Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer?

Convened by the University of Malawi and the Robert F. Kennedy Center for Human Rights at Lilongwe, Malawi, 18-19 Oktober 1996 , Washington, DC: Robert F. Kennedy Center, April 1997. 40. Lihat Seth Mydans, “In a Tiny Office, Khmer Rouge Files Tell Grisly Tales”, New York Times, 13 Januari, 1999, A3. 41. Allan Nairn, “Haiti Under the Gun”, The Nation, 15 Januari 1996, 11-15; dan “Haiti Under Cloak”, editorial, The Nation, 26 Februari 1996, 4-5; dan “Danger Signs in Haiti”, editorial, New York Times, 9 September 1996, A14. Kepala FRAPH, Emmanuel Constant, mengaku bekerja untuk badan pusat intelejen Amerika Serikat U.S. Central Intelligence Agency; walaupun Haiti telah meminta agar ia diekstradisi, ia hidup dengan bebas di Queens, New York. 42. Dalam kasus yang sama, Central Intelligence Agency menyita banyak dokumen yang sensitif dari Stasi Jerman Timur, atau polisi rahasia, setelah Tembok Berlin diruntuhkan. CIA lama sekali menolak pengembalian dokumen-dokumen ini, sehingga menimbulkan ketegangan antara Amerika Serikat dan Jerman, suatu persetujuan akhirnya dicapai pada akhir tahun 1999 untuk mengembalikan sebagian besar dari dokumen-dokumen tersebut. Lihat Roger Cohen, “Germany’s East is Still Haunted by Big Brother”, New York Times, 19 November 1999, A12. 43. Lihat Tim Weiner, “Interrogation, C.I.A.-Style: The Spy Agency’s Many Mean Ways to Loosen Cold-War Tongues”, New York Times, 9 Februari 1997, dan Dana Priest, “Army’s Project Had Wider Audience: Clandestine Operations Training Manuals Not Restricted to Americas”, Washington Post, 6 Maret 1997, A1, A16. 44. Lihat, misalnya, Peter Kornbluh, “Chile’s ‘Disappeared’ Past: US should Acknowledge Complicity in Murderous Regime”, Boston Globe, 13 September 1998, E2, dan Tim Wiener, “All the President Had to Do Was Ask: The C.I.A. Took Aim at Allende”, New York Times, 13 September 1998, hlm. 4-7. 45. Hanya ada sedikit pengecualian: pada pertengahan tahun 1970-an, Senat menyelidiki dan mengeluarkan laporan panjang tentang cabang intelijen dari pemerintah AS. Lihat Report of the Senate Select Committee to Study Governmental Operations with Respect to Intelligence Activities , vols. 1-7, Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1976, umumnya dikenal dengan nama Church Committee Report. Setelah dikeluarkannya laporan komisi kebenaran El Savador, pemerintahan Clinton menunjuk suatu panel untuk “menyelidiki implikasi” dari laporan tersebut terhadap “penerapan kebijakan luar negeri AS dan operasi-operasi Departemen Negara”, namun dengan mandat yang sempit yang tidak mencakup peninjauan ulang kebijakan AS terhadap El Savador. Ahli dalam hal El Savador mengkritik laporan tersebut sebagai tidak terlalu dapat dipercaya. U.S. Department of State, Report of the Secretary of State’s Panel on El Salvador, Juli 1993. Lihat juga Martha Dogget, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 270. Melihat cerita ini, beberapa pengamat telah meminta komisi kebenaran di Amerika Serikat untuk menilik dukungan Amerika Serikat terhadap rezim represif tersebut dan keterlibatannya dalam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi. Hal ini telah diangkat terutama tentang keterlibatan AS di Amerika Tengah, seperti yang dapat dilihat dalam Thomas Buergenthal, “The U.S. Should Come Clean on ‘Dirty Wars’”, New York Times, 8 April1998. Bab 13: Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer? 1. Ketentuan “pengecualian” opt-out mengizinkan negara-negara untuk menolak juridiksi Mahkamah terhadap kejahatan perang selama tujuh tahun pertama setelah perjanjian tersebut disahkan oleh negara bersangkutan. Lebih jauh lagi, kejahatan “agresi” akan masuk ke dalam juridiksi Mahkamah “setelah suatu ketentuan diadopsi ... yang mendefinisikan kejahatan tersebut dan menentukan kondisi-kondisi atau syarat-syarat dari Mahkamah untuk menerapkan juridiksinya berkenaan dengan kejahatan tersebut”, dan dengan persetujuan tujuh per delapan dari negara pihak untuk membuat amandemen terhadap statuta tersebut. Lihat Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, UN.Doc. AConf.1839, 17 Juli 1998 Pasal 5 paragraf 2 dapat diakses di www.un.orgiccromestat.htm . Amerika Serikat merupakan negara pertama dari tujuh negara yang memilih untuk menolak statuta Mahkamah ini. Lihat Alessandra Stanley, “US Dissents, but Accord is Reached on War Crimes Court”, New York Times, 18 Juli, 1998 A3. Untuk analisis dan kritik dari keberatan Amerika Serikat, Lihat Kenneth Roth, “The Court the US Doesn’t Want”, New Your Review of Books, 19 November 1998, hlm. 45-47. Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki jurisdiksi atas suatu kasus kecuali bila negara di mana kejahatan tersebut terjadi atau negara yang warganya adalah tertuduh merupakan negara pihak atau telah menyatakan persetujuannya atas jurisdiksi pengadilan tersebut. Batasan ini tidak berlaku bila Dewan Keamanan mengajukan suatu situasi kepada pengadilan dengan menggunakan wewenang Pasal VII dari Piagam PBB. Pengadilan juga tidak mempunyai jurisdiksi bila negara yang bersangkutan sudah sedang menyelidiki atau mengadili kasus tersebut, kecuali bila Mahkamah dapat membuktikan bahwa negara tersebut tidak dapat atau tidak mau melakukan proses peradilan yang benar. Mahkamah ini juga tidak dapat mencakup kejahatan yang terjadi sebelum ia berdiri. 2. Banyak dari mereka yang terlibat dalam pengembangan statuta Mahkamah ini berasumsi bahwa isu utama yang berkaitan dengan komisi kebenaran yang sesuai dengan Mahkamah ini adalah mengenai isu amnesti nasional yang tidak akan diakui oleh Mahkamah. Pertanyaan-pertanyaan lain mengenai penyelidikan komisi kebenaran yang paralel dengan penyelidikan pengadilan tidak dibahas dalam diskusi multilateral menurut para pembela dan aktivis LSM yang mengikuti dan mengawasi dengan cermat diskusi-diskusi tersebut. Wawancara olen penulis pada akhir tahun 1998 dengan Helen Duffy, penasihat Kampanye ICC, Human Rights Watch, New York; Jelene Pejic, Koordinator Program Senior untuk Eropa, Lawyer Committee for Human Rights, New York; dan Christopher Hall, penasihat hukum, Amnesty International, London. 3. Mengenai proposal komisi kebenaran di Bosnia secara umum, lihat Neil J. Kritz dan William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for Bosnia and Herzegovina: Why, How, And When?” makalah yang dipresentasikan pada Simposium Ilmu Korban Victimology, Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998. Lihat pula Neil J. Kritz, “Is a Truth Commission Appropriate in the Former Yugoslavia?” makalah yang dipresentasikan pada Konferensi tentang Pengadilan Kejahatan Perang, Belgrade 7-8 November 1998. The U.S. Institute of Peace yang berbasis di Washington memprakarsai diskusi dan dukungan terhadap gagasan komisi kebenaran di Bosnia pada tahun 1997 dan 1998 atas permintaan pemerintah Bosnia dan bekerja-sama dengan beberapa organisasi LSM lokal Bosnia. 4. Lihat komentar yang dikeluarkan oleh Ian Martin ketika menjadi panel di “Kebutuhan atas dan Kemungkinan Dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Wilayah Mantan Yugoslavia”, Konferensi mengenai Sidang Kejahatan Perang, Belgrade, 7-8 November 1998. Karena perwakilan dari Tribunal tidak dapat hadir di konferensi Belgrade, pandangan mereka disampaikan oleh Ian Martin yang saat itu menjabat sebagai deputi perwakilan tinggi untuk hak asasi manusia, Kantor Perwakilan Tinggi, Sarajevo. Komentarnya tidak serta-merta mencerminkan posisi dari Kantor Perwakilan Tinggi. 5. Sementara pengurangan atau pembatalan dana untuk Tribunal agar mendapatkan dukungan bagi komisi bisa memberikan gambaran yang kurang akurat kepada masyarakat internasional mengenai peranan komisi kebenaran, beberapa pengamat yang bertempat strategis takut bahwa hal ini mungkin saja terjadi. Namun demikian, ukuran dan sumber daya yang dibutuhkan kedua mekanisme tersebut memang berbeda: untuk tahun fiskal 1999 anggaran tribunal hampir mencapai 100 juta dollar dengan 900 staf. Komisi kebenaran yang digagaskan, bila memang berdiri, diproyeksikan akan menghabiskan sekitar 15-20 juta dollar selama dua tahun. 6. Wawancara oleh penulis dengan berbagai akademisi hukum, pengamat, dan pendukung baik Tribunal maupun gagasan tentang komisi kebenaran, 1998 dan 1999. Sebagai tambahan, mantan Ketua Penuntut Umum Tribunal, seorang hakim Afrika Selatan bernama Richard Goldstone, telah menyatakan dukungannya yang kuat terhadap pembentukan komisi kebenaran di Bosnia. Lihat Richard J. Goldstone, “Ethnic Reconciliation Needs the Help of Truth Reconciliation Commission”, International Herald Tribune , 24-25 Oktober 1998, hlm. 6. Lihat juga Tina Rosenberg “Trying to Break the Cycle of Revenge in Bosnia”, New York Times, 22 November 1998, bag. 4, hlm. 16. 7. Standar pembuktian yang digunakan komisi kebenaran versus yang digunakan pengadilan didiskusikan dalam bab 8 dan 14 8. Kekuasaan Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia lebih besar dari Mahkamah Pidana Internasional dalam bidang mengakses barang bukti. Tribunal memiliki kekuasaan sub-poena yang sama dan dapat meminta materi komisi kebenaran kapan saja diperlukan. Kekuasaan Mahkamah lebih lemah, yakni berupa permintaan tidak mengikat kepada pemerintah yang bersangkutan. 9. Statuta juga meminta “bantuan dalam bentuk apa pun yang tidak melanggar hukum dari negara yang bersangkutan, dengan maksud memfasilitasi penyelidikan dan pengadilan dari kejahatan-kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi pengadilan” Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 93 par. 1. Negara pihak berhak menolak permintaan bantuan Mahkamah bila permintaan tersebut bersangkutan dengan “dokumen atau pengungkapan barang bukti yang berhubungan dengan keamanan nasionalnya” walaupun apa yang dimaksud keamanan nasional itu sendiri tidak didefinisikan; Pasal 93 par .4. 10. Sementara banyak komisi kebenaran yang menyerahkan dokumen-dokumennya kepada pengadilan domestik, dalam beberapa kasus, sebagaimana yang digambarkan di bab-bab terdahulu, amnesti nasional atau sistem yudisial yang rusak telah menghilangkan ancaman pengadilan dan penghukuman, sehingga beberapa pelaku telah dengan sukarela menyediakan informasi bagi komisi kebenaran. Sementara Statuta Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah akan “memastikan kerahasiaan dari dokumen dan informasi, kecuali dibutuhkan dalam penyelidikan dan proses yang digambarkan dalam permintaan” dan bahwa negara dapat meminta informasi yang diberikan kepada pengadilan digunakan “hanya untuk tujuan memunculkan bukti baru”, kemungkinan dari hubungan antara suatu komisi dan pengadilan dapat menghalangi mantan pelaku dari bekerja-sama dengan penyelidikan komisi, terlebih lagi bila Mahkamah tersebut menjadi tambah kuat seiring dengan jalannya waktu. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, pasal 93, par. 8a dan b. 11. Lihat Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, pasal 93, par. 8a dan b yang menyatakan bahwa: I. ... Pengadilan akan menyatakan bahwa kasus itu tidak dapat diproses inadmissable bila: a kasus yang sedang disidik atau diadili oleh negara yang memiliki jurisdiksi atasnya, kecuali bila negara tersebut tidak mau atau tidak mampu dengan bersungguh-sungguh melakukan penyelidikan atau pengadilan; b kasus telah diselidiki oleh negara yang memiliki jurisdiksi atasnya dan negara telah memutuskan untuk tidak mengadili orang tersebut, kecuali bila keputusan itu merupakan hasil dari ketidakmauan atau ketidakmampuan dari negara untuk sungguh-sungguh mengadili. 12. Marshall Freeman Harris, R. Bruce Hitchner dan Paul R. Williams, Bringing War Criminals to Justice: Obligations, Options, Recommendations , Dayton: The Center for International Programs, University of Dayton, 1997, hlm. 25. Para penulis ini mengutip contoh Kantor Jaksa Khusus di Etiopia sebagai suatu badan yang telah melakukan peranan kejaksaan maupun komisi kebenaran; lihat gambaran dari kantor jaksa Etiopia dalam bab 2.

Bab 14: Melihat Komisi dari Dalam: Masalah dan Penyelesaian