Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu

Bab 2 Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu

Penerbitan Transitions from Authoritarian Rule pada tahun 1986, sebuah karya yang terdiri dari empat jilid yang terfokus pada Amerika Latin dan Eropa Timur, membantu mendefinisikan suatu medan yang baru, yaitu mempelajari bagaimana dan dalam tekanan apa terjadinya transisi demokratik setelah satu masa pemerintahan yang represif. i Sementara pertanyaan mengenai “menyelesaikan masalah di masa lalu” bukan menjadi fokus utama studi ini, para pengarang buku tersebut menemukan pertentangan yang sukar antara keinginan untuk menguburkan masa lalu, untuk mencegah kemarahan para penjahat yang berkekuasaan, dan tuntutan etis dan politis untuk mempertanggung-jawabkan kejahatan rezim lalu. Para pengarang tersebut menunjukkan dilema ini sebagai “masalah amat sukar” yang tidak ada penyelesaiannya secara memuaskan, dan memberikan catatan kaki bahwa perbedaan mendasar antara masalah ini dan masalah-masalah transisional lainnya adalah bahwa masalah ini “tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dicoba diselesaikan oleh para pemimpin”. ii Para penulis tersebut kemudian menyatakan bahwa “solusi paling buruk dari sejumlah solusi buruk adalah dengan mengabaikan isu ini”, dan strategi yang paling kurang buruknya, berdasarkan pertimbangan etis dan politis, adalah dengan mengadili para pelaku kejahatan. Dengan mengabaikan masalah hukum internasional, yang tidak disentuh para penulis tersebut namun belakangan ini sering kali menjadi kerangka dalam pembahasan masalah tersebut, yang paling menarik dalam pembahasan ini adalah sempitnya lingkup pilihan yang mungkin dalam menyikapi kejahatan-kejahatan tersebut. Ketika buku tersebut selesai ditulis, Komisi Nasional Orang Hilang di Argentina baru saja mulai bekerja. Hampir tidak ada pengakuan internasional terhadap pencarian kebenaran non-yudisial sebagai alat keadilan transisional. Demikian juga tidak ada pengakuan mengenai lingkup luas strategi-strategi non-yudisial lainnya yang kini sering kali digunakan dalam transisi pasca-otoritarian. Dalam waktu kurang dari lima belas tahun, gambaran ini telah berubah secara dramatis. Dunia kini tampaknya menghadapi masalah keadilan dan pertanggungjawaban secara terus-menerus, baik setelah akhir rezim militer atau pemerintahan represif, atau setelah perang saudara. Telah menjadi jelas bahwa terdapat sejumlah besar hal yang timbul dari kondisi-kondisi tersebut yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan oleh pengadilan – bahkan bila badan peradilan bekerja dengan baik, dan tidak ada batasan dalam menghukum para pelaku kejahatan, yang jarang ditemui. Banyak pendekatan alternatif dan komplementer mengenai pertanggungjawaban secara perlahan-lahan dikembangkan. Kebutuhan konkret para korban dan komunitas yang dirusakkan oleh kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan penuntutan, selain memberikan sedikit kelegaan bila para pelaku tersebut dibuktikan bersalah. Kondisi-kondisi institusional atau kemasyarakatan yang memungkinkan kekerasan besar-besaran untuk terjadi – struktur militer, peradilan atau perundang-undangan yang seharusnya membatasi tindakan pejabat, misalnya – bisa tidak berubah meskipun pemerintahan berganti menjadi lebih demokratis dan kurang menindas. Banyak pertanyaan tetap tidak terjawab, tentang apa yang terjadi pada masa penindasan, dan ketegangan antar-komunitas tetap ada, malah semakin parah, jika diabaikan begitu saja. Dengan banyak masalah dan problem yang beragam ini bidang “keadilan transisional” mulai terbentuk selama beberapa tahun terakhir ini, sebagai bagian dari bidang luas mengenai transisi demokratik. Pertanyaan mendasar, yaitu mengenai bagaimana menyikapi kejahatan negara secara besar-besaran atau pelanggaran oleh kelompok yang bertentangan dengan negara, menimbulkan sejumlah besar pertanyaan legal, politis, bahkan psikologis. Bidang ini – sejauh mana ia telah berkembang sebagai suatu bidang – telah berkembang sebagai jawaban terhadap kebutuhan dan kondisi yang berbeda-beda dari berbagai negara transisional di dunia, dan semakin meningkatnya ketertarikan publik dan harapan internasional bahwa perlu ada pertanggungjawaban setelah terjadi kekejaman. Kini merupakan anggapan umum bahwa kejahatan-kejahatan tersebut, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, harus dihadapi dan diselesaikan. iii Sebuah negara bisa memiliki sejumlah sasaran dalam usahanya menyikapi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu: untuk menghukum para pelaku, menemukan kebenaran, memberikan ganti rugi, menghormati para korban dan mencegah pelanggaran di masa depan. Bisa juga terdapat tujuan lainnya, seperti mendorong rekonsiliasi nasional dan mengurangi konflik tentang masa lalu, atau menunjukkan perhatian pemerintahan baru terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional. Demikian juga, terdapat berbagai mekanisme atau kebijakan yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut: melakukan pengadilan di pengadilan domestik atau internasional; menurunkan para pelaku kejahatan dari jabatannya di pemerintahan atau militer; membentuk komisi penyidikan; memberikan akses individual ke dokumen-dokumen keamanan negara; memberikan ganti rugi kepada para korban; membangun monumen; atau melakukan reformasi terhadap militer, polisi atau sistem pengadilan. Keadilan yang ditegakkan melalui pengadilan biasanya merupakan tuntutan pertama dan terpenting, namun juga paling sukar. Banyak usaha menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat di bawah rezim yang lama mengalami kegagalan. Biasanya, seperti di El Salvador, Afrika Selatan dan Cili, transisi politik melibatkan kompromi politis, yang mencakup imunitas dari penuntutan kepada para penindas di masa lalu, bahkan mempertahankan sebagian kekuasaan mereka atau melibatkan mereka dalam pemerintahan yang baru. Bila diktator atau pelaku lainnya membantu merancang penghentian pemerintahan mereka, mereka biasanya membatasi kemungkinan pertanggungjawaban kejahatan mereka. Meskipun pemerintahan baru yang mungkin dahulu menentang rezim lama, bahkan ditahan atau disiksa karena tindakan mereka berusaha keras, dan meskipun para korban dan pembela mereka menuntut keadilan, keadilan pasca-transisi merupakan sesuatu yang jarang ditemukan. Bila ada pengadilan, biasanya hanya sedikit yang diadili, dan kadang-kadang bahkan gagal membuktikan kesalahan mereka yang “diketahui” bersalah. Di hampir semua negara yang saya kunjungi di Amerika Latin, Afrika dan lain-lain, saya menemukan perjuangan sukar untuk mendapatkan keadilan, dan frustrasi mengenai sedikitnya pelaku kejahatan yang diadili dan ketidakmampuan pengadilan. Setelah sebuah pemerintahan diktator atau penindas berakhir, badan pengadilan biasanya berantakan, para hakim dikompromikan secara politis, korup atau takut; tidak ada keahlian dan sumber daya. Jumlah pelaku kejahatan bisa amat besar. Jadi, bahkan bila sistem pengadilan pun masih cukup mampu melaksanakan pengadilan secara adil dan tidak ada pemberian amnesti umum, hanya sebagian kecil dari keseluruhan saja yang bisa dituntut. Pengadilan di pengadilan internasional juga terbatas. Dibandingkan jumlah besar tertuduh penjahat perang, hanya sedikit saja yang dituntut oleh Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda; keduanya merupakan badan ad hoc bentukan PBB. Benar bahwa menuntut para pelaku senior, meskipun sedikit, bisa memberikan efek yang signifikan. Namun kedua pengadilan tersebut, terutama untuk Yugoslavia, mengalami kesulitan menangkap mereka yang dituduh, terutama yang paling senior. Mahkamah Pidana Internasional ICC – International Criminal Court yang permanen, yang disetujui pada pertengahan tahun 1998, mungkin akan menghadapi masalah serupa. Beberapa negara Eropa Timur memiliki strategi “lustrasi”, yaitu menurunkan orang-orang yang berkaitan dengan rezim lama dari jabatannya di pelayanan publik. iv Namun praktik lustrasi ini mendapat kritikan karena tidak memiliki jaminan proses segera dan karena bergantung pada laporan intelijen masa lalu yang mungkin keliru. Banyak kebijakan lustrasi diterapkan tanpa mempertimbangkan perlindungan terhadap mereka yang dituduh secara keliru, atau mereka yang afiliasinya dengan rezim lama sangat terbatas atau singkat. v Kebijakan lustrasi tidak diterapkan di luar Eropa Timur. Dalam hampir semua kondisi hal ini tidak dapat diterapkan, karena tidak lazim bagi sebuah rezim untuk memiliki catatan lengkap mengenai kolaborator; karena catatan yang mungkin ada bisa dimusnahkan pada saat transisi; dan karena negosiasi transisi sering kali mencakup kesepakatan bahwa pegawai sipil rezim lama tidak akan dihukum. Beberapa negara lain telah mencoba mencopot anggota militer yang dicatat melakukan pelanggaran hak asasi. El Salvador membentuk komisi khusus mengenai hal ini, Komisi Ad Hoc, sebagai bagian kesepakatan damai yang mengakhiri perang saudara selama dua belas tahun. Komisi ini menyarankan bahwa lebih dari seratus perwira senior militer dicopot; dengan tekanan kuat dari komunitas internasional dan dukungan laporan komisi kebenaran yang menyusulnya mereka semua dipurnawirawankan dari jabatannya. Ketika Haiti menghapus angkatan bersenjatanya dan membentuk pasukan polisi sipil yang baru, ia berusaha menyaring pelamar dan menyingkirkan mereka yang diketahui melakukan pelanggaran di masa lalu dalam angkatan bersenjata lama. Hanya di Eropa Timur terdapat akses individual terhadap catatan keamanan negara terutama di bekas Jerman Timur namun juga sedang dipertimbangkan negara-negara lainnya. Karena represi di Eropa Timur tergantung pada suatu jaringan informan yang luas, terbukanya catatan tersebut membuka inti sistem represi tersebut. Kolaborator rezim lama ditemukan pada semua tingkatan, dan korban individual dapat menemukan dan secara personal mengkonfrontasi para pelapor mereka, kadang-kadang teman atau anggota keluarga. vi Namun, bila catatan tersebut tidak ada atau karena sifat represi dan transisi di wilayah lain berbeda, sistem yang memberikan akses individual pada catatan keamanan jarang dipertimbangkan dalam negara-negara transisional di luar Eropa Timur. vii Selain pengadilan, pencopotan dan akses individual ke catatan intelijen, negara-negara transisional telah berjuang dengan sejumlah besar kebutuhan yang timbul dari masa pelanggaran besar-besaran. Ini mencakup pemberian ganti rugi kepada korban dan komunitas; pemberian penghargaan terhadap mereka yang dibunuh, dihilangkan atau menjadi korban dengan cara lainnya; dan melakukan perubahan institusional atau kebijakan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut di masa depan. Sasaran-sasaran tersebut bisa dicapai melalui sejumlah mekanisme, namun kini sering kali diusahakan melalui proses penyidikan dan pengakuan kebenaran sepenuhnya mengenai pelanggaran di masa lalu. Sebagian karena batasan jangkauan peradilan, dan sebagian karena kesadaran bahwa pengadilan yang berhasil pun tidak menyelesaikan konflik dan penderitaan akibat pelanggaran di masa lalu, pemerintahan transisional semakin beralih ke pencarian kebenaran resmi sebagai komponen utama dalam usaha menyikapi pelanggaran di masa lalu. Penyidikan luas terhadap pelanggaran besar-besaran oleh kekuatan negara, dan kadang-kadang juga menyidik pelanggaran yang dilakukan oposisi bersenjata, telah mendapatkan nama generik “komisi kebenaran”, sebuah istilah yang merujuk pada penyidikan yang spesifik, meskipun memberikan variasi yang luas antara berbagai komisi. Saya menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada badan-badan yang memiliki ciri berikut ini: 1 komisi kebenaran berfokus pada masa lalu; 2 mereka menyidik pola-pola pelanggaran selama suatu jangka waktu, bukan peristiwa spesifik; 3 sebuah komisi kebenaran bersifat sementara, biasanya bekerja selama enam bulan hingga dua tahun, dan menyelesaikan tugas mereka dengan memberikan laporan; dan 4 komisi tersebut secara resmi dibentuk, disepakati dan diberi kekuasaan oleh negara dan kadang-kadang juga oleh oposisi bersenjata sebagai bagian kesepakatan damai. Status resmi ini memberikan komisi kebenaran akses lebih luas pada sumber informasi resmi, keamanan lebih untuk menjalankan investigasi sensitif, dan kemungkinan lebih besar bahwa laporan dan sarannya akan mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah. Sudah ada paling tidak dua puluh satu komisi kebenaran resmi yang dibentuk di seluruh dunia sejak tahun 1974, meskipun memiliki nama yang berbeda-beda. viii Ada “komisi orang hilang” di Argentina, Uganda dan Sri Lanka, “komisi kebenaran dan keadilan” di Haiti dan Ekuador, “komisi klarifikasi sejarah” di Guatemala, dan “komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Cili. Yang lainnya dibentuk di Jerman, El Salvador, Bolivia, Chad dan lain-lain. Sementara terdapat banyak persamaan antara badan-badan tersebut, mandat dan kuasa penyidikan spesifik mereka berbeda karena mencerminkan kebutuhan dan realitas politik masing-masing negara. Tabel 1 menampilkan kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut secara kronologis; masing-masing dideskripsikan di bab 4 dan 5. Masing-masing dari kedua puluh satu komisi tersebut memenuhi definisi di atas, meskipun perlu dicatat bahwa beberapa badan tersebut tidak menganggap dirinya sebagai “komisi kebenaran” atau dianggap demikian oleh masyarakat – terutama bila dibandingkan penyidikan lebih lanjut yang jauh lebih serius dan lebih berhasil. Misalnya, sukar untuk menganggap dua penyidikan oleh Kongres Nasional Afrika ANC, yang terjadi sebelum transisi di Afrika Selatan dan membantu membangun momentum untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih besar di kemudian hari, sebagai contoh komisi kebenaran. Warga Afrika Selatan tidak menganggap kedua penyidikan tersebut sebagai komisi kebenaran. Di negara lain, misalnya Uruguay dan Zimbabwe, komisi-komisi dianggap terlalu sempit, lemah atau dikendalikan politik, atau terlalu singkat untuk memberikan dampak, untuk mendapatkan nama komisi kebenaran, dan di beberapa dari negara tersebut masih ada tuntutan untuk membentuk komisi kebenaran yang serius dan terpercaya. Jika dipertimbangkan hanya dari persepsi masyarakat, tingkat dampak, atau keberhasilan menemukan kebenaran, beberapa dari kedua puluh satu komisi tersebut harus dihilangkan dari daftar. Namun, untuk keperluan buku ini, yaitu mencatat dan belajar dari berbagai model di masa lalu untuk memahami lebih baik dan memperbaiki usaha tersebut di masa depan, penyidikan-penyidikan yang lebih kecil, lemah atau dibentuk secara berlainan seperti oleh ANC tersebut perlu dicantumkan. Kedua penyidikan ANC itu bisa berperan sebagai contoh penting bagi sebuah kelompok oposisi bersenjata di masa depan yang memiliki keinginan serius untuk memenuhi norma hak asasi internasional dan menyidik pelanggaran yang dilakukannya, misalnya. Penyidikan yang terbatas atau problematik di Uruguay, Zimbabwe dan Uganda 1974 memberikan contoh baik mengenai bagaimana tidak membentuk komisi kebenaran. Dalam berbagai cara, kasus-kasus problematik ini menjelaskan lebih baik daripada komisi yang berhasil mengenai syarat minimal yang harus dipenuhi untuk berhasil. Terdapat sejumlah sasaran yang diharapkan dapat dicapai badan-badan kebenaran tersebut – dari rekonsiliasi nasional hingga penyembuhan korban individual, dari menghentikan impunity hingga memberikan perlindungan untuk mencegah perulangan pelanggaran di masa depan – yang akan digambarkan dalam bab 3 dan lebih lanjut ditinjau dalam buku ini. Karena komisi kebenaran meliput banyak hal yang merupakan subjek pengadilan, banyak pengamat secara keliru membandingkan atau menyamakan komisi kebenaran dengan pengadilan, atau mencemaskan bahwa pembentukan komisi kebenaran akan menurunkan kemungkinan dilaksanakannya pengadilan pada hal-hal serupa. Namun komisi kebenaran tidak seharusnya disamakan dengan badan-badan peradilan, dan juga bukan pengganti pengadilan. Pada satu tingkat, komisi kebenaran jelas memiliki kekuatan yang tidak sebesar pengadilan. Mereka tidak bisa memenjarakan seseorang, tidak bisa memaksakan saran dan bahkan hampir semua tidak punya kekuatan untuk memaksa seseorang untuk datang dan menjawab pertanyaan. Hingga saat ini, komisi Afrika Selatan merupakan satu-satunya yang memberikan amnesti individual, dan dapat membujuk sejumlah pelaku untuk membeberkan secara terbuka pelanggaran mereka. Hampir semua komisi kebenaran tidak campur tangan atau menyamai tugas sistem peradilan. Namun meskipun memiliki kekuatan legal yang terbatas, mandat yang luas untuk berfokus pada pola-pola kejadian, termasuk sebab dan akibat kekerasan politik, memungkinkan komisi kebenaran untuk menyidik lebih jauh dan mendapatkan kesimpulan yang lebih lengkap daripada dimungkinkan oleh pengadilan individual. Keluasan dan fleksibilitas komisi kebenaran adalah kekuatannya. Sebagai contoh, komisi kebenaran biasanya dapat menggambarkan tanggung jawab negara dan institusi-institusinya dalam melaksanakan atau membiarkan kekerasan terjadi – tidak hanya militer dan polisi, namun juga badan peradilan itu sendiri. Pendekatan komisi kebenaran yang berpusat pada korban untuk mendapatkan ribuan kesaksian dan menerbitkan hasil temuannya dalam laporan resmi dan terbuka memberikan bagi para korban pengakuan oleh badan resmi negara bahwa klaim mereka benar dan bahwa kekejaman itu salah. Lebih lagi, hampir semua komisi diwajibkan untuk memberikan catatan mereka kepada penuntut peradilan untuk tindakan legal bila dimungkinkan, kalau ditemukan bukti kejahatan kriminal. Usaha pencarian kebenaran pertama yang dikenal luas, Komisi Nasional untuk Orang Hilang di Argentina, secara umum dianggap sebagai langkah pertama menuju proses pengadilan, dan memang informasi yang didapatkan dari komisi ini sangat penting dalam pengadilan kemudian. Dalam kasus lain, komisi kebenaran bekerja dalam konteks amnesti yang sudah ada. Atau, bila badan peradilan yang bias dan korup tidak memungkinkan pengadilan, komisi tersebut dianggap paling tidak dianggap sebagai langkah minimal menuju pertanggungjawaban, terutama bila komisi secara terbuka mengumumkan nama-nama mereka yang bertanggung-jawab untuk pelanggaran. Selain keempat ciri di atas, kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut memiliki elemen serupa: semua dibentuk untuk menyidik peristiwa yang belum lama terjadi, biasanya pada saat transisi politik; semua menyidik represi bermotif politik yang digunakan untuk mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan dan melemahkan lawan politik; dan pada masing-masing kasus, pelanggaran terjadi secara luas, biasanya mempengaruhi ribuan orang. Hampir semua komisi tersebut dibentuk sebagai komponen utama transisi dari satu pemerintah ke pemerintah lain, atau dari perang saudara ke perdamaian. Apakah dan seberapa jauh mereka berhasil dalam peran ini masih bisa dibahas lebih lanjut, namun tujuan, waktu dan tugas komisi-komisi tersebut serupa dalam ciri-ciri tersebut. Sebaliknya, terdapat jenis-jenis lain penyelidikan resmi terhadap pelanggaran hak asasi di masa lalu yang bisa disebut sebagai “komisi kebenaran sejarah”. Komisi seperti ini adalah penyelidikan yang didukung pemerintah masa kini terhadap pelanggaran yang dilakukan negara bertahun-tahun sebelumnya dan berakhir bertahun-tahun sebelumnya juga. Penyidikan ini tidak dianggap sebagai bagian transisi politik, dan mungkin memang tidak berkaitan dengan kepemimpinan atau praktik politik masa kini, namun berfungsi sebagai klarifikasi kebenaran sejarah dan memberikan penghormatan kepada korban atau keluarga korban yang semula tidak dikenal. Peristiwa yang disidik oleh komisi tersebut biasanya bukanlah represi politis secara luas, namun praktik yang mempengaruhi kelompok etnik, rasial atau lainnya secara spesifik. Komisi kebenaran sejarah biasanya mencatat praktik yang tidak dikenal secara luas oleh mayoritas penduduk, sehingga laporannya dapat memberikan akibat yang serius meskipun kejadiannya sudah bertahun-tahun lewat. Di Australia, misalnya, pemerintah meminta badan pengawas hak asasi manusia permanennya, Human Rights and Equal Opportunity Commission, untuk meninjau catatan pelanggaran negara terhadap penduduk negara tersebut. Penyidikannya selama setahun mencatat kebijakan negara untuk mengambil paksa anak-anak penduduk asli dari keluarganya dan menempatkannya dalam keluarga kulit putih untuk mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat mainstream Australia. Praktik ini berlanjut hingga awal dekade 1970-an. Dengan terbitnya laporan komisi ini, Bringing Them Home, pada tahun 1997, kisah ini menjadi skandal nasional dan menjadi isu utama dalam pemilihan umum, karena masyarakat Australia marah terhadap praktik yang semula tidak diketahuinya ini, sementara pemerintah menolak untuk meminta maaf secara resmi atas nama pemerintahan sebelumnya. ix Enam puluh ribu eksemplar laporan tersebut dibeli dalam tahun pertama terbitnya. Setiap tahun dirayakan “Hari Minta Maaf”, sebagaimana disarankan oleh komisi, dan “buku minta maaf” diterbitkan untuk ditandatangani masyarakat. Dalam waktu setahun, lebih dari 100 ribu warga Australia menandatangani buku-buku tersebut; tanda tangan mereka memenuhi ratusan buku. Kanada juga tergerak untuk meninjau kembali kebijakan dan hubungannya dengan komunitas penduduk asli. Ketegangan yang meningkat antara penduduk asli dan negara Kanada mendorong dibentuknya komisi khusus untuk mempelajari kebijakan negara dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Penelitian selama lima tahun oleh komisi tersebut mencakup tinjauan sejarah 500 tahun kebijakan terhadap penduduk asli, menyimpulkan bahwa kebijakan asimilasi, yang dimulai pada masa kolonial dan dilanjutkan negara Kanada selama 150 tahun, tidaklah benar. x Pemerintah merespon dengan rencana mendetail untuk penerapan saran komisi tersebut. xi Dalam alur sejarah yang serupa, Sekretaris Energi Amerika Serikat, Hazel O’Leary, menunjuk Komisi Penasihat Eksperimen Radiasi pada Manusia pada tahun 1994 untuk meninjau eksperimen yang dilakukan pada pasien medis, tahanan dan komunitas tanpa sepengetahuan mereka di Amerika Serikat sejak pertengahan dekade 1940-an hingga pertengahan 1970-an. Laporan komisi ini memberikan “pandangan yang tanpa preseden terhadap lembar hitam sejarah Amerika,” menurut satu pengamat. xii Dengan tujuan untuk memberikan ganti rugi kepada para korban, Kongres Amerika Serikat membentuk Komisi Relokasi dan Penahanan Warga pada Masa Perang, pada tahun 1982, untuk mempelajari kebijakan dan dampak dari tindakan menahan warga Jepang-Amerika selama Perang Dunia Kedua. Banyak saran laporan komisi ini telah diterapkan, termasuk permintaan maaf secara formal dari pemerintah dan undang-undang yang memberikan US 1,2 milyar sebagai kompensasi kepada para korban. xiii Terdapat praktik lain oleh pemerintah Amerika Serikat yang setelah bertahun-tahun diberikan ganti rugi atau permintaan maaf, tanpa penyidikan formal oleh pemerintah. Sebagai contoh, bertahun-tahun setelah pers melaporkan penelitian rahasia mengenai sifilis yang dilakukan pada warga kulit hitam yang miskin di Tuskegee, Alabama, tanpa sepengetahuan mereka, antara tahun 1932 hingga 1970-an, Presiden Bill Clinton meminta maaf secara resmi pada tahun 1997. Eksperimen ini tercatat dengan baik oleh para penulis independen dan media, dan pemerintah sudah memberikan ganti rugi lebih dari US 9 juta kepada para korban dan keluarganya di luar jalur pengadilan, sehingga penyidikan pemerintah dianggap tidak perlu. xiv Lihat Tabel 2 tentang daftar komisi kebenaran sejarah. Akhirnya, ada contoh-contoh lain penyidikan resmi atau setengah resmi terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang menjalankan perannya seperti komisi kebenaran. Ini semua dilakukan pada masa transisi politik dan berperan penting dalam kondisi politik yang bersangkutan, namun lingkup dan kekuasaannya terbatas, atau hanya merupakan pendahulu komisi kebenaran “penuh” lihat tabel 3. Sebagai contoh, setelah mendapat tekanan dari keluarga korban dan pers, Leo Valladares, ketua Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia di Honduras dan ombudsman yang ditunjuk oleh pemerintah, secara independen menjalankan penyidikan terhadap 179 kasus penghilangan oleh angkatan bersenjata pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an. Valladares bekerja atas inisiatifnya sendiri, tanpa bantuan pemerintah, dan mendasarkan penyidikannya terutama pada laporan pers dan informasi publik lainnya. Ia tetap menyerukan pentingnya komisi kebenaran bahkan sesudah ia menerbitkan laporannya yang mendokumentasikan penghilangan tersebut pada tahun 1994. xv Di Irlandia Utara, seorang “komisioner untuk para korban” ditunjuk oleh sekretaris negara Inggris untuk Irlandia Utara pada tahun 1997, dan diberi mandat untuk “mencari cara-cara yang mungkin untuk mengakui penderitaan yang dirasakan korban kekerasan yang timbul dari masalah selama 30 tahun terakhir”. Komisioner ini mewawancarai ratusan korban kekerasan, namun tidak melakukan analisis atau penyelidikan yang mendalam. Dalam laporannya, yang diterbitkan hanya beberapa minggu setelah kesepakatan damai Jumat Agung 1998, komisi tersebut menyarankan perlunya komisi kebenaran di masa depan. xvi Beberapa tahun sebelum pembantaian massal di Rwanda mencapai tingkat kategori genosida, kekerasan pada awal 1990-an menghasilkan kesepakatan untuk membentuk komisi penyidik kekejaman, sebagai bagian kesepakatan damai antara pemerintah dan oposisi bersenjata. Ketika pemerintah tidak mengambil langkah untuk membentuk komisi tersebut, kelompok hak asasi Rwanda mengundang empat organisasi hak asasi internasional, yakni dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis dan Burkina Faso, untuk melakukan penyidikan tersebut. Meskipun presiden mengumumkan sambutan-baiknya terhadap komisi non-pemerintah ini dan sejumlah menteri memberikan bantuan, namun tampak jelas bahwa presiden dan angkatan bersenjata tidak menyukai penyidikan ini. Bahkan, beberapa saksi mengalami serangan yang mungkin merupakan “peringatan” terhadap kerja sama mereka dengan komisi tersebut. Laporan komisi tersebut, yang diterbitkan pada tahun 1993, memberikan dampak terbesar pada pemerintahan Eropa, terutama Prancis dan Belgia, yang hingga saat itu memberikan dukungan aktif terhadap pemerintah Rwanda. xvii Namun laporan dan saran-sarannya tidak berhasil mencegah pecahnya kekerasan genosida yang timbul hanya setahun sesudahnya. Sebuah penyidikan dan laporan mendalam seperti komisi kebenaran bisa juga menjadi bagian dalam penyidikan yudisial formal, meskipun hal ini jarang terjadi. Di Ethiopia, sebuah Kantor Penuntut Khusus berusaha untuk mencatat pola-pola pelanggaran luas pada masa rezim Mengistu, untuk mempersiapkan pengadilan lebih dari dua ribu tertuduh pelaku kekejaman, dan kemudian menerbitkan temuannya dalam sebuah laporan. Selama beberapa tahun kantor tersebut membuat sistem-komputer canggih dan puluhan staf untuk mengumpulkan nama dan detail yang memberatkan tuduhan dari catatan yang ditinggalkan rezim tersebut. Ia mengumpulkan informasi yang penting, namun rencana laporan kebenaran akhirnya dibatalkan. Kantor Penuntut Khusus tetap menggunakan hasil dokumentasi ini di pengadilan, dan menyatakan bahwa pola-pola kejadian ini merujuk pada kebijakan genosida pada masa Mengistu. Sementara itu, para penuntut tidak hanya menggunakan pengadilan untuk menghukum, namun juga untuk mencatat pengalaman para korban. Lebih dari lima ratus saksi dipanggil selama lima tahun pertama pengadilan dari sekitar 50 tertuduh; semua korban menceritakan kisah yang serupa, meskipun kesaksian tersebut tidak secara langsung memberatkan mereka yang sedang diadili, menurut para pengamat. Pengadilan ini masih belum berakhir; setelah mengundang 800-1.000 saksi korban, diperkirakan bahwa pembela akan mengundang saksi yang jumlahnya serupa. xviii Sementara itu, sekitar 200 tertuduh lain masih ada di tahanan sambil menunggu pengadilan. Usaha Ethiopia untuk menggabungkan dua sasaran: menceritakan kebenaran seluas-luasnya dan menuntut secara hukum ke dalam satu proses jelas memiliki masalah, dan mendapatkan kritikan dari pengamat internasional. Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat pula sejumlah model menarik penyidikan internasional yang memiliki sifat resmi atau setengah resmi, dan menjalankan pula sebagian tugas yang biasanya dikerjakan komisi kebenaran. Sebagai contoh, Panel Internasional Tokoh untuk Penyidikan Genosida dan Peristiwa yang Berkaitan di Rwanda Tahun 1994 dibentuk oleh Organisasi Persatuan Afrika pada akhir tahun 1998, mulai bekerja pada bulan Januari 1999 dan menyelesaikan laporannya pada bulan Juni 2000. Penelitiannya difokuskan pada sejarah dan kondisi sekitar konflik di Rwanda yang menyebabkan genosida pada tahun 1994, dan dampak kekerasan yang timbul, dengan mendasarkan kesimpulannya antara lain dari makalah yang ditulis oleh para ahli. Pemerintah Rwanda bekerja-sama dengan penyidik. Kemudian, pada tahun 1999, pemerintah Swedia membentuk Komisi Independen Internasional untuk Kosovo, yang diketuai hakim agung Afrika Selatan, Richard Goldstone, untuk menyelidiki penyebab, akibat dan opsi internasional untuk menyikapi konflik di Kosovo; komisi ini diminta untuk menerbitkan laporannya pada akhir tahun 2000. Akhirnya, terdapat sejumlah penyidikan kejahatan perang, yang sering kali diistilahkan sebagai komisi penyidik internasional, komisi kejahatan perang, atau komisi pakar, yang juga harus dibedakan dari komisi kebenaran. Badan-badan demikian, seperti yang dibentuk untuk meneliti peristiwa di bekas Yugoslavia, Rwanda dan Timor Leste yang juga sering kali memiliki nama yang panjang dan rumit, dibentuk oleh PBB untuk mengevaluasi bukti yang tersedia bagi kemungkinan pengadilan internasional. xix Komisi-komisi tersebut mengumpulkan bukti, dan kadang-kadang kesaksian dari para korban, dan kemudian memberikan laporan; jadi serupa dengan tugas komisi kebenaran. Namun badan-badan tersebut tidak disahkan oleh negara yang sedang diselidiki, dan mereka juga tidak diarahkan untuk mempelajari pola-pola keseluruhan, sebab dan akibat dari kekerasan, namun hanya menyelidiki bukti kejahatan dan pelanggaran hukum internasional. Dalam hampir semua kasus, komisi tersebut mendahului penunjukan tribunal internasional ad hoc, seperti di bekas Yugoslavia dan Rwanda. Terdapat pula contoh penting proyek non-pemerintah yang mendokumentasikan pola-pola pelanggaran rezim yang sudah lewat, biasanya dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia, dan kadang-kadang dengan dukungan kelompok agama Gereja. Meskipun memiliki batasan terutama mengenai akses ke informasi pemerintah, proyek tidak resmi ini kadang kala memberikan hasil yang mengejutkan. Di Brasil, misalnya, sebuah tim penyidik bisa secara diam-diam memfotokopi semua laporan pengadilan yang berkaitan dengan keluhan para tahanan politik yang mengalami siksaan – sejumlah satu juta lembar. Tanpa banyak pemberitaan, dengan dukungan Uskup Agung São Paulo dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, tim itu menggunakan bahan tersebut untuk menulis Brasil: Nunca Maís , sebuah laporan yang menganalisis praktik penyiksaan yang dilakukan rezim militer selama jangka waktu 15 tahun. xx Di Uruguay, organisasi non-pemerintah Servicio Paz y Justicia SERPAJ menerbitkan Uruguay: Nunca Más, sebuah laporan yang jauh lebih mendalam daripada hasil penyelidikan resmi sebelumnya yang disetujui parlemen, yang bekerja di bawah mandat yang amat terbatas dan dukungan politis yang kecil. xxi Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala melakukan proyek besar untuk mendokumentasikan puluhan tahun pelanggaran dan pembantaian sebelum komisi kebenaran resmi mulai bertugas, dengan harapan melengkapi dan memperkuat hasil kerja komisi tersebut. xxii Di Rusia, organisasi non-pemerintah Memorial dibentuk pada tahun 1987 untuk mendorong pertanggungjawaban dan penemuan fakta mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu. Staf organisasi ini berhasil mendapatkan arsip yang lengkap mengenai pelanggaran yang dilakukan negara hingga tahun 1917, dan menerbitkan sejumlah buku dengan nama para korban dan analisis terhadap kebijakan represif negara. xxiii Terdapat banyak faktor dan sejumlah partisipan yang membantu membentuk kemungkinan dan batasan untuk transisi sebuah negara, yang pada gilirannya akan mempengaruhi realitas pasca-transisi. Ini mencakup kekuatan kelompok atau individu yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran dan kemampuan mereka mengendalikan pilihan kebijakan transisional; seberapa vokal dan terorganisirnya masyarakat sipil sebuah negara, termasuk kelompok hak asasi dan kelompok korban; dan kepentingan, peran dan keterlibatan komunitas internasional. Selain itu, pilihan transisional akan dipengaruhi oleh jenis dan intensitas kekerasan atau represi yang sudah terjadi dan sifat politis transisi tersebut. Dan akhirnya, terdapat aspek-aspek budaya politik dan sosial – suatu perangkat pilihan, kecenderungan, kepercayaan dan harapan yang sukar didefinisikan – yang mempengaruhi apa dan bagaimana menghadapi masa lalu. Namun jumlah korban tampaknya tidak mempengaruhi seberapa jauh masa lalu akan berpengaruh pada masa depan, demikian juga tuntutan untuk pertanggungjawaban. Di beberapa negara, sejumlah kecil korban kekerasan pemerintah menimbulkan dampak politik serius dan respon emosional dari masyarakat. Pada tahun 1997, Spanyol mengalami skandal politis berkaitan dengan kematian 27 aktivis pada awal dekade 1980-an. Suriname, di pantai utara Amerika Selatan, masih mengalami dampak politis dari pembunuhan 15 tokoh aktivis politik pada tahun 1982, dan hingga tahun 1998 pemerintah masih mempertimbangkan pembentukan komisi untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Di Uruguay, puluhan ribu anggota masyarakat berdemonstrasi pada tahun 1996, 1997 dan 1998 untuk menuntut pertanggungjawaban penuh terhadap hilangnya 135 sampai 190 orang dua puluh tahun sebelumnya. Bahkan dengan jumlah korban yang relatif kecil, tuntutan untuk kebenaran dan keadilan bisa sama besarnya dengan di negara-negara yang mengalami pembantaian berskala jauh lebih besar. Beberapa pengamat, setelah melihat berbagai komisi yang telah ada beserta laporan yang dihasilkannya, tidak menyepakati penggunaan nama generik komisi kebenaran bagi badan-badan tersebut. “Mereka seharusnya disebut ‘komisi fakta dan fiksi’ atau ‘komisi sebagian kebenaran’,” demikian seorang pengamat setengah bercanda. Beberapa orang, termasuk mantan staf badan-badan tersebut, lebih memilih istilah generik komisi penyidikan , yang akan menghilangkan tekanan untuk memberikan laporan yang lengkap dan komprehensif. Selain itu, karena komisi Afrika Selatan telah mendapatkan perhatian luas internasional, beberapa orang secara keliru menyamakan komisi kebenaran dengan pemberian amnesti. Misalnya, pada tahun 1995, seorang wakil khusus PBB untuk Burundi mendapatkan tentangan keras terhadap sarannya untuk membentuk komisi kebenaran untuk menyelidiki kekerasan yang baru terjadi di negara Afrika Tengah tersebut, karena semua orang berpikir bahwa itu akan berarti pemberian amnesti bagi semua pelaku kejahatan. Namun ketika ia menyarankan pembentukan komisi penyidikan, idenya segera mendapatkan dukungan, dan sebuah Komisi Penyidikan Internasional untuk menyelidiki kekerasan dibentuk beberapa bulan kemudian. xxiv Namun secara umum, nama komisi kebenaran sudah diterima, dan sekarang secara umum sudah dipahami sebagai: penyelidikan resmi terhadap pola-pola pelanggaran di masa lalu . Komisi-komisi yang belakangan cenderung untuk menggunakan nama tersebut; di Cili, El Salvador, Haiti dan Afrika Selatan, nama komisi di masing-masing negara itu merupakan variasi dari komisi kebenaran. Di Guatemala, para penganjur hak asasi manusia pada awalnya kecewa karena komisi penyidikan mereka tidak disebut sebagai komisi kebenaran, namun “komisi klarifikasi sejarah” yang dianggap lebih lemah. xxv Di pihak lain, penggunaan nama komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara generik – karena pengaruh komisi Afrika Selatan – tidak tepat dan harus dihindari, karena banyak dari komisi kebenaran tidak menjadikan rekonsiliasi sebagai sasaran utama kerja mereka, dan juga tidak mengasumsikan bahwa rekonsiliasi akan terjadi sebagai akibat kerja mereka. Jelas bahwa lebih banyak negara akan menggunakan pencarian kebenaran resmi pada tahun-tahun ke depan, dan penyidikan tersebut akan dibentuk dengan cara-cara yang berbeda, dengan kekuasaan, mandat dan harapan yang berubah tergantung pada kondisi dan prioritas setempat. Di hampir semua negara yang baru saja terlepas dari pemerintahan otoriter atau perang saudara – dan di banyak negara yang masih mengalami represi atau kekerasan, namun ada harapan untuk transisi dalam waktu dekat – mulai timbul ketertarikan untuk membentuk komisi kebenaran, baik diusulkan oleh para pejabat negara atau aktivis hak asasi manusia maupun anggota masyarakat sipil lainnya. xxvi Tugas komisi kebenaran ini tidak mudah. Komisi kebenaran merupakan entitas yang sulit dan kontroversial; ia dihadapkan pada tugas amat berat yang nyaris tidak mungkin; dan biasanya waktu dan sumber daya yang tidak cukup untuk menyelesaikannya; komisi harus menghadapi kebohongan, bantahan, tipuan dan ingatan pedih para korban untuk menemukan kebenaran yang berbahaya dan masih dilawan sebagian penguasa. Pada akhir masa tugas komisi, negara tersebut bisa saja masih belum puas dengan laporan mengenai kebenaran masa lalu dan beberapa pertanyaan masih belum terjawab. Namun dengan keterbatasan tersebut, proses dan hasil komisi kebenaran masih dapat memberikan kontribusi penting dalam transisi yang sulit, yang secara mendasar mengubah pemahaman dan penerimaan sebuah negara mengenai aspek-aspek tersukar dalam sejarahnya. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi Bab 3 Mengapa Perlu Komisi Kebenaran?