Bab 9 Sembuh dari Masa Lalu
“Orang selalu bertanya, ‘Mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh?’” demikian kata Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina yang terkenal, kepada saya. “Karena,
luka itu ditutup secara buruk. Pertama, infeksinya harus disembuhkan, bila tidak, luka lama itu akan terbuka dengan sendirinya.”
i
Dengan kata-kata ini, Verbitsky menyimpulkan satu dari pandangan mendasar mereka yang meyakini pentingnya menemukan kebenaran. Verbitsky kehilangan banyak
temannya dalam “perang kotor” di Argentina. Pada tahun 1996, ia membantu membuka kembali masalah ini di Argentina dengan melaporkan pengakuan Francisco Scilingo,
seorang purnawirawan perwira angkatan laut yang mengaku melemparkan tahanan politik hidup-hidup dari pesawat ke laut.
ii
Ketika kisah Scilingo itu tersebar ke publik, Argentina menemukan betapa banyak dari masa lalunya yang sulit itu masih belum selesai, baik
secara emosional maupun faktual. Meskipun ada kerja Komisi Nasional Orang Hilang tiga belas tahun sebelumnya, isu ini sekali lagi menjadi pusat perhatian, dengan artikel di surat
kabar hampir setiap hari selama berbulan-bulan. Dan, ribuan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk mendapatkan kebenaran dari pemerintah dan angkatan bersenjata
mengenai apa yang terjadi pada mereka yang hilang.
Luka-luka masyarakat dan korban individual yang tidak sembuh bisa terus membusuk lama setelah perang berakhir atau akhir rezim yang represif.
iii
Sebuah negara perlu memperbaiki hubungan-hubungan yang rusak antara kelompok-kelompok etnik,
agama, regional atau politik, antara tetangga, dan antara partai politik. Singkatnya, penyembuhan masyarakat bisa pula disebut rekonsiliasi – sebuah masyarakat yang
berdamai dengan masa lalunya dan kelompok-kelompok saling berdamai, yang menjadi topik bab ini. Individulah yang mengalami penderitaan paling besar dari trauma psikologis
mendalam yang timbul dari peristiwa yang luar biasa. Banyak korban yang selamat dari represi politik berat mengalami kesulitan psikologis dan emosional yang menyakitkan
selama bertahun-tahun. Benar bahwa beberapa yang selamat dari trauma cukup kuat, atau terpaksa, untuk meredam ingatan traumatisnya dan terus melanjutkan kehidupan
sehari-hari, bahkan tampak sembuh dari peristiwa itu dan memiliki jiwa yang sehat. Namun banyak pula yang tidak seberuntung itu, dan menderita karena ingatan penyiksaan
atau menjadi saksi pembunuhan orang yang dicintainya.
Banyak yang menganggap bahwa peran penting komisi kebenaran adalah untuk membantu para korban menyembuhkan luka batin dengan memberikan mereka forum
untuk menceritakan kisah mereka. Ketika saya bertanya kepada spesialis kesehatan jiwa di komisi kebenaran Afrika Selatan mengenai apakah bercerita akan mendorong
kesembuhan, ia mengutip pernyataan neneknya, “Lebih baik keluar daripada dipendam,” menurutnya.
iv
Terdapat sejumlah besar studi yang menyatakan bahwa memendam penderitaan emosional mendorong timbulnya masalah psikologis. Bahkan, salah satu dasar
dalam psikologi modern adalah kepercayaan bahwa menyatakan perasaan seseorang, terutama membicarakan pengalaman yang traumatik, diperlukan untuk penyembuhan dan
kesehatan mental. Sering dikatakan bahwa setelah suatu masa kekerasan politik yang besar-besaran dan pemaksaan untuk diam, memberikan kesempatan bagi para korban dan
saksi untuk menceritakan kisah mereka kepada sebuah komisi resmi – terutama yang hormat, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan tertarik pada kisah mereka
– dapat membantu mereka mendapatkan kembali kehormatan mereka dan membantu penyembuhan.
Para psikolog secara mutlak mengkonfirmasi logika sederhana ini. “Trauma masa lalu tidak akan menghilang dengan sendirinya. … Trauma masa lalu selalu bisa memiliki
dampak emosional bagi seseorang. Rasa sakit dan trauma yang dipendam bisa mengganggu kehidupan emosional, memiliki dampak psikologis yang buruk dan bahkan
bisa menimbulkan penyakit fisik,” tulis psikolog Afrika Selatan, Brandon Hamber, dalam makalah awal mengenai harapan hasil kerja komisi kebenaran di sana. Dengan
menyimpulkan pelbagai literatur psikologi dan pendapat para pakar, Hamber melanjutkan, “Restorasi psikologis dan penyembuhan hanya akan terjadi dengan menyediakan tempat
untuk para korban yang selamat untuk merasa didengarkan dan semua detail peristiwa traumatik untuk dialami kembali dalam lingkungan yang aman.”
v
Mereka yang selamat dari trauma berat yang berusaha memendam pengalamannya bisa melihat dampaknya
muncul dalam penyakit baik fisik maupun psikologis, atau kerusakan dalam hubungan keluarga atau sosialnya.
Judith Herman, seorang profesor psikiatri di Harvard, menunjuk ketegangan antara keinginan seorang korban untuk berbicara dan insting mereka untuk mengubur ingatan
mereka. “Respon yang lazim terhadap kekejaman itu adalah untuk mengabaikan semua kisah perih itu dari kesadaran. Sejumlah pelanggaran norma sosial sedemikian parahnya
untuk bisa dibicarakan secara terbuka: inilah arti kata unspeakable tak terbicarakan, tak terungkapkan, tak terbahasakan. Namun, kekejaman demikian tidak dapat dikuburkan
begitu saja. Sama kuatnya dengan keinginan untuk membantah adanya kekejaman itu adalah keyakinan bahwa bantahan itu tidak berguna … Mengingat dan menceritakan
kebenaran mengenai peristiwa mengerikan adalah prasyarat baik untuk pengembalian tatanan sosial maupun untuk penyembuhan korban individual.”
vi
Komisi kebenaran atau cara lain untuk menyikapi masa lalu bisa membantu melawan apa yang disebut psikolog Yael Danieli sebagai “konspirasi diam” yang sering
berkembang di sekitar kekerasan politik dan cenderung mengintensifkan perasaan “isolasi, kesepian dan ketidakpercayaan terhadap masyarakat yang sudah ada” pada para korban.
vii
Pengakuan resmi terhadap peristiwa yang semula dibantah, terutama oleh sebuah badan yang disponsori pemerintah, seperti sebuah komisi kebenaran, bisa memiliki dampak yang
amat kuat.
Namun mereka yang menyarankan bahwa “berbicara mendorong penyembuhan” biasanya memakai asumsi yang tidak selalu tepat untuk diterapkan pada komisi kebenaran.
Hampir semua studi mengenai penyembuhan dari kekerasan politik mengukur dampak positif dari dukungan psikologis selama jangka waktu tertentu; studi demikian
menunjukkan bahwa bila para korban mendapatkan lingkungan yang aman dan mendukung untuk membicarakan penderitaan mereka, hampir semua mendapatkan
dampak positif. Gejala trauma yang terpendam, seperti mimpi buruk, masalah emosional dan kesulitan tidur, biasanya berkurang.
viii
Namun, komisi kebenaran tidak menawarkan terapi jangka panjang; mereka memberikan kesempatan satu kali untuk menceritakan
pengalaman mereka, biasanya kepada seorang asing yang belum tentu akan mereka temui
lagi. Beberapa pengalaman mengenai akibat terhadap korban yang menceritakan pengalaman mereka kepada komisi kebenaran sangatlah positif; yang lain amatlah
mencemaskan. Hingga kini belum ada studi mengenai dampak psikologis komisi kebenaran terhadap mereka yang selamat, namun dari bukti yang ada, beberapa pertanyaan
serius muncul. Kebutuhan untuk Bercerita
Komisi kebenaran tampaknya mencukupi – paling tidak mulai mencukupi – kebutuhan beberapa korban untuk menceritakan kisah mereka dan didengarkan. Mungkin diperlukan
beberapa bulan oleh komunitas korban untuk mempercayai komisi kebenaran, namun ketika kepercayaan ini tumbuh, sering kali tampak antrian panjang di luar kantor-kantor
komisi kebenaran – antrian para korban yang ingin melaporkan kisah mereka. Di beberapa kota di Haiti, misalnya, ratusan orang berbaris ketika staf komisi kebenaran datang untuk
mencatat kesaksian mereka, meskipun para pelaku kejahatan itu sering kali bisa melihat mereka datang untuk memberikan kesaksian mengenai kejahatan mereka. Banyak orang
mendapatkan risiko tinggi untuk bercerita, di Haiti maupun di manapun. Mereka sering kali menunggu berjam-jam, kembali esok harinya bila perlu. Di beberapa negara, para
korban yang selamat harus berjalan jauh, kadang berjalan kaki, untuk mencapai kantor komisi. Tidaklah selalu jelas apa yang memotivasi para korban maupun saksi untuk datang.
Meskipun ada usaha oleh staf komisi untuk menjelaskan tujuan dan kewenangan mereka, misalnya, beberapa korban tetap saja mengharapkan bahwa komisi akan mengadakan
proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran. Sedangkan yang lain mengharapkan bahwa komisi akan memberikan kompensasi untuk penderitaan mereka.
Banyak pekerja hak asasi manusia dan jurnalis melaporkan suatu kebutuhan dasar para korban untuk mengenang kisah pengalaman kekerasan yang mereka alami, tanpa
hubungan dengan proses resmi atau komisi kebenaran apa pun. Banyak cerita mengenai hal ini: beberapa tahun sebelum komisi kebenaran mulai bertugas di Guatemala, sebuah tim
antropologi forensik Guatemala, yang menggali tulang-tulang dari tempat-tempat penguburan massal, mengadakan pertemuan terbuka di suatu wilayah yang mengalami
kekerasan politik, untuk menerbitkan laporannya. Mereka mengira bahwa kurang dari 100 orang yang akan datang, namun 500 orang datang. Tim forensik tersebut heran karena
pertemuan tersebut menjadi suatu sesi kesaksian. Dua anggota tim tersebut menjelaskan, “Kami membuka sesi tanya jawab setelah presentasi, dan mereka langsung berbaris –
untuk memberikan kesaksian mengenai pengalaman mereka. Mereka hanya ingin menceritakan kisah mereka – di depan 500 orang, yang tidak semua mereka kenal – siapa
tahu ada yang melaporkan ke militer siapa yang mengatakan apa.”
ix
Seorang warga Amerika Serikat yang tinggal di Guatemala bercerita bahwa kekerasan di masa lalu selalu saja muncul dalam pembicaraan bila ia pergi ke pegunungan.
“Kamu bisa saja membicarakan hal apa pun – harga jagung, cuaca – lalu orang-orang tiba-tiba bercerita mengenai kekejaman yang mereka alami.”
x
Dari Afrika Selatan, ada cerita yang sama: ketika undang-undang untuk komisi kebenaran sedang didiskusikan dan diperdebatkan pada tahun 1994-1995, sekelompok
kecil korban berusaha melobi untuk undang-undang yang lebih keras. Kelompok ini segera menjadi kelompok yang mendapat dukungan korban, dan tiba-tiba puluhan orang hadir
dalam pertemuan mereka. “Semua orang bangkit dan bercerita – kira-kira 40 orang pada pertemuan pertama,” kata psikolog Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan
Rekonsiliasi, yang mendorong terbentuknya kelompok tersebut. “Sebuah bagian penting dari kelompok itu adalah memberikan kesempatan untuk bercerita.”
xi
Komisi kebenaran bisa memberikan lingkungan yang aman bagi korban untuk menceritakan pengalaman mereka. Setelah komisi kebenaran Afrika Selatan bekerja
selama setahun, Hamber memiliki kritik terhadap beberapa aspek komisi itu, namun menulis, “Memberikan kesempatan bagi para korban untuk bercerita, terutama dalam
forum publik, sangat berguna bagi banyak orang. Tidak dapat dibantah bahwa banyak dari korban dan keluarganya memandang proses ini berguna secara psikologis.”
xii
Ini terjadi pula di Cili, paling tidak bagi beberapa korban. Elizabeth Lira, seorang psikolog Cili yang bekerja bersama korban kekerasan politik, berkata bahwa tindakan
sederhana seperti mengakui terjadinya pengalaman traumatik seseorang bisa menjadi amat penting untuk kesembuhan psikologis mereka. “Di Cili, mendatangi komisi kebenaran
seperti datang ke sebuah keluarga: ada perasaan aman, bendera di meja, mandat dari presiden dan komisi yang mengatakan, ‘Kami ingin mendengar apa yang ingin Anda
katakan.’” Selama lebih dari lima belas tahun, negara mengabaikan mereka, menyatakan bahwa semua penderitaan mereka bohong. Tiba-tiba, sebuah komisi resmi bersedia
mendengarkan cerita mereka dan mengakui secara publik bahwa penghilangan itu memang benar terjadi. Karena kelompok-kelompok hak asasi manusia memberikan komisi Cili
detail-detail hampir semua kasus penghilangan, kesaksian dari keluarga korban tidak memberikan banyak informasi yang baru. Namun menurut Lira, “Aspek simbolis
mendengarkan kesaksian dari keluarga korban jauh lebih penting.”
xiii
Perasaan Lega Seorang menteri Afrika Selatan, S.K. Mbande, mengkoordinasikan usaha untuk
mengumpulkan pernyataan untuk komisi kebenaran di kota Daveyton, tidak jauh dari Johannesburg. Saya mengunjunginya di rumahnya untuk menanyakan pengalamannya
mengumpulkan pernyataan dari sedemikian banyak korban.
Ketika beberapa orang bercerita, menurutnya, mereka “bercerita setengah bohong dan setengah benar, karena menceritakan seluruh kebenaran masih tidak aman. Beberapa
memberikan kesaksian karena mereka disuruh oleh pemerintah atau gereja. Namun beberapa orang mengalami trauma dan takut, dan merasa tidak aman untuk
membicarakannya. Jika seseorang diperkosa oleh anggota militer atau polisi, tidak mudah baginya untuk menceritakan hal itu, apalagi di depan suami atau anak-anaknya. Maka
kamu harus mencari tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan mereka. Beberapa orang lupa apa yang terjadi, atau karena trauma, menceritakan hal yang berbeda, atau berubah-ubah,
karena mereka tidak dapat mengingat jelas. Menurut pandangan saya, bercerita membantu dalam proses penyembuhan, namun tidak selalu demikian. Bagi sebagian, hal itu
menyebabkan mereka merasa lebih buruk.”
“Bagaimana terjadinya penyembuhan?” tanya saya. “Setelah bercerita, mereka lebih santai. Mereka menceritakan apa yang ada di
dalam hati mereka, yang selama ini mereka tutupi. Setelah bercerita, mereka menanyakan di mana orang tersebut dikubur, siapa yang membunuh mereka – pertanyaan mengapa, di
mana dan bagaimana. Namun mereka menjadi terbuka kepada si pencatat kesaksian itu dan sering kali mengatakan bahwa mereka merasa jauh lebih baik.” Seorang pencatat kesaksian
setempat, Boniwe Mafu, menyetujui pandangan ini.
“Beberapa orang tidak ingin datang, apalagi bercerita. Bercerita akan mengingatkan mereka, dan membuat mereka merasa sakit,” kata Pendeta Mbande.
“Beberapa orang datang, namun tidak berbicara, hanya menangis – kadang-kadang selama 30 menit. Atau mereka berbicara, namun di tengah-tengah mereka menangis.”
Ia berhenti sebentar untuk berpikir. “Di masa lalu, Anda tahu, tidak banyak orang tahu bahwa ada orang-orang yang sakit di masyarakat ini, karena trauma. Hanya sekarang
saja orang-orang tahu bahwa ada trauma itu, dan jelas bahwa beberapa orang perlu bantuan. Benar bahwa komisi kebenaran ini merupakan proses penyembuhan – kalaupun
bukan 100 , ya 60 .”
“Sebanyak enam puluh orang sembuh, atau kepulihan seseorang sebesar 60 ?” tanya saya.
“Bisa keduanya. Mungkin sebanyak 60 orang merasa lebih baik, namun mereka juga hanya pulih 60 .”
xiv
Putra Nyonya Sylvia Dlomo-Jele yang berusia belasan tahun dibunuh pada tahun 1988, dan ibunya ini mendatangi komisi kebenaran untuk menceritakan kisahnya. Saya
mengunjunginya di Soweto, di luar Johannesburg, untuk bertanya bagaimana pengalamannya dengan komisi itu. “Memberikan kesaksian berbeda bagi tiap orang,”
menurutnya, “namun ketika saya berkesaksian di acara dengar-kesaksian publik, sangatlah baik. Itu merupakan kesempatan pertama saya bercerita mengenai apa yang terjadi pada
saya. Setelah kematian anak saya, saya selama bertahun-tahun tidak membicarakan hal itu. Ini membunuh saya. Saya berpikir, ‘Mengapa saya, Tuhan?’ Ini memberikan masalah
besar bagi saya. Kami bergantung pada anak kami, meskipun ia masih muda. Memberikan kesaksian, bercerita kepada semua orang mengenai apa yang terjadi pada saya –
menyakitkan, namun juga melegakan. Cara mereka mendengarkan saya, ketertarikan mereka pada cerita saya, itu baik bagi saya. Namun benar, bahwa banyak orang merasa
lebih buruk. Satu ibu yang saya kenal mengatakan, ‘Saya tidak mau membicarakan hal itu, anak saya tidak akan kembali.’”
xv
Sayangnya, Sylvia meninggal hanya setahun setelah pembicaraan kami, segera setelah proses amnesti bagi para pembunuh putranya, Sicelo Dlomo. Secara tak terduga,
dalam proses amnesti tersebut ditemukan bahwa pembunuh anaknya adalah rekan-rekannya di ANC, untuk alasan dan kondisi yang tidak jelas, suatu hal yang terlalu
berat untuk diterimanya. Meskipun ia sangat mendukung hak untuk mengetahui kebenaran, satu pernyataan pada upacara penguburannya demikian: “Ironisnya, pada
akhirnya, yang membunuhnya adalah stress karena kematian [putranya] dan fakta mengenai pembunuhannya oleh rekan-rekannya”.
xvi
Para pembunuh itu diberi amnesti pada bulan Februari 2000, oleh Komisi Amnesti, yang dikritik keras oleh beberapa
pengamat.
xvii
Saya bertemu dengan seorang korban lain dari Afrika Selatan, Simpson Xakeka, di kantor komisi kebenaran di Johannesburg. Ia ditembak pada satu parade di Daveyton,
tahun 1991. Saya bertanya bagaimana perasaannya saat memberikan kesaksian, yang ia lakukan beberapa waktu sebelumnya. Dalam bahasa Zulu, ia mengatakan, “Ketika saya
berbicara, rasa sakit itu datang lagi. Saya dibuat untuk mengalami lagi peristiwa itu. Namun ketika wawancara dimulai, rasa sakit itu berkurang. Sukar membicarakan hal itu.
Namun lebih mudah bagi saya untuk berbicara karena si pencatat kesaksian bisa berempati; ia mengikuti semua yang saya katakan.”
“Secara emosional hal itu membantu banyak. Ini membantu saya menerima hal itu. Namun secara fisik hal itu tidak membantu. Saya masih memiliki peluru di dada saya, saya
masih merasa sakit. Namun secara emosional saya terbantu banyak.” Saya bertanya bagaimana hal itu bisa membantu. “Ada pandangan dalam budaya
kami,” menurutnya, “bahwa ‘menceritakan semua melegakan’. Saya tidak akan lupa apa yang terjadi, namun membicarakan itu memberikan kelegaan emosional. Ketika saya
bertemu dengan yang lain dan bercerita, itu membantu. Namun saya menekankan bahwa saya tidak akan lupa pada apa yang telah terjadi.”
xviii
Staf komisi di banyak negara menyatakan bahwa proses pemberian kesaksian amatlah kuat dan bersifat katarsis. Menceritakan pengalaman bisa sangat emosional,
terutama bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah bercerita. Namun para psikolog mempertanyakan pandangan bahwa satu kali katarsis dapat memberikan penyembuhan
psikologis yang mendalam. Dalam kondisi klinis, hampir semua terapis tidak akan mendorong seseorang untuk mempermasalahkan penderitaannya yang paling dalam terlalu
segera, terutama bila berakar pada trauma yang dalam.
Tujuan utama komisi kebenaran bukan terapi. Alih-alih, tujuannya adalah mendapatkan sebanyak mungkin informasi mendetail dari jumlah korban terbesar untuk
membuat analisis akurat mengenai pelanggaran selama jangka waktu tertentu. Dipandu oleh kebutuhan demikian, korban dan saksi yang datang ke komisi kebenaran diminta
untuk menceritakan pengalaman mereka yang mengerikan secara keseluruhan dalam satu pertemuan singkat, biasanya sekitar satu jam. Wawancara ini difokuskan pada mencatat
detail spesifik mengenai peristiwa yang disaksikan atau dialami, tepat ke pusat ingatan yang paling menyakitkan. Para saksi bisa menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional
dengan menangis, sesenggukan, atau meratap, namun hampir semua pewawancara – mungkin ahli hukum, relawan hak asasi manusia, atau orang awam lain yang digaji untuk
mencatat kesaksian – kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk merespon trauma pada tingkat ini. Sebaliknya, saksi lain bisa datang tanpa emosi, sehingga mungkin
menimbulkan misinterpretasi atau kesalahpahaman si pencatat kesaksian. Seorang anggota staf di El Salvador, yang mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan pelatihan mengenai cara
menangani korban trauma, mengatakan, “Seingat saya, hampir semua orang menyikapi kehilangan mereka dengan menjadi nyaris tanpa emosi mengenai apa yang sudah terjadi,
bagaimanapun menyedihkannya. Saya hanya ingat seorang ibu kelas menengah yang anaknya dihilangkan pada awal dekade 1980-an, dan datang dengan suaminya, dan masih
histeris, seperti peristiwa itu baru terjadi kemarin. Ia tampaknya masih merasa kehilangan karena itu. Saya ingat seseorang berkomentar bahwa ibu itu tidak dapat menghadapi
kejadian tersebut. Saya kira saya mungkin akan merangkul ibu tersebut, namun itu adalah insting saya.”
xix
Karena banyaknya jumlah korban yang datang dan singkatnya waktu yang tersedia bagi komisi untuk menyelesaikan kerjanya, hingga kini, komisi kebenaran tidak bisa
menawarkan dukungan psikologis serius. Komisi juga tidak bisa merespon keluhan psikologis melalui telepon atau permintaan informasi mengenai kelanjutan penyelidikan
pada kasus tertentu. Di Afrika Selatan, komisi kebenaran berusaha untuk membuat sistem rujukan bagi korban yang mengalami trauma ke badan independen untuk dukungan
psikologis lebih jauh, namun sistem rujukan ini tidak berjalan baik dan tidak dipakai luas.
Selain itu, banyak korban tinggal jauh dari kota-kota, sehingga tidak mendapatkan layanan tersebut.
Komisi biasanya menyelidiki sedikit kasus secara mendalam, menggunakan mayoritas kesaksian hanya untuk analisis pola-pola statistik. Dalam kasus-kasus yang
mungkin diselidiki secara mendalam dan ditemukan faktanya mengenai apa yang terjadi dan bahkan lokasi jenazah mereka yang dibunuh, mereka yang ditinggalkan bisa
mendapatkan penyelesaian bagi masalah mereka. Sidang amnesti di Afrika Selatan, misalnya, ketika para pelaku menjelaskan detail brutal penyiksaan dan pembunuhan yang
mereka lakukan, tampaknya memuaskan mereka yang selamat atau ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, komisi Afrika Selatan berhasil menggali kembali kuburan rahasia dan
mengembalikan jenazah ke anggota keluarga, bahkan mengadakan upacara kematian yang layak, yang jelas berdampak amat kuat dan positif bagi keluarga korban.
Bahaya Trauma Ulangan “Selama masih ada tangisan, ada anggapan bahwa penyembuhan masih berjalan,” kata
Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi. “Bagi beberapa orang, itu adalah langkah pertama; bagi yang lainnya, itu merupakan langkah akhir, atau
penyelesaian. Namun banyak orang yang merasa remuk sesudahnya.”
xx
Demikian pula, psikiater Harvard, Judith Herman, memberi tahu saya bahwa “semua orang yang
menunjukkan ketertarikan dan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menceritakan kisah mereka bisa memberikan efek terapi. Beberapa korban bisa
menggunakan kesempatan ini secara positif. Bagi yang lainnya, ini mengekspos mereka dan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk ke mana-mana.”
xxi
Sebagaimana diakui psikolog, dan jelas terlihat dengan berbicara dengan mereka yang telah memberikan kesaksian ke komisi kebenaran, korban dan saksi bisa mengalami
trauma ulangan dengan bersaksi ke komisi, yang bisa separah gejala-gejala fisik, seperti kebingungan, mimpi buruk, kelelahan, hilangnya nafsu makan, dan kesulitan tidur.
Gejala-gejala ini bisa muncul segera setelah peristiwa traumatik, namun bisa datang lagi dengan mengingat detail peristiwa itu. Dalam bidang psikologi, gejala ini disebut sebagai
gangguan stres pascatrauma
posttraumatic stress disorder – PTSD.
xxii
Bila korban dan saksi diminta untuk menceritakan pengalaman menyedihkan mereka dalam satu
kesempatan, dan tidak diberi dukungan sesudahnya, dampak emosional dan psikologis bisa amat berat. Kesulitan untuk sembuh dari kekerasan politik dipersulit dengan kaitannya
terhadap masalah ekonomi dan sosial mendasar, yang mungkin dijadikan lebih parah oleh peristiwa itu sendiri, seperti kematian pencari nafkah dalam keluarga. Kadang-kadang,
trauma bisa mendorong masalah lain seperti penyalahgunaan zat-zat kimia atau kerusakan hubungan personal.
Michael Lapsley, seorang pendeta aktivis di Afrika Selatan, pernah berbicara dengan banyak korban yang berusaha memahami respon mereka kepada komisi kebenaran.
Lapsley kehilangan kedua tangannya karena bom surat yang dikirim oleh pemerintah Afrika Selatan pada tahun 1990, ketika ia sedang dalam pengasingan di Zimbabwe. Ia
selamat dan berhasil sembuh dari bom itu, dan kini memiliki dua kait logam sebagai ganti tangan. Sejak pengeboman itu ia sudah menasihati banyak korban kekerasan politik di
Afrika Selatan. Dan sementara menekankan bahwa ia mendukung kerja komisi kebenaran,
ia menekankan pula bahaya komisi kebenaran yang mendekati penyembuhan secara terlalu simplistis: “Jika kamu memiliki luka fisik, kamu akan melepas perban, membersihkan luka
itu dan memperbannya kembali. Namun seseorang menelanjangi dirinya di depan komisi kebenaran, dan tidak mendapat kesempatan cukup untuk berpakaian kembali. … Naif bila
dianggap hanya diperlukan lima menit untuk sembuh. Kita akan menghabiskan waktu seratus tahun ke depan untuk mencoba sembuh dari luka sejarah.” Ketika komisi kebenaran
datang untuk beberapa hari di sebuah kota untuk mencatat kesaksian, ia memang memberi kesempatan untuk berbicara, dan menjadikan penderitaan mereka pusat perhatian, namun
Lapsley melihat bahwa dengar-kesakian tersebut sering kali meninggalkan warga dengan perasaan kosong: “Sirkus sudah datang, dan pergi – lalu apa?” mereka bertanya kepadanya.
Asumsi bahwa mengetahui fakta mengenai apa yang terjadi akan selalu membantu penyembuhan terlalu simplistis, dan kadang-kadang tidak benar, menurut Lapsley.
Bahkan, beban dari mengetahui bisa menjadi amat berat. “Setelah kamu tahu siapa melakukan apa – mungkin seorang yang dicintai terlibat, misalnya – apa yang akan
dilakukan? Sekarang kamu harus menyikapi fakta yang sudah kamu ketahui itu.”
xxiii
Marius Schoon, seorang warga Afrika Selatan yang istri dan anaknya terbunuh oleh bom yang dikirim pasukan keamanan negara, mengatakan, “Saya tidak ingin tahu siapa
yang mengirim atau menempatkan bom itu. Saya lebih suka membenci sebuah sistem daripada orang lain, dan sejauh saya tahu pasukan keamanan dari pemerintah Partai
Nasional adalah pihak yang bertanggung-jawab. Itu cukup buat saya,” demikian katanya. Dua belas tahun setelah pembunuhan itu, melalui kerja komisi kebenaran, ia tahu siapa
tepatnya yang melakukan pembunuhan itu. “Dari bulan Maret tahun lalu, ketika saya dengar [Craig] Williamson seorang spion untuk pemerintah apartheid terlibat, bagi saya
sama sekali tidaklah memberikan perdamaian bahwa hal-hal yang sudah saya terima, bagaimanapun buruknya, tiba-tiba ada di depan saya lagi. Sekarang masalahnya menjadi
personal. Sangat bisa jadi saya akan menembaknya.”
xxiv
Di sebelah selatan Johannesburg, di kota kulit hitam Sebokeng, saya bertemu seorang ibu dan anak yang selamat dari pembantaian 38 orang di rumahnya pada
pertengahan dekade 1980-an, sebuah kekejaman yang dikenal sebagai ‘pembantaian tuguran’. Saya mengunjungi mereka di rumah mereka pada tahun 1996, dua minggu
setelah mereka mendatangi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk memberikan kesaksian dalam acara dengar-kesaksian publik. Sebuah poster Tracy Chapman tergantung
di dinding ruang tamu, di sebelah televisi, di seberang lubang peluru yang tertinggal dari serangan sembilan tahun sebelumnya. Penerjemah saya dan saya masuk ke ruang tamu
yang sempit dengan sang ibu, Margaret Nangalembe. Anaknya sedang tidak ada di rumah. Penerjemah saya dan saya hanya tahu bahwa mereka baru saja memberikan kesaksian, dan
kami ingin tahu pandangan ibu itu. Ia hanya membicarakan komisi kebenaran itu secara garis besar dan sopan, hingga saya bertanya apakah ia menganggap komisi kebenaran itu
suatu hal yang baik.
“Saya tidak bisa mengatakan apakah komisi kebenaran itu baik atau buruk, tapi bagi saya sendiri, ia menjadikan kondisi makin buruk. Kehidupan saya memburuk sejak
dengar-kesaksian publik itu,” menurutnya. Ia menjelaskan sejumlah gejala PTSD. “Komisi itu menjadikan saya terpikir mengenai hal-hal itu lagi. Pada hari kami mendatangi komisi,
saya mulai mengingat lagi apa yang terjadi, dan sekarang semua itu teringat-ingat, hari pembantaian itu dan apa yang terjadi.”
xxv
Pada waktu dengar-kesaksian publik itu, sang ibu mengalami emosi yang berlebihan sehingga ia terpaksa dibawa keluar dari ruangan; anaknya, Albert “Mandla”
Mbalekelwa Nangalembe, menyelesaikan presentasi tersebut. Staf komisi kebenaran berusaha menenangkan mereka, namun mereka pulang dalam keadaan terganggu
emosinya. Gejala fisiknya mulai timbul keesokan harinya, dan ketika ia melihat film mengenai pembantaian tersebut pada laporan televisi hari Minggu, ia menjadi semakin
buruk. “Saya merasa pening. Kepala saya selalu terasa pusing. Saya tidak bisa berjalan agak jauh tanpa kelelahan: kaki saya terasa aneh. Saya tidak bisa tidur malam hari.”
Setelah pembantaian, menurutnya, “butuh waktu lama untuk kembali normal. Saya selalu merasa bingung; sepertinya semua menjadi gelap. Anak saya membawa saya ke
dokter spesialis di kota dan saya diberi pil dan disuntik, dan saya menjadi lebih baik. Saya sudah pergi ke klinik setempat untuk minta pengobatan lagi. Saya diberi beberapa tablet,
namun tampaknya tidak berguna.”
Saya bertanya apakah ia menyesal karena sudah pergi ke komisi kebenaran. “Saya benar-benar ingin menceritakan kisah saya ke komisi,” menurutnya. “Saya tidak bisa
mengatakan bahwa saya menyesal. Toh saya pasti akan menyaksikannya di TV, karena yang lain pasti akan memberikan kesaksian.”
Namun masih belum jelas, apa yang akan ia dan anaknya dapatkan dari komisi kebenaran dalam bentuk konkret. Mereka ingin bantuan dalam memperbaiki benda-benda
yang rusak pada waktu serangan: atap masih bocor dari lubang peluru, dan pintu depan tidak bisa dikunci dengan baik karena dibuka paksa, namun komisi belum menjanjikan apa
pun, tidak juga penyelidikan.
Putranya “Mandla” pulang dan bergabung dalam pembicaraan. Ia masih muda, cerdas, pandai berbicara dan mengesankan, mungkin usianya sekitar 30-an. Ia
menggambarkan banyak gejala serupa ibunya: ia tidak bisa tidur, bermimpi buruk, ia sulit makan. “Ada banyak gangguan, yang amat serius,” ia berkata. Ia menelpon komisi
kebenaran seminggu setelah dengar-kesaksian publik untuk menanyakan apakah sudah ada kemajuan penyelidikan. Komisi belum menjawab. “Komisi kebenaran itu memulai suatu
hal yang menurut saya tidak dapat mereka selesaikan,” ia katakan. “Banyak penyelidikan diperlukan. Bagaimana menyembuhkan orang, saya tidak tahu, tapi ada yang perlu
dilakukan.” Ia juga mencemaskan pembalasan dari para pelaku karena bersaksi ke komisi: “Kami berada dalam kondisi yang amat berbahaya. Ada bahaya kami diserang karena
berbicara. Mereka bisa mengatakan ‘kita habisi saja mereka’.”
xxvi
Ia membantu membentuk sebuah kelompok lokal dukungan korban setelah pembantaian, dikenal sebagai Korban Kekerasan Vaal. Kini kelompok itu terfokus pada
komisi kebenaran, dan hampir semua tidak senang dengan lambatnya komisi itu bekerja. “Kami tidak akan menentang komisi kebenaran, namun kami masih belum jelas; kami
tidak tahu apa yang sedang terjadi,” demikian kata Mandla. Namun kelompok itu membantu mempersatukan mereka. “Kami bertemu setiap bulan untuk melihat apa yang
dilakukan oleh komisi kebenaran dan apakah ada ancaman terhadap siapa pun.”
Meskipun ia menderita akibat bersaksi, ia menolak mengkritik komisi kebenaran. “Kami menganggap komisi tersebut cukup berharga. Kami tidak mengatakan komisi itu
tidak berguna; saya tidak ingin negatif. Saya berpandangan positif. Dunia harus mengetahui kebenaran tentang hal ini.”
Ketika ia mengantar kami ke mobil, ia berterima kasih atas kunjungan kami. “Mungkin saya akan bisa tidur malam ini, karena saya sudah membicarakan hal ini.”
Kemudian, pada sebuah kunjungan ke Soweto, saya mendengar sebuah cerita yang jauh lebih buruk. Pemandu dan penerjemah saya di Soweto bekerja paruh waktu sebagai
pencatat kesaksian untuk komisi kebenaran, dan menceritakan seorang korban yang disiksa secara kejam sewaktu ditahan beberapa tahun sebelumnya. Ia sangat terpengaruh oleh
siksaan itu, dan kehidupan sehari-harinya amat terganggu, namun ia tetap melapor ke komisi kebenaran, dan memberikan gambaran penyiksaannya secara mendetail. Sebagai
akibat memberikan kesaksian, ia mengalami gangguan kejiwaan yang parah dan terpaksa dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Ia berada di rumah sakit jiwa itu selama tiga bulan
sebelum ia sembuh dari ingatannya dan bisa keluar.
xxvii
Pusat Trauma untuk Korban Kekerasan dan Penyiksaan di Capetown memperkirakan, dari ratusan korban yang bekerja bersama mereka, bahwa 50 sampai 60
persen dari mereka yang memberi kesaksian mengalami masalah setelah itu, atau menyesal karena telah ikut serta meskipun tahu bahwa mereka tidak sedang mengadakan studi
ilmiah atau survei mengenai hal itu.
xxviii
Spesialis utama untuk kesehatan mental di komisi kebenaran Afrika Selatan, Thulani Grenville-Grey, mengakui adanya bahaya di bidang
yang dijalani komisi kebenaran itu, namun membelanya, mengatakan bahwa lebih baik sakit daripada diam saja. “Lebih baik menantang kesedihanmu. Bukanlah hal buruk untuk
mengulang trauma itu: kamu harus menjadi lebih buruk sebelum bisa sembuh. Memang hal itu mengerikan, namun memberikan perubahan yang real.”
xxix
Pemandu, Perujukan dan Bentuk-Bentuk Dukungan Lainnya Potensi trauma ulangan bukanlah kejutan bagi para pendamping korban kekerasan politik.
Enam bulan sebelum komisi kebenaran Afrika Selatan mulai bekerja, misalnya, seorang psikolog Afrika Selatan mengingatkan potensi bahaya: “Sangat penting untuk diperhatikan
agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak menggali ingatan yang menyakitkan atau membangkitkan kenangan buruk tanpa memberikan jaminan bahwa tersedia dukungan
yang tepat bagi mereka. Sangat mungkin komisi kebenaran akan menimbulkan rasa pedih, marah dan dendam jika orang yang berkontak dengannya tidak mendapatkan
pendampingan dan dukungan yang memadai.”
xxx
Komisi kebenaran Afrika Selatan memberikan perhatian serius terhadap kecemasan tersebut, dan memberikan dukungan psikologis lebih jauh daripada komisi
kebenaran lainnya dalam struktur operasionalnya. Komisi tersebut mempekerjakan empat spesialis kesehatan jiwa, yang berperan untuk “menjamin bahwa komisi memiliki
sensitivitas psikologis terhadap trauma,” menurut Thulani Grenville-Grey, ketua spesialis kesehatan jiwa. Ia mengorganisir kerjanya dengan mengakui bahwa “pendekatan yang
sensitif terhadap psikologi atau pendekatan yang suportif dalam pencatatan kesaksian, serupa dengan seorang dokter yang baik; ada perbedaan yang amat besar bila dilakukan
dengan baik, namun bukanlah syarat mutlak.”
xxxi
Pelatihan untuk para pencatat kesaksian, yaitu staf komisi yang paling sering berhubungan dengan para korban, bisa menjadi sangat penting karena dampak
membicarakan trauma bisa dipengaruhi oleh reaksi si pendengar. Meskipun anggota komisi dan stafnya berkeinginan baik, banyak dari mereka belum memiliki pengetahuan
untuk menyikapi kasus-kasus ekstrem luka emosional dan psikologis.
Dengan memperhatikan risiko ini, komisi Afrika Selatan memberikan pelatihan dasar bagi para pencatat kesaksian untuk merespon tanda-tanda trauma. Komisi itu juga
mempekerjakan “pemandu”, yang bertugas untuk memberikan dukungan konstan bagi mereka yang memberikan kesaksian di muka umum. Pemandu akan memberikan prosedur
dengar-kesaksian dan menjawab pertanyaan pada pagi harinya, duduk di sebelah saksi pada waktu mereka berbicara, dan memberikan dukungan setelahnya. Beberapa komisi
kebenaran lain menerapkan struktur dukungan serupa dalam kerjanya, meskipun dalam tingkat yang lebih terbatas. Di Cili dan Argentina, psikolog dan pekerja sosial dilibatkan
dalam staf komisi dan menghadiri beberapa wawancara dengan korban, misalnya. Namun tentu saja komisi kebenaran memiliki beban kerja yang amat berat, sehingga hanya dapat
memberikan bantuan yang amat terbatas. Selain di Afrika Selatan, Cili dan Argentina, komisi lain kurang memperhatikan kemungkinan dampak trauma ulangan yang
ditimbulkan dari kerja mereka. Komisi di Haiti dan El Salvador tidak memberikan pendidikan psikologis bagi stafnya, seperti bagaimana mengorek kesaksian dengan cara
yang sensitif, dan tidak ada anggota staf yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan para korban. Tidak ada komisi di luar Afrika Selatan yang berusaha menciptakan sistem
perujukan atau follow-up bagi korban yang mengalami trauma.
Tentu saja, pendampingan psikologi formal bukan model yang paling tepat di negara-negara yang kemungkinan memiliki komisi kebenaran. Di sebagian besar negara
tersebut, tidak terlalu banyak psikolog, sangat sedikit orang yang memiliki kebiasaan untuk meminta pendampingan formal, dan sedikit sumber daya yang tersedia untuk
“kemewahan” tersebut. Ini terjadi bahkan di Afrika Selatan yang relatif maju. Di seluruh Provinsi Belahan Utara Afrika Selatan, suatu daerah yang terutama terdiri dari pedesaan
dengan penduduk lebih dari 5 juta orang, hanya ada tiga praktisi kesehatan jiwa, dan tidak ada psikolog klinis di departemen kesehatan setempat.
xxxii
Di negara tetangganya, Mozambik, hanya ada 19 orang psikolog dan 1 psikiater di seluruh negeri, dan hanya
sedikit dari mereka yang berpraktik.
xxxiii
Di Sierra Leone, hanya ada seorang psikolog. Yang mungkin lebih penting daripada kurangnya personel atau sumber daya, adalah
pandangan bahwa psikologi Barat mungkin tidak tepat bagi kebudayaan tertentu. Dampak kebudayaan terhadap bagaimana seseorang merespon dan sembuh dari trauma berat belum
dipahami dengan baik. “Dalam kasus PTSD, keragaman yang disebabkan budaya baru mulai diselidiki,” menurut dua psikiater, Cécile Rousseau dan Aline Drapeau, dari
Montreal. Sebagai titik awal, mereka mencatat bahwa “kebudayaan memberikan cara untuk berduka cita. Dalam kasus trauma, kebudayaan, yang jelas terlibat dalam proses
penyembuhan, bisa sama pentingnya dalam menentukan bagaimana dan seberapa mendalam trauma dirasakan kembali.”
xxxiv
Jadi, dengan batasan sumber daya dan keragaman karena budaya, sumber dukungan ideal bagi korban di banyak masyarakat adalah organisasi komunitas, dukun,
gereja atau keluarga besar atau teman-teman. Namun setelah bertahun-tahun diam dan takut, banyak orang yang merupakan bagian dari struktur pendukung itu ragu-ragu untuk
membicarakan kekerasan politik secara terbuka, sehingga biasanya enggan untuk mengambil peran pendamping itu. Terlebih lagi, jelas bahwa beberapa jenis kekerasan,
terutama pemerkosaan, tidak akan mudah dibicarakan dengan pimpinan komunitas atau bahkan dalam keluarga. Untuk alasan-alasan tersebut, orang bisa tetap diam mengenai
peristiwa-peristiwa traumatik di masa lalu, bahkan di rumah sendiri, dan bahkan setelah mereka memberikan pernyataan kepada komisi.
Penyembuhan bisa dipengaruhi oleh ganti rugi yang diberikan, dan banyak komisi mengambil peran penting dalam menyarankan program ganti rugi. Alih-alih kompensasi
moneter dari negara, menurut psikiater Harvard, Judith Herman, korban menginginkan restitusi dari para pelaku. Para korban menginginkan “perasaan bahwa para penjahat itu
dipaksa memberikan sesuatu sebagai ganti, atau mencoba memperbaiki kesalahan. Orang-orang sangat menginginkan agar mereka yang bertanggung-jawab harus
menghadapi dampak tindakan mereka, dan melakukan tindakan konkret. Perasaan keadilan inilah yang dicari, dan berbeda dari hukuman.”
xxxv
Dalam ketiadaan struktur formal untuk membantu korban trauma, lahirlah kelompok pendamping korban dari inisiatif mereka sendiri. Di Argentina dan Cili,
kelompok yang mewakili keluarga orang hilang diorganisir bahkan dalam masa kediktatoran, pertama berfokus agar mereka yang hilang dikembalikan hidup-hidup. Di
Argentina, Ibu-Ibu Plaza de Mayo menjadi terkenal karena demonstrasi mingguannya di depan istana negara, yang masih berlanjut hingga kini, meskipun kelompok ini sudah
pecah karena perbedaan politik. Dua dekade setelah mulainya penghilangan di Argentina, kelompok Anak-Anak Orang Hilang dibentuk, terdiri dari para pemuda yang kehilangan
orang tua mereka.
Di Afrika Selatan, organisasi yang terbentuk jauh melebihi di tempat lain. Kelompok yang terbesar, Khulumani, yang berarti “berbicaralah” dalam bahasa Zulu, pada
awalnya dibentuk untuk mewakili suara korban dalam lobby di sekitar pembentukan komisi kebenaran, namun segera menawarkan dukungan bagi para korban melalui
kelompok pendampingan. Banyak kelompok Khulumani lokal dibentuk berkaitan dengan kecemasan terhadap komisi kebenaran – akses terhadap informasi, perkembangan
kebijakan ganti rugi, kebijakan amnesti dan lain-lain. Khulumani juga memberikan perhatian besar dalam pendidikan komunitas mengenai komisi kebenaran. Mereka
memproduksi sebuah drama yang menggambarkan ketegangan, frustrasi dan keuntungan dari komisi kebenaran, yang melakukan tur di kota-kota kaum kulit hitam. Dalam proses
kerjanya, Khulumani mengembangkan akar lokal yang kuat; hingga akhir tahun 1997, organisasi itu sudah memiliki 5 ribu anggota di seluruh negeri, yang mayoritasnya berkulit
hitam dan merupakan komunitas yang paling menjadi korban. Selain mengikuti aktivitas komisi dan perkembangan kasus-kasusnya, banyak kelompok Khulumani lokal
mengadakan pertemuan untuk saling memberi dukungan, kadang-kadang mengadakan upacara untuk mengenang mereka yang terbunuh.
Struktur dukungan sendiri ini sangat berguna bagi banyak korban, yang menekankan pentingnya pertemuan-pertemuan ini dalam penyembuhan dari sakitnya.
Banyak yang melihat bahwa “penderitaan saya tidak separah mereka”, ketika mereka datang ke pertemuan dan melihat ada orang lain yang lebih menderita dari mereka. Para
pendiri Khulumani mengakui bahwa kelompok mereka tidak akan terbentuk tanpa komisi kebenaran, meskipun kini berdiri sendiri. Mereka yang bekerja-sama dengan para korban
melihat dampak positif Khulumani dan organisasi serupa, dan melihat kemungkinan trauma ulangan yang jauh lebih kecil bagi para anggotanya. Banyak yang menganggap
bahwa dukungan Khulumani jauh lebih memberikan penyembuhan daripada komisi itu sendiri.
xxxvi
Pendeta S.K. Mbande, di Daveyton, memberitahu saya bahwa kelompok pendamping merupakan “salah satu buah dari komisi. Orang-orang datang bersama dan
menyembuhkan diri sendiri – sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya, ketika ketakutan
melanda semua orang. Sejak adanya komisi kebenaran, ada kebebasan, dan ini membuat mereka berkumpul.”
xxxvii
Trauma Psikologis Mempengaruhi Informasi yang Terkumpul Komisi-komisi harus siap untuk mendapatkan kesalahan-kesalahan yang timbul dari
pengumpulan informasi dari saksi-saksi yang mengalami trauma. “Orang-orang yang mengalami kekejaman sering kali bercerita dengan cara yang sangat emosional,
bertentangan, dan terputus-putus, sehingga mengurangi kredibilitas mereka,” tulis Judith Herman.
xxxviii
Tepatnya kapan terjadinya suatu peristiwa? Apa yang terjadi paling awal? Siapa saja yang hadir? Apa tepatnya yang Anda lihat? Detail-detail demikian yang
mengabur setelah lama akan semakin membingungkan karena adanya trauma psikologis. Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mendetail, jawaban-jawaban bisa tidak jelas atau
bertentangan.
Seorang anggota staf komisi kebenaran di Haiti menggambarkan bagaimana kesaksian dari beberapa korban hanyalah satu kalimat: “Ibu saya dibunuh”. Itu saja yang
bisa dikatakan saksi. Pewawancara tidak tahu mengapa, namun saksi itu tidak tahu atau tidak bisa berbicara lebih lanjut. Banyak kesaksian lain dimulai dengan aneh, tanpa
keteraturan: “Mereka mulai dari bagian terakhir, atau mulai cerita dengan kisah pencurian kambing mereka, yang tampaknya tidak berkaitan. Ini sering terjadi, dan sangatlah
membingungkan untuk memahami apa cerita sebenarnya”.
xxxix
Memang, buku panduan referensi psikiatri Amerika Serikat menjelaskan salah satu gejala umum PTSD adalah “ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari
trauma”. Buku itu melanjutkan, “Orang sering kali melakukan usaha yang disengaja untuk menghindari pemikiran, perasaan atau perbincangan mengenai peristiwa yang traumatik
… ini akan menimbulkan amnesia mengenai aspek yang penting” dari peristiwa yang bersangkutan.
xl
Pilihan operasional yang dibuat oleh komisi bisa membantu menentukan dampak psikologisnya. Beberapa dari pilihan tersebut cukup konkret, seperti pemilihan ruang
kantor. Di Chad, komisi mengalami kesulitan tempat, sehingga berkantor di bekas kantor badan intelijen – yang dipakai sebagai tempat penyiksaan oleh pemerintah sebelumnya.
Jelas bahwa para korban enggan untuk datang ke kantor itu untuk memberikan kesaksian. Seperti ditulis dalam laporan komisi, “Perlu diakui bahwa lokasi kantor pusat Komisi
sedemikian hingga tidak mendorong para korban untuk datang dan bersaksi … [d]ibutuhkan sejumlah besar bujukan untuk meyakinkan dan menghilangkan kecemasan
orang-orang tersebut”.
xli
Di El Salvador, komisi berkantor di jantung ibu kota, tempat lingkungan yang paling kaya. Sebagian terbesar dari mereka yang memberikan kesaksian merasa tidak
nyaman di sana. Dalam konflik politis dan perang di negara tersebut, wilayah tersebut merupakan tempat tinggal kaum kanan, termasuk pendukung paramiliter dan tentara.
Banyak korban yang datang, namun dengan keragu-raguan. Seorang pastor yang mengantarkan orang-orang ke komisi itu dari luar kota menceritakan kejadian di dalam
mobil ketika mereka mendekati kantor komisi. “Ketiga atau keempat orang di dalam mobil itu ketakutan kalau-kalau mereka terlihat datang ke komisi dan akan dibalas. Mereka
sangat ketakutan. Bahkan ketika kami meninggalkan kantor komisi, mereka semua terus
menganggap ‘Mereka melihat kami, mereka memfoto kami, mereka memperhatikan’. Ketakutan terhadap lingkungan itu sangat intens.”
xlii
“Spons Trauma”: Traumatisasi Sekunder pada Staf Komisi dan Jurnali Ahli kesehatan mental Afrika Selatan, Thulani Grenville-Grey, menggambarkan staf
komisi sebagai “spons” yang menyerap penderitaan, rasa sakit dan trauma dari cerita yang mereka dengarkan. “Mereka mengalami gejala-gejala pasca-trauma yang biasa, sehingga
kami mendorong mereka untuk membicarakan apa yang mereka dengar setiap minggu.”
xliii
Akibat trauma ini sangat terasa oleh komisi, yang berbentuk rasa mudah tersinggung, agresi, kesulitan tidur, mimpi buruk, paranoia, pusing, penyakit lambung, penyalahgunaan
obat-obatan dan masalah fisik maupun tindakan lainnya. Para anggota komisi sering kali terbangun pada jam 2 atau 3 pagi, membayangkan gambaran dalam dengar-kesaksian
kemarinnya, dan anggota komisi dari komisi-komisi kebenaran lainnya mengalami hal serupa. Beberapa komisi kebenaran mengakui pentingnya menyikapi secara formal beban
psikologis pada anggotanya sendiri. Komisi di Afrika Selatan dan Cili, sebagai contoh, memiliki sesi-sesi debriefing untuk stafnya.
Biasanya, seorang pencatat kesaksian di komisi kebenaran mencatat lima sampai sepuluh pernyataan tiap hari, namun bisa jauh lebih tinggi. Di Guatemala, seorang staf
mendapatkan 27 kesaksian dalam sehari, bekerja 14 jam sehari, tujuh hari seminggu tiap minggu – meskipun mereka menolak mengakuinya, karena mereka dikontrak PBB dan hal
itu melanggar aturan PBB. Setelah kantor lapangan di Guatemala ditutup, dan komisi melihat dampak yang terjadi pada stafnya, mereka mengorganisir sesi debriefing dengan
ahli jiwa, namun mungkin sudah terlambat. Tindakan paling positif yang dilakukan adalah tindakan direktur kantor lapangan Guatemala yang memaksa stafnya untuk beristirahat
dari ritme kesaksian yang brutal tersebut.
Namun biasanya, staf komisi kebenaran tidak mendapatkan cukup banyak alat untuk memproses rasa sakit dan penderitaan yang mereka dengarkan sehari-hari. Seorang
staf komisi di El Salvador, pengacara Amerika Serikat, Lauren Gilbert, menggambarkan pengalaman yang ia ingat:
Saya ingat satu kali hanya satu kali saya benar-benar merasa muak dalam sebuah wawancara sehingga harus pergi ke toilet. Itu tentang seorang perempuan muda, rekan seorang anggota FMLN
[oposisi bersenjata di El Salvador], yang diculik dan disiksa Policía de Hacienda. Ia disiksa secara mengerikan selama hampir tiga minggu ia dipukuli; kain penutup matanya diolesi asam, sehingga
kalau ia menangis matanya terbakar; pergelangan tangan dan giginya dipatahkan; ia diperkosa hingga hamil. Ia tidak bisa melakukan aborsi karena “melanggar hukum”, dan membenci bayinya
dan menjadi amat gemuk. Ibunya, yang memberikan kesaksian, juga kehilangan seorang anak lain, laki-laki, yang ditembak mati. Ibu ini, seperti banyak lainnya, menceritakan semua ini nyaris tanpa
emosi; sangat dingin. Saya pikir bahwa pada satu titik saya “tersambung” dengan ibu ini dan meratapi identitasnya yang hilang, penghancuran identitasnya oleh polisi. Saya pikir itu merupakan
kali pertama saya benar-benar memahami arti penyiksaan.
Saya ingin agar kasus ini dimasukkan ke dalam laporan kami. Saya berusaha menemukan perempuan itu, namun kami tidak dapat menemukan rumahnya. Saya pergi ke penjara tempat
penahanannya, namun tidak banyak catatan yang ada, sehingga tidak ada cara memastikan kebenaran kesaksian itu. Pada akhirnya kasusnya tidak dimasukkan.
xliv
Meskipun mendengarkan cerita-cerita tersebut menyakitkan, para staf pada akhirnya sering kali mengalami hal yang positif. Di El Salvador, misalnya, Gilbert
mengingat, “Mengenai sikap kami, atau saya, terhadap semua kesaksian itu, saya merasa bahwa dalam setiap wawancara yang saya rekam, dengan menulis ceritanya, mengetik
ulang di komputer, dan membacakannya kembali kepada mereka untuk diedit dan ditandatangani, saya merasa melakukan suatu katarsis bagi kami berdua. Perasaan berhasil
merekam apa yang sudah terjadi amatlah kuat.”
xlv
Sejumlah komisi menemukan bahwa staf yang paling terganggu oleh kisah-kisah penyiksaan dan pelanggaran bukanlah mereka yang berinteraksi langsung dengan para
korban, malah petugas data entry yang melakukan koding dan memasukkan informasi ke dalam database. Ini mungkin karena para pencatat kesaksian bisa melihat tanda-tanda
kebertahanan para korban tersebut, dan memasukkannya ke dalam konteks. Selain tidak mengalami kontak langsung dengan para korban, para koder dan staf data entry juga
memproses jumlah kesaksian yang jauh lebih besar dan bekerja dengan data yang mengerikan. Di Afrika Selatan, misalnya, kode mengenai kekerasan, sejumlah tiga
setengah halaman, satu spasi, menggambarkan ratusan jenis kekerasan, penyiksaan dan pelanggaran. Daftar ini diawali dengan penculikan paksa, amputasi, pemukulan kepala ke
tembok
, berlanjut ke pencabutan gigi, pencabutan kuku jari, penyeretan di belakang kendaraan, penguburan hidup-hidup, pembakaran dengan bahan kimia
– dan semua itu baru dari halaman pertama. Sekitar 150 bentuk lainnya menyusul di halaman kedua:
deprivasi tidur, perendaman kepala dalam air, penyebaran penyakit secara sengaja, pemaksaan untuk melihat penyiksaan orang lain, mutilasi genital, pemerkosaan secara
massal, penggantungan beban di alat kelamin, pemenggalan, pembakaran anggota tubuh
dan penyobekan perut. Para koder dan pemroses data menghabiskan hari-hari kerja membaca pernyataan, memberikan kode dan memasukkannya ke komputer, dalam tekanan
waktu.
Bila terjadi dengar-kesaksian publik dan liputan media secara intensif terhadap kerja komisi, jurnalis yang mengikuti komisi kebenaran bisa juga menunjukkan
tanda-tanda traumatisasi sekunder. Ini terutama terjadi di Afrika Selatan, di mana ada puluhan jurnalis cetak, radio dan TV yang mengikuti kerja komisi secara penuh waktu.
Setelah satu tahun komisi bekerja, jurnalis Antjie Krog, yang memimpin tim lima orang untuk radio, menulis dampak berat yang timbul terhadapnya dan rekan kerjanya dari
meliput kerja komisi. Ketika komisi mulai bekerja, demikian ia menulis, seorang spesialis kesehatan jiwa dari komisi mengingatkan para jurnalis tersebut untuk memperhatikan
gejala-gejala stres. “Kalian akan mengalami gejala yang sama dengan para korban,” demikian mereka diberitahu. “Kalian akan merasa tak berdaya, tanpa harapan, tak bisa
berkata-kata.”
“Saya amat terkejut karena dalam sepuluh hari saja saya sudah mengalami semua itu,” tulis Krog; ia melanjutkan,
Melaporkan kerja komisi kebenaran menjadikan hampir semua dari kami lelah secara fisik dan kacau secara mental … Minggu demi minggu, dari satu bangunan
ke bangunan lain, dari satu kota penuh debu ke kota lain, kami terus dibayang-bayangi. Kami tidak bisa lepas darinya. Selamanya.
… Kami mengembangkan cara-cara untuk mengurangi dampaknya. Kami tidak lagi masuk ke aula tempat dilakukannya kesaksian. Kami melihat dari
monitor yang disediakan. Bila ada yang mulai menangis, kami mulai menulismencoret-coretmelihat ke arah lain.
… Rambut saya mulai rontok, gigi saya mulai goyang. Saya mengalami gatal-gatal … saya tidak bisa membicarakan hal lain. Namun saya sama sekali tidak
membicarakan hal itu.
xlvi
Kesimpulan Dari bukti yang tersedia, jelas bahwa beberapa korban, mereka yang selamat, dan para
saksi, merasa jauh lebih baik setelah memberikan kesaksian, gembira karena mendapat kesempatan untuk berbicara, dan merasa diakui dan didukung oleh kerja komisi. Beberapa
orang merasakan kelepasan dan kelegaan, terutama bila berbicara di muka umum, suatu proses yang dianggap oleh anggota komisi dan pengamat lain sebagai peristiwa yang
menyentuh dan memulih-sembuhkan cathartic. Namun mereka kemudian bisa juga merasa lebih buruk, terutama bila mereka berharap bahwa kasus mereka akan diselidiki
namun pada akhirnya tidak mendengar apa pun dari komisi di kemudian hari. Beberapa yang merasa lebih baik, dan beberapa yang merasa lebih buruk, tidak diketahui, karena
tidak ada yang meneliti dampak jangka pendek dan panjang pada korban yang mengikuti proses komisi kebenaran.
Selain dampak langsung pada mereka yang memberikan kesaksian, kekuatan peristiwa pengakuan terhadap kebenaran yang selama ini dibantah juga perlu diperhatikan.
Di Guatemala, upacara pengumuman laporan komisi ke masyarakat, yang dihadiri oleh lebih dari dua ribu orang, merupakan peristiwa yang amat emosional, dengan hampir
semua pengunjung menangis setelah mendengarkan kebenaran akhirnya diumumkan secara resmi. Bahkan para aktivis hak asasi manusia yang sudah “keras” pun menganggap
peristiwa itu sebagai katarsis.
Hasil kerja komisi juga bisa memiliki dampak sekunder yang positif bagi para korban. Dengan membuka peristiwa sejarah dan trauma yang ditimbulkannya, komisi
membantu mengidentifikasi kebutuhan psikologis mendasar para korban. Sebagai contoh, seorang pendamping korban trauma di Cape Town memberitahu saya bahwa kerja komisi
kebenaran sama sekali mengubah pemahaman publik mengenai kebutuhan mereka yang menjadi korban. “Kini, bila saya mengatakan ‘pelayanan untuk korban’, mereka
memahaminya. Sebelum ada komisi kebenaran, hanya ada keheranan. Komisi menciptakan iklim yang memungkinkan penyembuhan. Ada pesan yang kuat bahwa ‘kita
boleh mulai menyelesaikan masalah ini’.”
xlvii
Sementara itu, ada hal-hal yang bisa dilakukan komisi untuk meningkatkan kemungkinan timbulnya dampak positif bagi korban secara perorangan. Sebagai contoh,
sebuah komisi seharusnya mempekerjakan seorang spesialis kesehatan mental dan memberikan pelatihan kepada para pencatat kesaksian mengenai bagaimana menyikapi
tanda-tanda stres pada korban; merujukkan mereka ke layanan psikologis dan struktur dukungan dan memberikan sesi pelatihan atau informasional bersama pemimpin
masyarakat, agama, pemimpin tradisional atau lainnya untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya PTSD dan kebutuhan dukungan terhadap korban; menunjuk seseorang untuk
menjawab pertanyaan korban individual maupun organisasi; dan mendorong pengembangan kelompok-kelompok non-pemerintah. Bila mungkin, komisi harus
memfasilitasi penggalian kembali kuburan mereka yang dibunuh dalam kekerasan politik, bekerja-sama dengan kelompok korban dan memperhatikan keinginan mereka yang
ditinggalkan; dalam banyak budaya, kemungkinan memberikan penguburan yang layak bagi mereka yang dicintai merupakan hal yang amat penting dalam penyembuhan luka
batin. Akhirnya, komisi harus berusaha untuk mendorong proses penyembuhan jangka panjang, mungkin melalui saran yang memiliki sasaran tertentu, dan mengakui bahwa
kontribusinya hanyalah langkah pertama dalam proses panjang penyembuhan nasional dan individual.
i ii
iii iv
v vi
vii viii
ix x
xi xii
xiii xiv
xv xvi
xvii xviii
xix xx
xxi xxii
xxiii xxiv
xxv xxvi
xxvii xxviii
xxix xxx
xxxi xxxii
xxxiii xxxiv
xxxv xxxvi
xxxvii xxxviii
xxxix xl
xli xlii
xliii xliv
xlv
xlvi xlvii
Bab 10 Memandang ke Masa Depan: