20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

(1)

Kebenaran Tak Tebahasakan

Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan

Priscilla B. Hayner

Pengantar Timothy Garton Ash

Elsam

2005


(2)

Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan oleh Priscilla B. Hayner

(Diterjemahkan dari Unspeakable Truth, Facing the Challenge of Truth Commissions, New York dan London: Routledge, 2002).

Penerjemah

Tim Penerjemah Elsam

Editor I/Penyelaras Terjemahan Eddie Riyadi Terre

Editor II/Penyelaras Bahasa Erasmus Cahyadi Terre.

Desain Sampul:

Layout:

Cetakan Pertama, Februari 2005

Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Buku ini diterbitkan dengan bantuan dana dari European Union (European Commission – EIDHR). Isi buku ini menjadi tanggung jawab dari ELSAM, dan tidak mencerminkan pandangan dari European Union.

Penerbit

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519


(3)

Ucapan Terima Kasih

Banyak orang dan organisasi di berbagai negara telah memberikan sumbangan dengan caranya masing-masing dalam pembuatan buku ini. Pertama, gagasan sederhana untuk menulis buku ini terlaksana berkat adanya proyek penulisan buku dengan sebuah riset yang melelahkan dan penyediaan dana penulisan dari John D. and Catherine T. MacArthur Foundation pada 1995. Setahun kemudian, saya menerima dukungan tambahan dari U.S. Institute of Peace. Kedua pendanaan ini memungkinkan diterbitkannya buku ini. Secara khusus kedua pendanaan tersebut membiayai perjalanan panjang saya yang sangat diperlukan untuk menangkap roh sebenarnya dari apa yang dituliskan dalam buku ini. Namun demikian, pandangan-pandangan yang dikemukakan di dalam buku ini tidak perlu dianggap sebagai mewakili atau mencerminkan pandangan kedua lembaga tersebut.

Kedua, buku ini sangat berhutang banyak pada kesudian begitu banyak orang di berbagai belahan dunia ini yang telah merelakan waktu dan tenaganya duduk bersama saya untuk membagikan dan mengungkapkan pengalaman dan perspektif mereka. Saya sangat berhutang kepada begitu banyak pembela hak asasi manusia dan para survivor dari tindakan kekerasan negara di masa lalu. Saya juga berhutang banyak pada pegawai-pegawai pemerintah yang sudi diajak berbicara, kaum akademisi, para jurnalis, para pelayan gereja, dan masih banyak yang lainnya, yang tak terhitung jumlahnya di berbagai belahan dunia ini. Mereka semua begitu bermurah hati dengan waktu mereka dan memberikan informasi yang begitu kaya dan detail dalam menjawab pertanyaan dan kuesioner saya. Buku ini tak pernah bisa ditulis dan hadir di hadapan pembaca tanpa keterlibatan mereka.

Selanjutnya saya terbantu sekali dalam perjalanan saya oleh sejumlah penerjemah dan penunjuk jalan yang luar biasa. Di Afrika Selatan, saya dibantu oleh Wally Mbhele, S’Kumbuzu Miya, Lucky Njozela, Joseph Dube, dan Lebo Molete. Mereka semua memberikan bimbingan dan melakukan penerjemahan dalam beberapa kunjungan yang tak terlupakan ke daerah-daerah sekitar Johannesburg, Durban dan Cape Town, dan ke Soweto dan Daveyton secara berturut-turut selama kunjungan-kunjungan saya ke negeri itu. Begitu juga halnya dengan Nancy Bernard di Haiti, Hannes Michael Kloth di Berlin, Sören Asmus di Bonn, dan Conor Christie dan Roberto Luis di Mozambique.

Tatkalah saya melakukan perjalanan saya ke negeri-negeri asing, saya sangat terberkati dengan tumpangan yang diberikan oleh kawan-kawan lama di berbagai kota di negeri-negeri yang saya kunjungi itu. Saya berterima kasih sekali atas tumpangan dan keramahan yang diberikan oleh Roberto Petz di Maputo, Mozambique; Sergio Hevia, Carla Pellegrin Friedman dan Roberto dan Valentina Hevia di Santiago; Patricia Bernardi dan Luis Fondebrider di Buenos Aires; dan Andrew Russel dan Judy Kallick di Guatemala Ciyt. Di Afrika Selatan, terima kasih yang hangat kuberikan kepada John Daniel dan keluarganya di Durban, Janet Cherry di Port Elizabeth, dan Jeanelle de Gruchy dan Madeleine Fullard di Cape Town.

Sejumlah orang telah membaca bab-bab dalam buku ini ketika masih berbentuk draf dan memberikan sumbangan saran dan kritik yang sangat berguna. Dalam kaitan dengan itu saya hendak menyampaikan terima kasih untuk Bronwen Manby, Mimi


(4)

Doretti, Peter Rosenblum, Helen Duffy, Alex Vines, Jim Ross, Lisan Inman, Brandon Hamber, Debi Munczek, Michael O’Brien, dan saudari saya Anne Hayner dan saudaraku John Hayner – kesemua orang ini telah memberikan sumbangan yang penting. Saya juga berterima kasih kepada orang-orang yang sangat ringan tangan dalam membantu: Richard Carver, Douglass Cassel, Margaret Crahan, Ron Kassimir, Naomi Roht-Arriaza dan Paul van Zyl. Mereka semua memberikan komentar dengan memberikan beberapa detail pada manuskrip buku ini ketika sudah dalam posisi siap diterbitkan. Sumbangan mereka ini membuat naskah buku ini semakin baik dan siap terbit. Meski demikian, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas berbagai kekeliruan dan kesalahan yang mungkin masih tak tertinggal.

Para editor di Routledge telah menjadi orang-orang yang menyenangkan dalam kerja sama. Secara khusus saya hendak menghaturkan terima kasih kepada Eric Nelson, editor saya, baik karena dedikasinya maupun karena pemahamannya yang jernih atas maksud penulisan dan penerbitan buku ini. Saya juga berterima kasih kepada Krister Swartz, editor produksi saya yang telah memberikan sumbangan besar dalam proses penerbitan buku ini, dan Amy Shipper dan T.J. Mancini, yang telah melakukan pekerjaan sebagai editor kritis dan peran produksi pada permulaan dan akhir proses penerbitannya. Saya sangat berhutang kepada agen saya, Malaga Baldi, atas bimbingan dan bantuannya yang tak kenal lelah.

Banyak juga teman dan rekan kerja yang memberikan dukungan tak terkira, membakar entusiasme, dan masukan yang semuanya sangat bernilai bahkan lebih daripada yang mereka sadari. Pada tempat pertama saya berterima kasih kepada Mimi Doretti, yang memberikan dukungan dan gagasan-gagasan yang bagus untuk keseluruhan buku ini, dan juga yang bersama George Lopez pertama kali memberanikan saya menulis buku ini, persis sebelum saya sendiri mempunyai ide demikian. Bronwen Manby secara instingtif memahami pertanyaan yang saya ajukan dan geluti, dan menawarkan masukan kritis ke dalam upaya saya untuk memperjelas dan menghadirkan pemikiran saya ke hadapan publik. Saya berterima kasih kepada Amie Dorman atas bantuannya yang sigap pada awal proyek ini, dan Jonathan Klaaren, Paul van Zyl, Bill Berkeley, Belinda Cooper, Monroe Gilmour, Gwi-Yeop Son dan masih banyak yang lainnya – yang tak dapat saya sebut namanya satu demi satu di sini – yang telah memberikan banyak bantuan, kontak dan memberikan dorongan semangat untuk proyek ini terutama pada tahap-tahap penting selama perjalanan saya. Penghargaan saya juga ditujukan kepada World Policy Institute, di New School University di New York, di mana proyek saya ini bermarkas selama lebih dari satu tahun.

Ucapan terima kasih secara khusus saya alamatkan kepada Anthony Romero, Mary McClymont, dan Larry Cox di Ford Foundation, yang telah menjadi pendukung kuat saya dalam menggarap karya ini. Sebagai hasil dari konsultasi saya dengan Ford Foundation, mereka semua telah memberikan kemudahan yang sangat membantu saya dalam melakukan perjalanan saya sendiri dan mengerjakan penulisan buku ini. Saya juga patut mengucapkan terima kasih kepada Robert Crane, Presiden dari Joyce Mertz-Gilmore Foundation, yang telah memberikan kemungkian bagi saya dalam melakukan perubahan-perubahan yang perlu ketika menggeluti subjek buku ini secara lebih serius sembari tetap bekerja bagi Yayasan ini sampai paruh pertama tahun 1996.

Tampaknya saya tak mungkin pernah memasuki pengembaraan menggeluti masalah ini tanpa adanya proyek pendanaan pada tahun 1992 dari Center for the Study of


(5)

Human Rights di Columbia University’s School of International and Public Affairs, yang membolehkan saya melakukan kerja secara dekat dengan komisi kebenaran di El Salvador selama hampir tiga bulan. Secara khusus saya menghaturkan terima kasih kepada direktur Pusat Studi tersebut, Paul Martin, atas dukungan dan minatnya yang tak kunjung padam. Di Columbia University Law School, Alejandro Garro memberikan bantuan awal sekali ketiak pertama sekali saya melakukan upaya menangani dan menggeluti permasalahan yang diangkat dalam buku ini.

Akhirnya, saya hendak menyampaikan terima kasih saya kepada semua anggota keluarga saya atas dorongan dan dukungan yang tak habis-habisnya. Sebagai tambahan untuk Anne dan John, yang telah disebutkan di atas dalam memberikan masukan editorial, saya hendak mengucapkan terima kasih atas dukungan dari saudari-saudari saya Marji dan Kate Hayner dan Irena Hayner Stammer. Dengan senang hati saya mempersembahkan buku ini kepada kedua orang tua saya, Norman dan Margaret Hayner, yang memberikan dukungan, dorongan, dan keterlibatan yang intens dan tak kunjung padam. Keberadaan beliau berdua di samping saya telah memainkan peran yang sangat penting dalam pilihan saya menggeluti jalan yang tengah saya tempuh sekarang ini.


(6)

Prakata Seri

Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI

Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.

Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan?

Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan.

Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia – yang menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah, eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita.


(7)

Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmu tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini. Akhirnya, selamat membaca.


(8)

Kata Pengantar

Oleh

Timothy Garton Ash

“Bagaimana kita membuat suatu komisi kebenaran?” tanya seorang gadis berwajah sangat serius, seorang gadis Burma yang duduk di deretan paling depan. Itu terjadi pada musim semi tahun 2000, bertempat di markas Aung San Suu Kyi, markas National League for Democracy. Saat itu banyak agen dan intel tentara memenuhi ruangan tersebut. Atas undangan Aung San Suu Kyi, saya tampil sebagai pembicara dengan topik transisi menuju demokrasi. Apa yang diharapkan oleh para audiens – yang mempertaruhkan kebebasan dan kehidupan mereka dengan menghadiri pertemuan semacam itu – tampaknya yang paling penting, pada hemat saya, adalah cita-cita bahwa suatu hari nanti mereka akan menyaksikan orang-orang yang telah menghancurkan negeri emas mereka duduk dan berkeringat di hadapan sebuah komisi kebenaran.

“Bagaimana kita membuat sebuah komisi kebenaran?” demikian ia bertanya; saat itu sungguh ingin sekali rasanya saya mengulurkan tanganku kepadanya, menyerahkan buku Priscilla Hayner yang tengah anda buka ini. Buku ini menghadirkan suatu upaya yang paling komprehensif, serius, sarat nuansa, dan otoritatif untuk menjawab pertanyaan sang gadis tadi, sebuah pertanyaan yang diajukan bukan oleh seorang gadis Burma semata melainkan oleh semua orang di seluruh dunia ini, yang sedang mengalami atau telah melalui masa-masa transisi yang sangat sulit dari rezim diktator. Semakin tinggi kesadaran di benak begitu banyak orang bahwa negeri-negeri yang mengalami kekelaman seperti itu dapat dan seharusnya belajar dari pengalaman negeri-negeri lain yang telah mengalami kekerasan masa lalu. Yang ditimba bukan sekadar bagaimana membangun suatu pasar ekonomi, membuat sebuah konstitusi atau membarui tatanan hukum, tetapi juga tentang bagaimana menyikapi dan menangani masa lalu yang sulit itu. Ada begitu banyak ungkapan atau konsep untuk urusan pelanggaran masa lalu ini, yang masing-masingnya menekankan prioritas berbeda-beda. Hampir semua kita menyadari bahwa masalah “apa yang akan dilakukan terhadap masa lalu itu” merupakan suatu bagian utama dan intrinsik dalam transisi. Sebenarnya, hal ini bisa membuat perbedaan antara kesuksesan dan kegagalan.

Priscilla Hayner meletakkan studinya tentang komisi kebenaran secara kokoh dalam konteks yang lebih luas itu. Ia memulai dengan begitu elegan yaitu dengan sebuah pertanyaan yang paling fundamental: “mengingat atau melupakan”? Ia mengamati bahwa jalan terbaik untuk dilalui ke depannya hampir selalu merupakan perpaduan antara mengingat dan melupakan – bahkan, kendati terdengar begitu paradoks, mengingat untuk melupakan. Kadang cara terbaik menutup luka lama adalah dengan membukanya kembali, karena, sebagaimana diamati oleh salah satu rekan diskusinya, luka lama itu ditutup asal-asalan saja, dan kita masih saja harus membersihkan infeksi lama yang ditinggalkannya.

Sepanjang buku ini ia secara konstan mempertanyakan bagaimana mode atau cara “mematahkan masa lalu” berkaitan dengan yang lain, semisal memeriksa kehidupan masa lampau (vetting) atau “lustrasi” (permurnian, lustration) dan, secara khusus prosedur yudisial untuk menghukum para pelaku.


(9)

Bagaimana pencarian kebenaran mempengaruhi keadilan? Pertanyaan ini mengangkat isu yang fundamental dan bahkan sangat filosofis. Namun penekanan Hayner di sini lebih pada deskripsinya yang rinci dan analisisnya yang tajam atas dua puluh satu komisi kebenaran di berbagai belahan dunia ini. Selain membaca pustaka penunjang, ia sendiri telah melakukan perjalanan kunjungan ke negeri-negeri yang dihantui masa lampaunya itu, dan bahkan beberapa bagian dari bahan analisisnya justru didapatkannya dari wawancara-wawancara yang dilakukannya di pelbagai negeri itu. Yang mengesankan saya adalah rinciannya tentang manusia.

Hayner adalah seorang yang dalam bahasa Prancis disebut spectateur engagé. Kita temukan pada satu bagian pemikirannya bahwa ia menganjurkan kepada pemerintah Amerika Serikat supaya sebaiknya menambahkan pada daftar larangan visa (visa-ban) untuk orang-orang yang jelas-jelas ditemukan bersalah atas kekekarasan masa lalu oleh sebuah komisi kebenaran. (Tetapi, sayangnya, hal itu belum terjadi.) Mendapatkan pengetahuan yang dapat digunakan merupakan ciri khas dan keunggulan buku ini; untuk itulah buku ini ditulis. Tujuannya adalah, sebagaimana ditulisnya sendiri, “merekam dan mempelajari berbagai model penyelesaian kekerasan dan kejahatan masa lalu dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik dan meningkatkan kualitas praktik yang sama di masa depan …”. Ia dengan tegas mengungkapkan bahwa kita bisa belajar dari komisi kebenaran yang kecil, yang mungkin tak menghasilkan apa-apa (inconclusive) atau mati muda (aborted), termasuk juga dari komisi-komisi kebenaran yang berhasil mengeluarkan laporan yang sangat bagus.

Hal itu juga berarti kita mengakui keterbatasan pencapaian yang bisa diperoleh oleh komisi kebenaran, dalam masa yang sangat singkat di mana komisi kebenaran biasanya dibentuk. Ia misalnya sangat skeptis atas klaim-klaim penyapuan dengan efek berskala besar dari tindakan “penyembuhan” terapeutik atau “rekonsiliasi” nasional. Buku ini mengandung pesan moral yang kental. Penting dan perlu dibaca, bahkan perlu dibaca di pelbagai belahan dunia. Dan, segera setelah buku ini diterbitkan, saya mengirimkan satu kopi ke Burma.


(10)

Daftar Isi

Prakata Seri

Ucapan Terima Kasih

Pengantar oleh Timothy Garton Ash Daftar Isi

Bab 01: Pendahuluan

Bab 02: Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu Bab 03: Mengapa Perlu Komisi Kebenaran? Bab 04: Lima Contoh Komisi Kebenaran

Bab 05: Enam Belas Komisi Kebenaran yang Kurang Dikenal Bab 06: Apa Itu Kebenaran?

Bab 07: Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan? Bab 08: Menyebut Nama Tertuduh

Bab 09: Sembuh dari Masa Lalu Bab 10: Memandang ke Masa Depan Bab 11: Reparasi atas Kejahatan Negara

Bab 12: Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya

Bab 13: Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer?

Bab 14: Melihat Komisi dari Dalam: Masalah dan Penyelesaian Bab 15: Tantangan dan Bantuan dari Pihak Luar

Epilog: Melihat ke Depan

Penutup: Memperluas Jangkauan Pencarian Kebenaran Resmi Catatan

Bibliografi Lampiran


(11)

Bab 1

Pendahuluan

“Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?” Demikian saya pernah bertanya kepada seorang pegawai pemerintahan Rwanda pada akhir 1995, hanya satu tahun setelah genosida di negeri itu menyebabkan kematian lebih dari 500.000 orang.

Ia telah kehilangan tujuh belas anggota keluarga dekatnya selama tiga setengah bulan aksi pembunuhan. Kebetulan saja ia sedang tidak negeri itu ketika tragedi itu terjadi, dan karena itu hanya ia satu-satunya yang tertinggal dari seluruh keluarganya. Ketika ia menggambarkan kejadian itu, ia mengungkapkan dengan perasaan pasrah yang mendalam, “Seiring perjalanan waktu setiap hari, kita mampu melupakan lebih.”

Maka saya pun bertanya, “Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?”

Ia ragu. “Kami harus mengingat apa yang telah terjadi supaya mencegahnya dari keterulangannya,” demikian ia menjawab dengan pelan. “Tetapi kami harus melupakan perasaan, emosi, yang menyertainya. Hanya dengan melupakanlah kita mampu berjalan terus.”

Saya duduk dengan sang pegawai tersebut ketika kami melakukan kunjungan bersama sekelompok pengunjung internasional ke tempat peringatan pembantaian massal, di mana tulang belulang dan pakaian-pakaian mereka yang sudah compang-camping tapi belum hancur bersama daging mereka dihamparkan di lantai sebuah gereja. Tatkala saya mengamati tempat ini dan tempat-tempat lainnya di hari-hari berikutnya, dan mencoba mencerap sepenuhnya horor yang telah dialami sang pegawai ini atau juga oleh yang lainnya, saya pun menyadari bahwa tak ada jawaban lain lagi atas pertanyaan saya di atas tadi. Kita harus mengingat, tetapi kita juga kadang harus begitu menginginkan tindakan melupakan.

Saya mendapatkan sensasi yang sama pada beberapa bulan kemudian, ketika berbicara dengan seorang buruh pertanian di pedalaman El Salvador. Sebuah komisi kebenaran yang dibentuk oleh PBB, tiga tahun sebelumnya, telah menyelidiki pelbagai pelanggaran selama perang saudara dua belas tahun di negeri itu. Dan saya mengunjungi desanya, di sebuah daerah yang dikenal luas sebagai tempat yang secara politis telah mengalami kerusakan oleh peperangan. Saya bertanya kepadanya apakah kerja komisi kebenaran yang telah dibentuk PBB itu sampai ke sana, dan apa dampak yang telah ditimbulkannya bagi mereka. Ketika saya menanyakan tentang perang, ia menggambarkan aksi-aksi pembunuhan yang ia lihat dilakukan oleh tangan-tangan para tentara: bagaimana leher ayahnya digorok, bagaimana seorang tetangga yang sedang hamil dibunuh secara brutal. Apakah ia telah berbicara kepada komisi kebenaran? Demikian saya bertanya. Apakah ia telah memberikan kesaksian? Tidak, ia belum melakukannya. “Sangat susah untuk mengingat hal ini, sangat pedih untuk mengingat,” katanya. Dan kita bisa merasakan hal itu ketika ia mengungkapkan kisahnya. “Oh, bagaimana mereka membunuh para gerilyawan,” katanya. “Saya tak suka mengingat semua hal ini. Apa baiknya bagi kami kalau pergi ke komisi kebenaran? Saya akan kehilangan sehari kerja saya, dan tak satu hal pun akan berubah.” Ia berhenti sejenak. “Mengingat itu mendatangkan kepedihan. Namun sangat penting memperjuangkan tegaknya hukum.”


(12)

Mengingat itu tidak mudah, namun melupakan juga tidak mungkin. Ada pelbagai macam taktik bertahan hidup secara emosional dan psikologis bagi mereka yang telah mengalami kekerasan brutal. Sementara beberapa korban, semisal pria Salvador ini, berkeinginan untuk melupakan, korban-korban lain yang saya temui dan saya ajak bicara dengan mantap menegaskan bahwa hanya dengan mengingat sajalah mereka bisa mengalami pemulihan. Hanya dengan mengingat, mengisahkan cerita mereka, dan mempelajari tiap rincian sampai sekecil-kecilnya tentang apa yang telah terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab atas semua tragedi masa lampau itu, mereka baru bisa meninggalkan masa lampau di belakang mereka. Di Afrika Selatan, berkali-kali saya mendengar para korban-yang-bertahan-hidup (survivor) mengatakan bahwa mereka bisa memaafkan para pelaku pelanggaran itu hanya jika para pelaku itu mengakui kebenaran secara menyeluruh dan utuh. Hampir tak terpahami bahwa mendengarkan hal-hal rincian yang bahkan paling memilukan dari tindakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap seseorang yang paling dikasihi akan mendatangkan kedamaian. Di Afrika Selatan, banyak survivor yang mampu mendengarkan kisah-kisah ini melalui acara pengakuan di hadapan publik (public hearing) dari orang-orang yang mencari amnesti atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Satu syarat bagi penerimaan amnesti adalah adanya penyingkapan atau pengungkapan yang sepenuh-penuhnya secara rinci atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Termasuk juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara langsung oleh para korban atau anggota keluarga yang bertahan hidup.

Di wilayah pinggiran kota Port Elizabeth, bagian pantai selatan Afrika Selatan dan di sebuah tempat yang merupakan pusat kegiatan anti-apartheid yang militan pada 1980-an, saya berbicara dengan Elizabeth Hashe, seorang wanita kulit hitam yang sudah berusia tua, yang suaminya adalah seorang aktivis dan yang hilang tiga belas tahun sebelumnya bersama dua orang rekannya. Bertentangan dengan yang kebanyakan terjadi di Amerika Latin dan di mana pun juga, “penghilangan” aktivis politik (penculikan dan yang berakhir dengan pembunuhan, dan pembuangan seseorang tanpa jejak) merupakan sesuatu yang tak umum di Afrika Selatan, dan karenanya fakta bahwa ketiga orang tersebut hilang telah menjadi perhatian besar masyarakat di sana. Ada penyelidikan resmi ketika mereka hilang, dan polisi dengan yakin sekali mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu di mana orang-orang itu berada. Hanya dengan kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan-lah nasib mereka akhirnya terungkap. Saya berbicara dengan Nyonya Hashe pada saat istirahat minum teh di tengah-tengah acara melelahkan selama dua minggu pengakuan-di-hadapan-publik, setelah mendengarkan selama empat hari pengakuan seorang polisi yang sangat detail tentang bagaimana mereka menculik dan membunuh suaminya dan kedua orang rekannya itu, memanggang tubuh mereka selama enam jam hingga mereka menjadi abu, dan membuang sisanya ke Sungai Ikan (Fish River). Apa yang Nyonya Hashe pikirkan atas apa yang didengarnya itu? Demikian saya bertanya. Apa artinya hal itu baginya? “Sekurang-kurangnya sekarang saya mengetahui sepenggal dari kisah tersebut. Lebih baik mengetahui, mengetahui bagaimana mereka dibunuh,” kata Nyonya Hashe.

Monica Godolozi, satu lagi dari tiga janda yang ditinggal mati oleh suami mereka, tidak ikhlas memberikan maaf. Seperti kebanyakan para audiens di ruang dengar-kesaksian yang penuh sesak dan sangat brisik itu, ia begitu yakin bahwa para polisi itu tidaklah menceritakan kebenaran secara utuh. Mereka sebenarnya masih menutup-nutupi


(13)

fakta soal penyiksaan yang terjadi atau mereka lakukan sebelum ketiga korban itu dibunuh. Ketika para polisi itu menyangkal telah melakukan penyiksaan dan kekerasan, para audiens pun menyoraki mereka dengan teriakan panjang dan keras; banyak di antara ratusan orang yang hadir di ruangan itu kemungkinan besar telah menjadi atau pernah menjadi korban polisi tersebut. Nyonya Godolozi mengatkan kepada saya, “Saya tak akan memaafkan mereka. Tak ada satu hal pun yang bisa mereka lakukan lagi agar saya bisa memaafkan mereka. Kecuali, jika menceritakan kebenaran, lalu bolehlah. Siapa pun yang menceritakan kebenaran, akan saya maafkan dia. Tetapi tidak untuk orang yang menceritakan kebohongan.”

Nyonya Hashe tidak sepakat. “Bukankah kita menginginkan kedamaian bagi Afrika Selatan? Bagaimana kita menemukan kedamaian jika kita tidak memaafkan? Suami saya telah memperjuangkan perdamaian untuk seluruh Afrika Selatan. Bagaimana kau bisa membenarkan sebuah kesalahan dengan sebuah kesalahan lain lagi?” Satu tahun sebelumnya, Nyonya Hashe kelihatan begitu pedih dan perih ketika ia memberikan kesaksian di hadapan komisi pada salah satu dari acara dengar-kesaksian-publiknya yang pertama. Berkat belajar dari apa yang telah terjadi pada suaminya – atau paling kurang dari apa yang dikisahkan oleh orang yang membunuhnya, di mana sisa tubuhnya dibuang, dan banyak rincian lainnya lagi tentang bagaimana ia mati – membuatnya berubah; tetapi bagi Nyonya Godolozi, hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah diterima.

Bertentangan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, banyak rakyat Afrika Selatan masih menuntut keadilan dan penghukuman yang tegas bagi para pelaku kejahatan di masa lalu. Di mana keadilan tidak mungkin, kebutuhan minimal untuk memaafkan, paling ditekankan, akan diberikan untuk mendapatkan kebenaran yang sepenuhnya, sejujurnya, dan tak tertutupi oleh apa pun juga.

Para janda Afrika Selatan itu, sang petani Salvador, dan pegawai pemerintahan Rwanda, semuanya mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh korban-korban individual dan oleh seluruh bangsa setelah suatu periode represi politik yang brutal. Saya telah pergi ke Afrika Selatan, El Salvador, dan Rwanda, sebagaimana juga saya telah melakukan berbagai perjalanan ke sejumlah negeri, untuk memahami bagaimana sebuah negeri dan rakyatnya memulihkan diri dari suatu masa yang sarat dengan kekejaman yang meluas. Secara khusus, saya tertarik dengan dampak dari pencarian kebenaran resmi, di mana semua kekejaman masa lalu didokumentasikan dan dipublikasikan, dan diselidiki oleh sebuah komisi khusus, seperti yang pernah dilakukan di El Salvador dan Afrika Selatan. Saya mendengar suara-suara yang serupa di mana-mana, kisah-kisah kebrutalan yang memedihkan, perih, perjuangan, dan bertahan hidup. Rincian penindasan memang berbeda-beda, sebagaimana juga tergantung pada respon individual dan nasional negara yang berbeda-beda. Namun saya segera melihat apa yang bisa dibayangkan oleh seseorang: bahwa penindasan meluas semacam itu telah meninggalkan suatu warisan kekuasaan. Kerusakan timbul melampaui kepedihan dan kehilangan yang segera terlihat. Di mana ada penyiksaan, di sana ada korban berjalan, korban terluka. Di mana ada pembunuhan, atau pembantaian massal, di sana selalu ada saksi atas pembantaian brutal dan semena-mena itu, dan ada para anggota keluarga menjadi begitu takut dan tenggelam dalam kesedihan mendalam. Di mana ada orang dihilangkan, diculik oleh pemerintah tanpa meninggalkan jejak, di sana selalu ada orang tercinta yang selalu menantikan berita. Di mana ada tahun-tahun kepedihan tak


(14)

terbicarakan dan keheningan yang dipaksakan, di sana selalu ada ketakutan yang menyebar luas, ketakutan yang melemahkan; dan ketika penindasan berakhir, selalu ada kebutuhan untuk perlahan belajar mempercayai pemerintah, polisi, tentara, dan untuk memperoleh kepercayaan diri dalam kebebasan bebicara dan secara terbuka mengungkapkan kepedihan.

Dunia ini telah digerakkan oleh perubahan politik dalam tahun-tahun belakangan ini, perubahan yang ditandai oleh pergantian rezim kejam dan represif dengan pemerintahan demokratik atau semi-demokratik. Dari perang saudara dan represi di Amerika Tengah hingga ke rezim diktator di Amerika Selatan; dari berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan hingga ke konflik kekerasan tanpa akhir di Afrika Tengah; dari penyingkiran pemerintahan komunisme di Eropa Timur hingga ke pelbagai transisi politik dan perubahan politik yang cepat di Asia, pemerintahan-pemerintahan baru telah menyapu bersih rezim-rezim lama dan merayakan kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Kebanyakan perubahan ini terjadi setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan akhir yang cepat dari Perang Dingin, yang telah menyingkirkan dorongan untuk menggalang dukungan internasional terhadap rezim-rezim yang korup dan menyalahgunakan kekuasaannya.

Ketika suatu masa pemerintahan otoritarian atau perang saudara berakhir, sebuah negara dan rakyatnya berdiri di persimpangan jalan. Apa yang mesti dilakukan terhadap masa lalu yang dipenuhi kisah tentang para korban, pelaku, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang menghantui, dan tiadanya pengakuan resmi dari negara? Apakah masa lalu ini harus dibongkar kembali, dilestarikan, diakui atau dimintakan maaf? Bagaimana sebuah bangsa yang bermusuhan dipersatukan kembali, pihak-pihak yang bermusuhan dirukunkan kembali, dalam konteks sejarah yang penuh kekerasan dan bahkan terasa begitu getir dan perih, yang menambah perih dan pedihnya luka? Apa yang harus dilakukan dengan ratusan atau ribuan pelaku yang tetap saja berjalan melenggang dengan bebasnya? Dan bagaimana sebuah pemerintahan yang baru mencegah kekejaman serupa dari pengulangannya di masa depan? Di satu pihak para survivor secara individual berjuang membangun kembali kehidupan yang rapuh, mengurangi perihnya kenangan yang membakar yaitu kenangan akan penyiksaan dan penderitaan di masa lalu atau kenangan akan pembantaian yang mereka saksikan dan alami. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai satu keseluruhan harus menemukan sebuah jalan untuk bergerak terus, mencipta kembali ruang yang dapat ditinggali, ruang kedamaian nasional, membangun rekonsiliasi antara para pihak yang bermusuhan, dan mengamankan peristiwa-peristiwa di masa lampau.

Beberapa orang berpendapat bahwa cara terbaik untuk berjalan ke depan adalah dengan menguburkan masa lalu. Karena, menggali kembali hal-hal yang mengerikan di masa lalu dan menunjukkan kesalahan hanya akan membawa kepedihan dan akan membelah-belah suatu bangsa atau negeri secara lebih parah. Namun, bisakah suatu masyakarat membangun masa depan demokrasi di atas fondasi sejarah yang gelap, disangkal atau dilupakan sama sekali? Pada tahun-tahun belakangan, tampak jelas setiap negeri yang bangkit dari sejarah kekelaman masa lalunya mau tidak mau menghadapi pertanyaan ini. Di beberapa negeri, hal ini telah menjadi bahan perdebatan selama negosiasi damai, di mana “masa lalu” sering kali menjadi isu mata-agenda pembicaraan yang pertama dan paling mengundang perdebatan. Di mana pun, pemerintahan yang baru telah menghadapi isu tersebut, dengan pertanggungjawaban untuk kejahatan masa lalu


(15)

sering kali merupakan satu dari isu yang paling penting bagi pemerintahan yang baru, khususnya ketika ribuan korban atau survivor melakukan aksi penuntutan. Negeri-negeri yang dibahas dalam buku ini telah keluar dari rezim represif atau kediktatoran yang menyebar di berbagai belahan dunia, dan keluar dari masa-masa itu melalui berbagai bentuk transisi yang berbeda-beda. Perubahan bisa terjadi pada akhir perang saudara, melalui kejatuhan rezim militer, atau melalui pemberontakan rakyat menentang rezim represif yang dikombinasikan dengan angin perubahan dalam dukungan internasional. Namun dalam masing-masing dari pelbagai bentuk transisi politik yang berbeda-beda ini, pertanyaan dan kesulitan-kesulitan yang persis sama tetap saja mengemuka.

Buku ini menggali pelbagai kesulitan yang bersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memahami dengan lebih baik tentang bagaimana negara dan individu menyikapi kekejaman berat di masa lalu, dan secara khusus untuk memahami peran yang dimainkan oleh komisi-komisi kebenaran. Nama komisi kebenaran itu sendiri merupakan nama yang diberikan untuk badan resmi yang didirikan untuk melakukan penyelidikan dan membuat laporan tentang pola-pola pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan telah berhasil membawa masalah ini menjadi pusat perhatian internasional, khususnya melalui acara dengar-pendapat umum atau kesaksian publik baik dari pihak korban maupun pelaku yang sama-sama menggambarkan rincian kekejaman dari kejahatan di masa lalu. Kendatipun hanya sedikit komisi kebenaran serupa yang muncul sebelum komisi kebenaran Afrika Selatan, namun kebanyakan komisi kebenaran tersebut tidak melakukan acara kesaksian publik, dan tak satu pun yang menyertakan tawaran atau tuntutan akan adanya amnesti secara individual (mungkin karena sarat problem etis). Hal seperti itu tampak sukses di Afrika Selatan. Tawaran dan peluang seperti itu memungkinkan para pelaku kejahatan mau mengakui kekejaman mereka di masa lalu di hadapan kamera televisi yang tayangannya disaksikan oleh seantero publik Afrika Selatan.

Meskipun sejumlah negara “demokrasi baru” juga sedang mempertimbangkan untuk mendirikan komisi kebenaran seperti itu – seperti di Indonesia, Kolombia, dan Bosnia – dan beberapa komisi kebenaran baru saja dibentuk di Nigeria dan Sierra Leone, namun tetap saja beberapa aspek tertentu dari badan ini tidak mudah dipahami. Ada miskonsepsi umum, sebagai misal, tentang bagaimana badan ini bekerja secara khas – di bawah kekuasaan apa, dan sering kali di bawah kendali utama siapa – dan juga tentang dampak yang mungkin diberikan oleh keberadaan lembaga tersebut. Ada juga masalah menyangkut harapan yang dibebankan kepada lembaga tersebut dalam kaitan dengan nasib para korban, kebijakan yang dibuat, dan masyarakat secara umum. Buku ini secara mendasar ditulis dengan dorongan utama untuk memperjelas secara persis tentang apa gerangan hakikat badan ini; apa yang dilakukannya dan apa potensi yang bisa disumbangkannya; dan apa batasan-batasannya.

Saya sering kali dikejutkan dengan jalan bagaimana pemahaman kebenaran, dan pemahaman komisi kebenaran, dipahami dan dibincangkan sebelumnya. Juga sering dikejutkan oleh asumsi yang sering dipegang tentang apa itu proses pencarian kebenaran dan apa yang akan dihasilkannya. Sayangnya, banyak asumsi yang menyenangkan telah dikemukakan secara berulang-ulang dengan penegasan tanpa teruji oleh para penulis dan pemikir yang malah cerdas dan dikenal cermat, dan para pemimpin politik. (Saya sendiri tidak begitu bebas juga dari kecenderungan seperti ini, dalam beberapa tulisan saya


(16)

tentang masalah ini sebelumnya.) Beberapa pernyataan yang paling sering diulang-ulang, dan yang mungkin paling kita harapkan sebagai pernyataan yang benar, adalah tentang pengamatan dan pertimbangan yang cermat dan berhati-hati. Sebenarnya, mereka semua tidaklah begitu teguh kokoh dengan pendirian itu bahkan di bawah suatu tes pembuktian yang anekdotal.

Sebagai contoh, apakah kebenaran bisa mengarah pada rekonsiliasi? Atau, dengan kata lain, apakah perlu mengetahui kebenaran agar rekonsiliasi tercipta? Barangkali, pertanyaan inilah yang paling sering dikemukakan dalam wilayah pencarian kebenaran. Dan, adalah mungkin mengarah pada bukti dan mengutip para korban yang selamat untuk memperlihatkan bahwa bukti itu benar; kadang-kadang memang demikian, bagi sementara orang atau dalam situasi tertentu. Namun, memang mudah untuk membayangkan bahwa hal yang sebaliknya barangkali juga benar. Atau, yang jauh lebih penting lagi adalah bahwa rekonsiliasi, sebagai sebuah konsep yang memang membingungkan, mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang sangat jauh dari soal mengetahui atau mengakui kebenaran tentang kesalahan-kesalahan masa lalu. Sebagai contoh (sebagaimana akan saya tunjukkan lebih rinci dalam uraian selanjutnya), rekonsiliasi yang benar mungkin tergantung pada suatu tujuan yang jelas pada adanya ancaman kekerasan yang lebih lanjut; program pemulihan atau ganti-rugi bagi mereka yang telah menjadi korban; perhatian pada ketimpangan struktural dan kebutuhan material yang mendasar dari komunitas yang menjadi korban; adanya keterkaitan alamiah dalam masyarakat yang menyatukan semua pihak yang sebelumnya saling bermusuhan; atau, paling sederhana (kendati sering kali kurang disadari), sekadar berlalunya waktu.

Selain itu, sering kali diyakini bahwa menggali kebenaran dan memberikan para korban kesempatan untuk bicara bisa mendatangkan penyembuhan atau pengalaman “katarsis”. Namun demikian, hal ini tetap mengandung suatu asumsi yang dapat dipertanyakan, sekurang-kurangnya dalam beberapa kasus. Kendatipun bukti ilmiah yang kecil tetap tersedia bagi pertanyaan ini, namun jelaslah bahwa pengertian tentang proses penyembuhan ini sekurang-kurangnya menjadi semakin perlu diperhatikan. Sementara itu, penyelidikan ini hampir-hampir tidak bisa menjadi suatu proses penyembuhan bagi mereka yang secara aktual bertanggung-jawab terhadap pencarian dan pengungkapan kebenaran. Para staf dan komisioner dari lembaga-lembaga ini – dan kadang-kadang para jurnalis yang mengikuti atau meliput kerja sebuah komisi kebenaran – sering kali memperlihatkan begitu banyak tanda mengalami tekanan yang berat dan trauma setelah menjalani pekerjaannya itu selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, setelah mendengarkan ratusan demi ratusan kisah-kisah yang mengerikan dari para korban atau saksi. Yang lebih mengherankan lagi, staf administrasi yang bertanggung-jawab bagi pengelompokan dan pemasokan data ke komputer – yang membuat tabulasi dari berlusin-lusin jenis penyiksaan, penyelewengan, pembunuhan, mutilasi, atau kekejaman mengerikan lainnya – kadang-kadang adalah orang-orang dalam komisi itu sendiri yang justru paling banyak dipengaruhi oleh informasi-informasi itu.

Namun sepanjang kadar tertentu skeptisisme – atau mungkin juga realisme – dalam hal yang ditangani lembaga-lembaga ini, harus juga ada suatu apresiasi yang lebih baik bagi sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang sangat berarti tetapi tidak banyak diketahui, yaitu sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang mereka berikan pada kesempatan tertentu. Di Cili, hampir sepenuhnya berdasarkan temuan dari komisi kebenaran negara tersebut, negara telah membayar ribuan keluarga lebih dari $5.000 per


(17)

tahun sebagai ganti rugi bagi pelanggaran yang dilakukan militer selama pemerintahan Augusto Pinochet, sebagai tambahan terhadap upaya pemulihan lainnya. Sama halnya juga, sebagian berdasarkan catatan komisi kebenaran di Argentina, negara telah menyediakan tiga juta dollar, sebagai bayaran sejumlah hampir $220.000 per keluarga, bagi para korban selama “perang kotor” di negara tersebut. Reformasi yudisial dilakukan di El Salvador yang mengikuti penyelidikan komisi kebenaran PBB yang didirikan di sana. Di Afrika Selatan, hanya sedikit orang saja sekarang membela atau mencoba membenarkan sistem apartheid, atau mempertanyakan fakta bahwa praktik-praktik busuk, seperti penyiksaan yang meluas di pelbagai markas-markas polisi, digunakan untuk melanggengkan kebijakan apartheid. Di beberapa negara, seperti Argentina, laporan komisi telah mendapatkan begitu banyak perhatian, dan menjadi buku yang sangat laku dan dicari-cari.

Namun, barangkali yang tetap saja paling tidak mendapat perhatian adalah soal kesulitan yang paling berat dalam melaksanakan upaya-upaya tersebut, kesulitan pendokumentasian dan penghadiran “kebenaran” – terlepas dari bagaimana hal itu didefinisikan di pelbagai negara – dalam periode penyelidikan yang singkat dan intensif, ketika isu-isu yang sedang dieksplorasi sering kali tetap menjadi yang paling sensitif dan ketika tugas-tugas komisi adalah untuk mencapai dan sekadar menghadirkan kisah-kisah dari ribuan demi ribuan korban. Dilihat secara lebih cermat, tampak menjadi lebih jelas bahwa komisi-komisi kebenaran sangat berbeda watak dan hakikatnya dari pengadilan, dan fungsinya pun berbeda, demikian juga sasarannya. Jelas juga bahwa banyak pertanyaan metodologis yang merupakan soal penting bagi komisi-komisi kebenaran tidak bisa dijawab dengan beralih begitu saja ke norma-norma hukum yang sudah mapan atau prinsip-prinsip umum yang sudah baku, tidak juga dapat diselesaikan dengan menggunakan pedoman-pedoman universal. Alih-alih, pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan perhatian yang cermat terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik dan konteks dari masing-masing negara. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini – bagaimana sebuah komisi melakukan tugasnya dengan paling baik dalam hal pengumpulan, penyusunan atau pengorganisasian, pengevaluasian terhadap pelbagai tuntutan dari para korban dan pihak lain; apakah perlu dilakukan dengar-kesaksian publik atau perlu dilakukan semua penyelidikan secara handal; apakah komisi perlu menyebut nama pelaku tertentu dalam laporannya; dan banyak lagi lainnya – akan dijawab secara berbeda di tiap-tiap negara. Tugas ini menjadi lebih sulit oleh adanya fakta bahwa banyak dari pertanyaan ini bersifat unik terhadap jenis penyelidikan kebenaran yang luas ini dan tidak selalu berakhir dengan pengadilan, sebagai contoh, di mana prosedur-prosedur yang standar telah lama sekali menjadi mapan.

Pencarian kebenaran resmi, demikian ia kemudian sering dinamakan, merupakan suatu urusan yang berat dan rumit. Berdasarkan hasil pelbagai wawancara yang saya lakukan di berbagai belahan dunia, di mana saya mempunyai kesempatan untuk berbicara secara detail dengan para komisioner dan staf dari berbagai komisi kebenaran yang sudah ada, juga dengan para korban, pembela, dan para pengambil kebijakan yang telah mengamati atau berpartisipasi dalam proses ini, sejumlah hal umum kemudian muncul ke permukaan. Pertama, harapan terhadap komisi-komisi kebenaran hampir selalu lebih besar daripada apa yang secara paling masuk akal bisa diharapkan dari badan-badan tersebut. Harapan-harapan ini mungkin berupa rekonsiliasi yang cepat dan segera, pemulihan yang signifikan bagi para korban, penyelesaian yang menyeluruh bagi begitu


(18)

banyak kasus individual, atau berupa suatu proses yang menghasilkan pertanggungjawaban para pelaku dan reformasi kelembagaan yang signifikan. Karena adanya pelbagai alasan yang akan saya eksplorasi secara menyeluruh dalam bab-bab selanjutnya, hanya sedikit dari harapan-harapan tersebut dapat dipenuhi oleh komisi kebenaran. Pada taraf tertentu, kekecewaan bukanlah suatu hal yang tidak umum terjadi ketika komisi kebenaran menyelesaikan tugasnya (atau ketika pemerintah menerima tetapi tidak berupaya melaksanakan rekomendasi dari laporan komisi kebenaran). Sementara ada ruang tertentu bagi pengembangan, beberapa dari harapan tersebut sangat tidak realistik dalam situasi di mana ada ribuan demi ribuan korban, di mana institusi-institusi demokratik tetap lemah, dan di mana keinginan para pelaku untuk mengungkapkan penyesalan atau berpartisipasi dalam upaya rekonsilasi sangat lemah. Namun, ironisnya, harapan-harapan besar ini dan kekecewaan yang diakibatkannya itu sering kali mencegah orang dari sikap menghargai kontribusi signifikan yang telah diberikan dan dilakukan oleh badan-badan tersebut.

Kedua, banyak dari problem paling sulit yang dihadapi oleh komisi-komisi kebenaran tampaknya merupakan permasalahan yang umum bagi kerja-kerja penyelidikan. Hal ini tampak dalam kerja komisi-komisi baru yang selalu terbentur pada pertanyaan-pertanyaan yang sama dan asumsi-asumsi yang salah. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman dan praktik-praktik di masa lalu yang bisa jadi akan sangat membantu dalam menemukan model yang diinginkan di masa depan. Namun sayangnya, banyak komisi baru justru memulai kerjanya tanpa mempelajari pengalaman-pengalaman komisi-komisi sebelumnya itu.

Fakta ketiga, yang menjadi semakin tampak jelas hanya pada waktu belakangan ini, adalah bahwa badan-badan tersebut bisa melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang berjangka waktu lama, suatu hal yang sama sekali tidak diperkirakan pada awalnya. Tampaknya hal ini menjadi semakin benar secara khusus dalam kaitannya dengan persoalan keadilan dan pertanggungjawaban. Secara khusus pada waktu belakangan ini, pelbagai arsip dan laporan dari beberapa komisi kebenaran di masa lalu sangat diandalkan dalam upaya untuk menuntut para tertuduh dalam arena internasional. Tiba-tiba saja, kegunaan dari kepemilikan atas catatan yang terdokumentasi dengan baik, yaitu catatan dan dokumentasi dari pelbagai kejahatan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya telah menjadi tampak jelas, bahkan ketika soal pengadilan domestik tidak menjadi pertimbangan yang utama.

Semua isu ini akan dibahas secara detail dalam keseluruhan buku ini (judul masing-masing bab kiranya memperlihatkan dengan jelas soal subjek bahasannya). Buku ini disusun secara tematik, diarahkan pada seputar isu yang paling sering dihadapi dan digeluti oleh pelbagai komisi yang telah ada, atau seputar pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh para pengamat kinerja dan kerja komisi ini dari luar lapangan. Dalam upaya memunculkan wajah proses ini, saya menggambarkan lima komisi yang lebih substansial dari pelbagai komisi yang diuraikan dalam buku ini secara lebih rinci – yaitu komisi yang ada di Argentina, Cili, El Salvador, Afrika Selatan, dan Guatemala – dan mengacu pada komisi-komisi tersebut lebih banyak ketimbang yang lainnya dalam keseluruhan uraian dalam buku ini. Keenam-belas komisi lainnya akan digambarkan secara lebih ringkas tapi jelas. (Sejumlah bagan pendukung, termasuk suatu daftar kronologis dari dua puluh satu komisi paling mutakhir, dapat dilihat pada lampiran 1.)


(19)

Buku ini dimaksukan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik; untuk benar-benar menghadirkan pengalaman para korban, harapan para pembela hak asasi manusia, dan dilema yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan ketika mereka berkutat atau terlibat dalam proses-proses ini. Utamanya, keputusan untuk menggali rincian masa lalu yang sangat sulit harus diserahkan kepada suatu negara dan rakyatnya sendiri. Dan, beberapa negara bahkan memiliki alasan tertentu untuk membiarkan masa lalunya sebagaimana adanya. Namun, adalah suatu asumsi yang aman, bahkan kendati terdapat variasi yang begitu besar dalam situasi transisi politik, bahwa kita semua akan segera melihat pelbagai contoh komisi kebenaran yang bisa diandalkan dalam masa sekarang ini.


(20)

Bab 2

Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu

Penerbitan Transitions from Authoritarian Rule pada tahun 1986, sebuah karya yang terdiri dari empat jilid yang terfokus pada Amerika Latin dan Eropa Timur, membantu mendefinisikan suatu medan yang baru, yaitu mempelajari bagaimana (dan dalam tekanan apa) terjadinya transisi demokratik setelah satu masa pemerintahan yang represif.i Sementara pertanyaan mengenai “menyelesaikan masalah di masa lalu” bukan menjadi fokus utama studi ini, para pengarang buku tersebut menemukan pertentangan yang sukar antara keinginan untuk menguburkan masa lalu, untuk mencegah kemarahan para penjahat yang berkekuasaan, dan tuntutan etis dan politis untuk mempertanggung-jawabkan kejahatan rezim lalu. Para pengarang tersebut menunjukkan dilema ini sebagai “masalah amat sukar” yang tidak ada penyelesaiannya secara memuaskan, dan memberikan catatan kaki bahwa perbedaan mendasar antara masalah ini dan masalah-masalah transisional lainnya adalah bahwa masalah ini “tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dicoba diselesaikan oleh para pemimpin”.ii

Para penulis tersebut kemudian menyatakan bahwa “solusi paling buruk dari sejumlah solusi buruk adalah dengan mengabaikan isu ini”, dan strategi yang paling kurang buruknya, berdasarkan pertimbangan etis dan politis, adalah dengan mengadili para pelaku kejahatan. Dengan mengabaikan masalah hukum internasional, yang tidak disentuh para penulis tersebut namun belakangan ini sering kali menjadi kerangka dalam pembahasan masalah tersebut, yang paling menarik dalam pembahasan ini adalah sempitnya lingkup pilihan yang mungkin dalam menyikapi kejahatan-kejahatan tersebut. Ketika buku tersebut selesai ditulis, Komisi Nasional Orang Hilang di Argentina baru saja mulai bekerja. Hampir tidak ada pengakuan internasional terhadap pencarian kebenaran non-yudisial sebagai alat keadilan transisional. Demikian juga tidak ada pengakuan mengenai lingkup luas strategi-strategi non-yudisial lainnya yang kini sering kali digunakan dalam transisi pasca-otoritarian. Dalam waktu kurang dari lima belas tahun, gambaran ini telah berubah secara dramatis.

Dunia kini tampaknya menghadapi masalah keadilan dan pertanggungjawaban secara terus-menerus, baik setelah akhir rezim militer atau pemerintahan represif, atau setelah perang saudara. Telah menjadi jelas bahwa terdapat sejumlah besar hal yang timbul dari kondisi-kondisi tersebut yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan oleh pengadilan – bahkan bila badan peradilan bekerja dengan baik, dan tidak ada batasan dalam menghukum para pelaku kejahatan, yang jarang ditemui. Banyak pendekatan alternatif dan komplementer mengenai pertanggungjawaban secara perlahan-lahan dikembangkan. Kebutuhan konkret para korban dan komunitas yang dirusakkan oleh kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan penuntutan, selain memberikan sedikit kelegaan bila para pelaku tersebut dibuktikan bersalah. Kondisi-kondisi institusional atau kemasyarakatan yang memungkinkan kekerasan besar-besaran untuk terjadi – struktur militer, peradilan atau perundang-undangan yang seharusnya membatasi tindakan pejabat,


(21)

misalnya – bisa tidak berubah meskipun pemerintahan berganti menjadi lebih demokratis dan kurang menindas. Banyak pertanyaan tetap tidak terjawab, tentang apa yang terjadi pada masa penindasan, dan ketegangan antar-komunitas tetap ada, malah semakin parah, jika diabaikan begitu saja.

Dengan banyak masalah dan problem yang beragam ini bidang “keadilan transisional” mulai terbentuk selama beberapa tahun terakhir ini, sebagai bagian dari bidang luas mengenai transisi demokratik. Pertanyaan mendasar, yaitu mengenai bagaimana menyikapi kejahatan negara secara besar-besaran (atau pelanggaran oleh kelompok yang bertentangan dengan negara), menimbulkan sejumlah besar pertanyaan legal, politis, bahkan psikologis. Bidang ini – sejauh mana ia telah berkembang sebagai suatu bidang – telah berkembang sebagai jawaban terhadap kebutuhan dan kondisi yang berbeda-beda dari berbagai negara transisional di dunia, dan semakin meningkatnya ketertarikan publik dan harapan internasional bahwa perlu ada pertanggungjawaban setelah terjadi kekejaman. Kini merupakan anggapan umum bahwa kejahatan-kejahatan tersebut, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, harus dihadapi dan diselesaikan.iii

Sebuah negara bisa memiliki sejumlah sasaran dalam usahanya menyikapi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu: untuk menghukum para pelaku, menemukan kebenaran, memberikan ganti rugi, menghormati para korban dan mencegah pelanggaran di masa depan. Bisa juga terdapat tujuan lainnya, seperti mendorong rekonsiliasi nasional dan mengurangi konflik tentang masa lalu, atau menunjukkan perhatian pemerintahan baru terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional. Demikian juga, terdapat berbagai mekanisme atau kebijakan yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut: melakukan pengadilan di pengadilan domestik atau internasional; menurunkan para pelaku kejahatan dari jabatannya di pemerintahan atau militer; membentuk komisi penyidikan; memberikan akses individual ke dokumen-dokumen keamanan negara; memberikan ganti rugi kepada para korban; membangun monumen; atau melakukan reformasi terhadap militer, polisi atau sistem pengadilan.

Keadilan yang ditegakkan melalui pengadilan biasanya merupakan tuntutan pertama dan terpenting, namun juga paling sukar. Banyak usaha menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat di bawah rezim yang lama mengalami kegagalan. Biasanya, seperti di El Salvador, Afrika Selatan dan Cili, transisi politik melibatkan kompromi politis, yang mencakup imunitas dari penuntutan kepada para penindas di masa lalu, bahkan mempertahankan sebagian kekuasaan mereka atau melibatkan mereka dalam pemerintahan yang baru. Bila diktator atau pelaku lainnya membantu merancang penghentian pemerintahan mereka, mereka biasanya membatasi kemungkinan pertanggungjawaban kejahatan mereka. Meskipun pemerintahan baru (yang mungkin dahulu menentang rezim lama, bahkan ditahan atau disiksa karena tindakan mereka) berusaha keras, dan meskipun para korban dan pembela mereka menuntut keadilan, keadilan pasca-transisi merupakan sesuatu yang jarang ditemukan. Bila ada pengadilan, biasanya hanya sedikit yang diadili, dan kadang-kadang bahkan gagal membuktikan kesalahan mereka yang “diketahui” bersalah. Di hampir semua negara yang saya kunjungi di Amerika Latin, Afrika dan lain-lain, saya menemukan perjuangan sukar untuk mendapatkan keadilan, dan frustrasi mengenai sedikitnya pelaku kejahatan yang diadili dan ketidakmampuan pengadilan. Setelah sebuah pemerintahan diktator atau penindas berakhir, badan pengadilan biasanya berantakan, para hakim dikompromikan


(22)

secara politis, korup atau takut; tidak ada keahlian dan sumber daya. Jumlah pelaku kejahatan bisa amat besar. Jadi, bahkan bila sistem pengadilan pun masih cukup mampu melaksanakan pengadilan secara adil dan tidak ada pemberian amnesti umum, hanya sebagian kecil dari keseluruhan saja yang bisa dituntut.

Pengadilan di pengadilan internasional juga terbatas. Dibandingkan jumlah besar tertuduh penjahat perang, hanya sedikit saja yang dituntut oleh Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda; keduanya merupakan badan ad hoc bentukan PBB. Benar bahwa menuntut para pelaku senior, meskipun sedikit, bisa memberikan efek yang signifikan. Namun kedua pengadilan tersebut, terutama untuk Yugoslavia, mengalami kesulitan menangkap mereka yang dituduh, terutama yang paling senior. Mahkamah Pidana Internasional (ICC – International Criminal Court) yang permanen, yang disetujui pada pertengahan tahun 1998, mungkin akan menghadapi masalah serupa.

Beberapa negara Eropa Timur memiliki strategi “lustrasi”, yaitu menurunkan orang-orang yang berkaitan dengan rezim lama dari jabatannya di pelayanan publik.iv Namun praktik lustrasi ini mendapat kritikan karena tidak memiliki jaminan proses segera dan karena bergantung pada laporan intelijen masa lalu yang mungkin keliru. Banyak kebijakan lustrasi diterapkan tanpa mempertimbangkan perlindungan terhadap mereka yang dituduh secara keliru, atau mereka yang afiliasinya dengan rezim lama sangat terbatas atau singkat.v Kebijakan lustrasi tidak diterapkan di luar Eropa Timur. Dalam hampir semua kondisi hal ini tidak dapat diterapkan, karena tidak lazim bagi sebuah rezim untuk memiliki catatan lengkap mengenai kolaborator; karena catatan yang mungkin ada bisa dimusnahkan pada saat transisi; dan karena negosiasi transisi sering kali mencakup kesepakatan bahwa pegawai sipil rezim lama tidak akan dihukum.

Beberapa negara lain telah mencoba mencopot anggota militer yang dicatat melakukan pelanggaran hak asasi. El Salvador membentuk komisi khusus mengenai hal ini, Komisi Ad Hoc, sebagai bagian kesepakatan damai yang mengakhiri perang saudara selama dua belas tahun. Komisi ini menyarankan bahwa lebih dari seratus perwira senior militer dicopot; dengan tekanan kuat dari komunitas internasional (dan dukungan laporan komisi kebenaran yang menyusulnya) mereka semua dipurnawirawankan dari jabatannya. Ketika Haiti menghapus angkatan bersenjatanya dan membentuk pasukan polisi sipil yang baru, ia berusaha menyaring pelamar dan menyingkirkan mereka yang diketahui melakukan pelanggaran di masa lalu dalam angkatan bersenjata lama.

Hanya di Eropa Timur terdapat akses individual terhadap catatan keamanan negara (terutama di bekas Jerman Timur namun juga sedang dipertimbangkan negara-negara lainnya). Karena represi di Eropa Timur tergantung pada suatu jaringan informan yang luas, terbukanya catatan tersebut membuka inti sistem represi tersebut. Kolaborator rezim lama ditemukan pada semua tingkatan, dan korban individual dapat menemukan dan secara personal mengkonfrontasi para pelapor mereka, kadang-kadang teman atau anggota keluarga.vi Namun, bila catatan tersebut tidak ada atau karena sifat represi dan transisi di wilayah lain berbeda, sistem yang memberikan akses individual pada catatan keamanan jarang dipertimbangkan dalam negara-negara transisional di luar Eropa Timur.vii

Selain pengadilan, pencopotan dan akses individual ke catatan intelijen, negara-negara transisional telah berjuang dengan sejumlah besar kebutuhan yang timbul dari masa pelanggaran besar-besaran. Ini mencakup pemberian ganti rugi kepada korban dan komunitas; pemberian penghargaan terhadap mereka yang dibunuh, dihilangkan atau


(23)

menjadi korban dengan cara lainnya; dan melakukan perubahan institusional atau kebijakan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut di masa depan. Sasaran-sasaran tersebut bisa dicapai melalui sejumlah mekanisme, namun kini sering kali diusahakan melalui proses penyidikan dan pengakuan kebenaran sepenuhnya mengenai pelanggaran di masa lalu.

Sebagian karena batasan jangkauan peradilan, dan sebagian karena kesadaran bahwa pengadilan yang berhasil pun tidak menyelesaikan konflik dan penderitaan akibat pelanggaran di masa lalu, pemerintahan transisional semakin beralih ke pencarian kebenaran resmi sebagai komponen utama dalam usaha menyikapi pelanggaran di masa lalu. Penyidikan luas terhadap pelanggaran besar-besaran oleh kekuatan negara, dan kadang-kadang juga menyidik pelanggaran yang dilakukan oposisi bersenjata, telah mendapatkan nama generik “komisi kebenaran”, sebuah istilah yang merujuk pada penyidikan yang spesifik, meskipun memberikan variasi yang luas antara berbagai komisi. Saya menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada badan-badan yang memiliki ciri berikut ini: (1) komisi kebenaran berfokus pada masa lalu; (2) mereka menyidik pola-pola pelanggaran selama suatu jangka waktu, bukan peristiwa spesifik; (3) sebuah komisi kebenaran bersifat sementara, biasanya bekerja selama enam bulan hingga dua tahun, dan menyelesaikan tugas mereka dengan memberikan laporan; dan (4) komisi tersebut secara resmi dibentuk, disepakati dan diberi kekuasaan oleh negara (dan kadang-kadang juga oleh oposisi bersenjata sebagai bagian kesepakatan damai). Status resmi ini memberikan komisi kebenaran akses lebih luas pada sumber informasi resmi, keamanan lebih untuk menjalankan investigasi sensitif, dan kemungkinan lebih besar bahwa laporan dan sarannya akan mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah.

Sudah ada paling tidak dua puluh satu komisi kebenaran resmi yang dibentuk di seluruh dunia sejak tahun 1974, meskipun memiliki nama yang berbeda-beda.viii Ada “komisi orang hilang” di Argentina, Uganda dan Sri Lanka, “komisi kebenaran dan keadilan” di Haiti dan Ekuador, “komisi klarifikasi sejarah” di Guatemala, dan “komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Cili. Yang lainnya dibentuk di Jerman, El Salvador, Bolivia, Chad dan lain-lain. Sementara terdapat banyak persamaan antara badan-badan tersebut, mandat dan kuasa penyidikan spesifik mereka berbeda karena mencerminkan kebutuhan dan realitas politik masing-masing negara. Tabel 1 menampilkan kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut secara kronologis; masing-masing dideskripsikan di bab 4 dan 5.

Masing-masing dari kedua puluh satu komisi tersebut memenuhi definisi di atas, meskipun perlu dicatat bahwa beberapa badan tersebut tidak menganggap dirinya sebagai “komisi kebenaran” atau dianggap demikian oleh masyarakat – terutama bila dibandingkan penyidikan lebih lanjut yang jauh lebih serius dan lebih berhasil. Misalnya, sukar untuk menganggap dua penyidikan oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), yang terjadi sebelum transisi di Afrika Selatan dan membantu membangun momentum untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih besar di kemudian hari, sebagai contoh komisi kebenaran. Warga Afrika Selatan tidak menganggap kedua penyidikan tersebut sebagai komisi kebenaran. Di negara lain, misalnya Uruguay dan Zimbabwe, komisi-komisi dianggap terlalu sempit, lemah atau dikendalikan politik, atau terlalu singkat untuk memberikan dampak, untuk mendapatkan nama komisi kebenaran, dan di beberapa dari negara tersebut masih ada tuntutan untuk membentuk komisi kebenaran yang serius dan terpercaya.


(24)

Jika dipertimbangkan hanya dari persepsi masyarakat, tingkat dampak, atau keberhasilan menemukan kebenaran, beberapa dari kedua puluh satu komisi tersebut harus dihilangkan dari daftar. Namun, untuk keperluan buku ini, yaitu mencatat dan belajar dari berbagai model di masa lalu untuk memahami lebih baik dan memperbaiki usaha tersebut di masa depan, penyidikan-penyidikan yang lebih kecil, lemah atau dibentuk secara berlainan (seperti oleh ANC) tersebut perlu dicantumkan. Kedua penyidikan ANC itu bisa berperan sebagai contoh penting bagi sebuah kelompok oposisi bersenjata di masa depan yang memiliki keinginan serius untuk memenuhi norma hak asasi internasional dan menyidik pelanggaran yang dilakukannya, misalnya. Penyidikan yang terbatas atau problematik di Uruguay, Zimbabwe dan Uganda (1974) memberikan contoh baik mengenai bagaimana tidak membentuk komisi kebenaran. Dalam berbagai cara, kasus-kasus problematik ini menjelaskan lebih baik daripada komisi yang berhasil mengenai syarat minimal yang harus dipenuhi untuk berhasil.

Terdapat sejumlah sasaran yang diharapkan dapat dicapai badan-badan kebenaran tersebut – dari rekonsiliasi nasional hingga penyembuhan korban individual, dari menghentikan impunity hingga memberikan perlindungan untuk mencegah perulangan pelanggaran di masa depan – yang akan digambarkan dalam bab 3 dan lebih lanjut ditinjau dalam buku ini. Karena komisi kebenaran meliput banyak hal yang merupakan subjek pengadilan, banyak pengamat secara keliru membandingkan atau menyamakan komisi kebenaran dengan pengadilan, atau mencemaskan bahwa pembentukan komisi kebenaran akan menurunkan kemungkinan dilaksanakannya pengadilan pada hal-hal serupa. Namun komisi kebenaran tidak seharusnya disamakan dengan badan-badan peradilan, dan juga bukan pengganti pengadilan. Pada satu tingkat, komisi kebenaran jelas memiliki kekuatan yang tidak sebesar pengadilan. Mereka tidak bisa memenjarakan seseorang, tidak bisa memaksakan saran dan bahkan hampir semua tidak punya kekuatan untuk memaksa seseorang untuk datang dan menjawab pertanyaan. Hingga saat ini, komisi Afrika Selatan merupakan satu-satunya yang memberikan amnesti individual, dan dapat membujuk sejumlah pelaku untuk membeberkan secara terbuka pelanggaran mereka. Hampir semua komisi kebenaran tidak campur tangan atau menyamai tugas sistem peradilan. Namun meskipun memiliki kekuatan legal yang terbatas, mandat yang luas untuk berfokus pada pola-pola kejadian, termasuk sebab dan akibat kekerasan politik, memungkinkan komisi kebenaran untuk menyidik lebih jauh dan mendapatkan kesimpulan yang lebih lengkap daripada dimungkinkan oleh pengadilan individual. Keluasan dan fleksibilitas komisi kebenaran adalah kekuatannya. Sebagai contoh, komisi kebenaran biasanya dapat menggambarkan tanggung jawab negara dan institusi-institusinya dalam melaksanakan atau membiarkan kekerasan terjadi – tidak hanya militer dan polisi, namun juga badan peradilan itu sendiri. Pendekatan komisi kebenaran yang berpusat pada korban untuk mendapatkan ribuan kesaksian dan menerbitkan hasil temuannya dalam laporan resmi dan terbuka memberikan bagi para korban pengakuan oleh badan resmi negara bahwa klaim mereka benar dan bahwa kekejaman itu salah.

Lebih lagi, hampir semua komisi diwajibkan untuk memberikan catatan mereka kepada penuntut peradilan untuk tindakan legal bila dimungkinkan, kalau ditemukan bukti kejahatan kriminal. Usaha pencarian kebenaran pertama yang dikenal luas, Komisi Nasional untuk Orang Hilang di Argentina, secara umum dianggap sebagai langkah pertama menuju proses pengadilan, dan memang informasi yang didapatkan dari komisi ini sangat penting dalam pengadilan kemudian. Dalam kasus lain, komisi kebenaran bekerja


(25)

dalam konteks amnesti yang sudah ada. Atau, bila badan peradilan yang bias dan korup tidak memungkinkan pengadilan, komisi tersebut dianggap paling tidak dianggap sebagai langkah minimal menuju pertanggungjawaban, terutama bila komisi secara terbuka mengumumkan nama-nama mereka yang bertanggung-jawab untuk pelanggaran.

Selain keempat ciri di atas, kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut memiliki elemen serupa: semua dibentuk untuk menyidik peristiwa yang belum lama terjadi, biasanya pada saat transisi politik; semua menyidik represi bermotif politik yang digunakan untuk mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan dan melemahkan lawan politik; dan pada masing-masing kasus, pelanggaran terjadi secara luas, biasanya mempengaruhi ribuan orang. Hampir semua komisi tersebut dibentuk sebagai komponen utama transisi dari satu pemerintah ke pemerintah lain, atau dari perang saudara ke perdamaian. Apakah dan seberapa jauh mereka berhasil dalam peran ini masih bisa dibahas lebih lanjut, namun tujuan, waktu dan tugas komisi-komisi tersebut serupa dalam ciri-ciri tersebut.

Sebaliknya, terdapat jenis-jenis lain penyelidikan resmi terhadap pelanggaran hak asasi di masa lalu yang bisa disebut sebagai “komisi kebenaran sejarah”. Komisi seperti ini adalah penyelidikan yang didukung pemerintah masa kini terhadap pelanggaran yang dilakukan negara bertahun-tahun sebelumnya (dan berakhir bertahun-tahun sebelumnya juga). Penyidikan ini tidak dianggap sebagai bagian transisi politik, dan mungkin memang tidak berkaitan dengan kepemimpinan atau praktik politik masa kini, namun berfungsi sebagai klarifikasi kebenaran sejarah dan memberikan penghormatan kepada korban atau keluarga korban yang semula tidak dikenal. Peristiwa yang disidik oleh komisi tersebut biasanya bukanlah represi politis secara luas, namun praktik yang mempengaruhi kelompok etnik, rasial atau lainnya secara spesifik. Komisi kebenaran sejarah biasanya mencatat praktik yang tidak dikenal secara luas oleh mayoritas penduduk, sehingga laporannya dapat memberikan akibat yang serius meskipun kejadiannya sudah bertahun-tahun lewat.

Di Australia, misalnya, pemerintah meminta badan pengawas hak asasi manusia permanennya, Human Rights and Equal Opportunity Commission, untuk meninjau catatan pelanggaran negara terhadap penduduk negara tersebut. Penyidikannya selama setahun mencatat kebijakan negara untuk mengambil paksa anak-anak penduduk asli dari keluarganya dan menempatkannya dalam keluarga kulit putih untuk mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat mainstream Australia. Praktik ini berlanjut hingga awal dekade 1970-an. Dengan terbitnya laporan komisi ini, Bringing Them Home, pada tahun 1997, kisah ini menjadi skandal nasional dan menjadi isu utama dalam pemilihan umum, karena masyarakat Australia marah terhadap praktik yang semula tidak diketahuinya ini, sementara pemerintah menolak untuk meminta maaf secara resmi atas nama pemerintahan sebelumnya.ix Enam puluh ribu eksemplar laporan tersebut dibeli dalam tahun pertama terbitnya. Setiap tahun dirayakan “Hari Minta Maaf”, sebagaimana disarankan oleh komisi, dan “buku minta maaf” diterbitkan untuk ditandatangani masyarakat. Dalam waktu setahun, lebih dari 100 ribu warga Australia menandatangani buku-buku tersebut; tanda tangan mereka memenuhi ratusan buku.

Kanada juga tergerak untuk meninjau kembali kebijakan dan hubungannya dengan komunitas penduduk asli. Ketegangan yang meningkat antara penduduk asli dan negara Kanada mendorong dibentuknya komisi khusus untuk mempelajari kebijakan negara dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Penelitian selama lima tahun oleh komisi


(26)

tersebut mencakup tinjauan sejarah 500 tahun kebijakan terhadap penduduk asli, menyimpulkan bahwa kebijakan asimilasi, yang dimulai pada masa kolonial dan dilanjutkan negara Kanada selama 150 tahun, tidaklah benar.x Pemerintah merespon dengan rencana mendetail untuk penerapan saran komisi tersebut.xi

Dalam alur sejarah yang serupa, Sekretaris Energi Amerika Serikat, Hazel O’Leary, menunjuk Komisi Penasihat Eksperimen Radiasi pada Manusia pada tahun 1994 untuk meninjau eksperimen yang dilakukan pada pasien medis, tahanan dan komunitas tanpa sepengetahuan mereka di Amerika Serikat sejak pertengahan dekade 1940-an hingga pertengahan 1970-an. Laporan komisi ini memberikan “pandangan yang tanpa preseden terhadap lembar hitam sejarah Amerika,” menurut satu pengamat.xii

Dengan tujuan untuk memberikan ganti rugi kepada para korban, Kongres Amerika Serikat membentuk Komisi Relokasi dan Penahanan Warga pada Masa Perang, pada tahun 1982, untuk mempelajari kebijakan dan dampak dari tindakan menahan warga Jepang-Amerika selama Perang Dunia Kedua. Banyak saran laporan komisi ini telah diterapkan, termasuk permintaan maaf secara formal dari pemerintah dan undang-undang yang memberikan US$ 1,2 milyar sebagai kompensasi kepada para korban.xiii

Terdapat praktik lain oleh pemerintah Amerika Serikat yang setelah bertahun-tahun diberikan ganti rugi atau permintaan maaf, tanpa penyidikan formal oleh pemerintah. Sebagai contoh, bertahun-tahun setelah pers melaporkan penelitian rahasia mengenai sifilis yang dilakukan pada warga kulit hitam yang miskin di Tuskegee, Alabama, tanpa sepengetahuan mereka, antara tahun 1932 hingga 1970-an, Presiden Bill Clinton meminta maaf secara resmi pada tahun 1997. Eksperimen ini tercatat dengan baik oleh para penulis independen dan media, dan pemerintah sudah memberikan ganti rugi lebih dari US$ 9 juta kepada para korban dan keluarganya di luar jalur pengadilan, sehingga penyidikan pemerintah dianggap tidak perlu.xiv (Lihat Tabel 2 tentang daftar komisi kebenaran sejarah.)

Akhirnya, ada contoh-contoh lain penyidikan resmi atau setengah resmi terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang menjalankan perannya seperti komisi kebenaran. Ini semua dilakukan pada masa transisi politik dan berperan penting dalam kondisi politik yang bersangkutan, namun lingkup dan kekuasaannya terbatas, atau hanya merupakan pendahulu komisi kebenaran “penuh” (lihat tabel 3). Sebagai contoh, setelah mendapat tekanan dari keluarga korban dan pers, Leo Valladares, ketua Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia di Honduras dan ombudsman yang ditunjuk oleh pemerintah, secara independen menjalankan penyidikan terhadap 179 kasus penghilangan oleh angkatan bersenjata pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an. Valladares bekerja atas inisiatifnya sendiri, tanpa bantuan pemerintah, dan mendasarkan penyidikannya terutama pada laporan pers dan informasi publik lainnya. Ia tetap menyerukan pentingnya komisi kebenaran bahkan sesudah ia menerbitkan laporannya yang mendokumentasikan penghilangan tersebut pada tahun 1994.xv

Di Irlandia Utara, seorang “komisioner untuk para korban” ditunjuk oleh sekretaris negara Inggris untuk Irlandia Utara pada tahun 1997, dan diberi mandat untuk “mencari cara-cara yang mungkin untuk mengakui penderitaan yang dirasakan korban kekerasan yang timbul dari masalah selama 30 tahun terakhir”. Komisioner ini mewawancarai ratusan korban kekerasan, namun tidak melakukan analisis atau penyelidikan yang mendalam. Dalam laporannya, yang diterbitkan hanya beberapa minggu setelah


(27)

kesepakatan damai Jumat Agung 1998, komisi tersebut menyarankan perlunya komisi kebenaran di masa depan.xvi

Beberapa tahun sebelum pembantaian massal di Rwanda mencapai tingkat kategori genosida, kekerasan pada awal 1990-an menghasilkan kesepakatan untuk membentuk komisi penyidik kekejaman, sebagai bagian kesepakatan damai antara pemerintah dan oposisi bersenjata. Ketika pemerintah tidak mengambil langkah untuk membentuk komisi tersebut, kelompok hak asasi Rwanda mengundang empat organisasi hak asasi internasional, yakni dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis dan Burkina Faso, untuk melakukan penyidikan tersebut. Meskipun presiden mengumumkan sambutan-baiknya terhadap komisi non-pemerintah ini dan sejumlah menteri memberikan bantuan, namun tampak jelas bahwa presiden dan angkatan bersenjata tidak menyukai penyidikan ini. Bahkan, beberapa saksi mengalami serangan yang mungkin merupakan “peringatan” terhadap kerja sama mereka dengan komisi tersebut. Laporan komisi tersebut, yang diterbitkan pada tahun 1993, memberikan dampak terbesar pada pemerintahan Eropa, terutama Prancis dan Belgia, yang hingga saat itu memberikan dukungan aktif terhadap pemerintah Rwanda.xvii Namun laporan dan saran-sarannya tidak berhasil mencegah pecahnya kekerasan genosida yang timbul hanya setahun sesudahnya.

Sebuah penyidikan dan laporan mendalam seperti komisi kebenaran bisa juga menjadi bagian dalam penyidikan yudisial formal, meskipun hal ini jarang terjadi. Di Ethiopia, sebuah Kantor Penuntut Khusus berusaha untuk mencatat pola-pola pelanggaran luas pada masa rezim Mengistu, untuk mempersiapkan pengadilan lebih dari dua ribu tertuduh pelaku kekejaman, dan kemudian menerbitkan temuannya dalam sebuah laporan. Selama beberapa tahun kantor tersebut membuat sistem-komputer canggih dan puluhan staf untuk mengumpulkan nama dan detail yang memberatkan tuduhan dari catatan yang ditinggalkan rezim tersebut. Ia mengumpulkan informasi yang penting, namun rencana laporan kebenaran akhirnya dibatalkan. Kantor Penuntut Khusus tetap menggunakan hasil dokumentasi ini di pengadilan, dan menyatakan bahwa pola-pola kejadian ini merujuk pada kebijakan genosida pada masa Mengistu. Sementara itu, para penuntut tidak hanya menggunakan pengadilan untuk menghukum, namun juga untuk mencatat pengalaman para korban. Lebih dari lima ratus saksi dipanggil selama lima tahun pertama pengadilan dari sekitar 50 tertuduh; semua korban menceritakan kisah yang serupa, meskipun kesaksian tersebut tidak secara langsung memberatkan mereka yang sedang diadili, menurut para pengamat. Pengadilan ini masih belum berakhir; setelah mengundang 800-1.000 saksi korban, diperkirakan bahwa pembela akan mengundang saksi yang jumlahnya serupa.xviii Sementara itu, sekitar 200 tertuduh lain masih ada di tahanan sambil menunggu pengadilan. Usaha Ethiopia untuk menggabungkan dua sasaran: menceritakan kebenaran seluas-luasnya dan menuntut secara hukum ke dalam satu proses jelas memiliki masalah, dan mendapatkan kritikan dari pengamat internasional.

Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat pula sejumlah model menarik penyidikan internasional yang memiliki sifat resmi atau setengah resmi, dan menjalankan pula sebagian tugas yang biasanya dikerjakan komisi kebenaran. Sebagai contoh, Panel Internasional Tokoh untuk Penyidikan Genosida dan Peristiwa yang Berkaitan di Rwanda Tahun 1994 dibentuk oleh Organisasi Persatuan Afrika pada akhir tahun 1998, mulai bekerja pada bulan Januari 1999 dan menyelesaikan laporannya pada bulan Juni 2000. Penelitiannya difokuskan pada sejarah dan kondisi sekitar konflik di Rwanda yang menyebabkan genosida pada tahun 1994, dan dampak kekerasan yang timbul, dengan


(28)

mendasarkan kesimpulannya antara lain dari makalah yang ditulis oleh para ahli. Pemerintah Rwanda bekerja-sama dengan penyidik. Kemudian, pada tahun 1999, pemerintah Swedia membentuk Komisi Independen Internasional untuk Kosovo, yang diketuai hakim agung Afrika Selatan, Richard Goldstone, untuk menyelidiki penyebab, akibat dan opsi internasional untuk menyikapi konflik di Kosovo; komisi ini diminta untuk menerbitkan laporannya pada akhir tahun 2000.

Akhirnya, terdapat sejumlah penyidikan kejahatan perang, yang sering kali diistilahkan sebagai komisi penyidik internasional, komisi kejahatan perang, atau komisi pakar, yang juga harus dibedakan dari komisi kebenaran. Badan-badan demikian, seperti yang dibentuk untuk meneliti peristiwa di bekas Yugoslavia, Rwanda dan Timor Leste (yang juga sering kali memiliki nama yang panjang dan rumit), dibentuk oleh PBB untuk mengevaluasi bukti yang tersedia bagi kemungkinan pengadilan internasional. xix Komisi-komisi tersebut mengumpulkan bukti, dan kadang-kadang kesaksian dari para korban, dan kemudian memberikan laporan; jadi serupa dengan tugas komisi kebenaran. Namun badan-badan tersebut tidak disahkan oleh negara yang sedang diselidiki, dan mereka juga tidak diarahkan untuk mempelajari pola-pola keseluruhan, sebab dan akibat dari kekerasan, namun hanya menyelidiki bukti kejahatan dan pelanggaran hukum internasional. Dalam hampir semua kasus, komisi tersebut mendahului penunjukan tribunal internasional ad hoc, seperti di bekas Yugoslavia dan Rwanda.

Terdapat pula contoh penting proyek non-pemerintah yang mendokumentasikan pola-pola pelanggaran rezim yang sudah lewat, biasanya dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia, dan kadang-kadang dengan dukungan kelompok agama (Gereja). Meskipun memiliki batasan (terutama mengenai akses ke informasi pemerintah), proyek tidak resmi ini kadang kala memberikan hasil yang mengejutkan. Di Brasil, misalnya, sebuah tim penyidik bisa secara diam-diam memfotokopi semua laporan pengadilan yang berkaitan dengan keluhan para tahanan politik yang mengalami siksaan – sejumlah satu juta lembar. Tanpa banyak pemberitaan, dengan dukungan Uskup Agung São Paulo dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, tim itu menggunakan bahan tersebut untuk menulis Brasil: Nunca Maís, sebuah laporan yang menganalisis praktik penyiksaan yang dilakukan rezim militer selama jangka waktu 15 tahun.xx Di Uruguay, organisasi non-pemerintah Servicio Paz y Justicia (SERPAJ) menerbitkan Uruguay: Nunca Más, sebuah laporan yang jauh lebih mendalam daripada hasil penyelidikan resmi sebelumnya yang disetujui parlemen, yang bekerja di bawah mandat yang amat terbatas dan dukungan politis yang kecil.xxi Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala melakukan proyek besar untuk mendokumentasikan puluhan tahun pelanggaran dan pembantaian sebelum komisi kebenaran resmi mulai bertugas, dengan harapan melengkapi dan memperkuat hasil kerja komisi tersebut.xxii Di Rusia, organisasi non-pemerintah Memorial dibentuk pada tahun 1987 untuk mendorong pertanggungjawaban dan penemuan fakta mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu. Staf organisasi ini berhasil mendapatkan arsip yang lengkap mengenai pelanggaran yang dilakukan negara hingga tahun 1917, dan menerbitkan sejumlah buku dengan nama para korban dan analisis terhadap kebijakan represif negara.xxiii

Terdapat banyak faktor dan sejumlah partisipan yang membantu membentuk kemungkinan dan batasan untuk transisi sebuah negara, yang pada gilirannya akan mempengaruhi realitas pasca-transisi. Ini mencakup kekuatan kelompok atau individu yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran dan kemampuan mereka mengendalikan pilihan kebijakan transisional; seberapa vokal dan terorganisirnya masyarakat sipil sebuah


(29)

negara, termasuk kelompok hak asasi dan kelompok korban; dan kepentingan, peran dan keterlibatan komunitas internasional. Selain itu, pilihan transisional akan dipengaruhi oleh jenis dan intensitas kekerasan atau represi yang sudah terjadi dan sifat politis transisi tersebut. Dan akhirnya, terdapat aspek-aspek budaya politik dan sosial – suatu perangkat pilihan, kecenderungan, kepercayaan dan harapan yang sukar didefinisikan – yang mempengaruhi apa dan bagaimana menghadapi masa lalu.

Namun jumlah korban tampaknya tidak mempengaruhi seberapa jauh masa lalu akan berpengaruh pada masa depan, demikian juga tuntutan untuk pertanggungjawaban. Di beberapa negara, sejumlah kecil korban kekerasan pemerintah menimbulkan dampak politik serius dan respon emosional dari masyarakat. Pada tahun 1997, Spanyol mengalami skandal politis berkaitan dengan kematian 27 aktivis pada awal dekade 1980-an. Suriname, di pantai utara Amerika Selatan, masih mengalami dampak politis dari pembunuhan 15 tokoh aktivis politik pada tahun 1982, dan hingga tahun 1998 pemerintah masih mempertimbangkan pembentukan komisi untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Di Uruguay, puluhan ribu anggota masyarakat berdemonstrasi pada tahun 1996, 1997 dan 1998 untuk menuntut pertanggungjawaban penuh terhadap hilangnya 135 sampai 190 orang dua puluh tahun sebelumnya. Bahkan dengan jumlah korban yang relatif kecil, tuntutan untuk kebenaran dan keadilan bisa sama besarnya dengan di negara-negara yang mengalami pembantaian berskala jauh lebih besar.

Beberapa pengamat, setelah melihat berbagai komisi yang telah ada beserta laporan yang dihasilkannya, tidak menyepakati penggunaan nama generik komisi kebenaran bagi badan-badan tersebut. “Mereka seharusnya disebut ‘komisi fakta dan fiksi’ atau ‘komisi sebagian kebenaran’,” demikian seorang pengamat setengah bercanda. Beberapa orang, termasuk mantan staf badan-badan tersebut, lebih memilih istilah generik komisi penyidikan, yang akan menghilangkan tekanan untuk memberikan laporan yang lengkap dan komprehensif. Selain itu, karena komisi Afrika Selatan telah mendapatkan perhatian luas internasional, beberapa orang secara keliru menyamakan komisi kebenaran dengan pemberian amnesti. Misalnya, pada tahun 1995, seorang wakil khusus PBB untuk Burundi mendapatkan tentangan keras terhadap sarannya untuk membentuk komisi kebenaran untuk menyelidiki kekerasan yang baru terjadi di negara Afrika Tengah tersebut, karena semua orang berpikir bahwa itu akan berarti pemberian amnesti bagi semua pelaku kejahatan. Namun ketika ia menyarankan pembentukan komisi penyidikan, idenya segera mendapatkan dukungan, dan sebuah Komisi Penyidikan Internasional untuk menyelidiki kekerasan dibentuk beberapa bulan kemudian.xxiv

Namun secara umum, nama komisi kebenaran sudah diterima, dan sekarang secara umum sudah dipahami sebagai: penyelidikan resmi terhadap pola-pola pelanggaran di masa lalu. Komisi-komisi yang belakangan cenderung untuk menggunakan nama tersebut; di Cili, El Salvador, Haiti dan Afrika Selatan, nama komisi di masing-masing negara itu merupakan variasi dari komisi kebenaran. Di Guatemala, para penganjur hak asasi manusia pada awalnya kecewa karena komisi penyidikan mereka tidak disebut sebagai komisi kebenaran, namun “komisi klarifikasi sejarah” yang dianggap lebih lemah.xxv Di pihak lain, penggunaan nama komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara generik – karena pengaruh komisi Afrika Selatan – tidak tepat dan harus dihindari, karena banyak dari komisi kebenaran tidak menjadikan rekonsiliasi sebagai sasaran utama kerja mereka, dan juga tidak mengasumsikan bahwa rekonsiliasi akan terjadi sebagai akibat kerja mereka.


(1)

Selatan (ANC 1) dari kamp penahanan yang disiksa dan dilukai

Jerman N/A 0 3 tahun 40 tahun 27 Sekitar 20

El Salvador 22.000 hilang, terbunuh, dilukai atau diculik

32 8 bulan 12 tahun 3 15-4522

Afrika Selatan (ANC 2) 29 hilang; 19 “pengaduan” dan 11 “terdakwa” membawa kasus mereka yaitu: penyiksaan di kamp tahanan

29 hilang, 19 pengaduan, 11

terdakwa

8 bulan 11,5 tahun 3 7

Sri Lanka 27.000 0 3 tahun 5,5 tahun 3 per-komisi 5-20 perkomisi

Haiti 8600 0 10 bulan 3 tahun 7 50-100

Burundi N/A N/A 10 bulan 2 tahun 5 N/A

Afrika Selatan

21.000 Semua kasus dikolaborasikan untuk program perbaikan; ribuan dari aplikasi amnesty diselidiki, seperti juga beberapa investigasi khusus lainnya

2-5 tahun23 34 tahun 17 300

Ecuador N/A N/A 1 tahun 17 tahun 7 N/A

Guatemala 42.275 korban, termasuk mereka yang terbunuh, hilang, disiksa dan diperkosa24

100 1-5 tahun 34 tahun 3 Sampai 200

22

Termasuk sekitar duapuluh staf sementara yang disewa untuk satu sampai tiga bulan pemrosesan data dan pemasukan data.

23

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan bekerja untuk satu dan satu setengah tahun, kemudian dihentikan selama delapan belas bulan sedangkan Komite Amnesti menyelesaikan kerjanya; mereka akan berkumpul kembali untuk memasukkan laporan akhir pada tahun 2000.

24

Menggunakan sumber utama dan sampingan, Komisi Guatemala yang diperkirakan sampai 200.000 orang terbunuh atau hilang selama lebih tiga puluh tahun konflik bersenjata.


(2)

Nigeria Masih dalam proses

Masih dalam proses

Diperkirakan 1 tahun

33 tahun 6 N/A

Sierra Leone

Masih dalam proses

Masih dalam proses

Diperkirakan 1 sampai 1,5

tahun.


(3)

$5-35 juta Guatemala $35 juta Afrika Selatan $1-5 juta Cili El salvador $500k- 1 juta Uganda (1986) <$500k Chad ANC (1 dan 2) Tabel 8

Mana yang Paling Baik?

ANGGARAN

JUMLAH STAF

MASA TUGAS KOMISI

MANDAT: PERIODE WAKTU YANG DIINVESTIGASI

200 101-200

Afrika Selatan Guatemala

$51-100 Argentina Cili Haiti 11-50 El Salvador Uganda (1986) 1-10 >3 tahun Uganda (1986) 2-3 tahun Afrika Selatan Sri Lanka 1-2 tahun Guatemala Sierra Leone Nigeria 9 bulan- 1 tahun Argentina Cili Haiti

< 9 tahun El Salvador 30 tahun Afrika Selatan Guatemala Nigeria 15-29 tahun Cili 10-14 tahun El Salvador 5-9 tahun Argentina Sierra Leone <5 tahun Haiti Komisi harus diberi tenggat waktu, bahkan jika diperpanjang Harus ditentukan sesuai dengan kondisi Komentar


(4)

Afrika Selatan Sierra Leone

Sri Lanka El Salvador Uganda (1986)

Argentina Cili Haiti Guatemala MANDAT: KEKUATAN INVESTIGASI

(SUBPOENA, PENCARIAN DAN PENYITAAN, PERLINDUNGAN SAKSI

MANDAT: KEKUATAN LAPORAN

(NAMA PELAKU, MEMBUAT REKOMENDASI PERINTAH)

MANDAT: KELUASAN INVESTIGASI

MANDAT: PIHAK-PIHAK YANG HARUS DIINVESTIGASI

= Ideal di banyak situasi Sangat Kuat:

El Salvador Sierra Leone

Cukup kuat: Sri Lanka

Kurang: Cili Argentina

Terbatas: Guatemala Haiti

Sangat luas: El Salvador Chad Guatemala Nigeria

Beberapa kekerasan tidak dimasukkan

Sri Lanka Banyak yang tidak

dimasukkan: Chili

Fokus sempit: Argentina

Konflik

kompleks yang melibatkan tiga atau lebih pihak: Afrika Selatan

Konflik dua pihak: El Salvador Guatemala Cili

Konflik satu pihak: Argentina Chad Haiti

ANC 1 dan 2

Harus ditentukan sesuai dengan kondsi Komentar

Besar/Berkuasa/Luas Kecil/Lemah /Terbatas

Kuat: Afrika Selatan


(5)

Profil ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.

Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM

Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Mustafsirah Marcoes, M.A.;

Sekretaris: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Ir. Augustinus Rumansara, M.Sc., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., L.LM, Dra. Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, Suraiya Kamaruzzaman, Christina Joseph (alm.), Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Ifdhal Kasim, S.H., Agung Putri, E. Rini Pratsnawati, Ery Seda.

Pelaksana Harian:

Direktur Eksekutif: Ifdhal Kasim, S.H.

Staf: Agung Putri, Atnike Nova Sigiro, Elisabeth Maria Sagala, Ester Rini Pratsnawati, Adiani Hapsari Widowati, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Maria Ririhena, Triana Dyah, Yosephine Dian Indraswari, Yussy Agastuty Purnami, Abdul Haris Semendawai, Agung Yudhawiranata, Amiruddin al Rahab, Edisius Riyadi, Khumaedi, Otto Adi Yulianto, Paijo, Sentot Setyosiswanto, Supriyadi Widodo Eddyono.

Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email: elsam@nusa.or.id, atau advokasi@indosat.net.id; Website: www.elsam.or.id


(6)

Back Cover Text

Dalam Kebenaran Tak Terbahasakan, Priscilla Hayner menghadirkan sebuah eksplorasi yang mengagumkan, eksplorasi yang definitif tentang komisi-komisi kebenaran di pelbagai belahan dunia ini. Melalui buku ini, ia juga memaparkan betapa perihnya kebencian, betapa tak adilnya dunia yang diwariskan dari kebencian itu, kebencian yang hendak dipecahkan oleh komisi-komisi tersebut. Ia mengurai-bongkar dan melakukan refleksi terhadap dua puluh satu komisi kebenaran yang dikenal luas di pelbagai belahan dunia, dengan memberikan penekanan khusus pada Afrika Selatan, El Salvador, Argentina, Cili, dan Guatemala. Melengkapi dirinya dengan ratusan wawancara di lusinan negara, buku ini menghadirkan suatu pandangan kritis terhadap keberadaan pelbagai komisi kebenaran tersebut. Dengan itu pula, penulisnya menemukan bahwa para korban ternyata terjebak antara pilihan kebutuhan untuk mengingat dan kebutuhan untuk melupakan. Dalam tatanan dunia pasca-Perang Dingin, demokrasi masa depan dan perdamaian barangkali bersandar pada perdebatan ini. Bagi semua pihak yang peduli akan nasib demokrasi, keadilan, kebebasan dan peradaban global, buku Kebenaran Tak Terbahasakan ini patut menjadi salah satu bacaan utama Anda.

***

Priscilla B. Hayner adalah Direktur Program pada International Center for Transitional Justice di New York City.