Pengaruh metode qutbound terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa sekolah alam indonesia

(1)

PENGARUH METODE OUTBOUND TERHADAP

PEMBENTUKAN KARAKTER KEPEMIMPINAN SISWA

SEKOLAH ALAM INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

WAHYU WIJANARKO

NIM : 205070000520

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGARUH METODE OUTBOUND TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER KEPEMIMPINAN SISWA SEKOLAH ALAM INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

WAHYU WIJANARKO NIM : 205070000520

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Jahja Umar, Ph.D Ikhwan Lutfi, M.Psi

NIP. 130 885 522 NIP.19730710 200501 1 006

FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul PENGARUH DUKUNGAN ORANG TUA DAN

MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MUSIK PADA REMAJA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 15 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Dra. Diana Mutiah, M.Si Ikhwan Lutfi, M.Psi


(4)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Wahyu Wijanarko NIM : 20507000520

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Metode Outbound Terhadap Pembentukan Karakter Kepemimpinan Siswa Sekolah Alam Indonesia” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 15 Juni 2011

Wahyu Wijanarko 205070000520


(5)

Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada

kemudahan

(QS. Al-Insyirah : 5)

Kerja tulus dan nothing to loose

( Jahja Umar )

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk orang-orang

yang telah membuat aku berarti di dunia ini


(6)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) Juni 2011

C) Wahyu Wijanarko

D) Pengaruh metode outbound terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

E) xiv+ 92 Halaman

F) Peneliti tertarik mengambil tema leadership siswa Sekolah Alam Indonesia karena fenomena tren yang terjadi pada saat ini yakni berkurangnya sossok pemimpin ideal dalam masyarakat akibat krisis kepercayaan. Sekolah alam indonesia sebagai institusi pendidikan memiliki kurikulum leadership yang diberikan dengan metode outbound. Dalam perkembangannya, Sekolah Alam Indonesia yang kini telah memiliki 5 angkatan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apa sajakah variabel yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter leadership seorang anak. Selain itu juga memberi pengetahuan kepada pihak terkait yakni guru dan orang tua khususnya dari sekolah alam indonesia dan umumnya pembaca untuk mengetahui variabel apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter kepemimpinan.

Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah siswa Sekolah Alam Indonesia kampus Rawa Kopi yang keseluruhannya berjumlah 130 orang ( 81% laki-laki dan 49% perempuan) Instrument pengumpulan data dengan menggunakan skala Likert. Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik Multiple Regression Analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel lama bersekolah dan kesempatan memimpin terhadap perkembangan karakter leadership pada siswa Sekolah Alam Indonesia (0,00 < 0.05).

Berdasarkan koefisien regresi menunjukkan hanya ada dua variabel yang signifikan berpengaruh pada karakter kepemimpinan yaitu lama bersekolah dan kesempatan memimpin. Selanjutnya proporsi varian dari masing-masing IV menunjukkan tidak ada variabel yang berpengaruh signifikan pada karakter kepemimpinan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dan untuk pengembangan penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil sampel tidak hanya pada tingkat SD


(7)

perlu mengkaji variabel lain diluar penelitian ini, yang mungkin menjadi faktor berpengaruh terhadap pembentukan karakter pemimpin, terutama dikalangan remaja sebagai calon pemimpin dimasa datang seperti siswa tingkat SMA ataupun mahasiswa.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Metode Outbound Dalam Pembentukan Karakter Kepemimpinan Siswa Sekolah Alam Indonesia”. Shalawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah sekaligus pembimbing I, Bapak Jahja Umar, Ph.D yang telah banyak memberikan pengarahan, ilmu, dan perhatian kepada penulis selama menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

2. Pembimbing Akademik Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.si atas bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan.

3. Kepada bapak Ikhwan Lutfi, M.Psi., dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mambagi ilmunya kepada penulis selama belajar dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Pembimbing seminar skripsi, Ibu Solicha, M.Si, yang tidak pernah bosan untuk menyumbangkan pendapatnya, memberikan saran yang membangun, motivasi, sehingga penulis dapat mengatasi kendala dalam penyusunan skripsi ini.

5. Para dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan ilmu kepada penulis, dan para Staff Perpustakaan (pak Haidir dan pak Badawi) dan Tata Usaha Fakultas psikologi UIN ( bang Ayoung, Mas Dedi, bang Murtadho, dll) atas segala bantuan selama penulis menuntut ilmu.

6. Rekan Syuro Guru di Sekolah Alam Indonesia yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian. (Ust. Hudory, pak Azis, pak Abdul, bu Cache, bu Idet, bu Esti dan lainnya yang tidak penulis sebut tapi kalian benar-benar pejuang sejati), tim outbound (bapak Taufik....terima kasih telah menerima curhat penulis, mang Anjang, Pendi, Mang Acil, Siddik, ade Rahman, Sony, Saman, Madinah...terima kasih tanpa kalian penulis bukan apa-apa).

7. Kepada kedua orang tua ku Bapak. Slamet Wibowo dan Ibu Munarsih yang tidak pernah lelah memberikan doa, semangat juga motivasi kepada penulis untuk selalu berusaha dan berdoa agar selalu diberikan kemudahan kepada Allah SWT dalam menyelesaikan tugas akhir. Adik-adikku Winda, Agung,


(9)

bapak.

8. Keluarga bapak Soebijanto dan bu Herry W serta inspirasi ku Seto Radityo juga mas Bhisma semoga kebaikan keluarga ini menjadi amal shalih bekal kehidupan dunia akhirat.

9. Pendamping hidupku, Yuningsih serta buah hatiku Tazkia dan Najib, terima kasih sudah sabar menemani ayah menyusun skripsi ini dan maaf kalau sering marah...banyak cinta untuk kalian

10.Segenap guru, murabbi fii ruuhi khususon lil habib ‘Alwi Assegaf, habib ‘Umar Assegaf, Ust Nurmansyah, ust Sofyan, ust Anwar Saidi terima kasih sudah memberi banyak ilmu agama dan doakan penulis tetap istiqomah. Segenap rekan majelis ZM dan Tsaqofah Islamiah, syukron ‘ala du’a ikum . 11. Bayu, Adimas, Taufik, Fandi yang telah membantu penulis dalam membantu

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Juga kepada The GURU’s Mr. Adiyo pembimbing III biarpun tidak resmi tapi antum sudah banyak membantu penulis. Terima kasih teman... tetap semangat dan istiqomah! kalian akan menjadi orang besar bagi bangsa ini.

12. Kepada teman-teman seperjuangan Non Reguler angkatan 2005 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun kalian tetap menjadi bagian dalam hidupku dan persahabatan kita tetap abadi..

Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.

Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.

Jakarta, 15 Juni 2011


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR...viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.4 Pembatasan Masalah ... 8

1.5 Sistematika Penulisan ... 9

BAB 2 KAJIAN TEORI 2. 1 Kepemimpinan ... 11

2.1.1 Definisi Kepemimpinan ... 11

2.1.2 Karakter Kepemimpinan ... 15

2.1.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter ... 20

2.1.2.2 Metode Outbound sebagai Pembentuk Karakter ... 25

2.2 Out Bound ... 28

2.2.1. Pengertian Outbound... 28

2.2.2. Sejarah Outbound... 31

2.2.3 Metodelogi Pelatihan Outbound ... 33

2.2.4 Kriteria Outbound ... 36

2.3 Kerangka Teori... 39

2.4 Hipotesis... 41

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel ... 43

3.1.1 Populasi ... 43

3.1.2 Sampel dan teknik sampling ... 44

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya ... 44

3.2.1 Definisi Operasional ... 45

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 46


(11)

3.3.1.2 Kuisioner Karakter Kepemimpinan ... 49

3.3.2 Prosedur Pengumpulan Data ... 50

3.3.2.1 Tahap Persiapan ... 50

3.3.2.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 57

3.4. Desain Penelitian... 57

3.5. Metode Analisis Data... 58

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Deskriptif ... 61

4.2 Uji Validitas Alat Ukur ... 62

4.2.1 Uji Validitas skala karakter kepemimpinan ... 63

4.3 Uji Hipotesis penelitian... 76

4.3.1 Analisis Korelasional dari Variabel Penelitian ... 76

4.3.2 Analisis Regresi Variabel Penelitian... 78

4.3.3 Pengujian Proporsi Varians sumbangan masing – masing Independent Variabel... 80

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Diskusi ... 86

5.3 Saran ... 89

5.3.1 Saran Metodologis ... 89

5.3.2 Saran Praktis ... 90

DAFTAR PUSTAKA... 91


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Bobot Skor Pernyataan... 50

Tabel 3.2. Kisi-kisi Alat Ukur Karakter Kepemimpinan ... 52

Tabel 4.1 Distribusi populasi penelitian berdasarkan Jenis Kelamin... 61

Tabel 4.2 Distribusi mean leadership berdasarkan Jenis kelamin... 62

Tabel 4.3 Muatan Faktor item kekuatan dalam karakter kepemimpinan... 65

Tabel 4.4 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kekuatan dalam skala karakter kepemimpinan ... 66

Tabel 4.5 Muatan Faktor stabilitas emosi dalam karakter kepemimpinan... 67

Tabel 4.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item stabilitas emosi dalam skala karakter kepemimpinan ... 67

Tabel 4.7 Muatan Faktor item kemampuan tentang relasi insani dalam karakter kepemimpinan ... 68

Tabel 4.8 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kemampuan tentang relasi insani dalam skala karakter kepemimpinan... 68

Tabel 4.9 Muatan Faktor item kejujuran dalam karakter kepemimpinan ... 68

Tabel 4.10 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kejujuran dalam skala karakter kepemimpinan... 69

Tabel 4.11 Muatan Faktor item objektivitas dalam karakter kepemimpinan... 69

Tabel 4.12 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item objektifitas dalam skala karakter kepemimpinan...70

Tabel 4.13 Muatan Faktor item dorongan pribadi dalam karakter kepemimpinan ...70

Tabel 4.14 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item dorongan pribadi dalam skala karakter kepemimpinan ... 71

Tabel 4.15 Muatan Faktor item ketrampilan komunikasi dalam karakter kepemimpinan... 71

Tabel 4.16 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item keterampilan komunikasi dalam skala karakter kepemimpinan ... 72

Tabel 4.17 Muatan Faktor item kemampuan mengajar dalam karakter kepemimpinan... 72

Tabel 4.18 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kemampuan mengajar dalam skala karakter kepemimpinan ... 73

Tabel 4.19 Muatan Faktor item keterampilan sosial dalam karakter kepemimpinan... 73

Tabel 4.20 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item keterampilan sosial dalam skala karakter kepemimpinan... 74

Tabel 4.21 Muatan Faktor item managerial dalam karakter kepemimpinan... 74

Tabel 4.22 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item managerial dalam skala karakter kepemimpinan ... 75

Tabel 4.23 Matriks Korelasi Antar Variabel... 76

Tabel 4.24 Tabel Anova ... 78


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Analisis Konfirmatorik dari dimensi kekuatan dalam skala

Karakter Kepemimpinan ... 64 Gambar 4.2 Residual Plot leadership... 84


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat keterangan penelitian Lampiran 2 Surat keterangan penelitian Lampiran 3 Kuisioner penelitian Lampiran 4 Skoring hasil penelitian


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian karakter kepemimpinan siswa, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan masalah dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu krisis terbesar dunia saat ini adalah krisis keteladanan. Salah satu penyebab utama adalah ketiadaan pemimpin yang visioner, kompeten, dan memiliki integritas tinggi dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang diharapkan adalah yang dapat merajut titik temu dari berbagai elemen yang berbeda baik dari sisi ideologi, budaya, dan tradisi menjadi suatu tatanan masyarakat baru yang bergerak menuju peradaban baru. Dengan kata lain seorang pemimpin hendaknya memiliki karakter yang kuat yang dapat menjadi teladan untuk kelangsungan orang yang dipimpinnya.

Krisis karakter kepemimpinan juga terjadi di Indonesia dewasa ini menyebabkan kekecewaan publik yang mengurangi kepercayaan sebagian besar masyarakat. Bukan hanya pemimpin di tingkat pusat, pemimpin tingkat daerah pun disinyalir tidak memiliki kekuatan karakter. Dampak nyata dari lemahnya karakter pemimpin adalah makin maraknya korupsi, kesemerawutan sistem tata kota, buruknya pelayanan kesehatan, hilangnya rasa keadilan, pendidikan yang semakin kehilangan nurani welas asih yang berorientasi pada ahlak mulia dan lain


(16)

sebagainya. Hal ini menjadikan bangsa indonesia kian terpuruk dan jauh ketinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia (Antonio, 2009).

Karakter, watak, sifat, atau trait adalah satu kualitas yang tetap terus menerus dan relatif menetap yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi, suatu objek, atau kejadian (Chaplin 2006). Dalam istilah lain, karakter dapat diartikan sebagai ciri khas dari seseorang agar kita dapat mengenali siapa sebenarnya orang tersebut. Menurut Foerster (dalam Muhibbin, 2007) karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi, dan karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman pribadi yang sering berubah.

Karakter seseorang sangatlah penting karena dapat menunjukkan karakter bangsa pada umumnya, sehingga dengan kematangan pribadi serta karakter yang kuat dari seseorang dapat menunjukkan seberapa kuat bangsa tersebut. Individu-individu yang memiliki karakter kuat tentunya dapat membentuk bangsa yang kuat pula. Sebaliknya bila individu dari bangsa tersebut lemah, tentunya bangsa tersebut memiliki karakter yang lemah pula.

Karakter dalam diri manusia tidak ada dengan sendirinya, melainkan berproses. Proses penanaman nilai karakter kepemimpinan dapat dimulai dari masa anak-anak karena karakter seorang pemimpin seyogianya harus sudah dimiliki sejak masa anak-anak, dengan tujuan agar kelak lahir calon pemimpin– pemimpin bangsa yang berwawasan dan berkemanusiaan. Sehingga penanaman nilai-nilai kepemimpinan yang baik sejak dini sangatlah penting demi terbentuknya karakter pemimpin yang baik dikemudian hari. Dan dalam proses pembentukan itulah perlu cara yang tepat. Dalam hal ini karakter kepemimpinan


(17)

perlu dirintis dari sekolah karena dinilai penting sebagai treatment awal pembentuk karakter kepemimpinan. Sejalan dengan hal tersebut, Hurlock (2003) mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa dimana penanaman nilai-nilai kehidupan berawal.

Pembentukan karakter sejak dini dapat dilakukan melalui pendidikan. Baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah ataupun lembaga-lembaga non formal lainnya, yang diharapkan mampu mencetak generasi yang tangguh serta berkarakter. Kementrian pendidikan nasional telah merancang grand design pembelajaran pendidikan karakter yakni pengelompokan konfigurasi karakter yang bermuara pada olahhati, olahpikir, olahraga, dan olahkarsa. Olah hati bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional, olahpikir bermuara pada pengelolaan intelektual, olahraga bermuara pada pengelolaan fisik, sedangkan olahrasa bermuara pada pengelolaan kreativitas (Herawati, dalam Solo Pos 2010).

Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah salah satu tempat penanaman nilai pembentuk karakter kepemimpinan, dengan memberikan pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain ( UU Sisdiknas, 2003).

Untuk mencetak calon-calon pemimpin yang baik serta kompeten dalam bidangnya, dalam dunia kependidikan perlu diadakan alternatif-alternatif penyampaian program kepada peserta didik melalui metode-metode yang baru dan menarik minat peserta didik. Alternatif penyampaian yang menarik dianggap


(18)

penting karena diharapkan dapat menarik minat peserta didik yang kemudian akan menumbuhkan keinginan untuk terus belajar sehingga terbentuk suatu karakter dapat menjadi ciri individu yang diharapkan mampu menjadi identitasnya kelak di masa datang. Dengan segala keterbatasan dalam dunia pendidikan nasional yang selama ini dijalankan, maka banyak pihak mencoba berbagai alternatif dalam memberikan pendidikan kepada anak didik. Diantaranya home schooling, boarding school, sekolah alam dan lain-lain. Berbagai metode diterapkan demi tercapainya tujuan pendidikan yang menghasilkan manusia atau peserta didik yang handal. Berbagai metode pendidikan tersebut intinya ingin memberikan metode pembelajaran yang menyentuh tiga ranah belajar yaitu area kognitif, afektif dan psikomotorik. Di antara metode yang menarik adalah metode outbound, yang oleh banyak pihak telah diuji coba dan terbukti efektif dalam menyelesaikan kebuntuan dalam proses belajar (Asti, 2009).

Menurut Muhibbin (2007), metode pembelajaran yang efektif harus dapat menyentuh pada tiga aspek tingkatan proses belajar, yaitu area pemikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan aksi (psikomotor). Ketiga unsur tersebut dapat dipadukan sekaligus dengan metode kegiatan belajar dari pengalaman(experiental learning). Sejalan dengan Muhibbin, Tony Stockwell (dalam Gordon 2002) berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu dengan cepat dan efektif kita harus melihat, mendengar dan merasakan. Dengan karakteristik yang demikian, maka menurut penulis metode outbound adalah metode yang dapat mewakili unsur-unsur tersebut. Diantaranya dalam permainan yang digunakan sebagai media penyampaian materi biasanya melibatkan ketiga aspek diatas. Kognitif


(19)

digunakan dalam rangka berfikir untuk penyelesaian masalah dan perasaan biasanya dilibatkan untuk menimbang apakah keputusan yang diambil tidak merugikan diri sendiri serta orang lain dan aksi diperlukan untuk mencoba menjalankan hal yang sudah diputuskan.

Afani (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan hasil yang signifikan dalam reaksi, pemahaman pengetahuan, dan perubahan perilaku pada individu yang pernah mendapatkan treatment outbound. Sejak awal dikenalkan oleh sang penggagas bahwa outbound dapat menyebabkan perubahan perilaku terutama karakter individu. Penelitian dalam penanaman karakter kepemimpinan melalui outbound sejak lama menjadi perhatian para peneliti. Hahn (dalam Neill 2004) sebagai penggagas outbound, mendefenisikan outbound sebagai training yang melibatkan pikiran yang diteruskan ke tubuh dengan berusaha memberikan pengalaman menantang kepada para pemuda dengan format pengajaran yang merangsang inner strength, karakter dan perubahan. Inti dari Outbund program adalah “development by challenge” (perubahan berdasarkan pengalaman). Program yang diberikan meliputi kemampuan berorganisasi, rescue training, tantangan fisik, dan adventurer. Selintas medium pengajaran yang digunakan menitik beratkan pada pisik semata, tetapi dibalik itu sangat ber efek pada ranah psikologis dan sosial ( Neill 2004).

Metode outbound juga dapat dijadikan salah satu jalan keluar dari tingkat kejenuhan yang tinggi para peserta didik akan metode-metode konvensional yang telah dilakukan selama puluhan tahun. Karena dalam outbound, penyampaian materi yang merupakan simulasi kehidupan yang komplek dibuat menjadi


(20)

sederhana, menggunakan pendekatan belajar dari pengalaman, dan yang paling menarik adalah metode ini dilakukan dengan penuh kegembiraan karena penyampaiannya melalui permainan (Ancok, 2002)

Dalam hal ini sekolah alam sebagai pionir dalam dunia pendidikan di Indonesia telah menggunakan metode outbound sebagai tools dalam pendidikan kepemimpinan yang diharapkan mampu menyumbang bibit-bibit pemimpin bagi bangsa ini kelak. Sekolah Alam Indonesia dengan penerapan metode outbound-nya pula serta pendidikan berbasis alam yang diajarkan kepada peserta didikoutbound-nya mampu menyedot perhatian publik sehingga untuk menyekolahkan anaknya orang tua perlu antri dan menginap demi mendapatkan formulir pendaftaran (detik.com). Dalam proses belajar menjadi seorang pemimpin, selain diperlukan aspek-aspek di atas, diperlukan juga sebuah kerjasama yang kompak dalam segala hal yang menyangkut proses tersebut, terutama saat belajar di luar ruangan. Dengan demikian, Sekolah Alam Indonesia, sebuah sekolah yang menjadikan alam terbuka sebagai kelas dan laboratorium, menjadikan metode outbound sebagai media pembentuk karakter kepemimpinan disamping kurikulum akhlak dan logika berpikir. Metode outbound dipilih karena dirasa cocok dengan karakteristik proses kegiatan belajar mengajar yang lebih banyak dilakukan di luar ruangan serta terdapat banyak pembelajaran pada tiap permainan yang dilakukan untuk dapat menumbuhkan karakter kepemimpinan (leadership) pada setiap siswanya (buku panduan Sekolah Alam Indonesia).

Terkait dengan penerapan metode outbound tersebut, maka diperlukan persiapan yang matang dalam berbagai aspek. Aspek tersebut meliputi kurikulum


(21)

yang berisi kegiatan-kegiatan atau permainan yang terkait unsur pembentuk karakter kepemimpinan atau team building yang bisa merefleksikan proses memimpin dan dipimpin, sarana yang memadai terkait ketersedian alat terutama alat-alat yang dapat menunjang proses permainan khususnya alat-alat safety yang direkomendasikan badan safety dunia, dan tidak ketinggalan tenaga pelaksana yang handal(fasilitator, observer dan rescuer), yang memiliki penguasaan materi dan metode pelatihan yang baik sebagai garansi untuk hal yang dijunjung tinggi dalam dunia outbound, terutama faktor keselamatan (Jaelani, 2008)

Dari uraian diatas, penulis ingin melihat sejauh mana pengaruh outbound program terhadap pengembangan karakter kepemimpinan siswa. Dari beberapa penelitian terdahulu yang ternyata signifikan mengubah reaksi, pengetahuan , dan perilaku, penulis berargumen bahwa outbound sebagai metode alternatif pengembangan karakter serta penanaman nilai-nilai kepemimpinan di sekolah sangat penting dilakukanuntuk mencetak pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang kuat.

1.2 Pertanyaan penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Variable apa sajakah yang mempengaruhi pembentukan karakter kepemimpinan siswa?

2. Dari variable penelitian yang dianalisis manakah yang memiliki pengaruh paling besar dan signifikan terhadap karakter kepemimpinan?


(22)

3. Bagaimanakah model persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memprediksi pembentukan karakter kepemimpinan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara pokok dan prinsip, tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian yang telah peneliti rumuskan diatas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat subtansial penelitian ini sangat berkaitan erat dengan pertanyaan penelitiannya yaitu:

1. Menemukan faktor –faktor yang dominan memengaruhi pembentukan karakter siswa, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor pembentuk karakter kepemimpinan.

2. Melihat secara statistik hasil pembentukan karakter kepemimpinan di Sekolah Alam Indonesia

3. Jika sudah didapat model regresinya, maka peneliti mampu membuat rangkuman tentang faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter kepemimpinan.

1.4 Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tidak mengalami perluasan serta pelebaran masalah, maka penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan berikut :

1. Karakter kepemimpinan yang dimaksud adalah ciri-ciri seorang pemimpin merujuk trait kepemimpinan dalam hal ini meliputi, Kekuatan, baik badaniah maupun rohaniah; Stabilitas emosi, tidak mudah marah tersinggung atau


(23)

meledak ledak secara emosional; pengetahuan tentang relasi insani; Kejujuran; Objektif; Dorongan pribadi, meliputi kesedian untuk muncul sebagai pemimpin dari diri sendiri; Keterampilan berkomunikasi; Kemampuan mengajar, membagi pengetahuan untuk tujuan bersama; Keterampilan sosial; Kecakapan teknis atau kecakapan managerial.

2. Outbound yang dimaksud adalah sekumpulan permainan di alam terbuka yang merupakan analogi dari kehidupan, berdasar pada belajar dari pengalaman, dengan refleksi pasca kegiatan yang dikemas dengan unsur-unsur pembentukan karakter.

3. Siswa yang dimaksud adalah siswa kelas lima sampai kelas sembilan yang bersekolah di Sekolah Alam Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian karakter kepemimpinan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan masalah dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, beserta hipotesis penelitian.


(24)

BAB III : Metodelogi Penelitian

Bab ini meliputi, subyek penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan teknik analisis data.

BAB IV : Analisis Hasil Penelitian

Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian meliputi, pengolahan statistik dan analisis terhadap data.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.


(25)

BAB 2

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dipaparkan tentang Pengertian kepemimpinan (leadership), definisi kepemimpinan, karakter kepemimpinan, faktor-faktor yang mempengaruhi karakter kepemimpinan, metode outbound sebagai pembentuk karakter kepemimpinan, dan hipotesis Penelitian.

2.1 KEPEMIMPINAN 2.1.1 Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan yang menjadi bahasan dalam tulisan ini adalah kepemimpinan yang diambil dari istilah dalam bahasa Inggrisleadership.

Kepemimpinan adalah tema yang populer, yang bukan saja menjadi bahan diskusi dan penelitian kaum terpelajar tapi semua lapisan masyarakat pun turut membicarakan masalah kepemimpinan. Bertolak dari itu semua, telah banyak orang yang mengembangkan teori ini sehingga pengertian tentang kepemimpinan sangat banyak serta berbanding lurus dengan orang yang mengembangkannya. Dari sekian banyak teori yang ada ada beberapa pengertian atau definisi yang penulis anggap cocok dengan bahasan pada kali ini, diantaranya :

Bennis dan Nanus (dalam Munandar, 2001) mendefinisikan leading are influencing, guiding in direction, course, action, opinion.

Sedangkan menurut Davis (dalam Munandar, 2001) Leadership is part of management, but not all of it.


(26)

Pemimpin merupakan suatu peran dalam kelompok yang diemban oleh salah satu anggota kelompok dengan kriteria tertentu. Melalui perannya itu pemimpin akan melaksanakan kepemimpinannya, yaitu suatu aktivitas untuk mempengaruhi kelompoknya untuk mencapai tujuan kelompok. Hal ini dikemukakan oleh Gibson (dalam Munir, 2001) bahwa kepemimpinan merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain secara orang perorang (interpersonal), lewat proses komunikasi, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Definisi tersebut juga mengandung arti bahwa kepemimpinan mencakup penggunaan pengaruh lewat hubungan interpersonal melalui proses komunikasi efektif untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan bersama-sama pula.

Dengan kata lain, dalam kepemimpinan terdapat hubungan antar manusia. Yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuh-taatan para pengikut/ bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin.

Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektifitas dan keberhasilan organisasi ( House 1999).

Menurut Chaplin (1995) Leadership adalah penggunaan otoritas kontrol, bimbingan yang memerintah tingkah laku orang lain. Masih menurutnya pula, leadership adalah kualitas kepribadian dan latihan yang mengarah pada keberhasilan dalam membimbing dan mengontrol orang lain.

Wahjosumidjo (1984) berpendapat bahwa butir-butir pengertian dari berbagai definisi kepemimpinan pada hakekatnya memberikan makna


(27)

kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan.

Dari beberapa definisi diatas, dapat diartikan bahwa setiap pemimpin haruslah memiliki karakter yang kuat sehingga tujuan dalam kelompok dapat tercapai. Selain itu juga diperlukan rasa saling menghargai sehingga tercipta hubungan yang harmonis antar anggota kelompok.

Kepemimpinan adalah berfungsinya pemimpin, bawahan, dan dalam situasi tertentu, kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran organisasi. Peranan pemimpin sangat penting dan menentukan dalam usaha pencapaian sasaran atau tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Keberhasilan suatu organisasi sangatlah bergantung pada kualitas dan efektifitas kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah salah satu bagian dari manajemen kelompok dimana sang pemimpin memiliki peran untuk mempengaruhi kelompoknya dalam mencapai tujuan bersama melalui kecakapan komunikasi efektif yang dimilikinya. Dan dapat pula dikemukakan bahwa kepemimpinan akan terjadi apabila didalam situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik perseorangan maupun kelompok.

Dalam dunia islam, istilah kepemimpinan telah ada sebelum manusia diciptakan seperti tertuang dalam al-Quran surat al-Baqoroh (2):30 yang artinya

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji


(28)

Engkau dan mensucikan Engkau?" Allah berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kata Khalifah berarti pengganti atau pemegang otoritas Tuhan dimuka bumi. Antonio (2009) menyebutkan bahwa dalam islam istilah khalifah dipakai sebagai sebutan bagi pemimpin muslim setelah Rosulullah wafat, seperti kepada Khulafa ar-Rasyidin. Para khalifah diyakini memiliki otoritas duniawi dan keagamaan. Sedangkan dalam faham teokrasi, raja atau kaisar dianggap sebagai perwujudan atau titisan tuhan misalnya Kaisar Jepang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari, raja-raja Mesir sebagai titisan Dewa Ra dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw secara jelas menyebut soal kepemimpinan dalam salah satu sabdanya,

Setiap orang diantara kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya tersebut. Seorang imam akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin ditengah keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan ditanya soal kepemimpinannya. Seorang pelayan/pegawai juga pemimpin dalam mengurus harta majikannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas

kepemimpinannya.

Dalam hadist yang lain di sabdakan,

dari Ibnu Umar menyatakan bahwa Rosulullah bersabda masing-masing dari kamu adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinan tersebut. Seorang penguasa adalah pemimpin rakyatnya, seorang laki-laki dewasa adalah pemimpin keluarganya, seorang perempuan dewasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan kamu semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.

Dari uraian definisi kepemimpinan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak, mengarahkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam organisasi, yang timbul dari situasi tertentu. Untuk mengajak dan mengarahkan diperlukan seorang pemimpin yang mempunyai karakter atau sifat tertentu demi tercapainya tujuan bersama.


(29)

Studi tentang kepemimpinan dikelompokkan menjadi tiga pendekatan, yaitu (a) yang mendasarkan atas traits (sifat, perangai) atau kualitas yang diperlukan seseorang untuk menjadi pemimpin, (b) yang mempelajari perilaku yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif, (c) pendekatan

contingency yang berdasarkan atas faktor-faktor situasional untuk menentukan gaya kepemimpinan yang efektif.

2.1.2 Karakter Kepemimpinan

Untuk berhasilnya tujuan suatu organisasi, diperlukan konsep kepemimpinan yang berkarakter. Diantara karakter kepemimpinan yang baik dari seorang pemimpin adalah dapat bermain peran. Peran tersebut mewakili penggolongan perilaku domain dari seorang pimpinan yang terlihat dari kinerja pengikutnya. Menurut Mintzberg (dalam Mulyani, 2004) mendefenisikan peran sebagai seperangkat kemungkinan seorang pemimpin akan berperilaku dalam unjuk kerjanya. Mintzberg (dalam Mulyani, 2004) membagi dalam tiga katagori yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yaitu,

a. Peraninterpersonal yang meliputi peranfigurehead, leader, liaison

b. Peran informational yang meliputi peran sebagai monitor, disseminator, spokesperson

c. Peran decisional yang meliputi peran enterpreneur, disturbance-handler, resource-allocator, dan negotiator

Dalam terminologi psikologi karakter digambarkan sebagai watak, perangai, sifat dasar yang khas, sebagai satu sifat atau kualitas yang tetap terus


(30)

menerus dan kekal dan dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.

Karakter dalam diri seorang pemimpin sangat erat kaitannya dengan proses kepemimpinannya. Sesuai dengan gambaran karakter dalam ranah psikologi yakni melihat karakter seseorang dengan mengetahui sifat dasar dari orang tersebut.

WarrenBennis (dalam Antonio 2009), menggambarkan sifat-sifat dasar seorang pemimpin yang dapat dilihat dari perilakunya yaitu, guiding vision

(visioner), passion (berkemauan kuat), integrity (integritas), trust (amanah),

curiosity (rasa ingin tahu), andcourage ( berani). Serangkaian karakteristik yang disebutkan diatas selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat mempengaruhi, mengubah dan mengarahkan tingkah laku pengikutnya demi tercapainya tujuan bersama.

Untuk dapat menentukan kriteria atau syarat untuk menjadi seorang pemimpin, ada beberapa pendekatan yang dapat dijadikan rujukan seperti yang dikemukakan William G. Scott (dalam Kartono 2008) yakni, the great man approach (pendekatan orang besar), the trait approach (pendekatan ciri atau sifat), the modified trait approach (pendekatan ciri yang sudah diubah), dan

situational approach (pendekatan situasional). Dalam hal ini penulis mengambil satu pendekatan yang dinilai relevan dalam penelitian ini yaitu pendekatan trait atau sifat.

Trait kepemimpinan merujuk pada keistimewaan karakteristik kepribadian, interaksi sosial, dan pisik atau bisa disebut memiliki sifat unggul yang


(31)

membedakan seorang pemimpin dengan pengikut. Ide dasarnya adalah bahwa seorang pemimpin dilahirkan(born to lead) dimana proses perkembangannya melalui trait yang unik (Latemore, dalam July 2005). Teori ini tidak selalu dapat mendefinisikan trait dari kepemimpinan yang sukses bahkan para ahli kepemimpinan menemukan trait yang lain. Akan tetapi teori ini dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan seseorang dimana kelemahan dan kekuatan seseorang dapat memberikan kontribusi dalam belajar berkelanjutan dan perkembangan diri. Tomlinson (dalam July 2005) meyakini bahwa kualitas dari karakter seseorang (dapat dipercaya baik sebagai individu maupun dalam kelompok, kekuatan managerial, dan kemampuan mengorganisasi) dapat menggambarkan sifat pemimpin yang paling mendasar.

Saint (2004) mengatakan bahwa trait seorang pemimpin dapat digambarkan dengan dapat mengambil keputusan, berpikir strategis, memiliki kecerdasan mental, jujur dalam perkataan, serta objektif.

Selain gaya dan type dari pemimpin, trait seorang pemimpin juga berkaitan erat dengan karakter seorang pemimpin. Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit atau dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.


(32)

Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:

1. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:

a. Trait relatif stabil dari waktu ke waktu b. Trait konsisten dari situasi ke situasi

2. Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:

a. ada proses adaptif

b. adanya perbedaan kekuatan, dan c. kombinasi dari trait yang ada

Menurut Mc Crae dan Costa (dalam Feist, 2006) mereka berpendapat bahwa tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. Mereka yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun.

Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck.

Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit


(33)

dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok

Untuk menilai sukses atau gagalnya seorang pemimpin antara lain dapat dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas perilakunya, yang digunakan sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya tersebut. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Karakter yang harus dimiliki seseorang pemimpin menurut George R. Terry (dalam Kartono 2008) mencakup sepuluh sifat unggul seorang pemimpin yakni, Kekuatan, baik badaniah maupun rohaniah; Stabilitas emosi, tidak mudah marah tersinggung atau meledak ledak secara emosional; pengetahuan tentang relasi insani; Kejujuran; Objectif; Dorongan pribadi, meliputi kesedian untuk muncul sebagai pemimpin dari diri sendiri; Keterampilan berkomunikasi; Kemampuan mengajar, membagi pengetahuan untuk tujuan bersama; Keterampilan sosial; Kecakapan teknis atau kecakapan managerial


(34)

Dari hal-hal yang telah dikemukakan tentang kepemimpinan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap pemimpin dituntut memiliki karakter serta kepribadian yang kesemuanya tidak ada dengan sendirinya melainkan berproses. Sehingga menarik untuk diteliti dan diangkat menjadi suatu wacana bagaimana kepribadian seorang pemimpin berkembang melalui proses belajar dari masa anak-anak, dalam hal ini peneliti akan melihat sejauh mana perkembangan karakter siswa yang telah mendapatkan pelatihan kepemimpinan melalui metode outbound.

2.1.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter

Karakter dibentuk tidak melalui suatu proses yang singkat dan mudah. Karakter dibentuk melalui proses panjang yang membutuhkan konsistensi dan kesinambungan. Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Dalam hal apa yang mempengaruhi pengembangan karakter, Campbell dan Bond (1982) menyebutkan beberapa faktor utama dalam pengembangan moral dan perilaku remaja di Amerika kontemporer:

1. Heredity (keturunan)

2. Early Childhood Experience (pengalaman awal masa kanak-kanak)

3. Modeling by important adults and older youth (pemodelan oleh orang dewasa berpengaruh dan orang yang lebih tua)


(35)

5. The general physical and social environment (lingkungan fisik dan sosial umum)

6. The communications media (media komunikasi)

7. What is taught in the schools and other institutions (apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga lainnya)

8. Specific situations and roles that elicit corresponding behavior. (spesifik situasi dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai).

Sejalan dengan poin pertama, Kartono (2008) menyatakan bahwa banyak orang berpendapat bahwa kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin merupakan ciri bawaan psikologis yang dibawa sejak lahir, yang ada khusus pada dirinya, dan tidak dipunyai orang lain (born leader). Karena itu, sifat-sifat kepemimpinannya tidak perlu diajarkan pada dirinya juga tidak bisa ditiru oleh orang lain. Diantara sifat yang dimiliki adalah kepribadian yang unggul dengan bakat dan kharisma yang cemerlang disamping punya bakat seni memimpin yang tidak ada duanya.

Faktor lainnya yang tidak kalah berpengaruh dalam perkembangan karakter kepemimpinan adalah faktor lingkungan diluar diri individu (nurture).

Diantara yang sangat mempengaruhi adalah lingkungan keluarga, peer group, dan sekolah. Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2007) dalam teori ekologi mengungkapkan bahwa perkembangan dipengaruhi oleh lima sistem lingkungan. Kelima sistem lingkungan itu memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan individu diantaranya,


(36)

1. Mikrosistem dimana individu tinggal meliputi keluarga, teman sebaya, sekolah dan tetangga.

2. Mesosistem mencakup hubungan antar mikrosistem misalnya hubungan pengalaman dikeluarga dan sekolah, pengalaman teman sebaya dan tempat ibadah

3. Ekosistem, dimana pengalaman dalam lingkungan sosial lain yang individu tidak ada peran aktif langsung mempengaruhi individu dalam konteks langsung contohnya pengalaman disekolah dengan banyak tugas mempengaruhi peran aktif anak dirumah.

4. Makrosistem, mencakup budaya dimana seseorang tinggal dalam hal ini adalah pola perilaku, keyakinan

5. Kronosistem mencakup pembuatan pola kejadian lingkungan dan transisi sepanjang kehidupan.

Merujuk pendapat Bronfenbrenner tersebut konteks yang paling sering diteliti adalah konteks mesosistem (Santrock,2007) kebanyakan penelitian mengungkapkan bahwa program khusus yang melibatkan keluarga sering dapat membuat perbedaan dalam prestasi anak.

Sejalan dengan hal tersebut, Huitt (1999) mengungkapkan bahwa selain faktor nature yang ada dalam diri individu, sekolah memainkan peran penting dalam pembentukan karakter disamping peran keluarga dan masyarakat pada umumnya. Kartono (2007) mengatakan bahwa sebagian orang berpendapat dengan semakin banyaknya tujuan besar dari berbagai pihak dengan latar belakang dan kondisi sosial yang berbeda perlu dipersiapkan seorang pemimpin


(37)

yang akan menangani hal tersebut. Untuk itu perlu dipersiapkan, dilatih, dan dibentuk secara berencana serta sistematis. Pada mereka diberikan latihan dan pendidikan khusus untuk membiasakan bertingkah laku menurut pola-pola tertentu, agar mampu melaksanaka tugas-tugas kepemimpinan dan sanggup membawa kelompok atau orang-orang yang dipimpinnya ke sasaran yang ingin dicapai.

Sekolah adalah salah satu tempat menyiapkan pemimpin, membentuk, melatih, dan memberikan pola tertentu sesuai dengan kebutuhan pemimpin. Paradigma pendidikan di indonesia saat ini sudah mendukung pembentukan karakter di sekolah, bobot atau persentase tentang pendidikan karakter perlu mendapatkan perhatian khusus mulai dari jenjang pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai perguruan tinggi. Sehingga perlu penegasan, penekankan kembali, dan menginginkan pendidikan karakter menjadi kesadaran semua pihak akan pentingnya pendidikan karakter (Nuh, dalam pena pendidikan 2010).

Pembentukan karakter disekolah sebagai tempat untuk mendidik, Walsh mendefinisikan pendidikan sebagai proses yang mempersiapkan kaum muda untuk warisan sosial mereka dan pendukung tiga dimensi pendidikan yakni pengembangan pengetahuan, pelatihan kemampuan mental, dan pengembangan karakter.

Pengenalan tentang karakter kepemimpinan yang dilakukan dalam lingkungan sekolah dapat berupa rolling (pergantian)ketua kelas, kepanitiaan


(38)

dalam kelas, dan lain sebagainya. Sedangkan pembinaan yang dilakukan di luar jam pelajaran bisa berupa kurikuler dan ekstra kurikuler.

Salah satu kegiatan yang mendukung serta mengarahkan perilaku untuk membiasakan diri berbuat menurut pola tertentu sebagai sarana membentuk karakter kepemimpinan diantaranya dapat dilakukan dalam pelatihan outbound. Dalam hal ini outbound digunakan sebagai media menciptakan situasi tertentu yang menimbulkan perilaku sesuai yang diharapkan sejalan dengan poin kedelapan pendapat Campbell dan Bond (1982).

Asti (2009) mengungkapkan bahwa dalam outbound, program kegiatan telah dirancang sedemikian rupa serta memiliki tujuan dan manfaat tertentu diantaranya komunikasi efektif, pengembangan tim, pemecahan masalah, kepercayaan diri, kepemimpinan, kerja sama, permainan yang menghibur, konsentrasi, dan sportifitas. Sehingga peserta akan mampu mengembangkan potensi diri baik secara individu maupun dalam kelompok.

Keterampilan yang didapat melalui outbound adalah mengambil resiko dalam batas kewajaran. Pengalaman di alam terbuka memungkinkan seseorang untuk mengembangkan keberaniannya dalam upaya mempertahankan kelangsungan kelompoknya sehingga ”dipaksa” untuk bertindak berani dalam mengambil resiko. Juga peserta dilatih untuk bebas dari rasa ketergantungan pada batas-batas yang telah baku, konsep intelektual yang tidak terbatas kepada norma tertentu.

Merujuk pada faktor tersebut penelitian ini bertujuan melihat sejauh mana outbound sebagai metode pengajaran mempengaruhi pembentukan karakter.


(39)

2.2.2.2 Metode Outbound sebagai Pembentuk Karakter

Metode outbound diyakini memiliki kontribusi yang besar sebagi pembentuk karakter. Dalam banyak penelitian metode outbound ternyata efektif dalam membangun pemahaman akan suatu konsep dan membangun perilaku (Asti, 2009). Karakter dibentuk oleh perilaku yang berulang-ulang dalam waktu yang lama sehingga menetap dan menjadi kebiasaan. Sejalan dengan hal tersebut, perlu penanaman nilai-nilai mulai dari masa anak-anak karena pada masa inilah dasar karakter manusia terbentuk.

Pengembangan karakter kepemimpinan melalui kegiatan alam terbuka dapat dikonstruksikan sebagai produk maupun sebagi proses pembelajaran. Sesuai dengan pemikiran David A. Kolb tentang experiental learning yang terdiri dari kompetisi afektif, persepsi simbolik, dan perilaku. Keterampilan lain yang diperoleh melalui outbound adalah mengambil resiko dalam batas kewajaran. Pengalaman di alam terbuka memungkinkan orang untuk mengembangkan keberaniannya dalam rangka mempertahankan kelangsungan kelompoknya sehingga dipaksa untuk bertindak berani dalam mengambil resiko (Ancok, 2002).

Alasan kenapa metode outbound digunakan antara lain (Ancok, 2002), 1. Metode ini sebagai sebuah simulasi kehidupan yang kompleks menjadi

sederhana

2. Metode ini menggunakan pendekataan metode belajar dari pengalaman

(experiential learning).


(40)

Dalam dunia pendidikan, pemilihan metode berkaitan langsung dengan usaha guru dalam menampilkan pengajaran yang sesuai dengan kondisi, sehingga pencapaian tujuan pembelajaran diperoleh secara optimal. Serta sebagi salah satu hal yang mendasar dan komponen bagi berhasilnya KBM (kegiatan belajar mengajar) yang sama pentingnya dengan komponen-komponen lain dalam keseluruhan proses pendidikan. Menurut Djamarah (dalam Sutikno 1995), metode memiliki kedudukan :

1. Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam KBM 2. Menyiasati perbedaan individual anak didik 3. Untuk mencapai tujuan pembelajaran

Bila ditinjau secara teliti, sebenarnya keunggulan suatu metode terletak pada beberapa faktor yang berpengaruh antara lain: tujuan, karakteristik siswa, situasi dan kondisi, kemampuan dan pribadi guru, serta sarana dan prasarana yang digunakan. (Basyirudin, Usman, 2002)

Cukup banyak metode pengajaran yang diterapkan di Indonesia yang masing-masing memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Metode outbound seperti yang dibahas dalam penelitian ini merujuk pada metode proses belajar dari pengalaman(experiental learning)atau learning by doing.

Saat ini, dalam dunia pendidikan institusional di Indonesia mulai muncul praktek-praktek metode pembelajaran yang berbeda-beda. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah munculnya Sekolah Alam Indonesia, dimana sekolah ini menekankan praktek dalam pembelajaran, sehingga proses kegiatan belajar mengajar tidak terpaku pada teori semata. Siswa dituntut untuk dapat menerapkan


(41)

teori yang telah didapat kedalam suatu praktek, sehingga siswa lebih paham teori dan alasan teori tersebut. Sekolah Alam Indonesia lebih mengedepankan

experiental learning dalam mendidik siswanya, yang paling konkret adalah outbound. Dalam hal ini siswa tidak hanya dihadapkan tantangan kemampuan intelegensi tapi juga fisik dan mental, dan diharapkan kemampuan tersebut bila terus dilatih akan menjadi sebuah pengalaman yang membekali dirinya dalam merngahadapi tantangan lebih nyata dalam persaingan di kehidupan sosial masyarakat (yayasan@sekolahrakyat.org)

Asti (2009) juga memandang bahwa metode outbound dilirik dalam dunia pendidikan dewasa ini di sekolah-sekolah yang sistem pendidikannya berbasis alam, dimana proses pengajaran dilakukan di alam terbuka. Bahkan di sekolah non-alam (umum) juga banyak yang menjadikan metode outbound sebagai variasi pembelajaran.

Untuk mendukung hal tersebut hendaknya dalam setiap metode belajar yang diberikan kepada setiap individu dalam proses pembelajarannya haruslah mengedepankan empat pilar seperti yang dikemukakan oleh Jaques Delors (1983) dalam pidatonya di UNESCO tentang pendidikan abad ke-21, yaitu Learnig to know ; Learning to do ; Learning to be ; Learning to life together. Sehingga pendidikan diharapkan dapat menyinergikan semangat kemajuan dan juga kekokohan karakter.

Dari uraian di atas, secara umum dapat digambarkan bahwa metode belajar yang menjadi tujuan adalah metode yang bukan saja menyangkut perkembangan


(42)

intelektual saja melainkan juga perkembangan karakter dengan memperhatikan keunikan setiap individu untuk mencapai hasil yang optimal.

2.2 Outbound

Setelah dijelaskan mengenai kepemimpinan, karakter kepemimpinan, hal yang mempengaruhi pembentukan karakter dan metode outbound sebagai pembentuk karakter, maka akan diuraikan tentang Outward Bound yang biasa disebut outbound yakni penyampaian materi kepada siswa melalui kegiatan di alam terbuka untuk merangsang pengembangan diri serta karakter kepemimpinan.

2.2.1. Pengertian Outbound

Inti dari Outward Bound program adalah “development by challenge” (perubahan berdasarkan pengalaman) seperti yang diungkapkan sang penggagas Kurt Hahn dari hasil filosopi, buah pikir, dan kegigihannya akan pengembangan program pendidikan yang cocok untuk generasi muda. Hahn menekankan bahwa outward bound sebagai training yang melibatkan pikiran yang diteruskan ke tubuh dengan berusaha memberikan pengalaman menantang kepada para pemuda dengan format pengajaran yang merangsang inner strength, karakter dan perubahan. Program yang diberikan meliputi kemampuan berorganisasi, rescue training, tantangan pisik, dan adventurer. Selintas medium pengajaran yang digunakan menitik beratkan pada fisik semata, tetapi dibalik itu sangat ber efek pada ranah psikologis dan sosial ( Neill 2004).


(43)

Berdasarkan pemikiran Hahn tersebut timbul berbagai macam penelitian yang dilakukan banyak pihak dengan maksud melihat sejauh mana hubungan pelatihan outward bound dengan perkembangan karakter.

Menurut Winarso (dalam Soebagio, 2002) mendefinisikan outbound adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta untuk meningkatkan pemahaman

(insight) konsep pembinaan perilaku dan kepemimpinan di alam terbuka secara sistematis, terencana, dan penuh kehati-hatian tanpa meninggalkan kemungkinan mengembangkan kemampuan mengambil resiko yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin melalui kegiatan kelompok.

Simamora (2001) mendefinisikan pelatihan alam terbuka sebagai pelatihan yang menggambarkan program-program pengembangan manajemen dan eksekutif yang berlangsung di alam terbuka meliputi pendakian gunung, pelayaran, berkano, arung jeram, sepeda gunung, dan lain-lain. Tujuan pelatihan alam terbuka bukanlah pengembangan keahlian-keahlian teknis, melainkan lebih pada pengembangan dan pengasahan keahlian-keahlian antar pribadi seperti keyakinan diri, pengembangan diri, kerja sama tim, penetapan tujuan dan kepercayaan.

Sedangkan Atmodiwirio (2002) yang mengutip artikel Republika 1998, mendefinisikan outbound adalah kegiatan belajar mandiri dalam arti seluas-luasnya mulai dari mengatasi rasa takut, ketrgantungan pada orang lain, sampai tidak percaya diri sehingga pada akhirnya menemukan jati dirinya, juga mau mendengar orang lain.


(44)

Pembinaan manajerial dan kepemimpinan di alam terbuka dapat dikonstruksikan sebagai produk maupun proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pemikiran teoritis.

Gardner (dalam Soebagio, 2002) mengemukakan adanya delapan unsur kecerdasan yang dapat diperoleh melalui belajar di alam terbuka (outbound), yaitu kecerdasan analitis, kecerdasan pola (pattern), kecerdasan matematika, kecerdasan musik, kecerdasan spatial, kecerdasan praktis, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan fisik.

Dalam penelitian yang dilakukan, Neill (1997) menemukan pengembangan diri yang dapat didapat melalui outbound yang dirangkumnya dalam life effectiveness yang meliputi domain pengembangan diri, sosial, dan lingkungan.

Keterampilan yang didapat melalui out bound adalah mengambil resiko dalam batas kewajaran. Pengalaman di alam terbuka memungkinkan seseorang untuk mengembangkan keberaniannya dalam upaya mempertahankan kelangsungan kelompoknya sehingga ”dipaksa” untuk bertindak berani dalam mengambil resiko. Juga peserta dilatih untuk bebas dari rasa ketergantungan pada batas-batas yang telah baku, konsep intelektual yang tidak terbatas kepada norma tertentu.

Berdasarkan substansinya dan berdasarkan teori Kolb serta Gardner tersebut, outbound yang dilakukan sebagai training mencakup pengembangan berbagai informasi kepada individu atau kelompok sehingga mereka mendapatkan berbagai informasi baru. Dengan demikian outbound training bisa didefinisikan


(45)

sebagai sekumpulan kegiatan yang bertujuan memperbaiki pengetahuan dan skill seseorang dalam waktu singkat dengan berdasar pada pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Ancok (2002) merujuk hasil penelitian De Potter tentang

quantum learning yang memasukkan unsur pelatihan alam terbuka dalam pendekatannya yang diyakini memberikan kontribusi positif bagi kesuksesan belajar peserta didik. Sehingga metode outbound tidak hanya digunakan dalam dunia pelatihan tetapi dalam dunia pendidikan, termasuk Sekolah Alam Indonesia yang telah menggunakan metode outbound sebagai media penanaman nilai-nilai kepemimpinan dalam diri siswa semenjak awal berdirinya sekitar tahun 1998.

2.2.2. Sejarah Outbound

Proses mencari pengalaman melalui kegiatan alam terbuka sudah ada sejak jaman Yunani kuno (Asti 2009). Kemudian pada tahun 1821 pendidikan melalui kegiatan alam terbuka mulai dilakukan dengan berdirinya Round Hill School. Secara sistematik, pendidikan melalui kegiatan outbound dimulai pada tahun 1941 di Inggris. Lembaga pendidikan outbound yang pertama ini dibangun oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hahn bekerja sama dengan seorang pedagang Inggris bernama Lawrence holt. Lembaga pendidikan yang terletak di Aberdovey, Wales diberi namaOutward Bound.

Pada saat itu, tujuan utama pendidikan ditujukan kepada pelaut muda untuk melatih fisik dan terutama mental, guna menghadapi ganasnya pelayaran di lautan Atlantik pada saat berkecamuknya Perang Dunia II. Dalam kegiatan


(46)

pendidikan tersebut, digunakan kegiatan mountaineering (mendaki gunung) dan petualangan laut sebagai medianya. Dalam masing-masing kegiatan disertakan tim penyelamat sebagai pendamping. Hahn beanggapan bahwa kegiatan bertualang semata-mata bertujuan menjadikan seseorang terampil berpetualang, melainkan sebagai wahana berlatih anak-anak muda menuju kedewasaan (Asti 2009). selain itu, pendidikan outbound juga bertujuan menumbuhkan kesadaran dikalangan kaum muda bahwa tindakan mereka membawa konsekuensi dan menumbuhkan rasa kebersamaan serta kasih sayang pada orang lain.

Selanjutnya model ini banyak digunakan oleh angkatan bersenjata untuk kepentingan mempersiapkan prajurit yang tangguh untuk mengatasi kesulitan hidup baik dalam situasi aman maupun dalam situasi perang.

Mengingat media, metode, dan pendekatan yang digunakan dalam Outward Bound, banyak ahli pendidikan yang mengklasifikasikan bentuk pelatihan ini sebgai adventure education atau experiential learning. Sukses Outward Bound dalam menerapkan sistem pendidikannya membuat banyak lembaga serupa berkembang dan ditiru dibanyak tempat bahkan sampai dikenalkan di luar Inggris. Setelah era Perang dunia II, lembaga outward bound banyak didirikan tidak hanya di Inggris melainkan dinegara lain seperti Eropa, Afrika, Asia, dan Australia.

Model pelatihan ini masuk ke Amerika sekitar tahun 1961, dengan nama

Collorado Outward Bound School (COBS) yang berbentuk yayasan nirlaba atau foundation, para instrukturnya mendapatkan gaji dari para orang kaya yang dermawan. Outward bound masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990, dengan nama


(47)

Outward bound Indonesia yang berlokasi di Jatiluhur, Jawa Barat. (jaelani, 2003). Dalam perkembangannya di Indonesia, lembaga pendidikan seperti ini banyak didirikan dengan berbagai level profesionalisme dan kelengkapan program serta peralatan.

2.2.3 Metodelogi Pelatihan Outbound

Berdasarkan hasil penelitian dari John Dewey dan Kurt Lewin, David A Kolb seorang teoritikus pendidikan Amerika pada tahun 1984, percaya bahwa belajar adalah sebuah proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Teori ini menyajikan sebuah siklus model belajar sebagai berikut :

Keterangan :

1. Melakukan pengalaman konkret (DO) 2. Refleksi dari pengamatan (Observe) 3. Konseptualisasi abstrak (Think) 4. Percobaan aktif (Plan)

OBSERVE

PLAN DO


(48)

Empat tahapan siklus belajar Kolb menunjukkan bagaimana pengalaman diterjemahkan melalui refleksi kedalam konsep, yang pada gilirannya digunakan sebagai pedoman untuk percobaan aktif dalam pilihan pengalaman-pengalaman baru. Pada tahap pertama, pelajar melaksanakan sebuah aktivitas yang langsung dirasakan dengan terjun kelapangan. Pada tahap kedua, pelajar secara sadar merefleksikan kembali pengalamannya (perenungan Pengalaman). Pada tahap ketiga, pelajar mencoba mengkonseptualisasikan sebuah teori atau model dari apa yang diamati. Pada tahap keempat, pelajar berusaha untuk merencanakan bagaimana menguji sebuah teori atau model dan merencanakan pengalaman selanjutnya (experential-learning.com)

Hal senada juga dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan dan pelatihan, salah satunya adalah menurut Boyett dan Boyett ( dalam Ancok, 2002) bahwa proses belajar yang efektif memerlukan tahapan berikut ini :

1. Pembentukan Pengalaman(Experience)

Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau permainan bersama orang lain. Kegiatan atau permainan tersebut adalah salah satu bentuk pemberian pengalaman langsung kepada peserta pelatihan. Pengalaman langsung tersebut adalah sebuah wahana untuk menimbulkan pengalaman intelektual, pengalaman emosional, dan pengalaman yang bersifat fisikal. 2. Perenungan Pengalaman(Reflect)

Kegiatan refleksi bertujuan memproses pengalaman yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Setiap peserta pada tahapan ini melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang dirasakan pada saat kegiatan berlangsung.


(49)

Apa yang dirasakan secara intelektual, emosional, dan fisikal. Dalam tahapan ini fasilitator merangsang para peserta untuk menyampaikan pengalaman pribadi masing-masing setelah terlibat didalam kegiatan tahapan pertama. 3. Pembentukan Konsep(Form Concept)

Pada tahapan ini peserta mencari makna dari pengalaman intelektual, emosional, dan fisikal yang diperoleh dari keterlibatan dalam kegiatan.

4. Pengujian konsep(Test Concept)

Pada tahapan ini peserta diajak untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauh mana konsep yang telah terbentuk dalam tahapan tiga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun bekerja dikantor atau dimana saja.

Sekolah alam dalam hal ini mengimplementasikan alur skema Kolb dengan memberikan pengalaman nyata kepada para siswa misalnya dengan melakukan kegiatan yang biasa disebut outing yaitu melakukan perjalanan yang sesuai dengan tema pembelajaran (buku panduan masuk Sekolah Alam Indonesia). Outing dilaksanakan dengan terlebih dahulu siswa aktif mencari tahu hal seputar tema. Melalui kegiatan tersebut, siswa diharapkan mempunyai pemahaman yang kemudian dikuatkan dengan keadaan langsung yang ditemuinya. Setelah mengalami secara langsung siswa dirangsang untuk dapat menginternalisasi pengalaman yang didapat dengan refleksi kegiatan yang diberikan oleh guru. Pada refleksi ini setiap siswa mengungkapkan apa yang dirasa dan didapatnya selama kegiatan dan guru memberikan umpan balik untuk menambah pemahaman siswa. Dalam kegiatan pembelajaran lainnya juga


(50)

diterapkan hal yang sama sehingga dapat diketahui sejauh mana keefektifan suatu proses pembelajaran.

2.2.4 Kriteria Outbound

Menilik dari sejarahnya, outbound sebenarnya adalah kegiatan pelatihan alam terbuka yang memerlukan ketahanan pisik yang besar. Didalamnya peserta menjalani petualangan (adventure), tidak hanya sekedar permainan (games) yang berat dan penuh resiko. Didalam outbound, peserta benar-benar dididik untuk menjadi manusia tangguh didalam menghadapi kesulitan hidup.

Karena itulah pada awal pengembangannya, kegiatan outbound banyak dipakai oleh lembaga angkatan bersenjata untuk kepentingan mempersiapkan para prajurit yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup baik dalam keadaan aman maupun situasi perang. Pada perkembangannya, outbound memiliki perluasan makna tidak hanya menunjuk pada suatu pelatihan dialam terbuka dengan tantangan dan beresiko tinggi, tapi juga menunjuk pada suatu aktifitas permainan yang ringan dan beresiko kecil (soft games) yang diadakan di luar ruangan atau alam terbuka(outdoor) (Asti 2009).

Dengan alasan tersebut, banyak praktisi outbound yang mengklasifikasi atau membagi kegiatan outbound dalam dua katagori, yaitureal outbound danfun outbound

Real outbound menunjuk pada kegiatan menantang yang membutuhkan ketahanan pisik yang besar. Para peserta menjalani petualangan (adventure) yang mendebarkan dan kegiatan yang penuh tantangan seperti, jungle survival, mendaki


(51)

gunung, arung jeram, panjat tebing atau dinding, kegiatan high rope, dan sebagainya dalam waktu yang sesungguhnya sekitar 28 hari.

Fun outbound menunjuk pada kegiatan di alam terbuka yang tidak menekankan unsur pisik terlalu besar. Peserta terlibat dalam permainan (games)

ringan, menyenangkan, beresiko kecil, tapi banyak mengandung manfaat untuk membangun diri, diantaranya sebagai sarana meningkatkan keterampilan sosial seperti membangun karakter, sifat-sifat kepemimpinan, dan kemampuan kerja sama dalam kelompok.

Permainan dalam fun outbound didesain sedemikian rupa sehingga memiliki makna yang direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya kegiatan tersebut terkait dengan membuat perencanaan, mengatur strategi, efisiensi waktu, pendelegasian atau pembagian tugas, serta kejujuran dan tanggung jawab sosial.

Baik real outbund ataupun fun outbound sama-sama memiliki manfaat yang besar terhadap pengembangan diri selama kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik.

Dalam penelitian ini jenis outbound yang diggunakan adalah fun outbound. Yakni permaian yang didesain untuk melatih karakter kepemimpinan. Dalam permainan tersebut, siswa diharapkan mampu mengambil pelajaran yang diberikan melalui permainan yang merupakan analogi dari kehidupan sesungguhnya.


(52)

Sebagai salah satu contoh permainan yang akan diberikan adalah

BLIND LEAD

Tujuan permainan :

Kerja sama tim, kekompakan, melatih kedisiplinan, mengatur strategi, kepemimpinan.

Alat yang digunakan :

Kain penutup mata, tali rafia untuk membuat jalur lintasan yang akan dilalui peserta, beberapa rintangan atau penghalang untuk menambah tingkat kesulitan.

Instruksi :

Peserta diminta berpindah dari titik awal ke titik akhir melalui jalur, dan waktu yang sudah ditentukan. Anggota kelompok menggunakan penutup mata kecuali satu orang yang ditunjuk sebagai pemimpin. Anggota kelompok yang ditutup matanya berjalan dengan berpegangan, pemimpin kelompok berjalan dibelakang mengarahkan anggota kelompoknya.

Inti dari permainan ini mengandung banyak interpretasi tergantung fasilitator yang akan mengangkat apa yang akan dijadikan topik utama, dalam hal ini kepemimpinan. Tugas fasilitator adalah menjelaskan instruksi dari permainan yang akan dilaksanakan. Selama proses permainan berlangsung, fasilitator tetap menjaga keselamatan peserta dengan berjaga disekitar barisan. Setelah permainan berakhir fasilitator mengajak peserta untuk membuat lingkaran dan melakukan refleksi kegiatan. Dalam kegiatan refleksi, fasilitator memancing peserta untuk mengungkapkan pendapat tentang permainan, bagaimana perasaan, suka duka,


(53)

dan sebagainya. Fasilitator merangkum pendapat masing-masing peserta dan membuat batasan topik yakni tentang kepemimpinan.

Dari contoh permainan di atas, secara tidak langsung peserta diajak untuk berpikir, membuat strategi dan sebagainya yang membutuhkan kemampuan kognisinya. Dari area afektifnya, peserta secara tidak sadar akan belajar bagaimana menghormati orang lain, tidak menang sendiri dan menghargai perasaan orang lain diluar dirinya. Sedangkan saat melakukan permainan dengan berpindah sambil mata ditutup, peserta melakukan gerakan-gerakan psikomotor. Dari permainan tersebut dapat diamati bahwa tiga area psikologis yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat beraktivitas sekaligus dalam satu kegiatan.

2.3 Kerangka Teori

Dalam kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter kepemimpinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.


(54)

Karakter kepemimpinan merupakan variabel yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berdasarkan kerangka teori diatas, terdapat 10 faktor baik internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi terbentuknya karakter kepemimpinan.

Dalam hal ini peneliti memfokuskan kajian pada salah satu faktor yaitu situasi khusus dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai dalam hal ini melalui kegiatan outbound. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter kepemimpinan tidak dapat diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, peneliti akan


(55)

Dikarenakan waktu penelitian yang singkat dan dan media yang terbatas, maka tidak semua faktor yang mempengaruhi karakter kepemimpinan dapat diteliti. Oleh karena itu peneliti membatasi faktor-faktor tersebut kedalam kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian.

Berdasarkan kerangka teori penelitian diatas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk :

1. Mengetahui pengaruh metode outbound terhadap pembentukan karakter kepemimpinan

2. Membuktikan apakah variabel-variabel lain tersebut benar-benar mempengaruhi karakter kepemimpinan

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah Hipotesis mayor :

H1 : Ada pengaruh yang signifikan metode outbound terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H2 : Ada pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel lain terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia Hipotesis minor :

H3 : Ada pengaruh yang signifikan hereditas terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H4 : Ada pengaruh yang signifikan pengaruh teman sebaya terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia


(56)

H5 : Ada pengaruh yang signifikan lingkungan fisik dan sosial terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia H6 : Ada pengaruh yang signifikan media komunikasi terhadap pembentukan

karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H7 : Ada pengaruh yang signifikan usia terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H8 : Ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H9 : Ada pengaruh yang signifikan kelas terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia

H10 : Ada pengaruh yang signifikan suku terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia.

H11 : Ada pengaruh yang signifikan lama di sekolah alam terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia.


(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun penjelasan mengenai metode dimulai dengan deskripsi mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data, serta metode analisis data.

Pada penelitian ini, yang hendak diteliti adalah pengaruh metode outbound dalam pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah pendekatan kuantitatif, dimana temuan penelitian merupakan hasil kesimpulan statistik beserta analisisnya.

3.1 Populasi dan Sampel 3.1.1 Populasi

Yang menjadi target populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Alam Indonesia di Ciganjur, Jakarta Selatan yang berjumlah 415 orang ( dokumen SAI 2010) yang terdiri dari tiga tingkatan yakni Kelompok Bermain, Sekolah Dasar , dan Sekolah Lanjutan. Sekolah Alam Indonesia dipilih sebagai tempat penelitian karena mempunyai sistem pendidikan yang unik dan terintegrasi, yaitu sistem pendidikan yang menggunakan metode belajar yang dilakukan dengan permainan sehingga siswa tidak merasa sedang belajar dengan alam sebagai kelas sehingga belajar tidak merasa bosan, capek, atau takut karena pendekatan yang


(58)

digunakan. Karena keterbatasan waktu penelitian, maka sampelnya saja yang akan menjadi objek penelitian.

3.1.2 Sampel dan teknik sampling

Adapun besar sampel ditetapkan sebanyak 130 orang. Teknik pengambilan sampelnya adalah probability sampling. Karakteristik sampel yang hendak diteliti adalah siswa yang sudah mengikuti outbound minimal lima tahun.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya

Dalam penelitian ini variabel yang menjadi fokus pertanyaan adalah karakter kepemimpinan, yang selanjutnya disebut sebagai variabel terikat (dependent variabel / DV). Sedangkan variabel yang diasumsikan dapat mempengaruhinya dalam penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter kepemimpinan yaitu :

1. Heredity (keturunan)

2. Early Childhood Experience (pengalaman awal masa kanak-kanak)

3. Modeling by important adults and older youth (pemodelan oleh orang dewasa berpengaruh dan orang yang lebih tua)

4. Peer influence (pengaruh teman sebaya)

5. The general physical and social environment (lingkungan fisik dan sosial umum)


(59)

7. What is taught in the schools and other institutions (apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga lainnya)

8. Outbound Specific situations and roles that elicit corresponding behavior. (situasi spesifik dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai).

yang selanjutnya disebut sebagai variabel bebas (independent variabel / IV).

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai variabel-variabel tersebut. Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut,

3.2.1. Definisi Operasional

1. Karakter Kepemimpinan adalah skor yang didapat dari responden melalui instrumen mengenai perilaku yang tampak dari seseorang yang berhubungan dengan ciri-ciri seorang pemimpin yakni memiliki kekuatan, stabilitas emosi, kemampuan tentang relasi insani, kejujuran, objektif, dorongan pribadi, keterampilan berkomunikasi, kemampuan mengajar, keterampilan sosial, dan kecakapan teknis atau kecakapan manajerial

2. Heredity (keturunan) adalah skor yang didapat dari pertanyaan tentang jabatan orang tua responden

3.Early Childhood Experience (pengalaman awal masa kanak-kanak) adalah skor yang didapat dari kesempatan memimpin yang diberikan dirumah.

4. Modeling by important adults and older youth (pemodelan oleh orang dewasa berpengaruh dan orang yang lebih tua)


(60)

5. Peer influence (pengaruh teman sebaya) adalah skor yang didapat dari kecenderungan responden memilih teman bicara

6. The general physical and social environment (lingkungan fisik dan sosial umum) skor yang didapat dari klingkungan tempat tinggal responden.

7. The communications media (media komunikasi) skor yang didapat dari kecenderungan responden mendapatkan informasi dan komunikasi dalam kesehariannya

8. What is taught in the schools and other institutions (apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga lainnya) Outbound Specific situations and roles that elicit corresponding behavior. (situasi spesifik dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai). Adalah hasil pengamatan yang dilakukan terhadap metode yang diberikan sekolah kepada para siswa termasuk metode outbound yaitu sekumpulan kegiatan yang bertujuan untuk mengaktualisasikan suatu potensi seseorang yang melibatkan ranah afeksi, kognisi, dan psikomotorik seseorang terutama dalam pembentukan karakter dengan metode belajar melalui pengalaman yang memadukan antara bermain dan belajar yang diberikan peneliti dengan bantuan tim.

3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan 2 macam kuisioner yang dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Kuisioner dipilih karena sifatnya yang efisien, dimana kuisioner dapat diberikan pada banyak


(61)

responden dalam waktu singkat. Kuisioner yang pertama adalah kuisioner mengenai data pribadi yang di dalamnya terdiri dari biodata responden serta beberapa pertanyaan pendukung penelitian. Kedua adalah kuisioner karakter kepemimpinan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh George R. Terry yakni kuat jasmani dan rohani, stabilitas emosi, kemampuan tentang relasi insani, kejujuran, objektif, dorongan pribadi, keterampilan berkomunikasi, kemampuan mengajar, keterampilan sosial, dan kecakapan teknis atau kecakapan manajerial.

Pada instrument karakter leadership, peneliti melakukan uji validitas konstruk instrument dengan CFA(Confirmatory factor Analysis)untuk pengujian validitas instrument. Adapun logika dari CFA (Umar, 2010) :

1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut factor, sedangkan pengukuran terhadap factor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.

2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu factor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu factor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional.

3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ -matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan∑ - S = 0.


(1)

7. saat ada yang berbicara walaupun saya ingin menyela tapi tidak saya lakukan

No PERNYATAAN SS S TS STS

9. saya dapat memaafkan kesalahan orang lain

10. pendapat teman saya tidak pernah saya sela meskipun tidak sesuai dengan jalan pikiran saya

11. salah seorang teman membuat tim kami kalah dalam pertandingan hal itu tidak bisa diamaafkan

12.

saya dapat memilih orang yang pantas untuk melakukan tugas kelompok sesuai dengan kemampuan yang dimiliki orang tersebut

13. saya hanya akan mengerjakan pekerjaan yang ringan dan singkat saja

14. dalam keadaan apapun saya berusaha untuk menepati janji yag sudah disepakati

15. saya berusaha bertindak sesuai dengan apa yang saya ucapkan

16.

saya yakin setiap orang memiliki hak yang berbda-beda sehingga perlakuannya berbeda pula

17. amanah yang diberikan kepada saya adalah sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan

18. dalam setiap permasalahan yang ada saya selalu mencari sebab kenapa hal tersebut dapat terjadi

19.

dikarenakan menjadi pemipin kelompok didasarkan oleh keinginan pribadi maka saya berusaha memberikan yang terbaik untuk kelompok saya

20. saya menjadikan kritik sebagai sarana perbaikan diri

21. setiap masukan yang ada saya olah dan jadikan sebagai perbaikan dalam memimpin kelompok

22. dengan menyimak sesaat, saya dapat mengerti maksud pembicaraan orang lain

23. saya dapat menyampaikan pendapat dengan bahasa yang mudah dimengerti orang lain


(2)

No PERNYATAAN SS S TS STS 27. saya cepat menangkap maksud dari pembicaraan orang

yang sedang berbicara didepan saya 28.

setelah memperoleh pengarahan dan berhasil, anggota kelompok saya semakin mendukung saya sebagai pemimpin

29. saya mengamati setiap anggota kelompok selalu menjalankan arahan saya

30. setiap anggota kelompok boleh mengetahui ilmu yang saya miliki untuk kepentingan kelompok

31. saya selalu memberi salam orang yang bertemu dengan saya

32. menurut orang lain saya orang yang tidak pernah susah 33. saya dapat membuat rencana kerja dari tugas yang saya

jalankan

34. sebelum mengerjakan tugas, saya merencanakan apa yg akan saya lakukan

35. saat mendapatkan yugas yang saya anggap sulit, lebih baik saya menyerah saja

36. saat membagi tugas dalam tim saya selalu memilih orang yang tepat sesuai dengan kemampuannya

37. saya yakin setiap kejadian pasti ada sebabnya

38. setiap keputusan yang saya buat selalu berdasarkan alasan yang dapat diterima anggota kelompok

39. dalam segala kondisi saya adalah orang yang dapat diandalkan

40. anggota tim saya harus bisa menerima tugas yang saya berikan walau tidak sesuai dengan kemampuan mereka 41. saya memandang setiap anggota kelompok punya tangung

jawab yang sama

42. dalam kegiatan sekolah yang membutuhkan banyak panitia, saya dapat memilih orang sesuai dengan kemampuannya 43.

saya berani memutuskan kegiatan harus tetap berjalan dengan rencana pengganti karena rencana awal tidak dapat dilaksanakan

44. saya berusaha membuat keputusan berdasarkan alasan yang jelas


(3)

No PERNYATAAN SS S TS STS 45. kesepakatan yang sudah dibuat boleh saja dilanggar

46. saya pernah mengirimkan tulisan saya ke majalah sekolah 47. saya berusaha memberikan ilmu yang saya miliki untuk

kepentingan anggota kelompok

48. saya mampu menguasai kegiatan sehingga sesuai dengan rencana

49. ilmu yang saya miliki tidak boleh diketahui orang lain 50. setiap orang mengerti dengan apa yang sedang saya

bicarakan

51. saya sangat ingin menjadi seorang pemimpin

52.

saya memiliki rencana pengganti bila kegiatan yang telah disepakati tidak dapat berjalan karena keadaan tidak memungkinkan

53. saya dapat menjalankan kegiatan sesuai rencana yang sudah dibuat

54. saya selalu terbuka dari setiap kritik yang ditujukan kepada saya

55. setiap kritik yang ada saya hadapi dengan kepala dingin 56. saya dapat menyelesaikan pekerjaan saya meski sedang

bermasalah dengan teman

57. saya akan mencari penyebab kegagalan yang terjadi untuk perbaikan

58. saya akan terus berusaha mengerjakan tugas yang diberikan pada saya meski banyak kendala (rintangan)

59. meskipun banyak permasalahan yang saya hadapi, tidak mempengaruhi kesehatan saya

60. saya dapat menggunakan waktu seefesien mungkin untuk mengerjakan tugas yang diberikan kepada saya

61. saya dapat menggunakan sumber daya yang ada untuk kelancaran kegiatan yang saya rencanakan


(4)

(5)

(6)