Menyebutkan Nama Tertuduh 20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

Bab 8 Menyebutkan Nama Tertuduh

Hanya beberapa isu tentang komisi kebenaran yang menimbulkan sedemikian banyak kontroversi, dan salah satunya adalah apakah sebuah komisi harus mengumumkan nama-nama orang yang ditemukannya bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pertanyaan ini telah diperdebatkan dengan sengit oleh banyak komisi kebenaran, dan tetap menjadi sumber ketegangan dalam pembentukan komisi-komisi baru. Pertikaian ini timbul dari dua prinsip yang bertentangan, yang masing-masing mendapat pendukungnya dari kalangan pembela hak asasi manusia. Yang pertama adalah bahwa prosedur hukum due process mensyaratkan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan dapat membela dirinya sebelum dinyatakan bersalah. Prosedur ini dilanggar bila sebuah komisi, yang bukan merupakan badan peradilan dan tidak memiliki prosedur ketat yang sama, menyebutkan nama-nama orang yang dituduh melakukan kejahatan. Prinsip yang kedua adalah bahwa mengisahkan seluruh kebenaran mencakup pula menyebutkan nama orang-orang yang bertanggung-jawab untuk kejahatan hak asasi manusia bila ada bukti jelas kesalahan mereka. Menyebutkan nama mereka adalah bagian dari proses pengisahan kebenaran, dan amat penting terutama bila badan peradilan tidak berfungsi cukup baik sehingga dapat diharapkan terjadi pengadilan yang adil. Mandat yang diberikan kepada hampir semua komisi kebenaran tidak memberikan jawaban pada pertanyaan ini, tidak melarang dan juga tidak mewajibkan mereka untuk menyebutkan nama pelaku; keputusan diserahkan kepada komisi itu sendiri. Sementara hampir semua komisi kebenaran berhak untuk menyebutkan nama-nama pelaku, hanya beberapa yang melakukannya: El Salvador, Chad, komisi kedua Kongres Nasional Afrika, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Di balik hampir semua komisi kebenaran terdapat perdebatan, pertentangan dan ketidaksepakatan tentang isu ini antar-sesama komisioner, antara komisioner dengan para staf, atau antara komisi dengan pemerintah yang membentuknya. Belakangan ini, dengan semakin dipahaminya komisi kebenaran, mandat komisi baru cenderung untuk secara eksplisit menyebutkan kekuasaannya. Sebagai contoh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan diberi mandat untuk melakukan penyelidikan terhadap “identitas semua orang, badan, institusi dan organisasi” yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia dan untuk “mempersiapkan laporan lengkap yang menunjukkan aktivitas dan temuannya”, i yang dianggap mencakup penyebutan nama-nama pelaku yang ditemukan. Sebaliknya, mandat komisi Guatemala menyatakan bahwa ia tidak bisa “menyatakan bahwa seseorang bertanggung-jawab, dalam kerja, saran dan laporannya”. Stipulasi atau ketentuan ini menimbulkan protes keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan korban yang melihat bahwa hal ini sangat membatasi kerja komisi. Bila diberikan kepada komisi itu sendiri, keputusan untuk menyebutkan nama dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak hanya terkait dengan prosedur hukum, sebagaimana ditunjukkan contoh-contoh di bawah. Dalam beberapa kasus, ada tekanan politik eksplisit atau implisit terhadap sebuah komisi untuk tidak mencantumkan nama dalam laporannya. Beberapa komisi terutama mencemaskan risiko keamanan dari menyebutkan nama: entah bagi saksi yang memberikan nama tersebut, anggota atau staf komisi, atau terhadap kemungkinan pembalasan dalam bentuk pengadilan rakyat bagi mereka yang disebut namanya, terutama bila tidak ada kemungkinan pencapaian keadilan melalui pengadilan. Komisioner harus pula mengukur kualitas informasi mereka, kedalaman penyelidikan mereka dan sumber-sumber dari mana mereka menarik kesimpulan, dan apakah ada risiko bahwa kesimpulan mereka tidak tepat. Komisi-komisi kebenaran yang mengidentifikasikan pelaku dalam laporannya menjelaskan bahwa laporan komisi bukanlah keputusan legal dan tidak memastikan bahwa seseorang bersalah atas nama hukum. Namun, meskipun ada penjelasan tersebut, mereka yang disebut namanya dalam laporan komisi kebenaran dianggap pasti bersalah, titik; perbedaan antara kejahatan secara legal dan temuan komisi mengenai tanggung jawab terhadap suatu kejahatan tidak dipahami oleh hampir semua orang. Akibatnya, komisi di masa lalu berusaha keras untuk mengatasi masalah apakah dan bagaimana mempergunakan temuan mereka mengenai tanggung jawab individual, standar pembuktian dan prosedur hukum apa yang dipergunakan, dan apakah menyebutkan nama dalam masa transisi politik yang rentan bisa menimbulkan risiko yang besar. Keputusan Komisi-Komisi di Masa Lalu Komisi pertama yang berkutat dengan masalah ini adalah Komisi Nasional Orang Hilang di Argentina pada tahun 1983-1984. Lebih dari seribu pelaku disebutkan namanya dalam kesaksian yang diberikan kepada komisi ini, terutama oleh para saksi penculikan dan mereka yang selamat dari kamp penahanan. Namun mandat komisi menyebutkan bahwa “Komisi tidak bisa memberikan keputusan tentang tindakan-tindakan dan kondisi yang merupakan bagian dari ranah badan peradilan”. ii Sebagai akibatnya, beberapa anggota komisi menyatakan bahwa mereka tidak memiliki pilihan untuk mengumumkan nama-nama pelaku tersebut. “Menurut keputusan presiden tentang pembentukan komisi ini, kami tidak memiliki kekuasaan untuk membuat pernyataan formal tentang pertanggungjawaban individual,” kata komisioner Eduardo Rabossi. “Kami hanya berhak untuk menyelidiki nasib orang yang dihilangkan dan ke dalam prosedur atau sistem penghilangan. Kami harus meninggalkan penyelidikan lebih lanjut kepada badan peradilan.” iii Orang lainnya mengisahkan hal ini secara lebih kompleks. Keputusan akhir untuk tidak mengumumkan nama-nama tersebut menjadi perdebatan sengit di dalam komisi. Senator Graciela Fernandez Meijide, pada waktu itu menjabat sebagai direktur staf senior dalam komisi dan kini tokoh politik penting Argentina, hadir dalam setiap pertemuan para komisioner, meskipun ia tidak memiliki hak suara. Putra Meijide sendiri hilang dalam perang saudara, dan fotonya yang sedang tersenyum diletakkan di meja dalam kantor ibunya, ketika saya bertemu dengannya. Meijide berperan aktif dalam perdebatan mengenai penyebutan nama tersebut, dan tidak setuju dengan keputusan akhir para komisioner. Komisi tidak memiliki kekuasaan untuk memanggil para pejabat untuk memberikan pengakuan, tidak pula untuk mengadakan penyelidikan mendalam tentang kasus-kasus tertentu. Namun Meijide menekankan pada waktu itu, seperti juga sekarang, bahwa terdapat banyak informasi objektif dari sumber-sumber resmi yang bisa dan seharusnya diumumkan. iv Melalui kesaksian dari lebih dari 600 orang yang selamat dari kamp penahanan, dan kunjungan langsung ke tempat-tempat tersebut yang membuktikan keberadaannya, komisi mendapatkan bukti kuat tentang keberadaan 340 tempat penyiksaan. Tidaklah sukar untuk mengumpulkan catatan-catatan resmi tentang komando militer tiap-tiap daerah, yang diterbitkan di surat kabar setiap akhir tahun. Terdapat struktur hierarkis dan geografis yang ketat dalam angkatan bersenjata Argentina, sehingga dapat diasumsikan bahwa mereka yang menjadi komandan di daerah tertentu pada akhirnya bertanggung-jawab terhadap pelanggaran yang terjadi di daerahnya. Meijide menyatakan bahwa seharusnya nama-nama tersebut diumumkan, dengan demikian paling tidak memberikan sanksi moral bagi para pelanggar tersebut. “Pembicaraan tersebut berjalan dengan alot, berlangsung selama berjam-jam; dan pada akhirnya saya kalah,” kata Meijide tentang perdebatan tersebut. “Tetapi, sementara saya mengakui kekalahan saya, saya mengatakan bahwa semua orang tahu bahwa saya pasti akan kalah, meskipun benar.” Tidak semua komisioner menentang pengumuman nama-nama pelaku pelanggaran, dan keputusan akhir diambil dengan pemungutan suara. Komisi tidak mengambil posisi pada pertanggungjawaban orang-orang tertentu untuk kejahatan tertentu, namun dalam laporan tetap terdapat nama orang-orang yang dituduh sebagai pelaku, dalam paparan kesaksian korban dan saksi yang banyak dikutip dalam laporan tersebut. “Kami memutuskan bahwa bila terdapat nama dalam kutipan tertentu, kami tidak akan menghapusnya. Namun kami tidak akan mengumumkan seluruh nama yang ada,” kata komisioner Rabossi. Sebagai contoh, dalam kutipan berikut ini, seorang korban mengungkapkan kesaksiannya, Keesokan harinya saya dipukuli lagi oleh beberapa orang. Saya mengenali suara Inspektur Kepala Roselli … dan saya juga bisa mengenali suara penasihat Kepala Polisi, seorang kolonel yang juga memukuli saya …. Pada dini hari tanggal 16 saya dibawa dari toilet oleh perwira yang bertugas, Francisco Gontero, yang dari jarak empat atau lima meter, mengokang senjata kaliber-45-nya, dan menembakkan tiga peluru, yang salah satunya menembus kaki kanan saya di lutut. v Seorang lain memberikan kesaksian demikian, Kepala saya ditutupi dan kemudian saya disiksa, dan lalu dipindahkan ke mess perwira Resimen Infanteri 9, di mana mereka melakukan simulasi eksekusi dan juga menyiksa orang. Salah satu pengunjung yang saya lihat sendiri, bahkan menginterogasi saya, adalah komandan Brigade 7, Jenderal Cristino Nicolaides. Seorang pengunjung lain adalah komandan Korps Angkatan Darat Kedua pada waktu itu, Jenderal Leopoldo Fortunato Galtieri, pada pertengahan bulan November 1976. vi Hampir semua tahanan ditutup matanya selama masa penahanan mereka, dan tidak bisa melihat atau mengingat suara penyiksa mereka, dan banyak kutipan yang memberikan gambaran jumlah penyiksa yang ada saat itu, atau nama yang digunakan untuk memanggil sesama penyiksa. Dalam catatan pendahuluan pada awal laporannya, komisi berusaha untuk menghindari implikasi bahwa orang-orang yang disebutkan dalam kesaksian tersebut pasti bersalah, dengan menyatakan, “Berkaitan dengan nama orang yang disebutkan di sini dalam hubungan dengan peran yang mereka lakukan, atau dimuat dalam transkrip pernyataan yang menuduhkan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa yang memiliki konsekuensi legal, Komisi Nasional tidak berusaha memastikan tanggung jawab mereka dalam kasus tersebut. Komisi tidak memiliki kompetensi dalam hal ini, karena otoritas untuk melakukan hal ini dimiliki oleh badan peradilan, sesuai dengan statuta dan konstitusi Argentina”. vii Sementara itu, komisi mencantumkan daftarnya tentang orang-orang yang terlibat pelanggaran dalam laporan rahasianya kepada presiden. Segera setelah laporan komisi kebenaran diumumkan, seseorang dari dalam komisi membocorkan daftar lengkap pelaku kepada pers. “Sebanyak 1.351 Orang Bersalah”, demikian headline yang mengejutkan tersebut, dan masing-masing dari 1.351 nama pemimpin militer, sipil dan agama tersebut dimuat dengan posisi atau jabatannya. viii Daftar ini tidak menimbulkan dampak konkret bagi sebagian terbesar dari 1.351 nama tersebut kecuali beberapa yang diadili, namun beberapa mantan penyiksa atau perwira senior dalam rezim militer sering kali dikenal di publik, kadang-kadang oleh orang yang mereka siksa, dan mereka hidup dalam masyarakat yang tidak akan memaafkan mereka. Sebagaimana dijelaskan pengacara hak asasi manusia Juan Méndez lebih dari dua belas tahun setelah berakhirnya pemerintahan militer, “Ratusan penyiksa terbebas dari pengadilan, bahkan tindakan sipil untuk mendapatkan ganti rugi. Namun banyak dari mereka dikenali oleh masyarakat, dan sementara negara tidak menganggap mereka bersalah demi hukum dan impunitas, masyarakat sering kali menunjukkan bahwa kejahatan mereka tidak dilupakan. Bila mereka berada di jalan atau tempat umum, Videla, Massera, Camps dan lain-lainnya, mereka sering kali mendapatkan tindakan pembalasan yang spontan, meskipun tanpa kekerasan: pelayan menolak melayani mereka, orang-orang menjauhi mereka, bahkan beberapa mengabaikan pengawal mereka dan menunjukkan pandangan sebagian besar warga Argentina tentang mereka.” ix Menurut New York Times pada tahun 1997, purnawirawan kapten angkatan laut Alfredo Astiz, yang terkenal karena tindakan brutal dan wajahnya yang tampan, “mengalami puluhan kali serangan belakangan ini oleh orang-orang yang mengatakan bahwa ia menyiksa mereka atau kerabatnya”. Namun artikel yang sama juga menjelaskan bahwa banyak pelaku yang kini “tidak takut untuk berjalan-jalan, karena hanya sedikit orang yang mengenali mereka”. x Di Cili, komisi juga memutuskan untuk tidak memuat nama pelaku dalam laporan akhirnya. Para komisioner Cili menggambarkan keputusan ini sebagai berdasar pada kehati-hatian dan kurangnya penyelidikan terhadap masing-masing kasus. Sebagaimana di Argentina, keputusan ini juga mendapatkan ketidaksetujuan dari dalam komisi, dari mereka yang memahami kasus-kasus tersebut dengan baik. Mandat komisi Cili dalam hal ini lebih jelas daripada pendahulunya di Argentina, dengan menyatakan bahwa komisi tidak boleh “menjalankan tugas badan peradilan yang merupakan bagian pengadilan. … Dengan demikian, ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil posisi apakah orang tertentu bertanggung-jawab secara hukum untuk hal-hal tertentu”. xi Asisten presiden yang merancang mandat tersebut untuk Presiden Aylwin, Gisela von Muhlenbrok, memberi tahu saya bahwa tujuannya adalah untuk melarang menyebutkan nama para pelaku. xii Namun, komisi tersebut menganggap bahwa mandat tersebut berarti mereka tidak dilarang atau diwajibkan menyebutkan nama pelaku, selama keputusan tentang kesalahan demi hukum ditinggalkan kepada badan pengadilan, namun pertanyaan ini baru mulai dijawab pada bulan keenam dari sembilan bulan masa kerjanya. “Pertanyaan yang diberikan para komisioner kepada saya,” kata pimpinan staf waktu itu, Jorge Correa, “adalah, ‘Apakah kita punya cukup informasi untuk mengumumkan bahwa si Anu adalah pelaku tindakan tertentu?’ Pertanyaan itu adalah argumen yang kuat: saya membutuhkan waktu tiga tahun penyelidikan lebih lanjut untuk dapat menyebutkan nama dengan penuh kepastian. Dan hal itu bukan bagian dari kerja komisi.” xiii “Sering kali kami tahu siapa yang melakukan penyiksaan,” lanjut Correa, “namun kami tidak tahu siapa yang menembak orang-orang yang tidak selamat. Kami mungkin bisa mengetahui beberapa dari mereka, namun hal itu menutut penyelidikan lebih lanjut untuk melacak setiap tuduhan ke sumbernya, saksi utama, untuk memvalidasi akurasinya. Jauh lebih mudah untuk mengatakan, ‘Orang ini dihilangkan’, daripada ‘Orang ini dihilangkan, dan si Anu bertanggung-jawab’.” xiv Beberapa tokoh hak asasi manusia internasional menyatakan bahwa ketiadaan nama-nama pelaku di Cili adalah refleksi dari kekuasaan yang masih dimiliki para pelaku, yang tidak memberikan kesempatan atau keinginan bagi komisi untuk menunjukkan nama orang yang bersalah. xv Bahkan, kini ketika para komisioner Cili membicarakan keputusan mereka, Anda dapat melihat gambaran tekanan politik yang mereka hadapi saat itu. “Secara implisit kami diharuskan” untuk tidak menyebutkan nama, kata satu anggota komisi, Laura Novoa. “Mandat komisi lahir dari kompromi politik, dan kami bekerja dalam pembatasan tersebut.” xvi Namun, terjadi satu perdebatan yang amat panjang dan panas ketika para komisioner bertemu untuk membuat keputusan tentang hal ini. Seorang anggota komisi tetap menentang keras penghilangan nama itu, namun karena sadar bahwa ia berada dalam posisi minoritas, akhirnya menerima konsensus tersebut. Para staf komisi, yang tahu persis informasi apa yang dimiliki komisi, tidak menerima begitu saja keputusan ini. Nyaris terjadi “kerusuhan” oleh para staf, kata komisioner Novoa, ketika komisi menyatakan bahwa ia tidak akan mengumumkan nama para pelaku. “Kami bertemu dengan para staf dan harus menenangkan mereka. Kami lebih tua, dan mungkin, lebih bijaksana, jadi kami merasa tahu lebih banyak.” Para anggota staf mengkonfirmasi hal ini, namun mereka menjelaskan penolakan mereka yang keras tersebut. “Ketika kami mulai bekerja, kami tidak pernah membayangkan akan mendapatkan informasi yang kami temukan,” kata seorang anggota staf senior, seorang pengacara, ketika saya bertemu dengannya pada tahun 1996. “Kami menyelidiki setiap kasus, dan menyusun bukti-bukti pendukung untuk masing-masing kasus tersebut.” xvii Sebagai bagian penyelidikan mereka, para staf menggunakan cara-cara seperti digunakan polisi dalam penyelidikan kejahatan. “Sering kali terdapat saksi dalam penculikan,” jelasnya. “Seorang tetangga, pasangan, seorang lain yang ditahan di kamp yang sama dan selamat. Kami mendapatkan foto anggota militer yang diketahui terlibat dalam pelanggaran, dan kami menunjukkan foto-foto tersebut kepada para saksi. Sering kali saksi-saksi dapat mengidentifikasi orang tersebut dari foto.” Komisi juga mendapatkan pengakuan dari pelaku dalam beberapa kasus. Meskipun tidak ada kerja sama resmi oleh angkatan bersenjata, sekitar 20 purnawirawan datang dan memberikan kesaksian secara rahasia. Hampir semua tinggal di luar Cili karena mereka yang berada di negeri itu mencemaskan dampak pembicaraan mereka, demikian saya diberi tahu. Seorang anggota staf menjelaskan bahwa kepergiannya ke Eropa untuk mencatat kesaksian “mengubah hidupnya”. xviii Ia melanjutkan: Satu kasus yang kami bahas adalah seorang laki-laki yang diculik dari bus ketika membawa dua anaknya yang masih kecil ke sekolah, sambil memegang tangan mereka. Ingatan terakhir yang dimiliki kedua anak itu tentang ayah mereka adalah ia direnggut dari tangan mereka, dan tidak pernah ditemukan lagi. Ketika mereka mendatangi komisi lima belas tahun sesudahnya, itu adalah kali pertama mereka menceritakan pengalaman tersebut, dan kali pertama mereka menyatakan betapa peristiwa tersebut mempengaruhi hidup mereka, dan menimbulkan ingatan selama bertahun-tahun. Mereka bahkan tidak pernah saling membicarakan hal itu. Itu adalah pengalaman yang sangat emosional; mungkin kami semua menangis setelah kesaksian itu. Lalu, ketika kami pergi ke Eropa, secara kebetulan saya mencatat kesaksian orang yang menculik laki-laki tersebut. Bayangkan bagaimana peristiwa itu mempengaruhi saya Saya akan memberikan satu contoh lagi: satu orang, juga di Eropa, datang untuk memberikan kesaksian dan menggambarkan bagaimana ia menerbangkan orang dengan helikopter dan melemparkan mereka ke laut. Para korban tersebut biasanya dibius lebih dulu, namun kadang-kadang ada yang terbangun, dan biasanya mereka dipukul kepalanya hingga tewas baru dilemparkan. Minggu berikutnya, saya mendengarkan kesaksian putri salah satu korban tersebut, yang dilemparkan ke dalam laut. Anak ini amat yakin bahwa ayahnya masih hidup – di sebuah pulau entah di mana, di dalam penjara rahasia, di negara lain, di mana pun. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya tidak mungkin “membunuh” ayahnya dengan menjelaskan apa yang saya ketahui, delapan belas tahun setelah peristiwa tersebut, dengan keyakinannya tersebut. Peristiwa itu dimuat dalam laporan, namun saya tidak bisa memberitahukan apa yang saya ketahui. “Apakah ia tahu identitas semua orang yang ia bunuh?” tanya saya, karena setahu saya di negara lain, seperti Argentina, tidaklah demikian; namun anggota staf ini tidak bersedia bercerita lebih lanjut. “Ini adalah informasi yang masih dirahasiakan”, katanya. “Seharusnya Anda tidak boleh tahu.” Enam tahun sudah berlalu sejak komisi menyampaikan laporannya, dan lebih dari 20 tahun sejak sebagian besar kejahatan tersebut terjadi. Saya sadar bahwa hampir semua informasi ini takkan pernah tersebar luas. Berapa banyak nama pelaku yang Anda miliki, berapa yang Anda yakini, tanya saya lagi. Ia tetap tidak mau memberikan informasi spesifik; ia hanya mengatakan “banyak, jauh di atas empat puluh orang” yaitu jumlah pelaku yang disebutkan namanya oleh komisi El Salvador. Dengan informasi tentang para pelaku kejahatan mengerikan itu, staf tersebut merasa frustrasi karena nama-nama tersebut tidak akan pernah dipublikasikan. “Kami sangat ingin menyebarluaskan nama-nama tersebut, paling tidak agar mendapatkan sanksi sosial, bila tidak akan ada keadilan melalui jalur hukum. Namun para komisioner memutuskan untuk tidak melakukan hal itu,” kata staf ini. “Kami bahkan menyarankan agar laporan tersebut menjelaskan demikian ‘si Anu dikontak mengenai keterlibatannya dalam kasus tertentu’, tanpa menyatakan bahwa komisi memiliki bukti jelas kesalahannya.” Namun para komisioner tetap menolaknya. “Dalam banyak kasus, kami memiliki nama lengkap para pembunuh. Memang hal ini tidak ada dalam laporan, tapi kalau Anda tanya siapa orang yang melemparkan tawanan dari helikopter, saya tahu siapa orangnya.” Bertentangan dengan Argentina, daftar nama yang dikumpulkan komisi Cili ini tidak pernah disebarluaskan ke masyarakat. Bahkan, hampir semua warga Cili mungkin tidak tahu keberadaan daftar tersebut, tapi beberapa orang dalam memberitahukan bahwa daftar tersebut diam-diam digunakan oleh presiden untuk mempertimbangkan perwira senior yang akan dipromosikan. Tidak ada seorang pun yang dicopot dari jabatannya karena pelanggaran yang ia lakukan, namun sejak tahun 1991, demikian saya diberitahu, tidak ada orang yang namanya ada dalam daftar tersebut yang mendapat promosi jabatan tinggi. xix Pada musim semi 1993, tepat dua tahun setelah komisi Cili selesai bekerja, komisi El Salvador sedang menyelesaikan laporannya di gedung kantor pusat PBB pada minggu-minggu terakhir masa tugasnya. Komisi tersebut mendapatkan informasi penting tentang keterlibatan pejabat senior pemerintahan, angkatan bersenjata dan peradilan dalam pelanggaran serius di masa lalu, dan ada bocoran bahwa mereka berencana untuk menyebutkan nama-nama pelaku pelanggaran. Dengan semakin dekatnya tenggat waktu, komisi mendapatkan tekanan kuat dari pemerintahan El Salvador untuk menghapus nama-nama tersebut dari laporan. Tersebar isu kudeta bila ada nama perwira militer senior yang disebutkan, dan isu tersebut menarik perhatian pers dan masyarakat El Salvador. Berbagai badan PBB dan komunitas diplomatik internasional ikut serta, dan bersidang dengan komisi, bahkan memberikan tekanan pada isu itu. Komisi merasa terkejut pada posisi pemerintah El Salvador pada masalah itu. Komisioner Thomas Buergenthal menuliskan bahwa pada waktu mereka pertama kali bertemu dengan presiden Alfredo Cristiani dan para pimpinan militer El Salvador pada awal bekerjanya komisi, mereka mendukung bila komisi mengidentifikasi para “oknum” dalam militer yang bersalah, sehingga melindungi nama baik institusi tersebut. xx Namun, lanjut Buergenthal, “sikap pemerintah berubah secara dramatis setelah mereka tahu bahwa Komisi mendapatkan bukti yang memberatkan para pejabat tinggi pemerintahan, terutama Jenderal René Emilio Ponce, Menteri Pertahanan, dan Jenderal Juan Orlando Zepeda, Wakil Menteri Pertahanan.” xxi Pemerintah “mengadakan kampanye diplomatik yang keras untuk memaksa kami menghapus nama-nama dari laporan,” lanjut Buergenthal. “Presiden Cristiani mendorong berbagai pemimpin Amerika Latin, Amerika Serikat dan Sekretaris Jenderal PBB untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk mencegah pencantuman nama-nama,” dan juga mengirimkan delegasi pemerintah untuk bertemu dengan komisi di New York. “Argumen untuk menentang penerbitan tersebut adalah bahaya terhadap proses perdamaian dan rekonsiliasi nasional, ancaman kudeta, dan klaim ketidakmampuan pemerintah untuk mencegah pembalasan terhadap mereka yang memberikan informasi pada Komisi.” xxii Beberapa anggota Front Pembebasan Farabundi FMLN = Martí National Liberation Front, setuju dengan posisi pemerintah dan mempertimbangkan untuk bersama-sama dengan pemerintah mengubah mandat komisi, yang bisa mereka lakukan. Namun, setelah “perdebatan yang panjang dan panas antara para pimpinan FMLN,” menurut Buergenthal, FMLN memutuskan untuk tidak mengubah mandat, dan menyerahkan keputusan tentang pencantuman nama kepada komisi. xxiii Meskipun mendapatkan tekanan keras, komisi tetap melanjutkan apa yang ia kerjakan, dan menyebutkan nama lebih dari 40 orang dari kedua belah pihak dalam laporannya, namun terutama para perwira militer. Laporan tersebut menunjukkan tanggung jawab individual untuk perencanaan dan pelaksanaan pembunuhan, melakukan pembantaian penduduk sipil, dan menghalangi penyelidikan hukum, dengan menggambarkan keterlibatan masing-masing nama yag disebutkan. Tentang pembunuhan para pastor Jesuit, misalnya, laporan berbunyi demikian: Komisi Kebenaran mendapatkan temuan berikut: 1. Terdapat bukti kuat bahwa pada malam 15 November 1989, Kolonel René Emilio Ponce, bersama dan dengan kerja sama Jenderal Juan Rafael Bustillo, Kolonel Juan Orlando Zepeda, Kolonel Inocente Orlando Montano dan Kolonel Francisco Elena Fuentes, memberikan perintah kepada Kolonel Guillermo Alfredo Benavides untuk membunuh Romo Ignacio Ellacuría tanpa meninggalkan saksi. … 2. Kemudian terdapat bukti bahwa para perwira tersebut dan lain-lainnya, dengan pengetahuan mereka tentang apa yang terjadi, mengambil langkah-langkah untuk menyembunyikan kebenaran. … 3. Terdapat bukti mutlak bahwa a Pada malam 15 November yang sama, Kolonel Guillermo Alfredo Benavides memberitahu para perwira di Akademi Militer tentang perintah pembunuhan tersebut. Ketika ia bertanya apakah ada yang tidak setuju, semua orang tidak menjawab. xxiv Tentang pembunuhan Uskup Agung San Salvador, Mgr. Oscar Romero, ketika sedang mempersembahkan misa pada tahun 1980, laporan menggambarkan demikian: Komisi mendapatkan temuan berikut: 1. Mantan Mayor Roberto D’Aubuisson memberikan perintah untuk membunuh Uskup Agung dan memberikan instruksi mendetail kepada anggota pasukannya yang berperan sebagai tim pembunuh untuk mengorganisir dan mengawasi pembunuhan tersebut. 2. Kapten Alvaro Saravia dan Kapten Eduardo Avila, bersama dengan Fernando Sagrera dan Mario Molina, secara aktif terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembunuhan. 3. Amado Antonio Garay, pengemudi mantan Kapten Saravia, ditugaskan untuk mengantarkan penembak jitu ke Kapel. Garay menyaksikan secara langsung, ketika dari sebuah Volkswagen merah berpintu empat, si penembak jitu menembakkan satu peluru kaliber-22 untuk membunuh Uskup Agung. 4. Walter Antonio “Musa” Alvarez, bersama mantan Kapten Saravia, terlibat dalam “pembayaran” para pelaku penembakan. 5. … 6. Mahkamah Agung berperan aktif dalam mencegah ekstradisi mantan Kapten Saravia dari Amerika Serikat dan mencegah penahanannya di El Salvador. Dengan demikian, ia menjamin impunitas bagi mereka yang merencanakan pembunuhan tersebut. xxv Menteri Pertahanan dan ketua Mahkamah Agung juga disebutkan namanya dalam laporan. Menyadari bahwa namanya akan disebutkan, menteri pertahanan mengajukan surat pengunduran diri pada hari Jumat, tiga hari sebelum laporan diserahkan meskipun jabatannya dipertahankan oleh presiden selama empat bulan ke depan. Para komisioner menggambarkan keputusan untuk tetap menyebutkan nama sebagai logika yang sederhana. Sebagaimana dijelaskan dalam bab pendahuluan, Bisa dikatakan, karena metodologi penyelidikan yang digunakan Komisi tidak memenuhi standar prosedur hukum, laporan seharusnya tidak menyebutkan nama-nama orang yang dianggap oleh Komisi berperan dalam tindak kekerasan tertentu. Namun Komisi menganggap bahwa ia tidak memiliki pilihan selain mencantumkan nama-nama tersebut. Dalam kesepakatan perdamaian, kedua pihak menjelaskan bahwa “seluruh kebenaran harus diketahui”, dan dengan demikian dibentuklah Komisi. Kini, seluruh kebenaran tidak bisa diungkapkan tanpa menyebutkan nama-nama. Bukankah Komisi tidak diminta untuk menulis laporan akademis tentang El Salvador, namun ia diminta untuk menggambarkan tindakan-tindakan kekerasan yang luar biasa dan untuk memberikan saran demi pencegahan terulangnya tindakan-tindakan demikian? Tugas ini tidak bisa dilakukan secara abstrak dengan menahan informasi … bila terdapat kesaksian yang dapat dipercaya, terutama bila orang-orang yang dikenali tersebut memiliki jabatan tinggi dan menjalankan fungsi resmi yang terkait langsung dengan pelanggaran atau usaha menutupi pelanggaran. Tidak menyebutkan nama hanya akan memperkuat impunitas yang diminta kedua pihak untuk dihentikan. xxvi Denga memaparkan asumsinya bahwa nama-nama tersebut akan dimuat, bahkan sejak awal kerja komisi, Buergenthal menjelaskan, “Hingga isu itu menjadi subjek perdebatan panas di dalam dan luar El Salvador menjelang akhir penyelidikan kami, tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa laporan tidak akan memuat nama-nama pelaku pelanggaran. Pada waktu pertama kali saya membaca mandat Komisi, saya menyimpulkan bahwa salah satu tugas kami adalah mengidentifikasikan siapa yang melakukan tindakan kekerasan serius yang harus kami selidiki. Para rekan saya, kemudian saya ketahui, mendapatkan kesimpulan yang sama …. Bagaimana kami bisa mengumumkan ‘seluruh kebenaran’ tentang suatu pembunuhan atau pembantaian, misalnya, tanpa menunjukkan pelakunya, meskipun kami tahu?” xxvii Sentimen para komisioner ini diperkuat dengan fakta bahwa badan peradilan amat lemah dan memiliki bias politik. Menurut Buergenthal, “Bila ada sistem peradilan yang efektif di El Salvador pada saat penulisan laporan kami, ia bisa menggunakan laporan sebagai dasar penyelidikan independen terhadap mereka yang dituduh bersalah melakukan pelanggaran. Dalam kondisi tersebut, pantas bila Komisi tidak mencantumkan nama dalam laporannya, tetapi memberikan informasi yang relevan kepada polisi atau pengadilan untuk tindakan yang sesuai. Namun … sistem peradilan El Salvador korup, tidak efektif dan tidak bisa memberikan keputusan yang tidak memihak dalam kasus-kasus ‘politis’ demikian.” xxviii Melihat bahwa tidak akan ada keadilan atau hukuman dari pengadilan, dan bahwa mereka yang namanya disebut masih mungkin memegang jabatan tinggi di El Salvador selama bertahun-tahun, komisi menyarankan bahwa semua nama yang disebutkan dicopot dari jabatan kenegaraannya baik militer maupun sipil, dilarang untuk memegang jabatan sipil selama 10 tahun berikutnya, dan selamanya dikeluarkan dari dinas kemiliteran atau kepolisian. Menurut mandat komisi, saran yang diberikannya bersifat mengikat, namun pemerintah menolak saran untuk melarang orang mengajukan diri untuk memegang jabatan, dengan alasan bahwa hak tersebut dijamin oleh konstitusi. Sekretaris jenderal PBB setuju, dan membiarkan saran tersebut diabaikan. xxix Laporan juga menyarankan agar seluruh anggota Mahkamah Agung segera mengundurkan diri dan diganti. Ini ditolak mentah-mentah, dan ketua Mahkamah Agung bahkan berkoar bahwa “hanya Tuhan” yang bisa menyuruhnya turun. xxx Komisi mendapatkan kritikan karena tidak menyebutkan nama-nama dengan persebaran yang merata, dan karena tidak menjelaskan keputusan mengapa mereka memasukkan nama-nama tertentu dan tampaknya menghilangkan beberapa nama lain. Para pengamat hak asasi manusia kecewa terutama karena tidak ada nama pemimpin sipil yang disebutkan namanya berkaitan dengan kelompok-kelompok pembunuh, yang diyakini telah dibiayai oleh elite ekonomi kanan, terutama setelah tersebar rumor bahwa komisi kebenaran sebenarnya sudah mendapatkan nama-nama tersebut. “Karena Komisi Kebenaran untuk El Salvador dianggap oleh masyarakat telah mendapatkan nama pelaku lebih banyak daripada yang ia umumkan, perlu diberikan penjelasan sejelas-jelasnya tentang mengapa beberapa nama diumumkan dan beberapa nama lain disembunyikan”, tulis Juan Méndez, yang mengatakan hal ini sebagai salah satu kelemahan terbesar komisi itu. xxxi Fakta bahwa komisi hanya menyebutkan nama-nama tokoh dari salah satu sektor dalam FMLN yang memiliki 5 sektor, menyebabkan dampak yang serius, dan kemungkinan memiliki andil bagi pecahnya FMLN segera sesudahnya. “Laporan tersebut malah mempersatukan Kanan dan memecah belah Kiri,” kata George Vickers, kepala Kantor Washington untuk Amerika Latin, sebuah kelompok kebijakan dan advokasi. xxxii Namun Vickers dan lainnya mengakui bahwa FMLN memang sudah mengalami perpecahan dan laporan komisi itu hanya mempercepat prosesnya. Buergenthal membela keputusan komisi itu. Ketika membicarakan kelompok FMLN yang para pemimpinnya diumumkan namanya, ia menyatakan, “Kami tahu bahwa kelihatannya kami memang mengincar mereka [Angkatan Perang Revolusioner Rakyat], namun kami tidak mendapatkan bukti untuk menyebutkan nama-nama lainnya. Sebenarnya akan sangat bagus seandainya kami bisa menyeimbangkan jumlah nama yang disebutkan – antara FMLN dan pemerintah, dan antara kelompok-kelompok dalam FMLN – namun kami tidak bisa melakukannya. Kami tidak memiliki pilihan: kami tidak mau menyebutkan nama-nama bila kami tidak memiliki bukti amat kuat dan kami tidak yakin, dan kami tidak mau mengabaikan nama-nama yang kami miliki dan didukung oleh bukti-bukti kuat. Sayangnya memang persebaran nama tersebut tidak merata. xxxiii Apa dampak menyebutkan nama? Beberapa orang dicopot dari jabatannya, terutama mereka yang sebelumnya sudah disebutkan namanya oleh Komisi Ad Hoc yang dibentuk untuk membersihkan angkatan bersenjata dari para pelanggar hak asasi manusia. Presiden semula menolak mencopot beberapa perwira senior yang ditunjuk oleh Komisi Ad Hoc, namun setelah mereka disebutkan lagi namanya oleh komisi kebenaran, ia akhirnya mengalah. Paling tidak satu orang tidak berhasil mendapatkan jabatan penting karena namanya disebutkan oleh komisi. xxxiv Ketika Mahkamah Agung yang baru dipilih setahun berikutnya melalui prosedur yang baru dan tidak dipolitisasi, tidak ada anggota dari mahkamah yang lama dipilih lagi, termasuk ketuanya, meskipun ia telah melobi untuk penunjukan ulang. Namun, pada keseluruhannya, tidak banyak dampak yang dihasilkan dengan penunjukan nama tersebut. Beberapa orang diusulkan untuk mendapatkan jabatan pemerintahan senior: ketua Mahkamah Agung yang disebutkan namanya dalam laporan karena menutupi bukti dan menghalangi penyelidikan pelanggaran serius oleh pemerintah, beberapa bulan kemudian ditunjuk untuk mewakili pemerintah dalam Komite Hukum Antar-Amerika, sebuah badan dalam Organisasi Negara-Negara Amerika. Dalam tinjauannya tentang pelaksanaan saran-saran komisi kebenaran, sekretaris jenderal PBB menyatakan bahwa hal ini “tidak sesuai dengan semangat, bahkan dengan kata-kata, yang ada dalam saran-saran Komisi.” xxxv Para warga El Salvador menganggap bahwa mereka yang dikeluarkan dari angkatan bersenjata tidak mendapatkan konsekuensi yang serius. Sebagaimana dijelaskan seorang aktivis dengan kecewa, mereka “dipurnawirawankan dengan pujian dan ucapan selamat, dengan penghargaan dan jaminan penuh. Mereka semua mendapat tunjangan yang besar; sama sekali bukan hal yang memberatkan.” xxxvi Impunitas ini berlanjut ke tingkat internasional. Praktis tidak ada pembatasan visa untuk masuk ke Amerika Serikat bagi mereka yang namanya disebutkan, misalnya. Saya bertanya ke Biro Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengapa orang-orang yang disebut namanya sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pembantaian bisa memasuki Amerika Serikat untuk konferensi dan liburan. Komisi kebenaran sebagian didanai pemerintah Amerika Serikat, dan kesimpulannya juga dianggap akurat. Pertanyaan saya menimbulkan respon antusias dari staf senior yang saya temui pada tahun 1996, tiga tahun setelah laporan El Salvador diumumkan, yang menyatakan bahwa pemikiran tersebut tidak pernah terpikirkan sebelumnya, namun mereka mungkin bisa membuat sistem di mana nama-nama yang disebutkan dalam laporan komisi kebenaran dan penyelidikan tingkat tinggi lainnya karena keterlibatan dalam pelanggaran di masa lalu akan dicatat dalam komputer-komputer pemerintah Amerika Serikat. Paling tidak, dalam aplikasi dari orang tersebut untuk mendapatkan visa ke Amerika Serikat akan terlihat bahwa ia pernah melakukan pelanggaran serius. Namun ketika saya menghubungi Departemen Luar Negeri setahun kemudian, saya diberi tahu bahwa ide tersebut tidak diterima. Kongres Nasional Afrika tidak puas dengan komisi pertamanya yang dibentuknya pada tahun 1992 untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan pelanggaran di kamp tahanan ANC, karena ada anggapan bahwa orang-orang dituduh tanpa mendapat kesempatan membela diri. Namun toh dalam laporan itu hanya satu nama yang disebutkan sebagai pelaku pelanggaran terhadap tahanan, dan laporan tersebut menjelaskan bagaimana orang itu, kepala Departemen Intelijen ANC pada awal hingga pertengahan dekade 1980-an, mengakui pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan dalam kesaksiannya kepada komisi. xxxvii Komisi mengumpulkan sebuah daftar rahasia orang-orang yang mendapatkan tuduhan pelanggaran, dan mengirimkannya kepada presiden ANC, Nelson Mandela, namun ANC mengeluh karena komisi hanya mewawancarai para korban, namun tidak memberikan kesempatan bagi para tertuduh untuk memberikan jawaban. Keluhan ini mendorong Mandela untuk membentuk komisi kebenaran yang baru, pada tahun 1993, untuk menyelidiki kebenaran tuduhan-tuduhan tersebut dan apakah orang-orang yang dituduh tersebut benar-benar melanggar aturan organisasi. Semua permasalahan tentang metodologi dan prosedur diserahkan kepada komisi. Pelaksanaan kerja komisi ANC kedua ini berjalan seperti badan pengadilan, dan laporan komisi pun mencerminkan pendekatan ini. Dengar pendapat komisi dan laporannya disusun berdasarkan tuduhan sejumlah korban yang dalam laporan disebut sebagai “para pengadu” terhadap beberapa pelaku spesifik dalam laporan disebut “tertuduh”, yaitu para anggota ANC yang dituduh melakukan pelanggaran. Satu anggota komisi, Margaret Burnham, pengacara dari Boston, menjelaskan metodologi mereka sebagai hasil alamiah dari latar belakang mereka: dua dari tiga anggota komisi adalah pengacara yang berpengalaman, dan ia sendiri adalah seorang hakim. “Kami melakukan apa yang kami tahu”, katanya. “Kami bukan badan peradilan, namun tugas kami adalah untuk menarik kesimpulan faktual tentang apa yang terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab.” xxxviii Sebelas tertuduh hadir di hadapan komisi, masing-masing dengan sebuah tim pengacara pembela utama, ditunjuk oleh ANC, adalah Dullah Omar, yang kemudian menjadi menteri kehakiman, dan juga memiliki peran penting dalam menyusun referensi untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Laporan komisi menyimpulkan tuduhan terhadap masing-masing orang, dan menjelaskan apakah bukti yang ada mendukung atau tidak mendukung tuduhan terhadap mereka. Lebih lanjut, laporan menyarankan agar orang-orang yang diidentifikasikan bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia “dikenakan sanksi disipliner danatau hukuman sesuai aturan yang berlaku di ANC”. xxxix ANC menolak menjalankan saran ini, namun menjawab laporan itu dengan seruan untuk membentuk “komisi kebenaran” secara nasional yang akan mencatat pelanggaran dan pelakunya dari semua pihak konflik, menyarankan aturan untuk semua pegawai negeri, dan menjamin kompensasi yang layak bagi para korban. xl Proposal ini pada akhirnya mendorong ke arah terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Haiti adalah komisi yang mungkin pertama kali melihat ke hasil kerja komisi-komisi lainnya dalam memutuskan apa yang akan ia lakukan dengan banyaknya nama pelaku yang ia dapatkan, meskipun pengalaman komisi-komisi lain tersebut tidak banyak memberikan jawaban bagi dilemanya yang sukar. Dengan adanya bukti yang ia miliki, dan lingkungan politik dan sosial yang mudah meledak, termasuk adanya bahaya terjadi pembalasan bagi mereka yang namanya disebutkan, hingga saat-saat terakhir komisi masih mengalami kebingungan tentang apakah ia harus menyebutkan nama, dan bila ya, bagaimana. Staf komisi di Haiti memberi tahu saya bahwa banyak nama pelaku yang disebutkan berulang kali oleh saksi atau korban. Dari sekitar lima ribu kesaksian yang didapatkan, sekitar setengahnya menyebutkan nama, menurut seorang anggota staf yang membantu mengumpulkan dan mentabulasi informasi bagi pusat data utama. Sering kali satu nama disebutkan dalam 20 hingga 25 kesaksian; nama satu orang disebutkan dalam 70 kesaksian. Ketika staf komisi mencetak seluruh informasi ini, didapatkan daftar nama sebanyak 200 halaman, dengan masing-masing baris menuliskan nama tertuduh, kasus yang dilaporkan, dan saksi atau korban yang memberikan kesaksian. Para staf berharap bahwa para komisioner akan menggunakan daftar ini untuk mencapai kesimpulan bahwa nama beberapa pelaku harus diumumkan. xli Dalam sebuah pertemuan dengan para komisioner, staf menyarankan agar orang-orang yang disebutkan berulang kali dalam laporan, mungkin yang lebih dari 20 kali, misalnya, harus disebutkan dalam laporan komisi. “Dalam kondisi demikian, kita bisa yakin, dan tidak perlu pembuktian lebih lanjut,” kata seorang anggota staf ketika kerja komisi sudah berakhir. “Di setiap wilayah, ada 3 sampai 5 nama yang jelas [kebersalahannya], mungkin keseluruhannya ada 50 nama. Bila semua orang menceritakan cerita yang sama, bila seluruh komunitas menunjuk satu orang, apa lagi yang diperlukan? Buktinya sangat kuat.” xlii Komisi tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk menyelidiki masing-masing tuduhan, sehingga daftar tersebut seluruhnya didasarkan pada kesaksian dari para korban atau saksi. Para staf menyatakan bahwa laporan bisa memuat nama-nama tersebut tanpa memberikan keputusan tentang kesalahan mereka, dengan menyatakan bahwa “orang-orang ini disebutkan dalam kesaksian dari para korban”. Mereka juga menyatakan bahwa komisi bisa menggunakan prinsip internasional “pertanggungjawaban perintah”, yaitu komandan di sebuah distrik bisa dituntut pertanggungjawabannnya untuk pelanggaran di wilayahnya bila ia tahu atau seharusnya tahu tentang kejadian tersebut dan tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya. xliii Para komisioner merasa bahwa prosedur hukum harus dihargai, dan berusaha untuk menanyai orang-orang yang disebutkan namanya yang kebetulan berada dalam penjara, untuk memberikan kesempatan untuk menjawab tuduhan. Namun komisi tidak berusaha mencari yang lain: beberapa tidak memiliki alamat tetap, dan banyak di antara mereka yang mungkin masih bersenjata. Komisi mencemaskan pembalasan terhadap para pelaku yang dituduh, terutama bila publik menganggap bahwa keadilan melalui pengadilan tidak mungkin tercapai. Anggapan ini sebenarnya tidak keliru juga mengingat buruknya catatan pengadilan Haiti tentang kasus-kasus serupa di masa lalu. Pada akhirnya, para komisioner memutuskan untuk memberikan nama-nama tersebut dalam lampiran rahasia yang diberikan kepada presiden. Dengan berharap bahwa akan diadakan pengadilan setelah laporan komisi keluar, para komisioner beranggapan bahwa keadilan akan tercapai dengan memberikan bukti-bukti kepada pengadilan dan menyarankan proses pengadilan. Laporan tersebut menyarankan agar nama-nama dalam lampiran rahasia tersebut diumumkan “setelah otoritas yang kompeten menjalankan tindakan yudisial dan administratif yang diperlukan” – yaitu, setelah nama-nama tersebut diajukan ke pengadilan. xliv Namun, hingga beberapa tahun sesudahnya, amat sedikit proses pengadilan yang berjalan, dan daftar tersebut tampaknya masih belum akan diumumkan. Komisi-komisi lainnya menghadapi isu ini dengan cara-cara yang berbeda. Laporan komisi kebenaran di Chad, yang diterbitkan tahun 1992, mencantumkan nama dan foto mereka yang dianggap sebagai pelanggar terberat hak asasi manusia. Ketika laporan tersebut diumumkan, banyak dari mereka yang memegang jabatan dalam pemerintahan atau angkatan bersenjata yang baru, terutama dalam badan intelijen, angkatan darat atau polisi. Laporan tersebut menuntut agar semua yang pernah menjabat dalam Direktorat Dokumentasi dan Keamanan DDS, yaitu badan intelijen di masa lalu yang terkenal kekejamannya, dicopot dari jabatannya. “Para agen DDS adalah maling, penyiksa dan pembunuh, dan harus dijauhkan dari badan intelijen yang baru”, demikian menurut laporan. xlv Namun tidak ada pencopotan atau pengadilan setelah laporan tersebut diumumkan, dan tidak banyak dampak yang dialami mereka yang namanya disebutkan. Mandat yang diberikan kepada dua komisi kebenaran belakangan ini, di Guatemala dan Afrika Selatan, menjawab pertanyaan tentang penulisan nama secara langsung dan jelas. Namun kedua komisi masih harus mengartikan tujuan sebenarnya dari redaksi penulisan mandat tersebut. Selain itu, komisi juga harus menentukan dengan tepat bagaimana ia menyikapi nama-nama pelaku yang ditemukannya dalam penyelidikan. Ketika Guatemala menegosiasikan perjanjian damai pada tahun 1994 untuk membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah, pemerintah dan militer tidak mau mengikuti jejak tetangga mereka di sebelah selatan, El Salvador. “Kami tidak mau melakukan seperti yang mereka lakukan di El Salvador,” mantan ketua tim negosiasi pemerintah, Hector Rosada, memberi tahu saya. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada yang mereka sukai dari komisi tersebut, dan terutama bahwa ia menunjuk nama pelaku dari tingkat tinggi. xlvi Rosada, yang menjelaskan tugasnya di meja perundingan sebagai “berbincang-bincang dengan militer dan mencari tahu apa yang mereka inginkan”, menyatakan bahwa negosiasi tentang komisi kebenaran amat sukar dan menegangkan. Dalam mandat yang diberikan, komisi akhirnya dilarang untuk memberikan “pertanggungjawaban oleh individu dalam kerja, saran dan laporannya”, xlvii sebuah pernyataan yang menimbulkan kemarahan para pembela hak asasi manusia dan kelompok korban. Namun bahkan pembatasan ini masih bisa memberikan interpretasi. Selama bekerjanya komisi, ketua komisi, Christian Tomuschat, menulis bahwa “laporan akhir, yang memang tidak akan menunjuk orang-orang tertentu sebagai pihak yang bertanggung-jawab, mungkin tetap akan mencantumkan nama sejumlah besar orang, yang selama tahun-tahun terburuk dalam konflik memegang jabatan tinggi dalam pemerintahan atau dalam struktur UNRG [oposisi bersenjata]. Jelas, laporan tidak akan menuduh orang-orang tersebut melakukan pelanggaran hak asasi manusia, namun pengamat akan bisa menarik kesimpulan dari fakta yang diberikan dalam laporan”. xlviii Mungkin pula bahwa komisi bisa menggambarkan pelaku pelanggaran dengan posisi yang mereka jabat, dan memberikan kepada pers atau organisasi non-pemerintah kesempatan untuk mengaitkan jabatan dengan nama yang sesuai. Rosada menyatakan bahwa komisi bisa memiliki fleksibilitas dalam menafsirkan mandatnya. Sebagaimana ia katakan, “Ia tidak bisa mengatakan, ‘si Anu bertanggung-jawab’, namun ia bisa mengataan bahwa peristiwa X terjadi dan orang-orang dari unit Y dan Z ada di tempat. Ia hanya tidak boleh mencantumkan nama dalam laporannya. Namun dalam arsip komisi pasti terdapat nama, dan mandat tidak menyatakan apa pun tentang apa yang harus dilakukan terhadap arsip tersebut.” xlix Seorang anggota lain dari tim negosiasi pemerintah, Antonio Arenales Forno, yang merancang pedoman pokok komisi kebenaran, mengakui bahwa arti tepat dari “tidak memberikan pertanggungjawaban kepada individu” memang tidak jelas. Ia berpikir bahwa redaksi ini memungkinkan komisi untuk mengatakan bahwa “komandan batalyon ini pada waktu itu dan di tempat ini” bertanggung-jawab. “Kalau hal demikian tidak dimungkinkan, tidak ada hasil apa pun dari komisi,” katanya. l Namun pada akhirnya, komisi memilih tidak mengaitkan jabatan dengan tanggung jawab. Identifikasi yang dilakukan oleh komisi itu hanyalah pernyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran “terjadi dengan sepengetahuan atau perintah pimpinan tertinggi negara”. li Para aktivis hak asasi Guatemala cukup puas karena dengan pernyataan ini dan bukti-bukti lainnya yang ada dalam laporan, mereka memiliki dasar kuat untuk menuntut orang-orang yang memegang jabatan tinggi negara pada saat terjadinya kekerasan yang parah. lii Bertentangan dengan hampir semua komisi kebenaran lainnya, nama para tertuduh diumumkan secara teratur selama masa kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, terutama melalui dengar-kesaksian publik. Para korban, saksi, pelaku lain dan komisioner menyebutkan nama orang-orang yang diketahui atau dituduh bertanggung-jawab terhadap kejahatan; beberapa dari mereka yang disebutkan namanya datang untuk bersaksi untuk mendapatkan amnesti, atau dipanggil oleh komisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pasal 30 dari akta pembentukan komisi menyatakan bahwa “bila dalam penyelidikan atau dengar-kesaksian yang diselenggarakan Komisi, a seseorang terimplikasi sehingga bisa merugikannya; atau b Komisi mempertimbangkan membuat keputusan yang bisa merugikan orang yang terimplikasi demikian”, maka Komisi harus “memberinya kesempatan untuk memberikan pandangannya kepada Komisi dalam jangka waktu tertentu mengenai hal yang sedang dipertimbangkan atau untuk memberikan kesaksian kepada Komisi”, dengan prosedur yang akan ditetapkan oleh komisi. liii Segera setelah mulai bekerja, komisi dituntut ke pengadilan oleh dua pensiunan polisi yang mempermasalahkan interpretasi pasal tersebut. Khususnya, mereka mempermasalahkan periode yang diberikan dan informasi apa yang perlu diberikan komisi sebelum diadakannya dengar-kesaksian publik. Mahkamah Agung Afrika Selatan menerima tuntutan kedua polisi tersebut dan memutuskan bahwa komisi harus memberitahukan tuntutan demikian dan dokumentasi secukupnya seperti kesaksian, bukti dan semacamnya, agar tertuduh pelaku dapat mengidentifikasi peristiwa tersebut dan memberikan responnya. liv Maka, komisi menetapkan prosedur operasi untuk pemberitahuan secara tertulis 21 hari di depan kepada orang-orang yang kemungkinan akan disebut namanya dalam sesi terbuka. Persyaratan ini memberikan beban berat bagi komisi dan sangat memperlambat kerjanya. lv Komisi menggunakan prosedur yang sama bagi mereka yang namanya hendak ditulis dalam laporan. Anggota komisi Richard Lyster menjelaskan proses itu demikian: Ini berupa mengirimkan surat kepada mereka, memberitahukan temuan Komisi tentang mereka … yang pada efeknya, mengirimkan tuduhan tentang keterlibatan mereka dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, dan melampirkan dokumentasi yang cukup untuk memungkinkan mereka menjawab tuduhan itu dan untuk mengakui, membantah, menolak, menjustifikasi dll. tuduhan tersebut dengan jawaban tertulis. Kemudian, jawaban tersebut akan diteliti oleh komisioner yang mendapatkan temuan di atas, dan seorang komisioner lain, dan mereka akan memutuskan apakah jawaban tertulis tersebut bisa membuat mereka mengubah temuan tersebut. Jika tidak, temuan tersebut akan difinalkan dan diratifikasi oleh seluruh Komisi. Jika jawaban tertulis dari pelaku yang dituduh tersebut memiliki bahan atau informasi yang cenderung mengubah temuan tersebut, dilakukanlah perubahan, dan dalam beberapa kasus, nama orang tersebut dihapus dari daftar pelaku. lvi Mengingat banyaknya keperluan administratif dan waktu yang diperlukan untuk memberi tahu tertuduh, prosedur tersebut sangat membatasi berapa banyak orang yang bisa disebutkan namanya dalam laporan akhir. lvii Satu anggota staf memperkirakan bahwa ia menghilangkan hampir 80 persen nama dalam rancangan aslinya untuk salah satu bagian laporan, hanya untuk mengurangi beban administratif mengirimkan pemberitahuan dan memberikan bukti-bukti pendukung. Sebuah tim yang meliput wilayah lainnya menyatakan bahwa mereka menghilangkan sekitar 10 persen nama dari rancangan asli mereka, untuk alasan yang sama. lviii Komisioner Richard Lyster memperkirakan bahwa mungkin 600 nama dihapus dari laporan karena komisi tidak bisa mengontak mereka, atau karena proses amnesti masih belum selesai. Dalam kondisi demikian, baik pemohon atau siapa pun yang terkait dalam permohonan amnesti bisa disebutkan namanya, karena hingga satu hari sebelum kedatangan mereka di depan komisi amnesti, mereka bisa menarik atau mengubah permohonannya. lix “Dan untuk melengkapi semua beban kami,” kata Lyster, “karena informasi terus datang bahkan hingga saat penerbitan laporan, kami kehilangan kesempatan untuk mengirimkan pemberitahuan kepada sekitar 500 tertuduh pelaku, karena kami tidak punya waktu untuk mempersiapkan pemberitahuan, melacak keberadaan mereka, mengirimkan surat dan memformulasikan temuan akhir kami. Bagi saya, inilah aspek-aspek yang paling meresahkan dan menjengkelkan dari Komisi ini. Kami tahu bahwa kami membiarkan ribuan pelanggar serius lolos begitu saja. Ini juga memperkuat anggapan umum bahwa komisi berada di pihak para pelaku, dan berusaha keras untuk mengakomodasi mereka.” lx Pada akhirnya, komisi menyebutkan nama ratusan orang yang ikut ambil bagian atau mendukung dan mendorong pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk mantan presiden P. W. Botha, Winnie Mandikizela Mandela, dan para anggota Dewan Keamanan Negara, kabinet inti pemerintahan apartheid, dan menyarankan agar “dipertimbangkan adanya proses pengadilan bila terdapat bukti bawa seseorang telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia”, dan bila orang tersebut tidak meminta amnesti atau permintaannya ditolak. lxi Sehari sebelum laporan tersebut akan diumumkan, mantan presiden F. W. de Klerk mengadukan komisi ke pengadilan untuk mencegah penyebutan namanya dalam laporan, dengan alasan bahwa komisi memfitnahnya. lxii Alih-alih mengikuti proses peradilan dengan keharusan membaca dan merespon keluhan de Klerk yang setebal dua ribu halaman itu, komisi menghapus namanya dari laporan dan mendapatkan perpanjangan waktu selama empat bulan untuk meninjau petisinya. Persoalan tentang Apakah Sebaiknya, dan Bagaimana, Mengumumkan Nama Pelaku Hampir semua pakar hukum hak asasi manusia sepakat bahwa komisi harus mengumumkan nama para pelaku bila terdapat informasi yang cukup meyakinkan, terutama bila badan peradilan di negara tersebut kurang efektif, namun mereka tetap harus menghargai standar-standar proses peradilan sebelum melakukannya. Sebagai contoh, Juan Méndez, mantan pengajar hukum di Universitas Notre-Dame, kemudian direktur eksekutif Institut Hak Asasi Manusia Antar-Amerika dan mantan penasihat hukum Human Rights Watch, menyatakan bahwa bila tidak bisa diharapkan adanya pengadilan di negara tersebut, maka sangat penting bagi komisi untuk mengumumkan nama-nama pelaku. Ia membantah argumen yang menganggap bahwa komisi melampaui kekuasaannya bila melakukan demikian. “Kita semua menyebutkan nama orang, atau menuduh, sebelum tindakan mereka dibuktikan. Pers menuduh, polisi menuduh: bila seseorang dituduh mencuri kendaraan, misalnya, namanya dituliskan dalam berita. Ini hanyalah tuduhan: bukan pernyataan bersalah”. lxiii Banyak pakar hak asasi manusia lainnya sepakat dengan Méndez, dan menganggap bahwa hal tersebut adalah langkah penting dalam melawan impunitas, dan pelaksanaan yang sesuai dengan proses hukum relatif mudah dilakukan. lxiv Sebaliknya, José Zalaquett, seorang pakar hak asasi manusia internasional, mantan anggota dewan eksekutif Amnesti Internasional, dan anggota komisi kebenaran Cili, mempunyai posisi yang agak berbeda, dan mengingatkan bahayanya bila badan non-yudisial menentukan kesalahan. Dalam pengantar terjemahan bahasa Inggris laporan komisi Cili, Zalaquett menyatakan bahwa di Cili, “Menyebutkan nama pelaku yang tidak membela diri mereka dan tidak diberi kesempatan demikian secara moral setara dengan menghukum orang tanpa melalui proses hukum. Ini bertentangan dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.” lxv Belakangan, Zalaquett dikutip menyatakan bahwa komisi kebenaran “tidak boleh melewati batasan tipis antara komisi etika dan peradilan jalanan. Bila mereka mulai menjatuhkan tanggung jawab kepada individu, mereka melanggar prinsip-prinsip dasar aturan hukum.” lxvi Dalam sebuah wawancara, Zalaquett menjelaskan posisinya bahwa ia menerima bahwa kadang kala tepat bagi komisi kebenaran untuk menyebutkan nama pelaku. Ia tidak menolak pengumuman nama pelaku oleh komisi Afrika Selatan, misalnya, karena adanya proses penyaringan dan prosedur hukum yang ditaati. Namun untuk kasus-kasus lainnya – termasuk komisi El Salvador – Zalaquett menyatakan bahwa mengumumkan nama hanya beberapa pelaku saja secara mendasar tidak adil, karena hanya akan merugikan beberapa pelaku yang “sial” karena tidak ada komisi yang bisa menyelidiki semua tertuduh pelaku, sehingga hanya akan ada beberapa nama yang muncul. lxvii Dalam korespondensi, ia melanjutkan: Posisi saya tentang pengumuman nama didasarkan pada hak asasi dan prosedur …. Posisi saya bisa digambarkan demikian: komisi kebenaran resmi boleh menyelidiki pertanggungjawaban moral pemerintah, berkonsentrasi pada para korbannya, dan memang demikian yang dilakukan sebagian terbesar komisi. Dalam beberapa kasus, seperti di Afrika Selatan, mereka boleh mendekati tanggung jawab hukum tentang individu. Kalau mereka berkonsentrasi pada tanggung jawab moral, sifat resmi mereka, dan proses yang mereka lakukan berarti bahwa bila mereka menyebutkan nama, orang-orang yang disebut namanya tersebut akan dianggap bersalah, tanpa melalui proses hukum. Ini tidak benar menurut standar hukum, dan juga moral. Kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menimbang kasus-kasus individual di luar prosedur hukum sangat besar. Kedua, prinsip audiensi bilateral, artinya kedua pihak harus didengar, harus dijunjung tinggi. Ketiga, dalam merekonstruksi masyarakat setelah trauma berat, hak asasi manusia harus dijunjung tinggi. Ini berarti bahwa keadilan harus dicapai melalui cara yang adil. Penting bagi komisi untuk memberikan pelajaran ketaatan pada hukum dan hak asasi manusia, meskipun orang-orang lain tidak melakukan hal demikian di masa lalu. Namun demikian, bila prosedur hukum ditaati seperti di Afrika Selatan, saya tidak memiliki masalah dengan hal itu. Problem saya bukanlah pada hak atau keadilan, namun lebih pada apa yang patut dianggap sebagai hal yang benar. lxviii Sementara prosedur hukum penting untuk ditaati, disepakati secara luas bahwa prosedur bagi komisi kebenaran lebih longgar daripada pengadilan pidana. Dalam pengadilan, ada syarat-syarat minimal yang diterima secara umum: tertuduh harus mendapat pemberitahuan lebih dulu tentang tuntutannya, dan diberi kesempatan dan waktu cukup untuk membela dirinya, termasuk hak untuk mendapatkan pembela dan memanggil serta menghadapi saksi-saksi. Namun persyaratan ini lahir karena tingkat hukuman yang dihadapi pelaku. Konsekuensi disebut namanya oleh komisi kebenaran jauh lebih ringan daripada bila diputuskan bersalah oleh pengadilan. Meskipun mungkin merusak reputasi, sebuah komisi biasanya tidak memiliki kekuasaan untuk menghukum mereka yang diumumkan namanya. Ia bisa menyarankan pengadilan lebih lanjut atau sanksi sipil lainnya, namun hal ini pun masih memerlukan tinjauan lebih lanjut sebelum diterapkan. Komisi-komisi di masa lalu sangat memahami perbedaan standar prosedur hukum tersebut. Douglass Cassel, seorang penasihat senior komisi kebenaran El Salvador, menulis bahwa komisi “tidak menganggap bahwa ia melakukan semua hal berdasar prosedur hukum. Sementara para tertuduh biasanya diberi tahu tentang kasus yang melibatkan mereka, dan diberi kesempatan untuk membantah atau menjelaskan keterlibatan mereka, mereka tidak diberi tahu identitas saksi, apalagi untuk mengkonfrontasi mereka dalam pengadilan terbuka”. Prosedur yang digunakan komisi, tulis Cassel, berdasar “realitaa di El Salvador bahwa para saksi tidak aman terhadap pembalasan dan menganggap mereka terancam. Dengan realitaa ini, satu-satunya cara bagi komisi untuk mencapai kebenaran adalah untuk menghilangkan prosedur yang bisa membahayakan mereka”. lxix Setiap komisi yang berencana untuk mendapatkan temuan tentang tanggung jawab individual harus menentukan persyaratan prosedurnya dan membuat sistem untuk menjamin ketaatan padanya. Standar dan prosedur tersebut akan berbeda dari satu komisi ke komisi lainnya, namun gambaran umumnya relatif jelas. Hampir semua pakar hukum sepakat dengan tiga pedoman utama. Pertama, orang yang hendak disebut namanya dalam laporan harus diinformasikan tentang tuduhan yang dihadapkan kepada mereka dan diberi tahu bahwa komisi hendak mengumumkan nama mereka dalam laporan terbuka. Kedua, orang-orang tersebut harus diberi kesempatan untuk merespon bukti-bukti yang memberatkan mereka dan memberikan pembelaan, baik secara tertulis maupun langsung, dengan prosedur yang ditentukan komisi. Namun, hak ini tidak harus mencakup hak untuk mengkonfrontasi penuduh atau bahkan untuk mengetahui sumber tuduhan, jika komisi percaya bahwa informasi tersebut bisa membahayakan saksi. Zalaquett juga menyarankan bahwa laporan perlu memuat bahwa orang-orang yang disebutkan namanya telah membantah tuduhan yang diberikan, bila itu terjadi, dan mungkin memberikan versi mereka mengenai peristiwa yang terjadi secara singkat. lxx Namun hal ini akan melemahkan kesimpulan komisi, dan hampir semua komisi memilih untuk tidak melakukan hal ini dan menjadi satu-satunya sumber kesimpulan. Ketiga, komisi harus menyatakan dengan jelas bahwa kesimpulannya tentang tanggung jawab individual tidak sama dengan keputusan hukum, yang merupakan bagian dari ranah pengadilan. Human Rights Watch, yang berbasis di New York, dalam sebuah surat panjang kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, sepakat dengan standar-standar prosedural yang digunakan: ia mendorong komisi untuk “mengumumkan nama-nama yang dipercayai dengan dukungan bukti kuat bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat, terutama mereka yang bertanggung-jawab dalam pembuatan kebijakan di tingkat tinggi”, dan menyatakan bahwa “perlindungan prosedur hukum secara penuh yang diperlukan dalam pengadilan pidana tidak perlu digunakan bila bertujuan untuk identifikasi publik”. lxxi HRW juga menyarankan beberapa pedoman lain dalam mengumumkan nama, dan mengatakan bahwa “perlu ada perbedaan yang jelas antara berbagai jenis pertanggungjawaban yang ada – misalnya, jika seseorang secara langsung memerintahkan atau melaksanakan pelanggaran tertentu, atau bila ia menerapkan atau membuat kebijakan yang diketahui dapat menimbulkan pelanggaran berat”. Juga, selain memberikan kesempatan merespon bagi mereka yang hendak dicantumkan namanya, komisi harus “memberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa nama mereka sebaiknya tidak diumumkan, misalnya karena ancaman bagi keselamatan mereka, dan menjadikannya pertimbangan bagi keputusan akhir”. lxxii Sementara pada prinsipnya sederhana, penerapan prosedur demikian bisa sukar dan merepotkan, seperti dijelaskan di atas dalam kasus Afrika Selatan. Belum ada komisi lain yang berusaha untuk menghargai prosedur hukum setaat yang dilakukan komisi Afrika Selatan. Dan pengalaman komisi tersebut jelas menunjukkan kesulitan untuk melakukan hal ini dengan baik. Selain pertimbangan prosedur hukum, sebuah komisi juga harus menentukan berapa banyak bukti yang diperlukannya untuk menyimpulkan temuan, dan standar pembuktian apa yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, komisi El Salvador memiliki aturan dua sumber, yaitu mensyaratkan konfirmasi dari dua sumber yang independen dan kredibel untuk mengkonfirmasi sebuah fakta. Berbeda dengan itu, komisi Afrika Selatan hanya mensyaratkan satu sumber, untuk mengkonfirmasi kisah yang diceritakan oleh saksi dan untuk menentukan kebersalahan pelaku, mengasumsikan bahwa sumber tersebut cukup meyakinkan. Standar yudisial untuk memutuskan bahwa seseorang melakukan kejahatan adalah dengan memberikan bukti yang “tidak dapat diragukan lagi”. Komisi kebenaran biasanya tidak berusaha untuk memenuhi standar yang tinggi tersebut. Sementara tidak ada praktik yang seragam, standar yang mulai diterima di kalangan komisi adalah standar “kesetimbangan probabilitas”, yang berarti bahwa lebih banyak bukti yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar alih-alih tidak benar. lxxiii Sebagai contoh, komisi Afrika Selatan menjelaskan metodologinya sebagai berikut: “Dengan sifat investigatif dalam proses komisi ini dan dampak legal yang terbatas dari pencantuman nama, komisi mendapatkan temuan tentang identitas mereka yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia berdasarkan kesetimbangan probabilitas. Ini memerlukan derajat pembuktian yang lebih rendah daripada hukum pidana konvensional. Ini berarti bahwa, bila terdapat berbagai versi tentang suatu peristiwa, komisi harus menentukan versi mana yang lebih mungkin terjadi atau lebih dapat diterima akal, dengan memperhatikan semua bukti yang ada”. lxxiv Komisi El Salvador menentukan tiga tingkat keyakinan – bila terdapat bukti amat kuat, substansial atau cukup untuk mendasari sebuah temuan – dan mencantumkan tingkat keyakinan tersebut bagi setiap temuannya dalam laporan. Menurut laporan tersebut, ia menerapkan “kriteria ketat dalam menentukan tingkat reliabilitas bukti … [dan] menyebutkan nama hanya bila ia amat yakin dengan bukti yang ada”. lxxv Menurut seorang penasihat senior komisi tersebut, dalam tingkat bukti cukup tidak ada nama yang disebutkan. Komisi-komisi lain yang juga mengumumkan nama para pelaku tidak menjelaskan standar pembuktian yang mereka gunakan, yang sebenarnya tidak adil baik bagi para pembaca laporan maupun bagi para tertuduh. Komisi-komisi di masa depan harus mencantumkan dengan jelas dalam laporannya jumlah atau kualitas bukti yang mendasari temuan mereka seperti satu atau dua sumber primer atau sekunder, dan juga tingkat keyakinan bagi temuan komisi tersebut. Terdapat cara-cara alternatif untuk mencantumkan nama para tertuduh dalam laporan komisi kebenaran, selain dengan menyatakan kesimpulan komisi tentang tanggung jawab orang-orang tertentu. Alih-alih dipresentasikan dalam bentuk setara dengan keputusan pengadilan, laporan komisi bisa disetarakan dengan ringkasan kesaksian yang diberikan di pengadilan, dan komisi berperan seperti peliput alih-alih sebagai hakim. Sebuah komisi bisa meringkas bukti-bukti yang ada, mencantumkan nama yang disebutkan oleh para saksi bila bisa dipercaya, tanpa memberikan kesimpulan yang kuat tentang kebersalahan mereka. Bila komisi mengadakan penyelidikan lebih lanjut dan mendapatkan kesimpulan yang kuat, ia bisa memaparkan temuannya secara mendalam, dengan menggunakan standar yang dijelaskan di atas. Model ini mendekati saran yang diberikan oleh para staf komisi Haiti, yang meminta agar komisi tersebut mencantumkan nama “sebagaimana diberikan oleh para saksi”, terutama yang berulang kali muncul. Ini juga serupa dengan pendekatan yang digunakan komisi Argentina, yang mencantumkan nama-nama para pelaku bila mereka disebutkan dalam kutipan kesaksian meskipun pendekatan komisi ini tidak berimbang, karena kutipan-kutipan tersebut diambil hanya dari sebagian kecil kesaksian yang ada, sehingga nama pelaku yang termuat dalam laporan adalah mereka yang “sial”. Meskipun terdapat pertimbangan serius tentang memfitnah orang-orang tertentu, dan nilai penting yang harus diberikan pada hak jawab bagi mereka yang dituduh, sebuah komisi kebenaran harus berusaha sejauh mungkin untuk mendapatkan kebenaran yang seluas-luasnya, termasuk nama-nama orang yang terlibat dalam pelanggaran. Nama-nama pelaku pelanggaran di tingkat bawah bisa diabaikan bila terdapat ancaman bagi keselamatan mereka maupun saksi yang melaporkan mereka, terutama bila mereka berada di komunitas yang mengalami pelanggaran tersebut. Sebuah komisi harus memfokuskan perhatian pada mereka yang mengorganisir atau mengesahkan pelanggaran besar-besaran, termasuk mereka yang memegang jabatan senior militer atau politik yang dengan sepengetahuan mereka membiarkan tindakan-tindakan tersebut terjadi. Bila keadilan sukar dicapai melalui pengadilan, sebuah komisi berperan penting dengan paling tidak secara terbuka membeberkan hal-hal yang selayaknya membuat para pelaku itu malu. Sebuah komisi harus mempertimbangkan pemberian sanksi non-yudisial bagi mereka yang namanya dimuat dalam laporan, misalnya melarang mereka memegang jabatan publik atau jabatan dalam militer atau badan intelijen, melarang mereka bekerja dalam badan keamanan swasta, dan mencabut hak mereka untuk memegang senjata api. Sementara rekomendasi tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh komisi itu sendiri, ini bisa mendorong para anggota legislatif untuk menerapkan strategi pertanggungjawaban dan mengurangi ancaman pelanggaran lebih lanjut di masa depan oleh orang-orang tersebut, selain kemungkinan yang kecil untuk berhasil mengadili mereka. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii xlviii xlix l li lii liii liv lv lvi lvii lviii lix lx lxi lxii lxiii lxiv lxv lxvi lxvii lxviii lxix lxx lxxi lxxii lxxiii lxxiv lxxv

Bab 9 Sembuh dari Masa Lalu