Bab 5 Enam Belas Komisi Kebenaran
yang Kurang Dikenal
Meskipun enam belas komisi kebenaran yang dibicarakan dalam bab ini berukuran lebih kecil dan tidak mendapat perhatian internasional sebesar lima komisi kebenaran yang
dibahas dalam bab sebelumnya, namun beberapa di antaranya memiliki peran penting dalam transisi di negaranya. Banyak dari enam belas komisi ini, yang digambarkan dalam
urutan kronologis, menawarkan pelajaran yang penting, terutama dalam menunjukkan mandat yang luas dan metode operasi yang berbeda-beda yang telah digunakan.
Tidak semuanya berhasil. Sementara hampir semua komisi tersebut dijalankan dengan baik – meskipun pembentukannya mungkin memiliki motif politik tertentu –
beberapa penyelidikan tersebut mengalami masalah besar dalam usahanya mendokumentasikan kejahatan di masa lalu, atau tidak pernah mendapatkan perhatian
nasional yang signifikan atau kepercayaan dari masyarakat, untuk bisa menjadi kekuatan yang besar di negaranya. Karena kurangnya dukungan politik atau perubahan kondisi
politik pada masa penyelidikannya, atau karena tekanan untuk membatasi penyidikan agar tidak membahayakan pemimpin atau perwira tinggi militer, beberapa komisi gagal
menyelesaikan tugasnya atau mengalami kesulitan yang besar dalam usahanya. Dua dari komisi di bawah ini Bolivia dan Ekuador tidak menyelesaikan tugasnya. Komisi akhirnya
menghentikan penyelidikannya dan negara pun membubarkan komisi sebelum tugasnya selesai. Dua komisi lain menyelesaikan laporan yang dirahasiakan, paling tidak pada
awalnya, karena dianggap terlalu berisiko untuk diumumkan dalam kondisi politik yang berubah-ubah Burundi, atau dianggap memiliki informasi yang tidak sesuai dengan
kepentingan pimpinan politik Zimbabwe. Sebuah laporan lain, di Haiti, diumumkan oleh pemerintah baru setelah mengalami banyak penundaan, dan tidak pernah sampai ke tangan
masyarakat.
Banyak komisi mengalami masalah pengelolaan, operasional atau pendanaan yang mendasar, tidak memiliki pemimpin yang cakap untuk menjalankan tugas organisasi yang
berat dalam waktu yang singkat. Paling tidak satu komisi dibentuk dengan tujuan utama untuk menghentikan kritikan internasional komisi Uganda 1974 pada masa Idi Amin
Dada; meskipun komisi tersebut berusaha bekerja seserius mungkin, jelas bahwa kepentingan presiden bukanlah untuk memajukan penghargaan hak asasi manusia. Komisi
Uganda 1974 merupakan satu dari sedikit komisi dalam buku ini yang bukan merupakan bagian dari transisi politik mendasar, seperti akhir kediktatoran atau hasil kesepakatan
untuk menghentikan perang saudara. Selain itu, komisi di Zimbabwe, meskipun dibentuk pada akhir masa represi terhadap penduduk di daerah selatan negeri tersebut, tidak
menandai transisi politik nasional yang besar.
Di pihak lain, bahkan dengan semua batasan tersebut, banyak dari komisi-komisi kecil atau kurang terkenal ini memiliki keberhasilan kecilnya, dan kadang-kadang
memberikan kontribusi yang mengejutkan, dan perlu dipelajari dalam usaha memperbaiki badan-badan serupa di masa depan.
Uganda 1974 Komisi Penyelidikan Penghilangan Orang di Uganda sejak 25 Januari 1971 dibentuk oleh
Presiden Idi Amin Dada di Uganda pada bulan Juni 1974, dengan mandat untuk menyelidiki tuduhan penghilangan oleh militer pada tahun-tahun pertama masa
pemerintahan Amin.
i
Komisi tersebut dibentuk sebagai jawaban tekanan yang semakin besar untuk menyelidiki penghilangan tersebut, terutama dari komunitas internasional, dan
terdiri dari seorang hakim ekspatriat Pakistan sebagai ketua, dua superintenden polisi Uganda, dan seorang perwira militer Uganda. Disahkan melalui perintah presiden sesuai
Undang-Undang Komisi Penyelidikan 1914, komisi tersebut memiliki kekuasaan untuk memaksa seseorang untuk memberikan kesaksian dan kekuasaan untuk meminta bukti dari
sumber resmi, meskipun akses informasi dihalangi oleh berbagai sektor pemerintahan, termasuk polisi militer dan intelijen militer. Komisi tersebut mendengarkan 545 saksi dan
mendokumentasikan 308 kasus penghilangan; kesaksian diberikan secara publik kecuali bila diminta sebaliknya.
“Memandang kesulitan berat yang dihadapi dan kondisi politik yang tidak bersahabat, apa yang dicapai komisi tersebut sungguh luar biasa”, tulis Richard Carver,
yang pada saat itu menjabat sebagai direktur riset Human Rights Watch divisi Afrika. Carver melanjutkan, “Komisi tersebut menyimpulkan bahwa Unit Keamanan Rakyat dan
Badan Riset Negara
, keduanya badan keamanan khusus yang dibentuk Amin, memiliki tanggung jawab terbesar atas ‘penghilangan’ tersebut. Komisi juga mengkritik perwira
angkatan bersenjata untuk penyalahgunaan kekuasaan, juga kegiatan polisi militer dan intelijen”.
ii
Komisi tersebut menyimpulkan sejumlah saran spesifik untuk perbaikan polisi dan angkatan bersenjata, dan pelatihan pejabat hukum pada bidang hak-hak legal
masyarakat. Sebagai komisi yang bekerja di bawah dan memberikan saran kepada pemerintahan
yang sama dengan yang diselidikinya, prioritas pertamanya adalah untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut oleh pemerintah. Namun komisi tersebut dibentuk tanpa
keinginan politik atau komitmen untuk perubahan dalam kebijakan atau praktik hak asasi manusia, dan laporan komisi tersebut nyaris tidak memiliki dampak terhadap tindakan
pemerintah Amin. Presiden Amin tidak mengumumkan laporan komisi ia juga tidak diwajibkan melakukan hal tersebut dalam syarat pembentukan komisi, dan tidak ada saran
komisi yang dijalankan. Sebagaimana kini dikenal luas, pelanggaran oleh pemerintahan Amin meningkat pesat pada tahun-tahun sesudahnya, menjadikan Amin dikenal sebagai
“penjagal dari Uganda”. Hanya ada satu kopi laporan tersebut di negara itu.
iii
Carver menanyakan, “Lalu apakah semua itu adalah pemborosan waktu?” Ia menjawab tidak, dengan tiga alasan. Ia menunjukkan pentingnya komisi itu dalam
membantah pandangan revisionis mengenai dekade 1970-an di Uganda; fakta bahwa penghilangan berkurang pada waktu singkat ketika komisi melakukan penyelidikan; dan
fakta bahwa pengetahuan tentang kekejaman ini memberikan beban tanggung jawab kepada pendukung internasional Amin yang terus mendukungnya sepanjang dekade
1970-an.
iv
Komisi Uganda 1974 nyaris terlupakan dari sejarah: pada saat dibentuknya Komisi Uganda untuk Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tahun 1986, tidak ada
referensi pada komisi serupa yang telah bekerja hanya 12 tahun sebelumnya.
v
Bolivia Komisi kebenaran pertama di Amerika Latin dibentuk di Bolivia, ketika pemerintah
Presiden Hernán Siles Zuazo mendirikan Komisi Nasional Penyelidikan Penghilangan hanya beberapa hari setelah kembalinya pemerintahan demokratis pada bulan Oktober
1982. Delapan anggota komisi, yang dipilih sebagai wakil masyarakat, merupakan sekretaris hakim agung; masing-masing satu anggota DPR dan MPR; masing-masing satu
wakil dari angkatan bersenjata, federasi buruh dan federasi petani; dan satu wakil dari dua organisasi hak asasi manusia nasional. Komisi tersebut terkenal pada masanya, dan
mengumpulkan kesaksian mengenai 155 penghilangan antara 1967 hingga 1982. Pada beberapa kasus, komisi berhasil menemukan sisa-sisa dari orang yang dihilangkan, namun
pada akhirnya tidak ada kasus yang diselidiki hingga tuntas, demikian menurut Loyola Guzmán, sekretaris eksekutif komisi dan wakil dari organisasi hak asasi manusia.
vi
Sayangnya, mandat komisi tidak memungkinkan penyelidikan mendalam tentang kebenaran, karena penyiksaan, penahanan ilegal dan berkepanjangan serta pelanggaran
lain tidak dibahas. Komisi meminta bantuan enam staf teknis dan mendapat bantuan dana terbatas dari pemerintah, namun tidak memiliki cukup sumber daya dan dukungan politik
untuk menyelesaikan kerjanya, menurut Guzmán. Setelah dua tahun, komisi bubar tanpa ada laporan akhir; Guzmán kemudian berusaha untuk mendapatkan akses ke bahan-bahan
yang telah dikumpulkan komisi dengan harapan untuk menerbitkan sebuah laporan.
vii
Komisi ini segera tersingkir setelah dimulainya pengadilan pada pertengahan dekade 1980-an terhadap 49 mantan perwira dan agen paramiliter pemerintahan Luis
García Meza Tejada seorang komandan militer yang merebut kekuasaan pada tahun 1980 dan memerintah negara, dengan kebijakan yang represif, selama lebih dari setahun. Pada
akhirnya, kombinasi komisi kebenaran, pengadilan dan usaha pribadi untuk menemukan kebenaran memberikan hasil yang dianggap secara keseluruhan positif oleh Human Rights
Watch.
viii
Uruguay Setelah sebelas tahun berada di bawah kekuasaan militer, pada bulan April 1985, parlemen
Uruguay membentuk Komisi Penyelidikan Keberadaan Orang-Orang “Hilang” dan Penyebabnya. Setelah tujuh bulan, komisi melaporkan 164 penghilangan selama masa
pemerintahan militer, dan memberikan bukti keterlibatan pasukan keamanan Uruguay, yang diteruskan ke Kejaksaan Agung Uruguay. Seperti di Bolivia, mandat komisi yang
terbatas menghalangi komisi menyelidiki banyak taktik yang represif, terutama penahanan ilegal atau penyiksaan, yang jauh lebih banyak terjadi daripada penghilangan.
Sebagaimana ditulis penganjur hak asasi manusia Cili, José Zalaquett, “Sebuah praktik sistematis ‘penghilangan’ seperti di Argentina, atau dalam skala lebih kecil, di Cili,
bukanlah metodologi represi militer Uruguay”.
ix
Ia melanjutkan, “Meskipun merupakan pengetahuan umum di Uruguay dan luar negeri bahwa penyiksaan dipraktikkan secara
sistematis selama pemerintahan militer, tidak ada catatan resmi mengenai praktik ini. Militer tidak mengaku secara terang-terangan bahwa mereka melakukan itu. Secara rahasia
mereka berusaha menjustifikasi penyiksaan sebagai cara terakhir dan sebagai pilihan yang paling kecil keburukannya dibandingkan pilihan lainnya”.
x
Presiden Uruguay secara umum menentang semua usaha menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana dicatat Robert Goldman dari American University, yang
mengamati proses transisi di negeri tersebut.
xi
Wilder Tayler, sekretaris eksekutif Institut Studi Hukum dan Sosial Uruguay mengatakan betapa ia kecewa dengan laporan komisi itu.
Komisi itu merupakan move politik, menurutnya, “bukan usaha serius demi hak asasi manusia”.
xii
Dalam laporannya, komisi tersebut memang menyimpulkan bahwa militer Uruguay terlibat dalam penghilangan yang diselidiki, dan menyerahkan temuannya ke
pengadilan. Namun, komisi ini maupun komisi lain yang menyelidiki pembunuhan dua anggota parlemen “mampu menemukan bukti kuat mengenai proses pengambilan
keputusan institusional yang mengarah pada kejahatan tersebut”, tulis Alexandra Barahona de Brito, yang mempelajari kebijakan kebenaran dan keadilan Uruguay dan Cili.
xiii
“Meskipun koordinasi tindakan represif antara militer Argentina dan Uruguay dan tanggung jawab institusional militer Uruguay ‘terbukti’ oleh kesaksian beberapa orang”,
tulis Barahona de Brito, komisi mengubah laporan akhirnya pada saat-saat terakhir, di bawah tekanan politis, dan mengklaim bahwa ia tidak bisa menyimpulkan bahwa
“pelanggaran prosedur” tersebut merupakan kebijakan atau tanggung jawab institusional.
xiv
Laporan komisi, meskipun merupakan dokumen publik, tidak didistribusikan secara luas, juga temuannya tidak diumumkan secara resmi. Kedua komisi tersebut “gagal
menemukan kebenaran nasional” dan “lingkup bahasannya yang terbatas tidak menuntut penjelasan resmi atau jawaban dari pemerintah sebelumnya dan otoritas militer”, tulis
Barahona de Brito.
xv
Sebagai jawaban atas keterbatasan penyelidikan resmi tersebut, sebuah organisasi non-pemerintah melaksanakan program kebenarannya sendiri, yang
berakhir dengan penerbitan laporan pelanggaran pada masa pemerintahan militer yang jauh lebih mendalam.
xvi
Zimbabwe Sebagaimana di Uruguay, kerja Komisi Penyelidikan Zimbabwe juga tidak terkenal,
namun untuk alasan yang berbeda: laporannya tidak pernah diumumkan ke publik, dan tidak seorang pun di luar pemerintahan yang sudah melihatnya.
Komisi penyelidikan dibentuk di Zimbabwe pada tahun 1985 untuk menyelidiki represi pemerintah terhadap “pemberontak” di wilayah Matabeleland. Komisi tersebut
bekerja di bawah pengawasan presiden, dan diketuai seorang pengacara Zimbabwe; setelah beberapa bulan penyelidikan ia menyampaikan laporannya langsung ke presiden pada
tahun 1984 [sic]. Sementara pada awalnya pemerintah berjanji untuk mengumumkan temuan komisi tersebut, lebih dari setahun setelah selesainya kerja komisi menteri
kehakiman mengumumkan tanpa penjelasan bahwa laporan komisi tidak akan diumumkan.
xvii
Meskipun pada waktu itu komisi tersebut tidak mendapatkan banyak perhatian dari dalam negeri, terdapat tekanan yang meningkat dari LSM nasional dan
internasional untuk mengumumkan laporan tersebut pada tahun-tahun setelah selesainya penyelidikan komisi tersebut. Sementara di satu sisi organisasi hak asasi manusia
menekankan pentingnya pertanggungjawaban terhadap kejahatan, di sisi lain keluarga
korban menginginkan pengakuan resmi terhadap pembunuhan itu; salah satu alasannya agar mereka bisa mendapatkan kompensasi. Isu ini menjadi semakin kontroversial karena
pemerintah menolak mengakui kematian beberapa ribu penduduk sipil dalam konflik itu.
xviii
Pemerintah menolak menerbitkan laporan itu. Karena ketegangan antara dua kelompok etnik terbesar di Zimbabwe, pemerintah mengklaim bahwa penerbitan laporan
itu bisa menimbulkan kekerasan sebagai pembalasan, dan berusaha keras untuk meredam tuntutan untuk penerbitan kebenaran tersebut. Dua belas tahun setelah berakhirnya
kekerasan di Matabeleland, seorang juru bicara senior pemerintahan berkata bahwa “jika kita tidak membicarakannya, ia akan mati sendiri, sehingga kita bisa membangun
masyarakat sebagaimana kita inginkan”.
xix
Sementara itu, tidak ada tanda-tanda pertanggungjawaban untuk pelanggaran berat itu. Pada tahun 1992, komandan brigade
yang bertanggung-jawab untuk sebagian besar dari kekejaman itu dipromosikan menjadi komandan angkatan udara, yang menimbulkan kritikan keras dari organisasi hak asasi
manusia; banyak perwira yang terlibat dalam represi tetap menjabat posisi tinggi dalam pemerintahan.
Untuk melawan diamnya pemerintah mengenai masalah ini, dua organisasi hak asasi manusia Zimbabwe menyusun laporan pada tahun 1997 yang secara teliti
mendokumentasikan penindasan pada dekade 1980-an berdasarkan wawancara mendalam dengan para korban.
xx
Sebelum menerbitkan laporannya, mereka menyampaikannya ke pemerintah untuk minta pendapat, namun tidak pernah ada jawaban.
Uganda 1986 Ketika pasukan pemberontak pimpinan Yoweri Museveni menjatuhkan pemerintahan
Milton Obote pada bulan Januari 1986, Uganda telah mengalami lebih dari dua puluh tahun teror dan kekejaman oleh pemerintah. Isu hak asasi manusia dinyatakan sebagai pusat
perhatian pemerintahan yang baru, dan dalam beberapa bulan kemudian pemerintahan Museveni menunjuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk
menyelidiki pelanggaran yang terjadi. Dengan dibentuk melalui keputusan menteri kehakiman dan jaksa agung, serta diketuai oleh seorang hakim agung, komisi ini diberi
tanggung jawab untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia oleh kekuatan negara yang terjadi sejak kemerdekaan Uganda pada tahun 1962 hingga bulan Januari 1986, ketika
Museveni mulai berkuasa namun mengabaikan pelanggaran yang mungkin dilakukan pasukan pemberontak Museveni.
Yang menjadi bahasan komisi ini luas, mencakupi penangkapan dan penahanan secara semena-mena, penyiksaan dan pembunuhan oleh pasukan keamanan . Dan komisi
ditugaskan untuk “menyelidiki … cara-cara yang mungkin untuk mencegah terulangnya” pelanggaran demikian.
xxi
Komisi melakukan dengar-kesaksian publik di seluruh negara, beberapa di antaranya disiarkan secara langsung oleh radio dan televisi pemerintah. Pada
tahun-tahun awalnya, komisi menjadi pusat perhatian publik, mendapatkan dukungan dan reaksi emosional dari masyarakat. Namun komisi ini tidak diberi tenggat waktu untuk
menyelesaikan tugasnya, dan lama-kelamaan, komisi kehabisan dana dan mengalami kebuntuan. Karena terjadi pelanggaran hak asasi dalam pemerintahan baru yang tidak
dapat dipermasalahkan oleh komisi ini, masyarakat kehilangan ketertarikannya.
Pada tahun kedua operasinya saja, komisi tersebut berhenti bekerja sama sekali selama empat bulan karena tidak ada dana; ia meminta dana dari Ford Foundation untuk
melanjutkan kerjanya.
xxii
Pada awal tahun 1991 komisi sekali lagi menyatakan kesulitan dana, dan mendapatkan sumbangan dari pemerintah Denmark untuk menyelesaikan
penyelidikannya dan memberikan laporan.
xxiii
Pada tahun 1995, setelah sembilan tahun penyelidikan, komisi menyerahkan laporannya kepada pemerintah. Seribu kopi laporan
tersebut dicetak demikian juga 20 ribu kopi rangkuman setebal 90 halaman, namun hingga akhir tahun 1996, ketika saya mengunjungi negara tersebut, sangat sedikit orang di
dalam maupun di luar Uganda telah melihat laporan tersebut atau mengetahui keberadaannya. Laporan yang sudah dicetak disimpan dalam kantor pusat komisi tersebut.
Alasan yang diberikan untuk tidak mengedarkan laporan tersebut adalah bahwa komisi hak asasi manusia yang baru, yang akan menyelidiki isu-isu dan keluhan tentang hak asasi
manusia yang baru, masih harus ditunjuk terlebih dahulu untuk mengawasi distribusinya.
xxiv
Namun hingga tiga tahun sesudahnya, setelah komisi yang baru sudah ditunjuk dan bekerja, laporan dan rangkuman tersebut masih saja belum didistribusikan.
Nepal Pemerintah sementara Perdana Menteri Krishna Prasad Bhattarai membentuk dua komisi
penyelidikan pada tahun 1990 untuk menyelidiki penyiksaan, penghilangan dan eksekusi di luar hukum yang terjadi pada masa Sistem Panchayat antara tahun 1961 hingga 1990.
Komisi pertama segera dihapuskan setelah ia ditunjuk; ketua komisi itu dianggap sebagai kolaborator dengan rezim lama dan dianggap tidak dapat diandalkan, sehingga dua anggota
lain yang mewakili dua kelompok hak asasi manusia mengundurkan diri sebagai protes. Komisi kedua ditunjuk, Komisi Penyelidikan untuk Menemukan Orang Hilang selama
Periode Panchayat, yang salah satu anggotanya adalah pendiri kelompok hak asasi manusia penting di Nepal, Pusat Jasa Sektor Informal.
Komisi tersebut diberi mandat untuk menyelidiki dan mengidentifikasi tempat-tempat penahanan terakhir mereka yang hilang, dan mengidentifikasikan para
korban. Ia berhasil menyelidiki sekitar 100 kasus, namun tidak dapat menunjuk pelaku atau memanggil para pejabat untuk memberikan pengakuan, dan polisi pada umumnya
mengabaikan permintaan komisi tersebut untuk mendapatkan informasi.
xxv
Komisi tersebut menyelesaikan laporan dua jilidnya pada tahun 1991. Selama beberapa tahun berikutnya, Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia
setempat berulang-ulang mendesak pemerintah agar menerbitkan laporan komisi tersebut dan menuntut jaminan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi
manusia diseret ke pengadilan.
xxvi
Laporan tersebut akhirnya diumumkan pada tahun 1994, meskipun baru sedikit dari sarannya yang sudah diterapkan.
Chad Pada tanggal 29 Desember 1990, satu bulan setelah berkuasa, presiden baru Chad, Idriss
Déby, membentuk Komisi Penyelidikan Kejahatan dan Penyitaan Paksa melalui Keputusan Presiden yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Habré dan atau Kroninya.
Komisi tersebut diserahi tugas untuk “menyelidiki pemenjaraan, penahanan secara ilegal, pembunuhan, penghilangan, penyiksaan dan tindakan kekejaman, pelanggaran lain
terhadap fisik atau mental, dan semua pelanggaran hak asasi manusia dan perdagangan narkotik” dan “untuk mempertahankan pada kondisi seperti saat ini semua tempat dan alat
penyiksaan”.
xxvii
Komisi tersebut diberi tangggung jawab untuk mengumpulkan dokumentasi, mencatat kesaksian dan menyita benda-benda seperlunya untuk “menjelaskan kebenaran”.
Dua belas orang ditunjuk sebagai anggota komisi, termasuk dua pejabat hukum, empat pejabat polisi kehakiman, dua pejabat administrasi sipil, dengan wakil jaksa agung sebagai
presiden komisi. Selain menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, komisi juga ditugaskan untuk menyelidiki korupsi terhadap dana milik negara yang dilakukan mantan
presiden Hissein Habré dan kroni-kroninya.
Karena kurangnya tempat untuk kantor, komisi itu terpaksa berkantor di tempat bekas penahanan rahasia, tempat terjadinya penyiksaan dan pembunuhan yang paling
kejam, sehingga banyak korban enggan datang untuk memberikan kesaksian. Seperti komisi di Uganda, komisi Chad juga mengalami hambatan serius karena
kurangnya sumber daya. Laporan komisi itu menjelaskan beberapa tantangannya:
[K]urangnya sarana transportasi … melumpuhkan komisi untuk waktu yang lama. Pada awalnya, komisi memiliki dua mobil kecil, sebuah kendaraan 504 dan Suzuki kecil,
sementara kendaraan all-terrain diperlukan untuk bepergian ke daerah di luar N’Djaména. Pada tanggal 25 Agustus 1991 sebuah kendaraan all-terrain Toyota diberikan
kepada komisi, namun pada tanggal 13 Oktober 1991, Toyota dan Suzuki itu dirampas oleh pihak-pihak yang bertempur. Sebulan kemudian Toyota itu ditemukan kembali, namun
Suzuki itu baru ditemukan pada tanggal 3 Januari 1992 … Ini menyebabkan komisi tidak dapat mengirimkan penyidik ke daerah pedalaman selama waktu itu.
xxviii
Penerbitan laporan pada bulan Mei 1992 mengejutkan banyak orang karena detailnya, dan bukti keterlibatan pemerintah asing dalam mendanai dan melatih para
pelanggar. Jamal Benomar, direktur Program Hak Asasi Manusia di Carter Center pada waktu itu, hadir pada upacara pengumuman laporan tersebut, dan menggambarkan
responnya:
Temuan itu mengejutkan: paling tidak 40 ribu orang dibunuh oleh pasukan keamanan pada masa rezim Habré. Bukti mendetail diberikan mengenai keterlibatan personal Habré dalam
penyiksaan dan pembunuhan pada tahanan. Korps diplomatik yang hadir dalam acara tersebut amat terkejut untuk mendengar bahwa penyelidikan tersebut menemukan fakta
bahwa anggota dinas keamanan, DDS Direktorat Dokumentasi dan Keamanan, yang melakukan semua pembunuhan dan pelanggaran lain, dilatih hingga jatuhnya rezim Habré
pada bulan Desember 1990 oleh personel Amerika Serikat baik di Amerika Serikat maupun di N’Djamena. DDS mendapatkan dana bulanan sebesar 5 juta FCFA dari pemerintah
Amerika Serikat. Jumlah ini digandakan sejak tahun 1989. Irak juga merupakan kontributor terhadap DDS, demikian pula Prancis, Zaire dan Mesir. Bahkan, seorang penasihat Amerika
Serikat bekerja untuk direktur DDS di kantor pusat, tempat terjadi penyiksaan dan pembunuhan tiap hari.
xxix
Keterlibatan Amerika Serikat di Chad telah ditemukan oleh Amnesti Internasional sejak beberapa tahun sebelumnya, demikian menurut Benomar, namun “skala besar genosida”
yang terjadi menimbulkan keterlibatan Amerika Serikat “sukar dipercaya pada waktu itu, bahkan bagi beberapa orang dalam masyarakat hak asasi manusia internasional”.
xxx
Komisi Chad juga merupakan komisi kebenaran pertama yang menunjuk nama orang yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan satu-satunya
komisi hingga kini yang melampirkan foto mereka. Beberapa pejabat tinggi dalam pemerintah baru termasuk dalam daftar pelanggar.
Pemerintah Chad yang membentuk komisi ini kemudian dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara serius, sehingga motivasi pembentukan komisi itu
menjadi dipertanyakan. Beberapa pengamat hak asasi manusia memiliki kesan bahwa pembentukan komisi ini hanyalah untuk memperbaiki citra presiden baru. Meskipun
Amerika Serikat bertahun-tahun mendukung rezim Habré, seorang pejabat departemen luar negeri Amerika Serikat, ketika ditanya pendapatnya mengenai komisi, hanya
mengatakan, “Bukankah itu cuma Déby yang ingin membuktikan bahwa Habré memang seorang brengsek?”
xxxi
Beberapa tahun kemudian, laporan komisi ini menjadi penting kembali, karena para pembela hak asasi manusia internasional menjadikannya sebagai sumber utama untuk
informasi dalam usaha internasional untuk menuntut Habré. Sementara terdapat batasan penting dalam laporan itu, menurut mereka, laporan itu merupakan satu-satunya catatan
mendetail dan sudah diterbitkan mengenai kejahatan hak asasi di bawah rezim Habré. Karena itu, laporan itu dipandang penting dalam menunjukkan para korban dan saksi lain
yang bisa digunakan dalam pengadilan.
xxxii
Afrika Selatan: Kongres Nasional Afrika Sebuah kasus menarik dalam berbagai model komisi kebenaran, komisi kebenaran ANC
merupakan satu-satunya contoh komisi kebenaran yang dibentuk oleh kelompok perlawanan bersenjata untuk menyelidiki dan mengumumkan pelanggarannya sendiri.
xxxiii
Sebagaimana dengan komisi kebenaran bentukan pemerintah, ANC tidak membentuk komisi ini semata-mata karena inisiatifnya sendiri. Telah terdapat banyak
keluhan mengenai pelanggaran dalam kamp-kamp tahanan ANC.
xxxiv
Kemudian, pada tahun 1991, tiga puluh dua mantan tahanan di kamp ANC, semuanya bekas anggota aktif
ANC yang ditahan karena dituduh sebagai agen pemerintah, membentuk komisi untuk melawan ANC dalam kasus pelanggaran di kamp tahanan. Komite Mantan Pelarian,
demikian mereka menyebut dirinya, memunculkan perhatian internasional terhadap isu ini, memaksa ANC untuk melakukan penyelidikan. Pada bulan Maret 1992, presiden ANC,
Nelson Mandela, menunjuk Komisi Penyelidikan terhadap Keluhan oleh Mantan Tahanan Kongres Nasional Afrika.
xxxv
Komisi ini diarahkan untuk memfokuskan diri pada peristiwa yang terjadi di kamp tahanan ANC di seluruh Afrika bagian selatan, termasuk Angola,
Tanzania dan Zambia. Tugas Komisi Penyelidikan ini sebagaimana ditentukan oleh ANC memerintahkan
mereka untuk “melakukan penyelidikan yang lengkap dan mendalam” terhadap keluhan mantan tahanan, dan memberikan saran untuk tindakan yang sebaiknya diambil ANC
sebagai hasil temuan komisi itu.
xxxvi
Dua dari tiga anggota komisi itu adalah anggota ANC, namun yang ketiga sekaligus penulis laporan tidak berafiliasi dengan ANC.
Setelah tujuh bulan, komisi menyerahkan kepada Mandela sebuah laporan setebal 74 halaman yang lugas, mencatat “kebrutalan mengejutkan” di kamp-kamp ANC yang
sudah terjadi. Laporan itu mencatat bahwa penyiksaan dan pelanggaran lain secara teratur
dilakukan terhadap para tahanan. Meskipun tidak menyebutkan nama mereka yang bertanggung-jawab, laporan tersebut menyarankan bahwa “perhatian segera diberikan
untuk melakukan identifikasi dan menyikapi mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran kepada para tahanan”. Laporan tersebut juga menyerukan agar ANC
bertanggung-jawab untuk “membersihkan dirinya sendiri”.
xxxvii
Komisi tersebut juga menyarankan agar laporan tersebut diterbitkan dan dibentuk sebuah badan independen
untuk menyelidiki lebih lanjut penghilangan dan kejadian lain yang berada di luar lingkup kerja komisi ini.
Laporan tersebut segera diumumkan ke masyarakat dan pers, meskipun kemudian ANC mulai mempertanyakan akurasi laporan tersebut dan menolak untuk
mendistribusikannya lebih lanjut.
xxxviii
Laporan ini mendapatkan perhatian internasional yang cukup dan memaksa ANC untuk memberikan jawaban terbuka terhadap tuduhan
tersebut: Nelson Mandela mengambil alih tanggung jawab kolektif sebagai pimpinan ANC untuk “pelanggaran dan kesalahan prosedural yang serius” yang sudah terjadi, namun
menekankan bahwa tidak perlu menyalahkan individu atau menuntut tanggung jawab individual.
xxxix
Jerman Pada bulan Maret 1992, parlemen Jerman membentuk komisi untuk menyelidiki dan
mencatat praktik pemerintahan Republik Demokrasi Jerman Jerman Timur selama tahun 1949 hingga 1989, yaitu Komisi Penyelidikan untuk Peninjauan Sejarah dan Akibat
Kediktatoran SED di Jerman.
xl
SED, atau Partai Persatuan Sosialis, merupakan partai penguasa di Jerman Timur yang mengendalikan negara tersebut selama sekitar 40 tahun.
Struktur dan tugas komisi itu mengikuti garis besar yang ditentukan untuk komisi penyelidikan parlementer di Jerman, dengan wakil dari partai politik sesuai dengan
keterwakilan mereka di parlemen. Dua belas dari dua puluh enam anggota komisi adalah ahli dari luar parlemen, terutama sejarawan. Mantan aktivis hak asasi manusia Jerman
Timur, Rainer Eppelman, menjadi ketua komisi ini.
Penindasan di bawah sistem Jerman Timur berbeda dengan kekerasan luas yang terjadi di wilayah-wilayah lainnya yang dibahas di buku ini. Meskipun memang terjadi
represi fisik,
xli
banyak oposan terhadap sistem mengalami akibat yang tidak terlalu keras: mereka dilarang masuk universitas, dilarang bekerja sesuai keinginannya, atau selalu
diawasi dan diganggu oleh pemerintah, misalnya. Mandat komisi ini tidak terfokus pada pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran, namun penyelidikan terhadap kebijaksanaan
pemerintah dan pelaksanaannya. Komisi ini ditujukan untuk “melaksanakan analisis politiko-historis dan membuat tinjauan politiko-etis” terhadap struktur dan praktik partai
SED; pelanggaran hak asasi manusia dan degradasi lingkungan hidup yang terjadi; pelanggaran konvensi dan norma hak asasi manusia internasional, termasuk represi politik,
mental dan psikososial; peran ideologi dalam pendidikan, sastra dan kehidupan sehari-hari; peran gerakan oposisi; hubungan gereja-negara; kemandirian badan peradilan; dan
hubungan antara Jerman Barat dan Timur.
Kerja komisi ini terutama berbasis pada penelitian, dengan menyusun lebih dari seratus makalah mengenai beragam topik. Hampir semua ditulis oleh para sejarawan yang
menggunakan berkas-berkas yang dibuka sejak jatuhnya Jerman Timur. Komisi ini
mengadakan lebih dari empat puluh dengar-kesaksian publik, yang di dalamnya dipresentasikan makalah-makalah tersebut. Meskipun komisi ini tidak membuka
kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberikan kesaksian, lebih dari seratus “saksi kontemporer”, termasuk perwakilan dari organisasi bantuan korban dan sejumlah korban
itu sendiri, memberikan laporan mengenai penderitaan dan represi dalam dengar-kesaksian publik tersebut. Komisi ini tidak memiliki kekuasaan untuk subpoena,
dan beberapa mantan pejabat senior pemerintahan yang diundang untuk memberi kesaksian menolaknya, sebagian karena cemas bahwa kesaksian mereka akan dijadikan
alat untuk menuntut mereka di pengadilan.
Laporan lengkap komisi ini, yang diumumkan pada akhir sidang parlemen pada tahun 1994, tebalnya mencapai lebih dari 15 ribu halaman, diterbitkan dalam 18 jilid, dan
memuat semua makalah dan kesaksian yang ada. Para anggota dan staf komisi ini lebih menganggap komisi ini dan laporannya sebagai proyek akademis dan berorientasi
penelitian daripada sebagai proses yang secara aktif melibatkan masyarakat.
xlii
Banyak fungsi tipikal komisi kebenaran dijalankan melalui mekanisme lain di Jerman.
Berkas-berkas milik Stasi polisi rahasia, dibuka untuk individu.
xliii
Berkas-berkas ini memungkinkan mereka yang menjadi korban informan Stasi untuk menemukan siapa yang
melaporkan mereka dan mengkonfrontasi mereka secara personal – baik secara pribadi maupun di depan kamera TV.
xliv
Sebagaimana disarankan oleh komisi, sebuah badan lanjutan dibentuk oleh parlemen pada tahun 1994, yaitu Komisi Penyelidikan mengenai Meminimalkan Dampak
Kediktatoran SED dalam Proses Penyatuan Jerman. Selain melanjutkan penyelidikan ke hampir semua topik yang diselidiki komisi pertama, badan ini juga memiliki mandat untuk
melihat lingkup-lingkup baru, seperti ekonomi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari di Jerman Timur dan dampak kebijakan unifikasi sejak tahun 1990.
Kongres Nasional Afrika II Segera setelah komisi ANC yang pertama menyelesaikan kerjanya pada tahun 1992,
presiden ANC, Nelson Mandela, membentuk sebuah komisi penyelidikan lagi untuk menyikapi tuduhan pelanggaran di kamp-kamp tahanan ANC. Komisi pertama dikritik
karena bias dua dari tiga anggotanya adalah anggota ANC dan tidak memberikan cukup kesempatan bagi para tertuduh untuk membela diri. Bahkan, komisi pertama tersebut
menyarankan agar “dipertimbangkan pembentukan sebuah badan independen yang dianggap imparsial, dan mampu mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran dan
menjalankan saran-saran yang ada dalam laporan komisi ini”.
xlv
Sebuah komisi yang baru yaitu Komisi Penyelidikan terhadap Tuduhan Kekejaman dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia terhadap Tahanan ANC oleh Anggota ANC diketuai oleh tiga orang, satu dari Amerika Serikat, Zimbabwe dan Afrika Selatan, yang dianggap independen.
xlvi
Komisi ini sangat berbeda dengan komisi ANC yang pertama. Ia berjalan mirip pengadilan formal, dengan pengacara untuk mewakili para “korban” dan sebuah tim
pembela untuk mewakili para “tertuduh”, yaitu mereka yang dituduh melakukan pelanggaran. Komisi ini melaksanakan dengar-kesaksian publik selama lima minggu pada
musim panas tahun 1993, dengan sekitar 50 orang saksi, termasuk 11 tertuduh pelanggar
hak asasi manusia. Para tertuduh diberi kesempatan untuk mengkonfrontasi dan bertanya kepada para korban, dan didampingi oleh pengacara yang mereka tunjuk sendiri.
Richard Carver, yang mengamati dengar-kesaksian publik itu untuk Amnesti Internasional, menganggap pendekatan komisi ini tidak praktis dan kurang berpikir
panjang. Hal ini memperkuat pandangannya bahwa “jangan mencampur-adukkan fungsi” peradilan dengan pencarian kebenaran.
xlvii
Namun, laporan komisi ini diterima secara positif oleh hampir semua pengamat, termasuk Carver. Diserahkan pada bulan Agustus
1993, kesimpulannya ternyata serupa dengan laporan komisi pertama, yaitu menunjukkan pelanggaran berat di kamp-kamp tahanan ANC selama beberapa tahun. Tentang satu kamp
tahanan, misalnya, komisi ini menyimpulkan bahwa, “Quadro direncanakan untuk menjadi sebuah pusat rehabilitasi. Namun, yang terjadi malah tempat ini menjadi ‘tempat sampah’
bagi semua yang bermasalah dengan Departemen Keamanan, apakah mereka pendukung setia yang dituduh sebagai agen musuh, tertuduh mata-mata atau tahanan. Semua
mengalami penyiksaan, perlakuan buruk dan perendahan martabat yang terlalu sering sehingga tempat ini tidak pantas menyandang nama pusat rehabilitasi”.
xlviii
Format laporan ini juga agak berbeda dengan laporan pertama. Setelah secara singkat menggambarkan
peristiwa yang terjadi, jenis dan jumlah pelanggaran, dan sebab struktural serta pola-pola pelanggaran, laporan ini berkonsentrasi pada deskripsi masing-masing kasus yang ia
tangani, dan ditutup dengan daftar individu yang melanggar hak masing-masing korban dan hak-hak apa saja yang dilanggar.
ANC merespon laporan ini dengan pernyataan panjang yang memuji komisi itu untuk kerjanya, menerima kesimpulannya secara garis besar meskipun membantah bahwa
ada “kebijakan pelanggaran secara sistematis”, dan menyerukan pembentukan komisi kebenaran untuk meneliti pelanggaran oleh kedua pihak yang bertikai di Afrika Selatan
sejak tahun 1948:
Kami menganggap laporan komisi Skweyiya dan Motsuenyane sebagai langkah awal dalam proses keterbukaan nasional mengenai semua pelanggaran hak asasi manusia oleh semua
pihak. Dengan demikian, kami menyerukan pembentukan Komisi Kebenaran, serupa dengan badan-badan yang dibentuk di beberapa negara pada tahun-tahun terakhir ini untuk
menyikapi masa lalunya. Tugas komisi demikian adalah untuk menyelidiki semua pelanggaran hak asasi manusia … dari semua pihak. Ini tidak akan menjadi Pengadilan
Nuremberg. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi semua pelanggaran hak asasi manusia dan pelakunya, untuk menyarankan suatu aturan bagi semua pegawai negara, untuk
menjamin kompensasi yang tepat bagi para korban dan membangun dasar untuk rekonsiliasi. Selain itu, ia akan menjadi dasar moral bagi keadilan dan mencegah terulangnya pelanggaran
di masa depan.
xlix
Hanya delapan bulan kemudian, ANC memenangkan pemilihan presiden demokratis pertama di negara itu dan mengkonkretkan seruan mereka untuk komisi
kebenaran tersebut. Sri Lanka
Pada bulan November 1994, presiden baru Sri Lanka, Chandrika Bandaranaike Kumaratunga, membentuk tiga Komisi Penyelidikan terhadap Penangkapan Semena-mena
atau Penghilangan, dengan mandat untuk menyelidiki “apakah ada orang yang secara
paksa ditangkap atau dihilangkan dari tempat tinggalnya” sejak 1 Januari 1988. Komisi-komisi itu juga diperintahkan untuk menyelidiki keberadaan orang-orang yang
hilang dan untuk mempertimbangkan bukti-bukti untuk menuntut mereka yang dituduh terlibat. Ketiga komisi itu menerima mandat yang sama, namun masing-masing memiliki
wilayah tugas yang berbeda-beda dan bekerja secara independen di wilayah tugasnya sendiri. Dengan hanya sedikit kerja sama antara mereka, masing-masing menafsirkan
mandatnya secara agak berbeda, dan menyusun patokan operasional dan metodologis yang berbeda untuk melaksanakan kerjanya.
Periode yang dicakup oleh komisi ini mencakup baik konflik bersenjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Rakyat di selatan antara tahun 1987 hingga 1990, dan
konflik di timur laut antara pemerintah dan Macan Pembebasan Tamil Eelam, yang mulai pada bulan Juni 1990. Organisasi hak asasi manusia memprotes titik awal yang ditetapkan
pada tahun 1988, karena mengabaikan banyak penghilangan yang terjadi sebelumnya.
l
Selain itu, konflik dengan Macan Tamil pecah lagi selama masa kerja komisi itu, dengan banyak penghilangan lagi, namun ini juga diabaikan.
li
Akses komisi ke daerah timur laut untuk menyelidiki penghilangan di masa lalu menjadi terbatas karena konflik itu.
Ketiga komisi itu mendokumentasikan lebih dari 27 ribu penghilangan, dengan sebuah panel anggota komisi yang mendengarkan tiap-tiap keluhan yang dilaporkan
kepada mereka. Setelah menyerahkan keluhan mereka secara tertulis, masing-masing dipanggil ke depan panel untuk wawancara selama 5 hingga 15 menit untuk menjawab
pertanyaan mendasar mengenai kasusnya.
lii
Komisi-komisi ini memiliki kekuasaan subpoena
dan memanggil beberapa pejabat untuk memberi kesaksian, terutama dari angkatan bersenjata, namun hampir semua menolak keras tuduhan keterlibatan mereka
dalam pelanggaran dan menyatakan bahwa semua catatan dari masa itu sudah dihilangkan. Laporan akhir ketiga komisi itu diserahkan kepada presiden pada bulan September
1997. Sebagian karena tekanan dari Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia lainnya, ketiga laporan itu diumumkan secara terbuka kepada publik.
liii
Sekali lagi, perbedaan antara ketiga komisi itu tampak: laporan yang terpanjang, yang mencakup
wilayah barat dan selatan, setebal 178 halaman, dengan 300 halaman lampiran, sedangkan laporan komisi untuk provinsi tengah dan barat laut hanya setebal 5 halaman. Laporan
ketiga berada di tengah-tengah.
liv
Sebuah komisi lanjutan dibentuk untuk memproses kasus-kasus yang belum diselesaikan oleh ketiga komisi, diketuai oleh ketua komisi untuk
provinsi barat dan selatan, Manouri Kokila Muttetuwegama. Perang yang berlanjut melemahkan dampak kerja komisi ini, terutama karena
presiden tergantung pada dukungan militer selama perang berlanjut, sehingga tidak mau mengkritik atau menentang catatan pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan
bersenjata. Akibatnya, ia tidak memberikan komentar secara publik untuk laporan-laporan itu, tidak mendorong pengadilan para pelaku yang diidentifikasi, dan lambat dalam
menjalankan saran komisi itu. Ganti rugi finansial diberikan kepada keluarga sejumlah korban, meskipun para penasihat hukum mereka kecewa dengan jumlah yang kecil dan
lambatnya penerapan program ganti rugi ini.
Namun kemudian, kerja komisi ini pada akhirnya memberikan kontribusi untuk penuntutan para tertuduh. Amnesti Internasional melaporkan pada tahun 1999 bahwa
“penyelidikan terhadap … pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus-kasus yang disarankan untuk diselidiki lebih lanjut oleh ketiga komisi penyelidikan
… berlanjut. Menurut kantor Kejaksaan Agung, penyelidikan terhadap 485 dari 3.861
kasus demikian sudah selesai pada pertengahan bulan Oktober [1998] dan 150 tertuduh pelaku sudah disidangkan di Pengadilan Tinggi”.
lv
Haiti Tiga tahun setelah presiden Haiti, Jean-Bertrand Aristide, dijatuhkan dalam sebuah kudeta,
ia kembali menjabat pada tahun 1994 dengan dukungan tentara internasional, mandat untuk menyelesaikan masa jabatannya, dan seruan publik untuk menyikapi
kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa pemerintahan militer de facto selama tiga tahun.
Ketika semakin jelas bahwa Aristide akan menjabat kembali, sejumlah warga Haiti di pengasingan dan penganjur hak asasi manusia bertemu beberapa kali untuk
menyarankan pembentukan komisi kebenaran setelah Aristide kembali. Ini menjadi dorongan bagi Aristide untuk membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Keadilan
beberapa bulan setelah kembalinya, dengan anggota empat warga Haiti dan tiga anggota internasional.
lvi
Namun, sejak awal kerjanya, komisi ini memiliki masalah administratif dan organisasional, terutama kekurangan dana untuk menjalankan tugasnya. Ia juga gagal
merengkuh banyak kelompok hak asasi manusia yang pada awalnya sangat mendukung usulan pembentukan komisi kebenaran, sehingga mendapatkan kritikan lagi dari mereka
yang seharusnya menjadi pendukung, dan gagal mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Meskipun memiliki masalah-masalah, komisi ini bisa mengirimkan stafnya ke
lapangan selama beberapa bulan dan mengumpulkan kesaksian dari hampir 5.500 saksi, mengenai sekitar 8.600 korban.
Setelah sepuluh bulan, komisi menyelesaikan laporannya pada bulan Februari 1996 dan menyerahkannya kepada Aristide hanya satu hari sebelum ia turun dari kursi
kepresidenan. Aristide menyerahkan laporan itu kepada presiden yang baru, namun baru sesudah satu tahun, setelah mendapatkan tekanan keras dari kelompok hak asasi manusia,
laporan tersebut diumumkan Alasan untuk penundaan ini tidak dijelaskan dengan baik, namun menteri kehakiman pada satu kesempatan menjelaskan bahwa biaya mereproduksi
laporan itu amat tinggi.
lvii
Namun laporan itu tidak pernah tersebar luas di Haiti, dan tidak mudah ditemukan oleh masyarakat. Tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah secara serius
menjalankan saran-sarannya yang luas, terutama mengenai reformasi sistem peradilan di negara tersebut.
Saran komisi tersebut yang paling mengejutkan masyarakat internasional adalah menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk tribunal internasional agar
mengadili mereka yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintahan militer, karena komisi itu tidak percaya pada kemampuan sistem pengadilan
nasional untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Komisi tersebut melampirkan nama para tertuduh dalam laporannya yang diberikan kepada presiden, namun menyarankan agar
nama-nama tersebut tidak diumumkan sampai dijalankan tindakan yudisial yang tepat bagi mereka.
Burundi
Pada akhir tahun 1993, setelah usaha kudeta dan pembunuhan Presiden Melchior Ndadaye, kekerasan antar-etnik dalam skala besar pecah di Burundi. Dengan laporan pembantaian
lebih dari 50 ribu orang, pemerintah Burundi meminta PBB untuk membentuk komisi penyelidikan internasional untuk menyelidiki, dengan harapan untuk menghentikan
lingkaran kekerasan yang dicemaskan akan terjadi.
lviii
Beberapa misi pencari fakta PBB juga menyarankan penyelidikan demikian, demikian pula beberapa kelompok hak asasi
manusia internasional yang mencemaskan situasi tersebut. Namun Dewan Keamanan PBB ragu-ragu untuk memulai penyelidikan yang
dicemaskan bisa menimbulkan kekerasan lebih lanjut, terutama setelah tetangga Burundi di utara, Rwanda, mengalami genosida mengerikan pada bulan April 1994. Bahkan mereka
yang mendukung rencana komisi tersebut mengakui adanya risiko menimbulkan kekerasan. Amnesti Internasional menulis bahwa “kerja komisi itu jelas akan
menimbulkan kecemasan pada para pelaku pelanggaran hak asasi manusia dan bisa menimbulkan ketegangan di Burundi”, namun melihat pula bahwa pembentukan komisi
penyelidikan internasional sebagai “langkah penting dalam memecahkan lingkaran impunity
dan kekerasan di Burundi”.
lix
Dewan Keamanan PBB akhirnya membentuk komisi melalui sebuah resolusi pada bulan Juli 1995, hampir dua tahun setelah usaha kudeta dan pembantaian massal. Pedoman
kerja komisi ini mengikuti saran wakil khusus sekretaris jenderal PBB untuk Burundi, yakni Pedro Nikken. Pengacara Venezuela ini pernah ikut serta dalam tim negosiasi PBB
di El Salvador beberapa tahun sebelumnya, dan membantu menyusun pedoman kerja untuk komisi kebenaran di sana. Ia menyarankan badan yang amat serupa untuk Burundi.
lx
Resolusi itu memerintahkan agar komisi itu “menemukan fakta mengenai pembunuhan presiden Burundi pada tanggal 21 Oktober 1993, pembantaian dan tindakan kekerasan
serius lainnya yang menyusul”, dan “menyarankan tindakan legal, politis dan administratif … untuk mengadili mereka yang bertanggung-jawab untuk peristiwa tersebut, mencegah
terulangnya hal demikian dan pada umumnya, menghapus impunity dan mendorong rekonsiliasi nasional di Burundi”.
lxi
Setelah sepuluh bulan penyelidikan rahasia, laporan tersebut akan diterbitkan pada bulan Juli 1996, namun pada hari ketika laporan tersebut direncanakan akan diumumkan,
terjadi kudeta di Burundi, yang menunda pengumuman laporan itu. Menurut New York Times
, laporan itu “ditunda penerbitannya oleh beberapa anggota Dewan Keamanan yang cemas bahwa penerbitannya akan mendorong lebih banyak pertumpahan darah di
Burundi”. Namun, sebulan kemudian PBB mengumumkan laporan itu, yang menjelaskan “tindakan genosida” yang terjadi di Burundi pada bulan Oktober 1993, menyarankan
bahwa jurisdiksi internasional diterapkan pada tindakan tersebut, dan menyarankan penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa-peristiwa sebelum 1993, bila kondisi
keamanan memungkinkan.
lxii
Namun kekerasan terus terjadi secara sporadis di Burundi, dan saran-saran dalam laporan itu masih belum dijalankan.
Ekuador Telah ada banyak tuduhan pelanggaran berat hak asasi manusia di Ekuador sejak tahun
1979, ketika pemerintah sipil mengambil alih kekuasaan dari pemerintah militer, dan terdapat seruan untuk penyelidikan mendalam, pengadilan mereka yang
bertanggung-jawab dan pemberian ganti rugi bagi para korban. Sebagai hasil dari tuntutan itu, Departemen Pemerintahan dan Kepolisian membentuk Komisi Kebenaran dan
Keadilan pada bulan September 1996.
lxiii
Komisi ini beranggotakan tujuh orang: satu wakil departemen pemerintahan dan kepolisian, tiga wakil organisasi hak asasi manusia internasional yang bekerja di negara
itu, dan tiga wakil organisasi hak asasi manusia nasional. Komisi itu diberi kuasa untuk menerima kesaksian mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak tahun
1979, melakukan penyelidikan, dan memberikan bukti seperlunya kepada pengadilan. Komisi ini diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan penyelidikan dan laporannya,
dengan kemungkinan perpanjangan waktu.
lxiv
Setelah tiga bulan, komisi ini menerima informasi mengenai hampir 300 kasus, dan sudah menyelidiki kuburan korban-korban penyiksaan atau pembunuhan.
lxv
Namun meskipun pada awalnya pemerintah memiliki komitmen untuk memberikan dukungan dan
fasilitas untuk membantu menyelesaikan kerjanya, anggota komisi kecewa karena kurangnya sumber daya dan pegawai yang terlatih.
lxvi
Pada bulan Februari 1997, hanya lima bulan setelah pembentukannya, komisi ini berhenti bekerja. Amnesti Internasional
menyatakan bahwa kegagalan komisi ini untuk menerbitkan temuannya “memperkuat impunity
atas ratusan kasus penyiksaan, penghilangan dan pembunuhan”.
lxvii
Nigeria Setelah 15 tahun pemerintahan militer, Olusegun Obasanjo dipilih sebagai presiden
Nigeria pada awal tahun 1999. Hanya beberapa minggu setelah menjabat, ia membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada bulan Juni 1999. Anggotanya
ditunjuk oleh Presiden Obasanjo, dengan pensiunan hakim yang dihormati, Chukwudifu Oputa, sebagai ketuanya.
Komisi ini mendapatkan mandat yang amat luas dan pada awalnya diberi waktu hanya 90 hari untuk menyelesaikan tugasnya. Mandatnya memerintahkan untuk
“menentukan atau meyakinkan sebab, sifat dan jangka pelanggaran hak asasi manusia atau pelanggaran yang berkaitan dengan kematian secara misterius dan pembunuhan atau usaha
pembunuhan yang terjadi di Nigeria antara 1 Januari 1984 dan 28 Mei 1999”.
lxviii
Komisi pada awalnya menafsirkan “pelanggarn hak asasi manusia” secara amat luas, termasuk
kasus pemecatan tanpa kompensasi layak. Ketika ia mulai mendengarkan kesaksian, dalam waktu hanya beberapa minggu saja komisi ini menerima hampir 10 ribu kesaksian tertulis;
yang sekitar 9 ribu di antaranya berkaitan dengan masalah perburuhan.
Setelah dipertimbangkan kembali dan setelah mengadakan pertemuan dengan mantan anggota komisi kebenaran Guatemala, Cili dan Afrika Selatan, komisi
mengevaluasi rencananya dan berfokus pada pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
lxix
Karena permintaan komisi itu, Presiden Obasanjo juga memperpanjang masa tugasnya menjadi satu tahun, memberi waktu untuk persiapan, dan memperluas periode
yang dibahasnya, menjadi hingga tahun 1966, ketika pertama kali terjadi kudeta militer di Nigeria. Batasan semula pada tahun 1984, yang merupakan tahun terakhir ketika negara
itu berada di bawah pemerintahan sipil, dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia karena mengabaikan tiga tahun masa jabatan Presiden Obasanjo sebagai pimpinan
negara militer pada akhir dekade 1970-an. Presiden Obasanjo memberikan dukungan kuat
pada kerja komisi itu, dan berjanji untuk bersaksi di depan komisi itu, apabila ada tuduhan terhadapnya.
Komisi ini juga diberi mandat untuk “mengidentifikasi orang atau orang-orang, otoritas, institusi atau organisasi yang bisa diminta pertangggungjawabannya” terhadap
pelanggaran yang sedang diselidiki, dan untuk “menentukan apakah pelanggaran demikian merupakan kebijakan negara yang disengaja atau kebijakan salah satu organ atau
institusinya atau … apakah mereka merupakan tindakan organisasi politik, gerakan kemerdekaan atau kelompok lainnya”.
lxx
Komisi ini dijadwalkan untuk memulai penyelidikan dan mengadakan dengar-kesaksian publik pertamanya pada awal tahun 2000,
ketika buku ini naik cetak [dalam edisi bahasa Inggrisnya, ed.]. Sierra Leone
Dalam sebuah kesepakatan damai yang ditandatangani di Lomé, Togo pada tanggal 7 Juli 1999, pemerintah Sierra Leone dan pemimpin kelompok pemberontak terbesar, Uni Front
Revolusioner RUF, menghentikan perang saudara selama sembilan tahun yang ditandai dengan tindakan kekejaman yang luar biasa. Perang ini terkenal di lingkungan
internasional karena pelbagai perbuatan yang mengerikan terutama dilakukan oleh pemberontak yaitu memotong kaki dan tangan penduduk sipil, tampaknya dengan tujuan
hanya untuk menimbulkan teror dan berusaha menekan dukungan kepada pemerintah.
lxxi
Kesepakatan damai ini mencakup sebuah amnesti umum tanpa syarat bagi semua pihak yang bertikai, yang mendapatkan kritikan keras dari kelompok-kelompok hak asasi
manusia lokal maupun internasional, dan lain-lainnya.
lxxii
Dalam usaha untuk mengimbangi amnesti ini, dan karena adanya tekanan domestik dan internasional untuk
suatu bentuk pertanggungjawaban terhadap kekejaman yang terjadi, kedua pihak setuju untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sementara tidak memberikan
banyak detail mengenai tugas, kekuasaan dan mandatnya, kesepakatan damai itu memerintahkan komisi untuk “membahas impunity, menghentikan lingkaran kekerasan,
memberikan forum bagi para korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk menuturkan cerita mereka, [dan] untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masa
lalu dalam rangka memfasilitasi penyembuhan dan rekonsiliasi”.
lxxiii
Komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia waktu itu, Mary Robinson, menawarkan untuk membantu pemerintah Sierra Leone dalam pembentukan komisi ini,
dan memulai proses konsultatif luas selama menyusun pedoman kerja. Proses konsultatif ini, yang mencakup pertemuan dengan sejumlah besar wakil masyarakat sipil dan pejabat
pemerintah untuk mengerjakan mandat investigatif, kekuasaan dan jangkauan komisi itu, berhasil menciptakan pedoman yang kuat untuk komisi itu dan dasar yang kuat untuk
dukungan kerjanya.
lxxiv
Kantor Robinson menyerahkan saran akhir mengenai pedoman kerja komisi itu kepada pemerintah Sierra Leone pada bulan Desember 1999.
Undang-undang yang memberikan kekuasaan hukum bagi komisi itu disahkan oleh Parlemen Sierra Leone pada bulan Februari 2000, mengikuti saran dari PBB, yang
memberikan komisi ini kekuasaan investigatif yang luas, termasuk kekuasaan subpoena dan penyitaan.
lxxv
Terdapat pula proses konsultatif luas dalam pemilihan anggota komisi, untuk menjamin kredibilitas dan netralitas dalam sebuah keanggotaan komisi yang terdiri
dari empat warga negara dan tiga anggota dari luar negeri. Komisi ini dijadwalkan untuk mulai bekerja pada pertengahan tahun 2000, setelah masa persiapan selama tiga bulan.
i ii
iii iv
v vi
vii viii
ix x
xi xii
xiii xiv
xv xvi
xvii xviii
xix xx
xxi xxii
xxiii xxiv
xxv xxvi
xxvii xxviii
xxix xxx
xxxi xxxii
xxxiii xxxiv
xxxv xxxvi
xxxvii xxxviii
xxxix xl
xli xlii
xliii xliv
xlv xlvi
xlvii xlviii
xlix l
li lii
liii liv
lv
lvi lvii
lviii lix
lx lxi
lxii lxiii
lxiv lxv
lxvi lxvii
lxviii lxix
lxx lxxi
lxxii lxxiii
lxxiv lxxv
Bab 6 Apa Itu Kebenaran?