon

10 Waljiro Sawal Rebo Kliwon

11 Dahroji Dzulqoidah Kemis Wage

12 M. Abdurrahman, “Islam Aboge: Harmoni Islam dan Tradisi Jawa”, diakses pada 16

November 2014 dari http://majelispenulis.blogspot.com/2012/05/28/islam-aboge-harmoni-islam-dan-tradisi.html.


(32)

20

12 Jahpatji Dzulhijjah Setu Wage

Dari setiap bulan dapat kita ketahui hari yang menjadi awal bulan tersebut, misalnya untuk bulan Syawal sekaligus penetapan hari raya, maka pada tahun Alif akan jatuh pada hari Rebo Kliwon. Demikian juga untuk menetapkan hari raya Idhul Adha dan Puasa. Pada tahun-tahun berikutnya akan disesuaikan dengan hari-hari sebelumnya.

Rumus-rumus yang diberlakukan dalam tahun-tahun berikutnya adalah sebagai berikut: untuk tahun Ehe maka awal bulan dan awal tahun meneruskan tahun sebelumnya, selengkapya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No Singkatan Bulan Hari Pasaran

1 Rammama Muharram Ahad Pon

2 Partuma Sapar Selasa Pon

3 Ludjipat Mulud Rebo Paing

4 Ngukhirlupat Rabingul Akhir Jemuah Paing

5 Diwalpatlu Jumadil Awal Setu Manis

6 Dikhirpatlu Jumadil Akhir Senin Manis

7 Jabturo Rajab Selasa Kliwon

8 Wahroro Ruwah Kemis Kliwon

9 Saluji Puasa Jemuah Wage


(33)

11 Dahnemma Dzulqoidah Senen Pon

12 Jahjima Dzulhijjah Rebo Pon

Demikian juga untuk menghitung tahun selanjutnya, maka awal bulan dan awal tahun meneruskan tahun sebelumnya.

Untuk memudahkan dalam mengerjakan perhitungan tahun jawa di atas, Sultan Agung menciptakan rumus hari dan pasaran untuk setiap tahun. Pada periode 1 Suro Aboge tiap-tiap tahunnya, dapat kita lihat sebagai berikut:13

Nama Tahun Istilah Hari dan Pasaran Singkatan

Alip 1-1 (Alip Ji-Ji) Rebo Wage ABOGE

Ehe 5-5 (Ehe Mama) Ahad Pon HEHADPON

Jimawal 3-5 (Jiwal Luma) Jumah Pon JIMAPON

Je 7-4 (Je Tupat) Selasa Pahing JESAING

Dal 4-3 (Dal Patlu) Setu Manis DALTUNIS

Be 2-3 (Be Rolu) Kemis Manis BEMISNIS

Wawu 6-2 (Wa Nemro) Senen Kliwon WANENWON

Jimakhir 3-1 (Jimkir Luji) Jumah Wage JIMKIRMAGE

13 Takhrir Fauzi, “Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge Di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah,


(34)

22

Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini:14

No

Nama Tahun

Awal Tahun Akhir Tahun

Keterangan

Hari Pasaran Hari Pasaran

1 Alip Rebo Wage Setu Pahing 2006

2 Ehe Ahad Pon Kemis Pahing 2007

3 Jim Awal Jemuah Pon Senin Manis 2008

4 Je Selasa Paing Jemuah Kliwon 2009

5 Dal Setu Legi Rebo Kliwon 2010

6 Be Kemis Legi Ahad Wage 2011

7 Wawu Senen Kliwon Kemis Pon 2012

8 Jim Akhir Jemuah Wage Selasa Pon 2013

Jika tahun Jim Akhir telah berakhir maka dimulai lagi dari tahun Alip dengan rumus yang sama karena disini tidak akan pernah terjadi perubahan. Adapun awal bulan maka akan melanjutkan dari bulan-bulan sebelumnya. Misalnya pada tahun Alip dimulai pada hari Rebo Wage dan berakhir pada hari Setu Pahing maka pada tahun Ehe akan melanjutkan dari hari tersebut yaitu hari Ahad Pon, begitu seterusnya. Dengan sistem kalender itu, penganut Aboge dapat menentukan kapan dan pada hari

14 M. Abdurrahman, “Islam Aboge: Harmoni Islam dan Tradisi Jawa”, diakses pada 16

November 2014 dari http://majelispenulis.blogspot.com/2012/05/28/islam-aboge-harmoni-islam-dan-tradisi.html.


(35)

apa 1 Ramadhan atau 1 Syawal tiba. Sistem kalender ini hingga sekarang masih

dilestarikan oleh pengikutnya.15

Contoh:

Pada tahun 2013 bertepatan dengan tahun Jawa yaitu tahun Jim Akhir yang jatuh pada hari Jumat Wage sehingga untuk menentukan tahun 2014 kembali ke awal yaitu bertepatan dengan tahun Jawa (tahun Alip) yang jatuh pada hari Rebo Wage, begitupun seterusnya.

B. Wilayah Penyebaran Aboge

Pesan dakwah Ulama di Jawa yang dilakukan melalui serangkaian simbol budaya pada dasarnya adalah membahasakan bahasa perubahan sosial. Sehingga budaya dari berbagai peristiwa tren islam jawa tidak hanya diarahkan pada upaya pengungkapan makna-makna simbolnya saja, tetapi juga mengungkapkan tata bahasa

di baik munculnya fenomena itu sendiri. 16

Aboge ditransformasikan kepada pemeluknya secara tradisional melalui pendidikan keluarga dan pertemuan para penganut Aboge. Di Kabupaten Banyumas penganut Aboge yang berjumlah ribuan tersebar di sejumlah desa antara lain di Desa

15 Teguh Trianton, “Catatan Budaya”, diaks

es pada 19 November 2014 dari http://catatan

budaya/2008/11/13/riset-masjid-sayid-Kuning-html.

16

Muchammad Ismail, Strategi Kebudayaan: Penyebaran Islam Di Jawa, Vol. 11, No. 1 (2013): Dilematika Islam dan Budaya Lokal Jawa, 2013.


(36)

24

Cibangkong (Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), Desa

Tambaknegara (Rawalo).17

Sementara di Kabupaten Purbalingga tepatnya di Desa Onje, Kecamatan

Mrebet, yang diyakini sebagai pusat penyebaran Islam Aboge di Banyumas.18

Misalkan di salah satu Wilayah Banyumas, suatu masyarakat Islam yang

masih menggunakan dan mengamalkan kalender Jawa penyebar agama Islam Aboge

di Desa Cikakak dipercaya bernama Mustolih. Untuk menjaga masyarakat Aboge. Agar tetap eksis ada beberapa strategi bertahan yang dilakukan masyarakat Aboge di Desa Cikakak, yaitu:

1. Tetap menjaga solidaritas dan kekompakan sesama warga Aboge

2. Taat mengikuti petuah para orang tua. Dan yang dituakan dari dulu samapai

sekarang adanya dawuh pangandiko yaitu proses regenerasi.19

C. Paktek Komunitas Aboge

Orang Jawa mengacu pada budaya leluhur yang turun-temurun. Leluhur dianggap memiliki kekuatan tertentu, apalagi kalau orang yang meninggal (leluhur)

tersebut tergolong wong tuwa baik dari segi umur maupun ilmunya.20

17

http://properti.kompas.com/read/2010/09/11/09383178/Islam.Aboge.Idul.Fitri.Hari.Ini. Diakses pada 18 November 2014.

18 Suparjo, “Aboge”, diakses pada 18 November 2014 dari http://www.tabloidpamor.com/berita-89-aboge.html.

19

Siska Laelatul B, Eksistensi Komunitas Islam Aboge di Desa Cikakak Kecamatan Wagon Kabupaten Banyumas, Vol IV, No. 4, Tahun 2003.

20

Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa (Jogjakarta: Penerbit Narasi, 2004), cet. IV, h. 7.


(37)

Karena itu, Umat Islam Aboge menentukan jatuhnya 1 Ramadan dan 1 Syawal berbeda satu hari dengan Pemerintah karena berdasar keyakinan dari nenek moyang secara turun temurun dan menggunakan rumusan perhitungan kalender Jawa.

Demi mengakomodasi kepentingan masyarakat Jawa yang berbeda, sistem penanggalan Jawa dibuat nama bulan dan jumlah hari dalam setahun diambil dari kalender Hijriyah. Namun, angka tahun Saka dipertahankan.

Menurut Hendro Setyanto, kalender Jawa adalah kalender matematis, sama seperti kalender Masehi. Aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena astronomi. Sifatnya yang matematis membuat penanggalan Jawa tidak

mengalami sengketa seperti dalam penentuan awal bulan kalender Hijriyah.21

Menurut Sulam Imam Masjid Baitussalam Saka Tunggal, Desa Cikakak Banyumas bahwa kalender Islam Jawa sudah menjadi hitungan yang telah diyakini secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Namun, berkembangnya kalender

Aboge di wilayah Banyumas tidak diketahui kepastiannya.22

Penganut Aboge mengatakan bahwa inti dari ajaran mereka diyakini

berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis.23

Kendati demikian, aliran Islam Jawa (Aboge) sudah ada secara turun-temurun,

bahkan sejak akhir jaman kerajaan Hindu,24 dengan kata lain kalender Aboge ini

21 M. Zaid Wahyudi, “Kalender Jawa, Akulturasi Budaya Jawa Hindu”, diakses pada 27

November 2014 dari Sains.Kompas.com/read/2014/11/06/20363101/kalender-jawa-akulturasi-budaya-islam-hindu.

22

http://www.jurnalhajiumroh.com/post/berita/penganut-islam-aboge-berlebaran-jumat. Diakses pada 16 November 2014.

23Falinda, Sistem Keyakinan dan Ajaran Islam Aboge, Jurnal Ibda’, Vol. 10, No. 2 (2012:


(38)

26

diperkirakan muncul pada masa peralihan budaya Hindu seiring dengan masuknya ajaran Islam di Pulau Jawa. Bisa juga sebelum adanya Wali. Perkiraan tersebut

muncul karena kalender Aboge tidak hanya digunakan oleh umat Islam tetapi juga

para penganut Kejawen.25

Komunitas Aboge di Purbalingga menetapkan awal bulan Kamariah dengan dua cara yaitu:

1. Secara sederhana yaitu melihat almanac seumur hidup yang terdapat

dalam kitab Mujarrabat dan Primbon Sembahyang, dengan cara dan

metode yang telah diterangkan pada bab sebelumnya. Perhitungan ini dipergunakan bagi orang awam yang tidak mengetahui rumus-rumus perhitungan Aboge.

2. Dengan menggunakan rumus yang terkonsep dari pesan para sesepuh

komunitas Aboge yang sebagian terdapat pada kitab Mujarrabat, yang

diterjemahkan oleh Abdurrahman bin H. Abdul Aziz. Rumus ini dihapal

oleh sesepuh Aboge, catatan atau rumusan tersebut tidak dibukukan.

Karena menurut mereka, ilmu perhitungan Aboge adalah ilmu yang dihapalkan bukan dicatat. Sehingga metode pembelajarannya adalah cerita.26

24 Suparjo, “Aboge”, diaks

es pada 18 November 2014 dari http://www.tabloidpamor.com/berita-89-aboge.html.

25

http://www.jurnalhajiumroh.com/post/berita/penganut-islam-aboge-berlebaran-jumat. Diakses pada 16 November 2014.

26Alfina Rahil Ashidiqi, “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi Terhadap Komunitas Aboge Di Purbalingga)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 77.


(39)

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Langkah pertama, mengetahui urutan atau tanda pada nama hari

Patokan utama adalah Aboge yang mengandung arti bahwa tahun Alif jatuh pada hari Rebo pasarane Wage. Maka hari Rebo ditandai angka 1 karena menjadi dasar yang utama dan pada urutan yang pertama dalam hari, sehingga urutannya adalah:

No Nama Hari Urutan Ke 4 Setu 4

1 Rebo 1 5 Ahad 5

2 Kamis 2 6 Senen 6

3 Jum’ah 3 7 Selasa 7

b. Langkah kedua, yaitu mengetahui urutan pasaran.

Kemudian pasaran juga berpatokan pada Wage, sehingga urutannya adalah: wage, Kliwon, Legi, Pahing, Pon.

c. Langkah ketiga, yaitu menggunakan rumus untuk menetapkan hari dan pasaran tanggal 1 Sura pada setiap tahun Aboge dengan mengetahui urutan hari dan pasaran.

Kemudian dalam menentukan hari dan pasaran pada tiap tanggal 1 Sura (Muharram) dalam setiap tahun Aboge terdapat rumus yang pasti yaitu:

Tahun ke Nama Tahun Urutan Hari Urutan

Pasaran

Rumus (Singkatan)


(40)

28

1 Alif Rabo (1) Wage (1) Aboge

2 Ha Ahad (5) Pon (5) Hahadpon

3 Jim Awal Jumngah (3) Pon (5) Jangahpon

4 Za Selasa (7) Pahing (4) Zasahing

5 Dal Sabtu (4) Legi (3) Daltugi

6 Ba Kamis (2) Legi (3) Bamisgi

7 Wal Senen (6) Kliwon (2) Walinenwon

8 Jim Akhir Jumngah (3) Wage (1) Jangehge

d. Langkah keempat, menggunakan rumus untuk menentukan hari dan pasaran tanggal 1 pada setiap bulan Aboge.

Dalam penentuan hari dan pasarn tanggal 1 pada setiap bulan tahun Aboge menggunakan rumus yang pasti, yang diurutkan dari hari pasaran tanggal 1 Muharram pada tahun tersebut. Rumus-rumus tersebut ialah Ramjiji, Parluji, Uwalpatma, Uhirnemma, Diwaltupat, Dihirropat, Jablulu, Banmalu, Dhannemma, Waljiro, Dahroji, dan Jahpatji. Nama-nama rumus tersebut merupakan singkatan dari Nama-nama bulan, urutan hari dan urutan pasaran yang menagndung arti bahwa bulan tersebut jatuh

pada urutan hari yang ke sekian dan urutan pasaran yang kesekian.27

27


(41)

Sedangkan untuk penganut Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati dalam menentukan tahun, awal bulan, hari dan pasaran menggunakan

almanak yang terdapat dalam kitab Mujarrobat, sebagai berikut:28

28

Mujarrobat, h. 144. Sebenarnya kitab ini sudah diterjemahkan dengan cara jawa oleh Abdurrahman dari Madiun Tampuran.


(42)

(43)

Keterangan:

Bulan Muharram tahun Alip (1) jatuh pada hari Rebo dan pasaran Wage, pada tahun Ehe (5) jatuh pada hari Ahad Pon, tahun Jim Awal (3) jatuh pada hari Jumat Pon, tahun Je (7) jatuh pada hari Selasa Pahing, tahun Dal (4) jatuh pada hari Sabtu Legi, tahun Be (2) jatuh pada hari Kamis Legi, tahun Wawu (6) jatuh pada hari senin Kliwon, dan tahun Jim Akhir (3) jatuh pada hari Jumat Wage. Dan seterusnya.


(44)

BAB III

KONDISI SOSIAL DESA KEMBANG DAN MODEL PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

A. Demografi Masyarakat Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati

1. Asal Usul Nama Desa Kembang

Sejarah Desa Kembang tidak luput dari sejarah Kecamatannya yaitu Dukuhseti. Pendiri Desa Dukuhseti adalah Brojoseti Singobarong. Beliau mempunyai banyak Kerbau dan yang memelihara adalah Mbah Anggur. Tidak lama kemudian Mbah Anggur dituduh mencintai istri Majikannya (Brojoseti Singobarong), dari situlah Mbah Anggur dibunuh (potong leher) sampai

darahnya sebabar dan baunya wangi seperti Kembang. Oleh sebab itu diberi

nama Desa Kembang.1

2. Keadaan Geografis

Desa Kembang merupakan salah satu dari 12 Desa yang terletak di Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Luas wilayah Desa Kembang adalah 1.241.677 Ha. Dengan Tanah sawah 463.765 Ha, luas tanah kering yang terdiri dari pekarangan/ bangunan 479.960, Tegalan/ kebunan 175.345 Ha dan tambak/

1

Wawancara Pribadi dengan Yusuf Rustam (Mantan Kepala Desa Kembang sekaligus sebagai Tokoh Aboge). Pati, 16 Januari 2015.


(45)

kolam 375.201 Ha. Desa Kembang terbagi dalam 15 dusun, 4 RW, dan 34 RT.2 Jarak Desa Kembang dengan Kantor Kecamatan 3 km, jarak dengan Kota

Kabupaten 40 km, sedangkan jarak dengan Kota Propinsi Jawa Tengah 150 km.3

Jumlah penduduk Desa Kembang dilihat dari umur dan kelamin:

Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

0 - 4 233 230 463

5 - 9 233 221 454

10 - 14 303 250 553

15 - 19 382 379 761

20 - 24 437 420 857

25 - 29 551 540 1091

30 - 39 558 501 1059

40 - 49 501 470 971

50 - 59 351 353 704

60 + 200 224 424

Jumlah 3749 3588 7337

2

Data Laporan Monografi Kabupaten Pati, Kecamatan Dukuhseti Desa Kembang, Keadaan Bulan November 2014.

3


(46)

34

Jumlah penduduk menurut pendidikannya (bagi 5 tahun ke atas)

1 Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 212 orang

2 Tamat SLTA 965 orang

3 Tamat SLTP 1184 orang

4 Tamat SD 2752 orang

5 Tidak Tamat SD 779 orang

6 Belum Tamat SD 402 orang

7 Tidak Sekolah 632 orang

3. Keadaan Keagamaan

Agama Kristen Protestan merupakan agama yang paling dominan di desa ini. Dengan jumlah 7337. Selebihnya yaitu 6705 pemeluk agama Islam dan 632 pemeluk Kristen Katolik. Sarana peribadatan terdiri dari 6 masjid, 21 Surau/ Mushola, dan 2 Gereja. Masyarakat Desa Kembang juga mengikuti organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Selain agama-agama tersebut, sebagian kecil masyarakat Desa Kembang

penganut Sabda yang tidak beragama tetapi mempunyai kepercayaan atau

keyakinan. Masyarakat ini juga masih menggunakan penanggalan Jawa Aboge.

Ajaran Sabda tidak melaksanakan shalat karena mereka sudah punya keyakinan

di hati, kalaupun mereka melaksanakan shalat maka mereka hanya ingin


(47)

4. Keadaan Sosial Ekonomi

Masyarakat Desa Kembang sebagaimana kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki jiwa gotong royong yang sangat tinggi. Kagiatan saling tolong menolong merupakan hal yang sangat di utamakan. Masyarakat hidup dengan tentram. Tingkat ekonominya hampir sebagian besar sudah pada taraf sejahtera. Masyarakat di desa Kembang kebanyakan bekerja sebagai buruh tani karena luasnya lahan sawah yang di miliki desa tersebut. Tanaman utama desa ini adalah padi seluas 105000 Ha. Sedangkan tanaman perdagangan rakyat adalah kelapa muda sebanyak 230 batang, berproduksi 543 dan tidak berproduksi sebanyak 468. Ada juga jenis tanaman kapuk randu muda sebanyak 13 batang (pohon), berproduksi 15 dan yang tidak berproduksi sebanyak 7 pohon.

Selain pertanian, peternakan menempati peringkat kedua, tabel jumlah ternak besar dan kecil sebagai berikut:

No Nama Hewan Jumlah

1 Sapi Biasa 162 ekor

2 Kerbau 8 ekor

3 Kambing/ Domba 1263 ekor

4 Kuda 4 ekor

5 Ayam Kampong 2179 ekor


(48)

36

Sarana perekonomian di Desa Kembang meliputi: 26 toko/ kios/ warung, 2 koperasi simpan pinjam, 616 perusahaan industri besar dan sedang, 2 perusahaan

industri kecil, dan lain-lain.4

B. Profil Komunitas Aboge di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati

Penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. System penanggalan Jawa tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, perlahan

mulai hilang dari peredaran.5 Tetapi karena sifatnya yang pasti sebagai Mathematical

Calender membuat penanggalan Jawa tetap ada yang menggunakan.

Istilah Aboge dapat dirinci bahwa a berasal dari Alip, salah satu dari delapan

tahun siklus windu, bo mengacu pada rebo (hari Rabu), dan ge berasal dari Wage,

salah satu dari hari pasaran yang lima yang berarti tahun Alip jatuh pada hari Rabo Wage. Hal ini timbul karena persentuhan Islam dengan budaya lokal atau yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri di luar dugaan dan melahirkan pemikiran

tersendiri, dalam pemikiran hisab rukyat.6 Aboge di Desa Kembang Kecamatan

Dukuhseti Kabupaten Pati tidak merupakan sebuah organisasi melainkan sebuah kelompok masyarakat Islam yang kebanyakan adalah paranormal yang menggunakan

sistem penghitungan Aboge (Alip Rebo Wage) untuk rutinitas sehari-hari karena

4

Data Laporan Monografi Kabupaten Pati, Kecamatan Dukuhseti Desa Kembang, Keadaan Bulan November 2014.

5

Hendro Setyanto, Membaca Langit (Jakarta: Al-Ghuraba, 2008), h. 68.

6 Alfina Rahil Ashidiqi, “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi Terhad

ap

Komunitas Aboge Di Purbalingga)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam


(49)

dalam penentuan awal bulan Kamariah mereka mengikuti ketetapan Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Agama. Komunitas Aboge di Desa tersebut tidak dipimpin oleh seorang ketua, hanya saja orang yang faham ilmu Aboge dianggap sebagai Sesepuh dan tidak terkait secara organisasi dengan komunitas Aboge di daerah-daerah lain.

Tokoh-tokoh Aboge di Desa tersebut tidak diketahui secara jelas, karena mereka mendapatkan ilmu itu secara turun-temurun. Namun ada yang mengatakan

bahwa tokoh Aboge yang dulu adalah Wong Islam Abangan, salah satunya Sunan

Kalijaga, dan orang pertama kali yang memperkenalkan Islam Aboge adalah

Ngabdullah Syarif Sayid Kuning yang terkenal dengan nama Sayid Abdullah dan Aji

Saka. Sedangkan tokoh Aboge yang ada di Desa Kembang adalah Edi, Imam Suroso,

Mbah Macan (julukan Yusuf Rustam), Mbah Kasemo, Mbah Sukamto dan Mbah Kumbino.

C. Model dan Metode Penentuan Awal Bulan Sistem Aboge

Masyarakat Desa Kembang adalah penganut hisab Islam Jawa sistem Aboge.

Dalam menentukan awal bulan kamariyah masih murni menggunakan perhitungan

Jawa tersebut. Aboge adalah akronim dari Alip, Rabu, Wage yang memiliki arti

bahwa tahun Alip jatuh pada hari Rabu Wage. Perhitungan Aboge ini mereka

dapatkan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kalender

Jawa nama tahun selama satu windu adalah Alip, Ehe, Jimawal, Ze, Dal, Be, Wawu,


(50)

ada-38

ada (mulai berniat), Ehe memiliki arti tumandang (melakukan), Jimawal artinya gawe

(pekerjaan), Ze adalah lelakon (proses, nasib), Dal artinya urip (hidup), Be memiliki

arti bola-bali (selalu kembali), Wawu artinya marang (ke arah), Jimakir artinya

suwung (kosong). Kedelapan tahun tersebut membentuk kalimat “ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang suwung” (mulai melaksanakan aktifitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong). Tahun dalam

bahasa Jawa memiliki arti wiji (benih), kedelapan tahun itu menerangkan proses dari

perkembangan wiji yang selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati

yang selalu berputar,7 tanpa ada perubahan kepada hisab sistem Asapon.

Lahirnya sistem penanggalan Jawa Islam ini tidak terlepas dari jasa Sultan Agung Hanyokrokusumo yang merubah kalender Saka. Kalender Sultan Agung yakni sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Di daerah Tengger, tanah Badui dan kelompok orang Samin mengikuti kalender Saka yang merupakan warisan zaman Hindu-Budha. Permulaan tahun Saka ini adalah hari Sabtu (14 Maret 78 M), yaitu ketika Prabu Saliwahana (Aji Saka) pertama kali mendarat di Pulau Jawa. Oleh sebab itulah penanggalan ini dikenal dengan almanak

Saka yang dipakai sampai awal abad ke-17.8

Pada permulaannya, Tahun (Tareh) Jawa dihitung dengan peredaran Matahari

dan ber-windu=30 tahun dengan nama Tahun Hindu Jawa (Soko). Kemudian pada

7

Suryati, “Penggunaan Sistem Aboge dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat Desa Cikakak Wangon Banyumas”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walingoso Semarang, 2012), h. 60.

8

Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2011), h. 17.


(51)

tahun 1555 Saka, oleh Sri Sultan Muhammad tahun tersebut dirubah dengan didasarkan pada peredaran Bulan yang disesuaikan dengan tahun Hijriyah. Tetapi tahunnya tetap 1555 sedangkan perputaran tahunnya dirubah berwindu 8 tahun yang

terdiri dari tahun kabisatdan basithah.

Windu tahun Jawa diberi rumus dengan 8 huruf abjadiyyah dengan urutan

sebagai berikut dan berlaku untuk selama-lamanya tanpa ada perubahan. Tahun pertama : Alip ( ا )

Tahun kedua : Ehe ( ه )

Tahun ketiga : Jimawal ( ج )

Tahun keempat : Ze ( ز )

Tahun kelima : Dal ( د )

Tahun keenam : Be ( )

Tahun ketujuh : Wawu ( و )

Tahun Kedelapan : Jim Akhir ( ج )

Biasanya diringkas dalam sebuah huruf hijaiyyah

زجه جوبد

.

Untuk lebih jelasnya ialah bahwa tahun-tahun Ehe, Dal, dan Jim Akhir adalah tahun Kabisat (Wuntu). Dan tahun-tahun Alip, Jim Awal, Ze, Be, dan Wawu adalah

tahun Basithah (Wastu).9

Sistem kalender Jawa dan kalender Hijriyah memiliki kesamaan yaitu mengacu pada sistem peredaran Bulan ketika mengorbit Bumi (Kamariah),

9Muh. Choeza’I Aliy Comal,


(52)

40

perbedaannya adalah 1 tahun dalam kalender Hijriyah berumur 354 hari 8 jam 48 menit atau 354 11/30 hari, sedangkan kalender Jawa berumur 354 hari 9 jam atau 354 3/8 hari. Agar tahun baru Hijriyah dan Jawa dapat bersamaan (1 Muharram dan 1

Suro) setiap tahun maka harus ada penyesuaian yang membutuhkan waktu 120 tahun.

Sejak tahun 1555 Jawa sampai sekarang (1948 Jawa /2015 Masehi) telah berganti era

120 tahunan yang ke-4 (Asapon).

Apabila ditelusuri, selisih waktu tersebut bisa terjadi karena tahun Jawa pada

satu periode yaitu 120 tahun memiliki 45 tahun kabisat dengan rincian 3x 120 : 8 =

45. Akan tetapi dalam perhitungan tahun Hijriyah hanya mempunyai 44 tahun kabisat

dalam satu periode 120. Dengan rincian 11 x 120 : 30= 44. Jadi dalam 120 tahun,

tahun Jawa mendahului satu hari dari tahun Hijriyah. Artinya apabila tahun Hijriyah sudah masuk bulan baru, maka bulan Jawa masih pada akhir bulan lama. Menurut perhitungan di atas, perbedaan tahun Hijriyah dengan tahun Jawa selisih 3 hari. Tetapi sekarang hanya selisih 1 hari karena menurut ketetapan dari Kraton Solo sudah dilampaui 2 x 1 hari yaitu pada tahun 1674 dan 1748 Jawa. Pada dasarnya kedua tahun di atas adalah tahun Kabisat yang ditetapkan sebagai tahun Basithah. Oleh

karena itu, selisih tahun Jawa dengan tahun Hijriyah sekarang hanya terpaut 1 hari.10

10 Ali Mas’udi, “Penentuan Awal Bulan Kamariah Menggunakan Sistem Aboge dan Implementasinya (Studi Kasus di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2014), h. 90-91.


(53)

Pergantian tahun Wastu dan tahun Wuntu terjadi pada setiap 4 tahun sekali. Perhitungan tersebut berdasarkan kepada usia siklus perjalanan edar planet bumi

mengelilingi matahari selama 400 tahun sekali.11

Dalam menentukan awal bulan Kamariah, penganut Aboge di Desa Kembang

tidak perlu bermusyawarah karena hasil yang didapatkan dari perhitungan

masing-masing individu penganut Aboge pasti mendapatkan hasil yang sama. Perhitungan

Aboge ini sudah bisa menentukan kapan awal bulan itu terjadi sampai beberapa tahun kemudian sudah bisa ditentukan, bahkan puluhan tahun kemudian, karena murni menggunakan perhitungan yang sudah pasti. Setelah delapan tahun perhitungan

tersebut akan kembali pada tahun yang sama, yakni tahun Alip.12

Untuk menentukan kapan terjadi awal bulan Kamariah, penganut Aboge di

desa ini tidak perlu repot-repot menjalankan rukyatul hilal, karena sebenarnya dengan

mata telanjang pun hilal sudah terlihat.13 Selain itu, para penganut Aboge di Desa

Kembang tidak memiliki organisasi yang struktural, yang ada hanyalah sesepuh Aboge sebagai seorang yang dipandang mengetahui semua hal mengenai petangan Jawa.14

Penganut Aboge di Desa Kembang dengan penganut Aboge di daerah lainnya

sangat berbeda dalam implementasinya. Pada umumnya peganut Aboge di Jawa

11

Budiono Herusatoto, Mitologi Jawa, cet.I, (Depok: Oncor Semesta Ilmu, 2012), h. 34.

12 Ali Mas’udi, “Penentuan Awal Bulan Kamariah Menggunakan Sistem Aboge dan

Implementasinya (Studi Kasus di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2014), h. 74.

13

Wawancara Pribadi dengan Sukamto (Sesepuh Aboge di Desa Kembang). Pati, 16 Januari 2015.

14


(54)

42

Tengah mengimplementasikan Aboge dalam tradisi keagamaan yang menyangkut

ibadah di dalamnya seperti penentuan awal Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijjah dan

tradisi dalam kehidupan sehari-hari.15

Berbeda dengan penganut Aboge di Desa Kembang yang hanya

mengimplementasikan perhitungan Aboge dalam tradisi keagamaan dan tradisi

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini penganut Aboge di Desa Kembang hampir

serupa dengan Kraton Yogyakarta, yaitu dalam menentukan awal bulan Kamariah terutama awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah mengikuti ketetapan dari pemerintah berdasarkan QS. An-Nisa ayat 59.

Diantara tradisi keagamaan yang pelaksanaanya dilakukan menurut

perhitungan Aboge di Desa Sukolilo antara lain :

1. Tradisi Asahan

Asahan adalah tradisi peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad Saw. yang diperingati pada tanggal 12 Mulud tahun Jawa. Bertepatan pada tanggal 13 Rabiul Awwal tahun Hijriyah. Kegiatan ini serupa dengan Grebeg Maulid (sekatenan) yang ada di Kraton Yogyakarta maupun di Kraton Surakarta, Oshing di Banyuwangi, Ampyangan di Loram Kulon Kabupaten Kudus. Pada peringatan

hari lahir Nabi Muhammad ini dibacakan berzanji di masjid-masjid, mushola,

15 Ali Mas’udi, “Penentuan Awal Bulan Kamariah Menggunakan Sistem Aboge dan Implementasinya (Studi Kasus di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati),” (Skripsi S1


(55)

dan rumah-rumah penduduk. Selain itu dilakukan pula selamatan (Rasulan) yang

berupa nasi tumpeng beserta lauk-pauknya seperti Ikan Tawar16 dan Iwak Loh17.

Asahan dilengkapi dengan berbagai kelengkapan sesaji yang oleh masyarakat dipersepsikan memiliki makna-makna filosofis dalam kehidupan.

Makna filosofis yang terkandung dalam tradisi Asahan mencakup berbagai hal

yang meliputi: pelaksanaan ritual, mendatangkan keberkahan dan mencerminkan

budaya dan tradisi Islam. Selain itu tradisi Asahan memiliki tujuan yaitu untuk

melestarikan tradisi nenek moyang yang dilakukan secara turun temurun,

meningkatkan sikap gotong-royong, membina persatuan dan kesatuan (dulur

sikep), mewujudkan rasa syukur atas limpahan rizqi yang diberikan oleh Allah Swt, serta melambangkan dan menggambarkan tingkatan kehidupan manusia yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Oleh karena itu keberadaannya perlu dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan dari generasi ke generasi sehingga dapat dijadikan sebagai cermin jati diri dari kepribadian budaya masyarakat Desa

Kembang.18

2. Penggunaan Sistem Aboge untuk perjodohan atau pernikahan

dalam perjodohan atau pernikahan ini tidak perlu menggunakan rumus karena hanya mengandalkan hari dan pasaran kelahiran calon suami dan isteri.

16

Selamatan Ikan Tawar dengan tujuan menawarkan (membantu) orang yang berperilaku buruk menjadi baik.

17

Iwak Loh, karena merupakan ciri khas kesuburan. Dan dengan tradisi ini supaya Allah memberikan keberkahan karena wong seng nyempuyung keapikan, karena lahirnya Nabi itu membuka jalan kebaikan.

18

Wawancara Pribadi dengan Kasemo (Rasyidi) Tokoh Aboge di Desa Kembang. Pati, 17 Januari 2015.


(56)

44

Misalkan jumlah hari dan pasaran serta hari pernikahannya berjumlah 29 (Kerap Sakit), 35 (Suka bertengkar), 36 (banyak sakitnya), 37 (terjadi

perceraian), 44 (Miskin), 47 (ada yang meninggal).19

3. Penggunaan Sistem Aboge dalam mendirikan bangunan seperti rumah dan lain-lain.20

Dalam hal pembangunan rumah, masjid serta bangunan lainnya

masyarakat Desa Kembang juga menggunakan penanggalan Aboge. Hal ini

bermaksud agar rumah yang akan mereka tempati kedepannya terasa nyaman dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti kemalingan dll.

Berbeda dengan penggunaan perhitungan sistem Aboge perjodohan karena untuk membangun rumah terdapat rumus kejawen yang digunakan antara lain sebagai berikut :

No Nama Keterangan

1 Guru Apabila mendirikan rumah pada hitungan ini

mempunyai arti yang sangat baik. Tokoh Aboge sangat menganjurkan.

2 Ratu Rumah yang dibangun pada hitungan ini akan berdiri

kokoh.

3 Sempoyong Tidak baik untuk melaksanakan pembangunan, karena

19

Wawancara Pribadi dengan Sukamto, hitungan tersebut tidak ada kitabnya karena merupakan ilmu titen yang beliau dapat dari nenek moyang dengan cara menghafal. Pati, 16 Januari 2015.

20


(57)

rumah tidak kokoh.

4 Rogoh Akan sering kehilangan dan jadi incaran maling.

Contoh :

Apabila akan membangun rumah pada hari Rabu Pahing, neptunya adalah Rabu = 7 dan Pahing = 9 (7+9 =16). Maka untuk mengetahui jatuh pada petungan apa

dengan cara mulai menghitung dari guru, ratu, sempoyong, rogoh berulang kali

sampai pada hasilnya yaitu 16. Bila dicocokkan dengan rumus yang di atas, maka

jatuh di rogoh berarti masyarakat meyakini rumah atau bangunan yang dibangun

akan sering kehilangan.

4. Penggunaan Sistem Aboge dalam memanen hasil pertanian.

Penanggalan Aboge juga dimanfaatkan dalam memprediksi

keberuntungan dalam pertanian, misalnya untuk mengetahui kapan padi harus ditanam dan dipanen agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Berikut rumus kejawen yang digunakan dalam bidang pertanian:

No Nama Keterangan

1 Pari Apabila panen pada hitungan ini, hasil panen akan

melimpah.

2 Mrenyi Hasil tani yang dipanen mendapatkan hasil yang baik.

3 Beluk Tidak baik untuk panen pada hitungan ini karena


(58)

46

4 Ongso Kurang baik panen pada hitungan ini karena hasil yang

dipanen tidak sesuai dengan prediksi.

Contoh :

Apabila akan memanen hasil pertanian pada hari Rabu Pahing, neptunya adalah Rabu = 7 dan Pahing = 9 (7+9 =16). Maka untuk mengetahui jatuh pada

petungan apa dengan cara mulai menghitung dari Pari, Mrenyi, Beluk, dan

Ongso berulang kali sampai pada hasilnya yaitu 16. Bila dicocokkan dengan

rumus yang di atas, maka jatuh di Ongso berarti masyarakat meyakini bahwa

panen pada hitungan ini hasilnya kurang baik atau tidak sesuai dengan prediksi. 5. Penggunaan Sistem Aboge untuk menentukan arah bepergian dalam

mencari pekerjaan dan lain-lain.21 Jumlah hari

dan Pasaran

Selatan Utara Barat Timur

7 Meninggal Sakit Hidup Selamat

8 Selamat Meninggal Sakit Hidup

9 Sakit Hidup Selamat Meninggal

10 Hidup Selamat Meninggal Sakit

11 Meninggal Sakit Hidup Selamat

12 Selamat Meninggal Sakit Hidup

21

Harya Tjakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 2008), h. 121.


(59)

13 Sakit Hidup Selamat Meninggal

14 Hidup Selamat Meninggal Sakit

15 Meninggal Sakit Hidup Selamat

16 Selamat Meninggal Sakit Hidup

17 Sakit Hidup Selamat Meninggal

18 Hidup Selamat Meninggal Sakit

6. Penggunaan Sistem Aboge dalam membeli hewan ternak.

Perhitungan Aboge juga dimanfaatkan masyarakat Desa Kembang dalam

membeli hewan ternak, yaitu supaya hewan yang mereka pelihara sesuai dengan keinginan. Berikut rumus kejawen yang digunakan dalam membeli hewan ternak:

No Nama Keterangan

1 Suku Tidak baik membeli hewan ternak pada neptu ini.

2 Watu Hewan yang di beli akan gemuk, sehingga pada

hitungan ini dianjurkan sesepuh Aboge.

3 Gajah Tidak baik karena hewan yang dibeli nantinya akan

galak.

4 Butho Kurang baik karena hewan akan galak tetapi untuk


(60)

48

Contoh :

Apabila ada orang yang membeli hewan pada hari Jumat Paing, berarti neptunya adalah jumat= 6 dan Paing= 9 (6+9= 15). Maka untuk mengetahui jatuh pada

pitungan apa dengan cara mulai menghitung dari Suku, Watu, Gajah, dan Butho

berulang kali sampai pada hasilnya yaitu 15. Bila dicocokkan dengan rumus yang

di atas, maka jatuh di Gajah berarti masyarakat meyakini bahwa hewan yang

dibeli nantinya akan galak.

7. Penggunaan Sistem Aboge untuk mengetahui rizki orang yang ditinggal mati keluarganya.

Masyarakat Aboge meyakini bahwa apabila ada orang meninggal dunia

akan mempengaruhi rizki keluarganya yang ditinggal mati. Berikut rumus kejawen yang digunakan untuk mengetahui rizki keluarga yang ditinggal mati:

No Nama Keterangan

1 Gunung Apabila ada orang meninggal pada neptu ini, keluarga

yang ditinggal mepunyai rezeki yang baik seperti gunung.

2 Jungkur Orang yang ditinggal mempunyai rezeki yang kurang

baik.

3 Segoro Keluarga yang ditunggalkan akan berebut harta warisan.


(61)

Contoh :

Apabila ada orang yang meninggal dunia pada hari Kamis Legi, berarti neptunya adalah kamis= 8 dan legi= 5 (8+5= 13). Maka untuk mengetahui jatuh pada

petungan apa dengan cara mulai menghitung dari gunung, jungkur, segoro, asat

berulang kali sampai pada hasilnya yaitu 13. Bila dicocokkan dengan rumus yang

di atas, maka jatuh di gunung berarti masyarakat meyakini bahwa keluarga yang

ditinggal mati pada neptu ini rezekinya akan baik seperti gunung.22

22


(62)

BAB IV

APLIKASI PENENTUAN AWAL BULAN SISTEM ABOGE DAN PEMERINTAH SERTA ANALISIS PENERAPAN ABOGE SEBAGAI

SISTEM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

A. Aplikasi penentuan Awal Bulan Sistem Aboge dan Pemerintah

Komunitas Aboge memahami perhitungan Aboge yang diinterpretasi dari Tafsir al-Hidayah surat Fusilat ayat ke 41, dibagian asbabun nuzul HR. Ibnu Jarir ayat 9, 10,11, dan 12 karya Syekh Nawawi Al-Bantani, dan merupakan ilmu yang nyata

dan paten.1 Sebab itu lah mereka meyakini Aboge sebagai perhitungan yang dapat

diprediksi sebelumnya dan dapat menunujukkan kevalidan metode penghitungan waktu. Sedangkan sistem rukyat sangat tergantung pada hilal yang terlihat pada tanggal 29 bulan Hijriyah.

Selain itu, komunitas Aboge juga mengambil pendapat Wali Sanga, Sunan Kalijaga, dan Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning yang merupakan tokoh pertama kali

yang memperkenalkan Aboge di Jawa, menyatakan bahwa hisab Aboge adalah sistem

penentuan awal bulan Kamariah sebagai dasar pijakan penentuan awal bulan

Kamariah. Wali tergolong Ulama’, sedangkan Ulama adalah penerus Nabi

Muhammad Saw. untuk mengajarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada Umatnya.

Pendapat ini mengacu kepada sabda Nabi yaitu al-Ulama‟u waratsatu al-Anbiya‟i.

maka pantas Komunitas Aboge mayakini sistem perhitungan Aboge sebagai sistem

1


(63)

untuk menentukan awal bulan Kamariah, karena sejalan dengan hitungan yang

digunakan oleh beberapa Sunan yang tergabung dalam Wali Sanga.2

Berbeda dengan Pemerintah, penentuan awal bulan Kamariah sangat penting karena banyak macam ibadah dalam Islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan

perhitungan bulan kamariah. Untuk itu, Syara’ telah memberikan pedoman dalam

menentukan perhitungan waktu, seperti dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi. Pedoman

tersebut dalam garis besarnya terbagi kepada 2 bagian, yaitu:

1. Cara Ru‟yah bil fi‟li dan istikmal, seperti diterangkan antara lain oleh hadist Nabi

Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah:

“Berpuasalah kamu sekalian jika melihat hilal dan berbukalah jika melihat hilal,

jika keadaan mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakban 30 hari”.

2. Cara Hisab, seperti diterangkan dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 5: “ Dialah

yang menjadikan Matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tampat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu

mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”.

Perhitungan awal bulan Kamariah dengan cara hisab pada garis besarnya ada dua macam:

a. Hisab „Urfi, yaitu cara penentuan awal bulan dengan perhitungan yang

didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi rata-rata dalam mengelilingi Matahari.

2 Alfina Rahil Ashidiqi, “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi Terhadap Komunitas Aboge Di Purbalingga)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam


(64)

52

Para Ulama sepakat bahwa sistem hisab „Urfi tidak bisa dipergunakan dalam

waktu yang ada hubungannya dengan ibadah kecuali perhitungan waktu

(haul) dalam zakat. Untuk yang terakhir ini, hisab „Urfi bisa digunakan,

sebab jumlah hari dalam setahun sama dengan jumlah hari yang diperhitungkan oleh Hisab Hakiki, yaitu 354 hari dalam tahun biasa (basithoh) dan 355 hari dalam tahun panjang (kabisat).

b. Hisab Hakiki yaitu penentuan awal bulan Kamariah dengan perhitungan

yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya.3

Namun, tidak semua ormas sepakat dengan cara di atas, sehingga penentuan awal bulan ini menjadi masalah yang diperselisihkan. Salah satu pihak ada yang mengharuskan hanya dengan rukyat saja dan pihak lainnya ada yang membolehkan dengan hisab. Di antara golongan rukyat pun masih ada hal-hal yang diperselisihkan seperti halnya yang terdapat pada golongan hisab. oleh karena itu masalah penentuan awal bulan ini, terutama bulan-bulan yang ada hubungannya dengan puasa dan haji selalu menjadi masalah yang sensitif dan sangat dikhawatirkan oleh pemerintah, sebab sering kali terjadi perselisihan di kalangan sementara masyarakat hanya

dikarenakan berlainan hari dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadan.4

3

Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat (T.tp., Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), h. 98-99.

4


(65)

Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A menyampaikan bahwa kalangan

Muhammadiyah yang berpegang kepada Hisab berargumen, sebagai berikut:5

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat

“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahmaan [55]:5). Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah.

Sedangkan argumen atau pemikiran yang disampaikan oleh kelompok Hisab

Rukyat Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:6

Pertama, bahwa dasar ru‟yah al-hilal atau istikmal dalam penetapan awal Ramadan, Idhul Fitri, dan Idhul Adha adalah dasar yang diamalkan oleh Rasul dan

Khulafaur Rasyidin dan dipegangi oleh seluruh ulama madzahib al-arba‟ah.

Kedua, bahwa itsbat „am (penetapan secara umum) oleh Qadhi atau penguasa mengenai awal bulan khususnya yang berkaitan dengan ibadah atas dasar

5Tadjuddin Noor, “Mengapa Muhammadiyah Memakai Sistem Hisab dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah”, artikel diakses pada 24 November 2014 dari

http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-mengapa-muhamadiyah-memakai-sistem-hisab-dalam-penetapan-awal-bulan-qamariyah-detail-268.html.

6

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 107-109.


(1)

Masyarakat menganggap kalau itu syirik bagi yang tidak memahami Aboge tapi bagi orang yang faham Aboge sangat penting.

11. Ormas/ Ulama mana yang dianut Islam Aboge?

Tidak ada ormas yang jadi panutan karena tanggung jawab ada pada diri masing-masing. Tapi jika untuk menetukan awal bulan Ramadan kami mengikuti Pemerintah.

Narasumber 5

Nama : Rami

Jabatan : Masyarakat Desa Kembang

Tempat/ Tanggal : Desa Kembang Kec. Dukuhseti Kab. Pati/ 19 Januari 2015

1. Siapa pencetus Aboge? Sunan Kalijaga 2. Siapa sajakah tokoh aboge?

Ngabdullah Syarif Sayid Kuning yang terkenal dengan nama Sayid Abdullah dan Aji Saka.

3. Apa latar belakang didirikannya Aboge?

Aboge sudah ada sejak lama sehingga saya tidak tau pasti latar belakangnya. Saya mengetahui hitungan Aboge dari orang tua.

4. Dasar hukum apa saja yang digunaka Aboge dalam keagamaan/ muamalat? Kitab-kitab seperti Mujarrabat dan lain-lain, tetapi kebanyakan hitungan Aboge itu ngelmu titen.

5. Bagaimana penentuan awal bulan menurut Aboge? Apa saja kitab yang digunakan Aboge dalam penentuan awal bulan?

Selisih 1 hari, yaitu hitungan hari semakin mundur sedangkan pasaran semakin maju. Sedangkan untuk penentuan awal bulan seperti Ramadhan,


(2)

Syawal masyarakat Desa Kembang mengikuti Pememrintah. Kitab yang digunakan Aboge Bentaljemur Adammakna, dan lain-lain.

6. Apa yang melatar belakangi komunitas Aboge sehingga masih mempertahankan prinsip metodenya?

Aboge merupakan ilmu yang nyata sehingga bisa memprediksi tahun-tahun yang akan datang.

7. Apa saja kegiatan rutinitas Aboge dalam keseharian seperti keagamaan?

Penganut Aboge di Desa Kembang tidak memiliki organisasi yang struktural, sehingga tidak ada kegiatan sehari-hari tetapi biasanya yang rutin dilakukan masyarakat penganut Aboge di Desa Kembang adalah Asahan dan Megengan. Aboge di Desa ini biasanya digunakan untuk mencari hari baik sebelum pernikahan, membangun rumah, membeli hewan dan waktu panen. 8. Apakah masyarakat yang transmigrasi masih menggunakan kalender Aboge?

Iya, karena Aboge di Desa Kembang hanya digunakan sesebatas dalam tradisi keagamaan seperti Asahan dan megengan. Sedangkan dalam menentukan awal bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa, awal bulan syawal, dan awal bulan Zulhijjah yang didalamnya ada kewajiban haji, masyarakat Desa Kembang mengikuti ketetapan dari pemerintah.

9. Bagaimana perkembangan Islam Aboge? Apakah mengalami kemajuan atau kemunduran?

Saya kurang tau mengenai perkembangan Aboge karena banyak orang yang tidak memperdulikan tetapi banyak juga yang menggunakan.

10. Bagaimana interaksi sosial komunitas Islam Aboge dengan masyarakat pada umumnya/ tanggapan kelompok masyarakat lain?

Kalau orang yang tidak menggunakannya mengatakan Aboge itu ilmu yang sesat karena tidak memahami apa yang terkandung di dalamnya.

11. Ormas/ Ulama mana yang dianut Islam Aboge?

Tidak ada yang jadi panutan karena setiap menentukan awal bulan semua penganut Aboge menghitung, tapi jika untuk mencari hari baik maka minta


(3)

kepada sesepuh karena dianggap orang yang lebih paham petangan jawa. Kalau untuk masalah dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah masyarakat Desa Kembang khususnya penganut Aboge mengikuti Pemerintah yang di wakili oleh Nahdlatul Ulama.


(4)

(5)

(6)