Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan?

26. Perjanjian untuk Pembentukan Komisi Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu dan Tindakan Kekerasan yang Telah Menyebabkan Penderitaan bagi Rakyat Guatemala UN Doc.448954S1994751, lampiran II, 23 Juni 1994. 27. Mercie Mersky, wawancara dengan penulis, 19 April 1996, Guatemala City. 28. Untuk deskripsi tentang proyek REHMI dan metodologi, lihat Carlos Martin Beristain, “The Value of Memory”, Forced Migration Review 2 1998. 29. Eduardo Rabossi, wawancara dengan penulis, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Bab 7: Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan? 1. “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Doc.A48954S1994751, Lampiran II, 23 Juni 1994. 2. Keadilan bisa memiliki arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda: kata itu bisa melibatkan pemulihan ganti rugi simbolik atau langsung cash bagi para korban; pembalasan dendam dengan prinsip mata ganti mata; atau pengembangan kemasyarakatan atau komunitas untuk mengentaskan kemiskinan atau luka masa lalu. Di Afrika Selatan, komisi kebenaran mengemukakan bahwa proses yang dijalankannya memberikan kontribusi pada keadilan restoratif, dengan memberikan penghargaan kepada para korban, mendorong upaya pemulihan atau ganti rugi, dan memperjuangkan rekonsiliasi nasional, ketimbang keadilan retributif yang bisa berujud penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku. Di sini saya menggunakan keadilan untuk menggambarkan secara sederhana soal tindakan hukum dalam sistem yudisial, yang mengarah pada pengadilan dan penghukuman terhadap pihak-pihak yang dinyatakan bersalah. Bentuk keadilan seperti inilah yang paling sering dituntut oleh para korban. 3. Selama masa kerja dari komisi kedua di Uganda, beberapa anggota komisi mempertanyakan soal kekuasaan penuntutan, merasa kecewa dengan kurangnya tindakan yudisial terhadap kasus-kasus yang diselidiki, namun proposal tersebut ditolak. Barangkali mandat komisi kebenaran di masa depan akan mencakupi kekuasaan tersebut, kendatipun hal ini tentu saja akan menimbulkan kerumitan dalam hal perannya serta melampaui wilayah kerjanya sendiri. 4. Amnesti diberlakukan di Guatemala pada akhir 1996, kendatipun negara tersebut membiarkan begitu banyak kejahatan hak asasi manusia. Amnesti-amnesti sebelumnya di Guatemala mencegah penuntutan terhadap tindakan-tindakan sebelum 1987. Namun antara tahun 1987 dan 1996, terdapat begitu banyak pembunuhan, penghilangan, dan pelbagai kejahatan lainnya yang tidak bisa dicakupi dengas satu amnesti melainkan dengan tindakan kecil. Sebuah tim pengacara hukum internasional berbasis di Haiti untuk mendorong penuntutan dalam kasus-kasus kunci dalam tahun-tahun langsung setelah kudeta pemerintahan, namun dengan sedikiti kesuksesan. Tentang Haiti, lihat Michael P. Scharf, “Swapping Amnesty for Peace: Was There a Duty to Prosecute International Crimes International Crimes in Haiti?”, Texas International Law Journal 31 196, hlm. 1-41. 5. Pengadilan domestik untuk genosida 1994 di Rwanda hanya dimulai secara perlahan-lahan pada akhir 1996, setelah berlakunya sebuah undang-undang yang dimaksudkan untuk memfasilitasi proses penanganan sejumlah kasus yang luar biasa banyaknya ini, yang mendorong adanya pengakuan dengan imbalan pengurangan hukuman “Hukum Organik 30 Agustus 1996 tentang organisasi penuntutan untuk penyerangan yang dinyatakan sebagai kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan sejak 1 Oktober 1990”. Pada tahun 1999, pemerintahan Rwanda merencanakan untuk menggunakan struktur dan praktik komunitas tradisional agar membantu dalam proses kategori yang lebih rendah dari kejahatan yang berkaitan dengan genosida. Pengadilan-pengadilan “Gacaca” ini, demikian mereka sering disebut, terdiri dari pertemuan kampung yang membolehkan komunitas membantu menentukan hukuman yang tepat bagi masing-masing pelaku, yang mungkin juga mencakupi pertimbangan soal pemulihan langsung bagi para korban. Untuk deskripsi lengkap tentang pengembangan jenis pengadilan ini, lihat Stef Vandeginste, “Justice, Reconciliation, and Reparation after Genocide and Crimes against Humanity: The Proposed Establishment of Popular Gacaca Tribunals in Rwanda”, paper dipresentasikan di All-Africa Conference on African Principles of Conflict Resolution and Reconciliation, Addis Ababa, 8 – 12 November 1999. 6. Pembatasan yang ditimpakan pada kemampuan pasca-transisi untuk melakukan penuntutan tidak selalu dalam bentuk hukum amnesti. Sebagai contoh, pemerintahan apartheid terakhir di Afrika Selatan mengesahkan sebuah undang-undang pada tahun 1992. Undang-undang tersebut memberikan kemerdekaan dan keamanan kedudukan kepada para jaksa penuntut umum yang diangkat oleh pemerintah apartheid Undang-Undang tentang Jaksa Penuntut Umum. Undang-undang tersebut tampaknya memperkuat kedaulatan hukum dengan mengesampingkan keputusan untuk menuntut dari pengaruh politik, namun undang-undang tersebut justru di pihak lain mempersulit pemerintahan yang baru untuk mengganti orang-orang yang menentang atau menghalangi penuntutan terhadap para pelaku kejahatan di masa lalu. 7. Lihat, sebagai misal, Michael P. Scharf, “The Letter of the Law: The Scope of the International Legal Obligation to Prosecute Human Rights Crimes”, Law and Contemporary Problems 59 1996, hlm. 41-61; Diane Orentlicher, “Setting Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 1991, hlm. 2537-2618; Naomi Roht-Arriaza, ed., Impunity and Human Rights in International Law and Practice , Oxford: Oxford University Press, 1995; dan Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy , Oxford: Oxford University Press, 1997. 8. Lihat, sebagai misal, Juan E. Méndez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19 1995, hlm. 255-282. 9. Untuk tinjauan tentang amnesti di Amerika Latin dan tentang respon legal internasional, lihat Douglas Cassel, “Leson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities”, Law and Contemporary Problems 59 1996, hlm. 197-230. 10. Legislative Decree 486 El Salvador, 20 Maret 1993. 11. Sekretaris Jenderal Boutros Boutros-Ghali mengemukakan keprihatinannya bahwa hukum amnesti ditetapkan terlalu cepat, yang menyatakan bahwa “mestinya lebih dipilih jika amnesti telah dinyatakan setelah didapatkannya suatu konsensus nasional sebagai dukungan terhadapnya,” namun kebanyakan pengamat pemerintahan atau antar-pemerintahan tetap saja berdiam diri. Lihat “Report of the Secretary-General on All Aspects of ONUSAL’s Operation”, UN Doc.S25812, 21 Mei 1993, hlm. 2. Untuk suatu bahasan yang lebih luas tentang hal ini, lihat Martha Doggett, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador , New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 271-276. 12. Michael Posner, Lawyers Committee for Human Rights, wawancara oleh penulis, 13 Maret 1996, New York. 13. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 178-179. 14. Margaret Popkin, “Judicial Reform in Post-War El Salvador: Missed Opportunities”, paper dipresentasikan pada konferensi yang diadakan oleh Latin American Studies Association, 28-30 September 1995, hlm. 6-7. 15. Thomas Buergenthal, wawancara dengan penulis, 14 Juni 1996, Washington, DC. 16. Lawyers Committee for Human Rights, “El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects for Legal Reform”, New York: Lawyers Committee for Human Rights, Juni 1993, hlm . 74-75. 17. Luis Moreno Ocampo, wawancara dengan penulis, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. 18. Pertama, hukum “Punto Final” Full Stop, menetapkan tanggal pemutusan bagi inisiatif penuntutan terhadap kejadian-kejadian selama periode pemerintahan militer; hukum yang kemudian, hukum “Due Obedience” mencegah penuntutan bagi mereka yang mengklaim diri telah bertindak di bawah tekanan atau aturan yang lebih tinggi. Lihat Truth and Partial Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 47-52. 19. Jumlah pasti dari kasus-kasus yang diarahkan untuk dilakukan penuntutan tidak jelas. Laporan komisi mencakupi suatu daftar lebih dari empat puluh kasus yang diajukan kepad polisi atau kepada direktur penuntutan publik. 20. Arthur Oder, wawancara dengan penulis, 10 Oktober 1996, Kampala, Uganda. 21. Alfred Nasaba, wawancara dengan penulis, 14 Oktober 1996, Kampala, Uganda. 22. George Kanyeihamba, wawancara dengan penulis, 11 Oktober 1996, Kampala, Uganda. 23. Bart Katureebe, wawancara dengan penulis, 13 Oktober 1996, Kampala, Uganda. 24. Untuk penggambaran lebih jauh tentang prinsip tanggung jawab komando, lihat Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities, hlm. 119-120; Michael P. Scharf, “Swapping Amnesty for Peace”, hlm. 33-34. 25. Arthur Oder, wawancara. 26. René Magloir, wawancara dengan penulis, 6 Desember 1995, Port-au-Prince, Haiti. 27. Francisco Cumplido, sekretaris jenderal University of Chile dan mantan menteri kehakiman di bawah Presiden Patricio Aylwin Azocar, wawancara dengan penulis, Desember 1996, Santiago, Cili. 28. “Discurso de S.E. El Presidente de la Republica, Don Patricio Aylwin Azocar, al dar a Conocer a la Ciudadania El Informe de la Comisión de Verdad y Reconciliatión, 4 Maret 1991; diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Statement by President Aylwin on the Report of the National Commission on Truth and Reconciliation”, dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 169-173. 29. Tentu saja kasus-kasus ini tidak selalu bisa ditangani dengan mudah. Beberapa anggota keluarga dari mereka yang hilang telah berupaya sebisa mereka dengan mengikuti prosedur yang ada, namun hasilnya tidak memadai. Pada tahun 1996, keinginan untuk membuat kasus-kasus tersebut tetap bisa dibuka akhirnya malah memudar, tergantung pada komitmen individual hakim yang menanganinya, dan sangat terpengaruh oleh kurangnya minat dan perhatian dari presiden saat itu yaitu Eduardo Frei. 30. Keputusan Mahkamah Agung Cili didasarkan pada penalaran bahwa hingga mayat para korban itu ditemukan dan diidentifikasi, kejahatan yang dilakukan itu bukanlah pembunuhan melainkan penculikan, yang berarti bahwa kejahatan aslinya merupakan bagian dari kejadian atau peristiwa yang berlanjut yang terus terjadi melampaui batasan amnesti tahun 1978. Lihat Clifford Kraus, “Chilean Military Faces Reckoning for Its Dark Past”, New York Times, 3 Oktober 1999, A10. 31. Ibid. 32. Dullah Omar, wawancara dengan penulis, 27 Agustus 1996, Cape Town, Afrika Selatan. 33. Wawancara dengan penulis, 7 November 1997, Afrika Selatan. 34. Paul van Zyl, wawancara dengan penulis, November 1997, Johannesburg, Afrika Selatan. 35. Robert Kogod Goldman, “Report to the Lawyers Committee for Human Rights on the Jesuit Murder Trial”, dalam Doggett, Death Foretold, lampiran C, hlm. 326. 36. Ibid., hlm. 324, 328. 37. Guatemala: Memory of Silence Conclusions and Recommendation, hlm. 18-19. 38. Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, vol. I, hlm. 117-118. 39. Ibid., hlm. 119. 40. Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 387. 41. Ibid., 386-387. 42. Report of the Commission of Inquiry into Violations of Human Rights: Findings, Conclusions and Recommendations , Kampala, Uganda: Commission of Inquiry into Violations of Human Rights, 1994, hlm. 234. 43. From Madness to Hope, hlm. 121. 44. Ibid., hlm. 178. 45. Ibid., hlm. 172-173. 46. Robert O. Weiner, “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human Rights Amnesties”, St. Mary’s Law Journal 26 1995, hlm. 857-875. 47. Ibid., hlm. 873-875.

Bab 8: Menyebutkan Nama Tertuduh