Apa Itu Kebenaran? 20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

Bab 6 Apa Itu Kebenaran? Komisi kebenaran didedahi harapan untuk memenuhi arahan yang diberikan kepadanya dalam mandat tertulis, atau terms of reference, sebagai dasar pendiriannya. Mandat beberapa komisi di masa lalu secara eksplisit menjelaskan pelanggaran yang harus dicatat dan diselidiki, namun yang lain hanya memberikan arahan umum mengenai jenis pelanggaran yang harus diselidiki dan kasus mana saja yang harus diliput dalam penyelidikannya. Arahan-arahan ini, yang biasanya disusun melalui keputusan presiden, legislasi nasional atau sebagai bagian kesepakatan damai, bisa menggambarkan kekuatan komisi, membatasi atau memperkuat jangkauan penyelidikannya, dan menentukan lingkup waktu, subjek dan geografi penyelidikan komisi tersebut, dan mendefinisikan kebenaran yang akan didokumentasikan. Bila garis besar kebenaran sudah ditentukan secara amat jelas dan spesifik, beberapa komisi menemukan keterbatasannya untuk melihat hanya sebagian pelanggaran yang sudah terjadi. Sebagai contoh, beberapa komisi kebenaran hanya bertugas untuk meneliti penghilangan, seperti di Argentina, Uruguay dan Sri Lanka; namun pembatasan eksplisit demikian berisiko mengabaikan sebagian besar kebenaran. Komisi Uruguay tidak berhasil menemukan sebagian besar pelanggaran hak asasi yang terjadi di bawah rezim militer karena mandat yang terbatas; penahanan ilegal dan penyiksaan, yang merupakan pelanggaran dalam jumlah terbesar, diabaikan. Di Cili, komisi meneliti penghilangan, eksekusi, penyiksaan yang berakibat pada kematian, penculikan politis dan usaha penghilangan nyawa oleh penduduk sipil untuk tujuan politis. i Namun mandatnya tidak memungkinkan komisi menyelidiki penyiksaan yang tidak berakibat pada kematian. Hal ini dikritik oleh pengamat hak asasi internasional dan membuat jumlah korban relatif rendah, dengan demikian tidak realistik. Bagi komisi-komisi yang memiliki mandat yang lebih fleksibel, suatu gambaran kebenaran yang lebih luas bisa muncul. Penyusun pokok-pokok arahan di El Salvador, di bawah tekanan pembicaraan damai bersama PBB, mempertimbangkan kasus-kasus spesifik mana saja yang akan diteliti, namun akhirnya membiarkan mandatnya relatif terbuka, menyatakan bahwa komisi harus membuat laporan “tindakan kekerasan yang serius … yang akibatnya pada masyarakat mendatangkan tuntutan bahwa masyarakat wajib mengetahuinya”. ii Setelah membaca redaksi ini, komisi memutuskan untuk mengumpulkan kesaksian dari ribuan korban, menyimpulkan pola kekerasan keseluruhan, dan melaporkan 30 kasus secara mendalam, yang semuanya jauh lebih mendalam daripada yang semula diinginkan para pemberi mandat. Kasus-kasus yang dipilih untuk diselidiki secara mendalam diinginkan sebagai perwakilan korban, pelaku, dan jenis pelanggaran yang lazim dalam 12 tahun perang saudara. Bahasa yang menguraikan tentang komisi El Salvador merupakan model yang baik: sebagai aturan dasar, arahan harus cukup luas dan lentur untuk memungkinkan penyelidikan pada semua bentuk pelanggaran hak asasi, memberikan keputusan kepada komisi mengenai kasus-kasus spesifik mana yang diinvestigasi dan dilaporkan. Selain pembatasan secara eksplisit dalam mandat komisi, anggota komisi juga mungkin menerapkan batasan mengenai apa yang diselidiki atau dilaporkan komisi. Karena batasan waktu, sumber daya dan staf, atau informasi yang tidak cukup atau tidak andal, atau karena tekanan politis, anggota komisi bisa menghindari topik-topik tertentu atau memutuskan untuk menghilangkan informasi dari laporan akhir. Di Afrika Selatan, komisi diarahkan untuk menyelidiki pelanggaran kejam terhadap hak asasi, yang didefinisikan sebagai “pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan perlakuan buruk yang parah”, iii namun tidak diarahkan untuk mencakup semua praktik pelanggaran di bawah apartheid. Komisi ini terutama dikritik karena tidak melakukan penyelidikan pada praktik “pemindahan paksa”, kebijakan apartheid yang memindahkan paksa jutaan warga kulit hitam ke tanah-tanah gersang. Hal ini mungkin dijustifikasi karena beban kerja komisi yang amat berat dan karena kebijakan ini diinstitusikan melalui undang-undang dan didokumentasikan dengan baik. Namun hal ini mencegah banyak warga Afrika Selatan melihat pengalaman pribadi mereka tergambar dalam kerja komisi. Beberapa pengamat mengkritik keras kegagalan komisi untuk memasukkan praktik apartheid jenis ini dan praktik-praktik apartheid lainnya ke dalam laporannya. Cendekiawan Uganda, Mahmood Mamdani, di Universitas Cape Town, selama masa kerja komisi itu merupakan salah satu kritikus yang terkuat. Ia menyatakan bahwa komisi itu menciptakan “mitos dasar Afrika Selatan baru”. Karena, komis ini mengajukan “kebenaran yang dikompromikan” yang “melupakan sebagian besar korban dari catatan sejarah” dengan mengabaikan praktik apartheid yang penting seperti pemindahan paksa. Tuduhan ini meskipun provokatif tidak disepakati sebagian besar warga Afrika Selatan dan dianggap oleh sebagian besar pengamat sebagai melebih-lebihkan. iv Komisi kebenaran mencatat bahwa sudah ada Komisi Pertanahan yang secara konstitusional dibentuk untuk membahas masalah-masalah demikian, dan sudah membahas pemindahan paksa, secara umum, dalam laporannya. Namun, karena perhatian besar yang didapatkan komisi, dan ingatan yang kurang mengenai apartheid pada para pemuda Afrika Selatan, mungkin baik bagi sejarah untuk paling tidak satu kali mengadakan dengar-kesaksian publik yang disiarkan melalui TV mengenai praktik apartheid yang legal namun melanggar hak asasi, bahkan seandainya sudah ada catatan yang jelas. Interpretasi komisi mengenai “kebenaran” juga akan ditentukan oleh personalitas dan prioritas personal kepemimpinannya. Sebagai contoh, di Sri Lanka, presiden membentuk tiga komisi yang terpisah secara geografis untuk menyelidiki penghilangan selama tujuh tahun sebelumnya. Komisi-komisi tersebut dibentuk pada hari yang sama dan mendapat mandat yang sama, namun masing-masing bekerja secara independen di bagian negara yang ditunjuk, dan masing-masing menjalankan mandatnya secara agak berbeda. Para pengamat hak asasi yang mengamati kerja komisi-komisi itu dan hadir dalam dengar pendapat komisi menggambarkan bahwa satu komisi jelas berorientasi pada identifikasi pelaku dan mengarahkan penuntutan; yang lain berfokus pada kerugian finansial pada keluarga korban dan ganti ruginya; dan yang ketiga secara lebih akademis bertujuan pada rekonsiliasi dan psikologi penyembuhan nasional. v Satu dari tiga komisi itu pada awalnya mengadakan dengar-kesaksian publik, sementara yang lainnya melakukannya secara privat akhirnya dengar-kesaksian publik dihentikan setelah ada ancaman bagi para pemberi kesaksian. Dan meskipun mandat komisi ini adalah untuk menyelidiki penghilangan biasanya penculikan dan mungkin pembunuhan, namun jenazah tidak ditemukan, salah satu dari tiga komisi memutuskan untuk juga memasukkan korban-korban yang langsung dibunuh dalam daftar orang hilang – menafsirkan istilah itu lebih dekat ke “dihilangkan dari dunia ini” – meskipun sebenarnya secara jelas tidak diberikan oleh mandatnya, menurut para pengamat. Beberapa komisi kebenaran sudah menyelidiki pelanggaran baik oleh kekuatan negara dan oposisi bersenjata. Setelah perang saudara, menyelidiki kedua pihak amat penting bagi legitimasi komisi itu terhadap masyarakat, dan penting bagi persatuan dan rekonsiliasi nasional. Di El Salvador, Guatemala dan Afrika Selatan, pelanggaran oleh oposisi bersenjata merupakan bagian penting dalam penyelidikan komisi, meskipun jumlahnya secara proporsional amatlah kecil. Di pihak lain, di Cili, kelompok kiri bersenjata amat kecil dan pelanggaran yang dilakukannya dianggap tidak penting bila dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan agen negara. Di sana, banyak pengamat hak asasi menolak keputusan agar komisi kebenaran melaporkan pembunuhan baik oleh negara maupun oleh oposisi bersenjata. Karena, fokus ganda ini melemahkan kemarahan yang timbul dari pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan yang dilakukan oleh negara. Sebuah isu yang menarik adalah sejauh mana laporan komisi kebenaran mencantumkan analisis atau komentar mengenai peran aktor internasional dalam kekerasan politik di sebuah negara. Dalam semua kasus yang dibahas di sini, terdapat aktor internasional – biasanya pemerintah asing – yang membantu mendanai, mempersenjatai, melatih atau membantu dengan cara lain salah satu atau kedua pihak dalam konflik. Bila kekuatan pemerintah domestik sudah melakukan pelanggaran hak asasi yang parah dan berkelanjutan, peran pemerintah asing dalam mendukung kekejaman demikian perlu diselidiki atau paling tidak diakui secara formal dalam laporan kebenaran, terutama bila pelanggaran diketahui dengan baik pada saat dukungan diberikan, sebagaimana biasanya terjadi. Hampir semua komisi kebenaran belum melakukan penyelidikan terhadap peran internasional secara mendalam; beberapa di antaranya sama sekali tidak menyertakan persoalan peran internasional itu dalam laporan akhirnya. Komisi kebenaran di Chad mungkin merupakan yang termaju di bidang ini. Meskipun tidak melakukan investigasi mendalam, laporan komisi menyebutkan secara jelas jumlah dana eksternal yang diberikan kepada rezim, juga sejauh mana pelatihan diberikan kepada badan intelijen yang bertanggung-jawab pada pelanggaran yang paling parah – fakta yang sebelumnya tidak diketahui dengan baik oleh publik maupun komunitas hak asasi internasional: Amerika Serikat berada di baris teratas negara-negara yang secara aktif menyediakan DDS Direktorat Dokumentasi dan Keamanan, badan intelijen bantuan keuangan, material dan teknis. Amerika merangkul DDS di bawah sayapnya dalam bulan-bulan pertama keberadaannya. Ia melatih, mendukung dan memberikan kontribusi efektif bagi pertumbuhannya, hingga kejatuhan diktator. … Penasihat Amerika dari kedutaan besar merupakan tamu teratur direktur DDS. … Selain itu, Prancis, Mesir, Irak dan Zaire semua memberikan kontribusi … dana, pelatihan dan peralatan, atau berbagi informasi. Kerja sama keamanan antara badan intelijen negara-negara yang disebutkan di atas dan DDS sangatlah intens dan berlanjut hingga jatuhnya tiran. vi Meskipun terdapat catatan panjang dukungan internasional bagi kedua pihak dalam perang saudara El Salvador, terutama bantuan keuangan yang ekstensif dari pemerintah Amerika Serikat pada militer El Salvador, laporan komisi kebenaran tidak berkomentar mengenai peran aktor internasional. Ia hanya memberikan penggambaran bahwa pemerintah Amerika Serikat “mentolerir, dan tampaknya tidak memperhatikan secara resmi” sekelompok orang buangan El Salvador di Miami, Florida yang “secara langsung memberi dana dan secara tidak langsung menjalankan milisi-milisi bersenjata tertentu” di El Salvador, terutama antara tahun 1979-1983. Laporan itu menyatakan “akan sangat berguna bila penyelidik lain yang memiliki sumber daya dan waktu yang lebih panjang mengungkapkan kisah tragis ini agar orang-orang yang terkait dengan aksi teroris di negara lain tidak lagi ditolerir di Amerika Seriakt”. vii Komisioner Thomas Buergenthal menyatakan bahwa bila ada orang asing yang ditemukan secara langsung terlibat dalam pelanggaran, komisi akan menyatakan demikian. Tujuan mandat komisi ini bukanlah untuk mengungkapkan sejauh mana pihak internasional terlibat, demikian lanjut Buergenthal; bila komisi berusaha menyelidiki keterlibatan asing dalam perang itu – yang mungkin mencakup Kuba, Nikaragua, dan Uni Soviet, selain Amerika Serikat – ia tidak akan bisa menyelesaikan tugas utamanya: untuk menjelaskan kondisi dan sejauh mana terjadinya kekerasan politik di negara itu. viii Namun, penerbitan laporan komisi kebenaran paling tidak mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk meninjau kembali kebijakannya dahulu mengenai El Salvador dan membuka ribuan dokumen yang semula dirahasiakan. Laporan komisi kebenaran Cili berkomentar mengenai reaksi komunitas internasional terhadap rezim militer, termasuk pembekuan hubungan diplomatik oleh beberapa negara dan usaha organisasi antar-pemerintah dan LSM internasional untuk menentang pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Laporan itu juga secara singkat menggambarkan hubungan ekonomi dan politik Amerika Serikat yang berkelanjutan dengan rezim itu, yang tetap normal pada tahun-tahun represi yang paling parah. ix Komisi-komisi kebenaran baru-baru ini biasanya mengkaji isu ini secara lebih jujur dan langsung dan dibandingkan komisi El Salvador, memang memiliki sumber daya dan waktu yang lebih luas untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam. Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala menunjukkan konteks Perang Dingin, termasuk doktrin keamanan nasional yang amat dipegang Amerika Serikat, sebagai salah satu faktor di belakang perang saudara yang brutal di negara itu. Dalam memberikan laporan kepada masyarakat, ketua komisi Christian Tomuschat menyatakan bahwa “hingga pertengahan dekade 1980-an, pemerintah dan perusahaan Amerika Serikat memberikan tekanan untuk mempertahankan struktur sosio-ekonomi negara ini yang kuno dan tidak adil. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat, melalui lembaga-lembaga resminya, termasuk CIA, memberikan dukungan langsung dan tidak langsung pada beberapa operasi ilegal negara”. x Dalam kunjungannya beberapa waktu setelah laporan diumumkan, Presiden Bill Clinton mengakui nilai penting kerja komisi itu, dan menyatakan bahwa Amerika Serikat “keliru” dalam mendukung kekuatan militer yang terlibat dalam represi yang kejam dan luas, dan mencatat bahwa “Amerika Serikat tidak boleh mengulang kesalahan itu”. xi Bahkan dengan mandat yang lentur dan keinginan untuk mengumpulkan informasi secara adil mengenai semua pola pelanggaran, sebuah komisi bisa gagal mencatat pelanggaran-pelanggaran tertentu yang terjadi secara luas. Kemungkinan pelanggaran yang paling kurang muncul dalam laporan adalah yang dialami perempuan, terutama pelecehan seksual dan perkosaan. Banyak komisi mendapatkan jauh lebih sedikit kesaksian mengenai kejahatan seksual daripada jumlah atau proporsi yang diperkirakan. Di Afrika Selatan, misalnya, sangat sedikit kasus kejahatan seksual yang dibawa ke komisi, dibandingkan praktik luas perkosaan yang diketahui telah terjadi oleh pasukan keamanan dan kekerasan horisontal yang terjadi di wilayah KwaZulu Natal. xii Komisi ini sadar bahwa jumlah laporan perkosaan yang ia terima tidak secara akurat mewakili kenyataan yang ada; xiii demikian pula disadari komisi-komisi lainnya. Kurangnya laporan ini disebabkan berbagai faktor. Dalam banyak kebudayaan, perkosaan memiliki stigma sosial yang besar dan malu bagi para korbannya, dan perempuan dapat dipahami untuk merasa tidak nyaman memberikan kesaksian mengenai kejahatan seksual di muka umum, bahkan secara privat, bila detailnya kemudian diterbitkan. Terdapat pula tendensi umum di kalangan perempuan untuk merendahkan pengalaman mereka, dan malah justru memberikan penekanan pada kisah laki-laki di keluarga mereka. xiv Komisi-komisi bisa secara tidak sadar mendorong gejala ini: beberapa pelanggaran yang dialami perempuan dilaporkan sebagai “pengalaman sekunder”, menurut Beth Goldblatt, peneliti Pusat Studi Hukum Terapan di Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, yang mempelajari bagaimana komisi merespon kesaksian dari perempuan. “Perempuan yang berbicara pada komisi sering kali digambarkan sebagai ibu, saudara atau istri”, kata Goldblatt. xv Laporan kebenaran Guatemala juga menjelaskan bagaimana dalam hampir semua kesaksian yang diterimanya, “perkosaaan digambarkan sebagai aspek sekunder atau ‘tambahan’ terhadap pelanggaran lainnya”. xvi Hampir semua komisi kebenaran tidak proaktif dalam mencari, mendorong dan memfasilitasi kesaksian perempuan. Banyak anggota komisi mendapatkan jabatannya tanpa memahami berbagai faktor yang menjadi penghalang untuk mencatat pengalaman perempuan, sehingga usaha pendidikan oleh pihak luar untuk komisi tersebut bisa berharga. Di Afrika Selatan, lembaga advokasi korban non-pemerintah dan ahli hak perempuan berpartisipasi dalam lokakarya dengan anggota komisi kebenaran, mendorong kebijakan yang inklusif dan mendukung perempuan. Sebagian karena hasil masukan ini, komisi Afrika Selatan melaksanakan beberapa dengar-kesaksian khusus untuk perempuan, dengan panel anggota komisi yang semuanya perempuan, dan dalam satu kasus, mengizinkan saksi untuk bersaksi dari balik layar, jauh dari jangkauan kamera TV. Meskipun terdapat usaha dan kesadaran mengenai isu ini, pada akhirnya komisi mengakui dalam laporannya bahwa “definisi pelanggaran parah terhadap hak asasi yang digunakan komisi ini berakibat pada kebutaan pada jenis-jenis pelanggaran yang utamanya dialami perempuan”. xvii Sejumlah strategi bisa digunakan untuk mendorong perempuan untuk datang dengan cerita mereka, namun hanya komisi kebenaran yang paling belakangan saja yang mulai mendekati masalah ini dengan cara yang serius. Kebijakan komisi kebenaran di Haiti mengarahkannya untuk memberikan perhatian khusus pada “kejahatan yang berkaitan dengan seksualitas terhadap korban perempuan yang dilakukan untuk tujuan politis”, yang kemudian menimbulkan perhatian yang terfokus pada masalah ini sepanjang masa kerjanya dan satu sub-bab dalam laporannya diberikan untuk kejahatan seksual. xviii Pendekatan ini, yaitu memberikan perhatian kepada masalah ini dalam mandat, perlu diperhatikan secara serius di tempat lainnya. Komisi kebenaran juga harus menyediakan petugas perempuan untuk mendengarkan kesaksian dari korban perempuan, untuk memberikan kenyamanan kepada para perempuan dalam melaporkan pelanggaran seksual, dan harus menawarkan kerahasiaan untuk para korban yang tidak mau namanya dituliskan. Di beberapa negara, perempuan lebih mau melaporkan kejahatan seksual kepada orang asing, karena dianggap tidak akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka, yang bisa menjadi alasan untuk memasukkan orang asing dalam tim pengumpulan kesaksian. Namun meskipun terdapat cara-cara khusus ini, sebuah komisi tidak bisa mengasumsikan bahwa pernyataan dan kesaksian yang ia terima pada kejahatan-kejahatan tertentu sudah mencerminkan jumlah total yang terjadi. Bila perempuan memilih untuk tetap diam, praktik perkosaan dan kejahatan seksual lainnya harus tetap diakui dalam laporan akhir, bila dipercaya bahwa praktik tersebut tersebar luas. Jika komisi kebenaran tidak berhati-hati dalam menyikapi masalah ini, kemungkinannya adalah hal ini akan tetap tertutup dan tersembunyi dari buku sejarah – juga tidak akan ada kebijakan, pendidikan atau pemberian ganti rugi kepada para korban berkaitan dengan hal ini, atau juga peningkatan kesadaran publik atau mengurangi pelanggaran seksual di masa depan. Komisi kebenaran belakangan ini jauh lebih memperhatikan isu ini. Beberapa komisi, meskipun menghadapi kesulitan dalam mengumpulkan kesaksian dari perempuan, bisa membahas subjek ini secara efektif. Laporan Guatemala memuat sebuah bab yang panjang dan menyentak yang menggambarkan – dengan kutipan yang mengejutkan dari saksi korban – praktik perkosaan massal dan praktik kejahatan seksual yang kejam terhadap perempuan. Berdasarkan bukti sebelumnya, komisi menyimpulkan bahwa “ini bukanlah tindakan yang terisolasi atau sporadis, namun merupakan bagian rencana strategis” yang secara khusus mengarah pada perempuan bangsa Maya. xix Komisi kebenaran di masa lalu kadang-kadang mendapatkan informasi mengenai kejahatan seksual terhadap perempuan, namun tidak melaporkannya, karena menganggap bahwa perkosaan bukan bagian mandat mereka untuk melaporkan kejahatan bermotif politis. Dalam laporannya mengenai sebuah kasus penting dari tahun 1980, komisi kebenaran El Salvador tidak mencantumkan dalam laporannya bahwa tiga biarawati Amerika Serikat dan satu pekerja awam diperkosa oleh tentara sebelum mereka dibunuh. Meskipun komisi menyimpulkan bahwa perkosaan memang terjadi, ia hanya melaporkan bahwa para perempuan itu diculik dan dibunuh. Seorang anggota komisi menyatakan bahwa karena tidak ada bukti bahwa perintah untuk memperkosa datang dari atas, dan diasumsikan bahwa tindakan tersebut merupakan inisiatif para tentara itu sendiri, ini tidak dianggap sebagai tindakan bermotif politik, maka tidak dimasukkan ke dalam laporan. xx Mungkin logika ini tidak akan dipakai lagi sekarang. Sejak tahun 1993, ketika laporan komisi El Salvador diterbitkan, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya jelas diakui sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu. xxi Selain itu, semakin banyak penghargaan terhadap pentingnya menggambarkan secara mendetail pengalaman perempuan dalam catatan sejarah pelanggaran yang terjadi. Pertanyaan apakah suatu kejahatan seksual juga adalah kejahatan yang bermotif politik, sehingga merupakan lingkup kasus komisi kebenaran, tampaknya cukup membingungkan bahkan bagi komisi-komisi yang muncul belakangan. Seorang komisioner yang bertanggung-jawab untuk Komite Amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan menyatakan bahwa mereka langsung menolak memberikan amnesti bagi satu kasus perkosaan tanpa melihat lebih lanjut, karena dalam logika mereka, tidak mungkin kejahatan demikian bermotif politik. Mereka menunjukkan kasus ini untuk memberi contoh seberapa jauh bentuk kejahatan yang dimintakan amnesti. “Bagaimana seorang mengatakan bahwa ia memperkosa orang lain karena ia berasal dari partai politik lain? Ini tidak mungkin”, demikian alasan mereka, merujuk pada kekerasan antara Kongres Nasional Afrika dan Partai Kemerdekaan Inkatha. xxii Namun bila anggota komisi amnesti melihat pada kesaksian mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia yang diterima dari korban-korban, pasti mereka akan menemukan banyak laporan perkosaan, yang mungkin mirip sekali dengan aplikasi amnesti tersebut. Selain mandat yang diberikan kepada komisi, laporannya juga akan mencerminkan metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi. Banyak isu metodologi mendasar, dan pengalaman komisi di masa lalu dalam membahas hal ini, dibahas dalam bab 14. Faktor yang paling mendasar dalam mempengaruhi jenis kebenaran yang akan dicatat komisi itu adalah sistem manajemen informasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengorganisir dan mengevaluasi sejumlah besar informasi yang ada. Pada tahun-tahun belakangan, komisi kebenaran yang besar menggunakan sistem database yang canggih untuk mencatat dan menganalisis detail ribuan atau puluhan ribu kesaksian dari korban dan saksi. Yang lain, termasuk komisi di wilayah-wilayah selatan Amerika Selatan dan komisi di Sri Lanka, tidak menggunakan sistem komputer yang canggih, namun menghitung dengan tangan atau menggunakan program komputer sederhana untuk melacak informasi sederhana yang terkumpul dalam kesaksian. Banyak yang menyatakan bahwa sistem database yang kuat merupakan unsur penting dalam kerja komisi kebenaran. Betul bahwa banyak jenis analisis tidak bisa dilakukan tanpa penggunaan program demikian, terutama bila jumlah kasusnya ribuan. Namun, fokus yang terlalu mengarah pada pembuatan database dalam pengumpulan informasi justru bisa membatasi produk kebenaran akhir. Beberapa orang yang terlibat erat dalam komisi kebenaran mulai memberikan kritikan pada sistem manajemen informasi yang standar dalam komisi kebenaran modern, yang berdasarkan pada tabulasi mendetail tindakan-tindakan spesifik melalui database, dan mulai mempertanyakan apakah pendekatan ini memungkinkan komisi untuk menjawab beberapa pertanyaan yang ingin mereka tanyakan. Janis Grobbelaar, seorang manajer informasi di komisi Afrika Selatan, adalah satu dari sedikit sosiolog yang menjadi staf dalam komisi kebenaran. Ketika ia masuk komisi itu pada bulan April 1996, ketika komisi baru memulai kerjanya, salah satu pertanyaan pertamanya adalah mengenai metode penelitian komisi tersebut, dan ternyata komisi itu belum memikirkan masalah ini secara mendalam. Menurutnya, pendekatan berdasarkan database mencerminkan perspektif “positivisme logis akontekstual, yang berfokus pada tindakan, nama pelaku dan nama korban, namun tidak menanyakan mengapa dan bagaimana”. Ia melanjutkan, “Untuk kepentingan praktis, ini memang yang paling tepat. Anggota komisi bisa sepakat dengan ke-bebasnilai-an dan positivisme. Namun saya lebih tertarik dengan variabel-variabel kualitatif: melihat narasi dalam cerita para korban, menemukan mengapa. Apakah kita tahu mengapa semua ini terjadi? Kita hanya tertarik untuk menunjukkan apa yang terjadi”. xxiii Konteks yang lebih luas mengenai kebenaran-kebenaran tertentu bisa saja tidak muncul dari fokus mendalam pada tindakan-tindakan tertentu. Grobbelaar melakukan surveinya secara informal untuk memahami dinamika tersebut, mewawancarai banyak pewawancara kesaksian yang mengalami kontak langsung dengan para korban. “Siapa yang mendatangi komisi?” ia bertanya. “Ini merupakan pertanyaan penting. Jawabannya adalah: orang miskin, baik material maupun psikologis. Pengalaman dan ketertarikan mereka untuk berkesaksian berkaitan dengan kekurangan material mereka”. Dan Grobbelaar menyimpulkan bahwa hampir semua korban berusaha menyampaikan kepada komisi bahwa “‘Rekonsiliasi harus memiliki kaitan material. Beri saya sesuatu agar saya bisa bertahan.’ Bagaimana orang mengalami apartheid di negara ini? Sebagai masyarakat yang miskin, hampir tidak memiliki kesempatan untuk mengubahnya,” demikian menurut Grobbelaar. Jadi fokus komisi pada tindakan, korban dan pelaku tidak berhasil mencerminkan realitas yang lebih besar: bagaimana apartheid dialami, dan dari mana orang berusaha menyembuhkan luka itu? Daniel Rothenberg, seorang antropolog Amerika Serikat yang menjadi staf komisi kebenaran Guatemala pada bulan-bulan pertama, mulai mempertanyakan beberapa dari pertanyaan di atas. Ia melihat bahwa praktis tidak ada ilmuwan sosial lain yang menjadi staf, dan bagaimana sistem manajemen informasi dan metodologi penelitian lapangan dibuat oleh orang yang, selain para konsultan database, tidak memiliki pengalaman dalam penelitian lapangan atau proyek wawancara dan pengumpulan data berskala besar. “Kita baru sadar seberapa jauh ilmu sosial menawarkan bantuan untuk penyelidikan ini ketika ia tidak diikutsertakan dalam kerja komisi kebenaran”, demikian menurutnya. Model yang digunakan komisi memiliki keunggulannya, menurut Rothenberg, namun ada yang perlu dipertanyakan mengenai memutuskan metodologi sebelum memutuskan apa yang ingin didapatkan. Pertanyaan mendasar yang seharusnya membentuk sifat komisi kebenaran – kebenaran apa, dan untuk siapa – mungkin tidak cukup dipahami oleh komisi Guatemala pada awalnya. Mereka yang membuat pertanyaan metodologis melakukannya dengan pola pikir legal, yang membuat pertanyaan berdasarkan tindakan pelanggaran hak asasi spesifik. Seharusnya, menurut Rothenberg, komisi kebenaran harus menentukan sasarannya terlebih dahulu, baru mendatangkan para ahli untuk merancang database yang akan menentukan hasil akhir. xxiv Pertanyaan serupa ditanyakan pula di tempat lain. Jean Claude Jean, direktur jenderal Institut Kebudayaan Karl Leveque di Port-au-Prince, Haiti, dan mantan direktur koalisi hak asasi manusia, menjelaskan bagaimana bayangannya mengenai komisi kebenaran sangat berbeda dari apa yang akhirnya dibentuk. Ia ikut serta dalam usaha kelompok-kelompok LSM untuk mempersiapkan arahan bagi rancangan komisi kebenaran Haiti, namun setelah komisi itu dibentuk dan bekerja selama beberapa bulan, ia menerbitkan makalah yang mengkritik kerjanya, terutama pendekatan metodologisnya. “Kita perlu membuat metodologi dulu, untuk memahami apa yang akan dilakukan dengan informasi yang didapatkan,” menurutnya. “Hanya membuat laporan teknis mengenai kasus-kasus tidaklah berguna, dan juga tidak dipahami oleh masyarakat. Untuk mendapatkan kebenaran, melawan impunity, mempertahankan ingatan dan mendapatkan keadilan, syarat utama adalah bahwa rakyat berpartisipasi dalam penyelidikan dan proses kerja komisi.” Lebih dari informasi spesifik mengenai kasus-kasus, publik ingin memahami bagaimana cara kerja represi, bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda bekerja, dan siapa dalang represi itu. “Komisi kebenaran harus menjadi milik publik. Saya ingin masyarakat melihat proses dan menemukan posisi mereka dalam proses itu. Saya ingin komisi ini digunakan untuk mendorong perdebatan publik.” xxv Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu mengarah pada tujuan yang diinginkan untuk dicapai komisi itu. Tujuan sebuah komisi kebenaran bisa lebih dari satu: menggapai para korban, mencatat dan mengkonfirmasi kasus untuk program ganti rugi, mencapai kesimpulan tegas dan tidak dapat dibantah mengenai kasus dan pola pelanggaran yang kontroversial, menggerakkan negara ke proses penyembuhan nasional, memberi kontribusi pada keadilan, menulis laporan yang dapat diakses publik, menggariskan reformasi, atau memberikan suara bagi para korban. Masing-masing tujuan itu menggariskan pendekatan yang berbeda dalam proses kerja. Namun karena semua proses yang berakar pada pendataan kesaksian secara mendetail dan penggunaan database canggih menuntut energi yang terfokus, pendekatan demikian cenderung mendefinisikan proses dalam komisi kebenaran itu sendiri, dan melalui lembaran koding data yang digunakan, definisi kebenaran yang akan dikumpulkan. Tidaklah jelas benar bagaimana metode pengumpulan data lainnya, namun perlu dipertimbangkan baik-baik bagi komisi kebenaran di masa depan, alih-alih mengambil begitu saja model yang digunakan oleh komisi serupa sebelumnya. Apakah komisi kebenaran bisa mendokumentasikan kebenaran tanpa mengumpulkan ribuan kesaksian yang mendetail? Apakah bisa sebuah komisi kebenaran berfokus pada dampak sosiologis, fisik dan psikologis dari alat-alat represi yang berada di luar “pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, mungkin melalui sejumlah studi kasus mengenai dampak represi secara luas? Beberapa komisi mencoba melakukan ini melalui bab-bab deskripsi mengenai efek kekerasan, seperti di Guatemala; di masa depan sebaiknya diupayakan lebih banyak model kebenaran deskriptif ini. Mandat Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala memerintahkan penyelidikan pada “faktor dan kondisi” kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk faktor “internal and eksternal”. xxvi Staf tim riset dibentuk untuk membahas sebab konflik bersenjata, strategi dan mekanisme kekerasan, dan dampak kekerasan. Ini mencakup analisis arus pengungsian, dampak ekonomi konflik bersenjata, dan akibat lain dari perang selama 30 tahun. Demikian juga, beberapa penyelidik di kantor lapangan melaksanakan wawancara mendalam dengan para pemimpin komunitas dan lainnya yang tidak memiliki kasus spesifik untuk dilaporkan, namun bisa memberikan informasi kontekstual mendetail mengenai bagaimana komunitas mereka dipengaruhi kekerasan, atau perkembangan dan dinamika oposisi bersenjata di wilayah itu selama bertahun-tahun. Direktur salah satu kantor lapangan komisi itu menggambarkan bagaimana ia merekam pernyataan selama enam sampai delapan jam dari satu tokoh komunitas untuk menggambarkan sejarah dan perkembangan konflik di wilayahnya. Peneliti itu mencatat seluruh kesaksian di komputernya. Selain itu, dari kantor pusat di ibu kota, komisi membuat daftar “saksi kunci” yang diundang untuk memberikan kesaksian bukan mengenai kasus spesifik, namun mengenai konteks perang dan kekerasan itu. Ini mencakup mantan presiden, perwira tinggi, pemimpin gereja, pemimpin komunitas Maya dan lain-lain. Tidak semua pihak tersebut menerima undangan itu dan memberikan kesaksian, dan tidak semua yang datang menjawab semua pertanyaan. Namun banyak yang memberikan informasi kontekstual. Sebuah usaha pencarian kebenaran lain di Guatemala, REMHI Recovery of Historical Memory Project, yang dilaksanakan Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala sebelum komisi kebenaran resmi mulai bekerja, memberikan pendekatan lain tentang pengumpulan informasi mengenai kekejaman di masa lalu. Format wawancara standar yang digunakan proyek ini memiliki unsur kualitatif – bukan sekadar kuantitatif atau faktual – yang menanyakan lebih dari sekadar tindakan kekerasan, namun juga berfokus pada konteks dan akibat peristiwa tersebut, dan dirancang agar mendukung si saksi secara emosional dan psikologis. Selain mengumpulkan fakta mengenai pelanggaran hak asasi yang spesifik, pewawancara juga meminta saksi untuk menggambarkan korban, termasuk sifat-sifatnya Apakah ia ayah yang baik? Apakah ia ceria?; untuk menggambarkan bagaimana peristiwa tersebut berpengaruh pada saksi atau komunitas secara keseluruhan, dan juga berbicara tentang bagaimana peristiwa itu terjadi, dan apa yang akan dilakukan saksi atau komunitasnya sekarang. “Jelas bahwa kompleksitas dan kedalaman apa yang terjadi jauh melebihi pelanggaran hak individual”, menurut Marcia Mersky, anggota staf senior di proyek itu. Ia menunjukkan catatan bahwa sering kali penghancuran simbol religius atau kultural, atau pemaksaan partisipasi seluruh komunitas dalam mutilasi jenazah anggota komunitas, misalnya, merupakan hal yang paling menyakitkan dan destruktif. Hal seperti itu tidak akan muncul dalam metode tradisional pencarian fakta. Untuk memperlancar arus wawancara, setiap sesi direkam, dan banyak yang ditranskrip, yang memungkinkan kutipan panjang dari korban untuk dimasukkan dalam laporan REMHI. “Ide utamanya adalah membuat orang-orang berbicara,” menurut Mersky. xxvii Dengan bergantung pada anggota komunitas untuk mencatat kesaksian, setelah dilatih di kantor nasional, proyek REMHI jauh lebih terfokus pada proses dan dampak pengumpulan kesaksian daripada pembuatan laporan akhir. xxviii Pertanyaan mengenai jenis informasi yang harus dikumpulkan sebuah komisi bisa memiliki beban politik dan emosional yang amat besar. Komisi Argentina secara sadar tidak meminta para saksi menggambarkan karakteristik fisik orang-orang hilang untuk mengidentifikasi sisa-sisa jenazah, suatu hal yang kemudian disesalkan di waktu berikutnya setelah kerangka yang tidak teridentifikasi digali kembali. Anggota komisi menyatakan bahwa mereka menolak meminta informasi tersebut, suatu cerminan posisi politis dan emosional banyak organisasi hak asasi manusia dan keluarga korban, yang juga terpantul ke dalam diri para staf komisi. Posisi keluarga kadang-kadang amat tegas: orang yang hilang itu diambil dalam keadaan hidup, dan selayaknya dikembalikan dalam keadaan hidup pula. “Hal ini dapat dijelaskan dan dijustifikasi,” menurut satu anggota komisi, ketika ditanya mengapa komisi tidak meminta data fisik. “Ini merupakan argumen para Madres kelompok aktivis ibu-ibu yang anaknya dihilangkan: ‘Mereka mengambil anak kami hidup-hidup dan kami minta mereka kembali hidup, kami tidak akan mengakui apa pun yang menganggap bahwa anak kami sudah mati.’” xxix Akibatnya, komisi terpaksa menganggap bahwa orang yang hilang masih dianggap hidup. Terdapat satu konsekuensi yang mengherankan dari posisi ini. Dalam daftar yang berisi 8.960 orang hilang yang ditulis sebagai lampiran laporan komisi, usia tiap korban yang dicatat bukan usia waktu penghilangan, namun usianya pada tahun 1984, tahun ketika laporan komisi itu diterbitkan – yang kini dianggap tidak mungkin. Tidaklah mungkin bagi komisi yang masa kerjanya pendek untuk mencatat secara mendetail tentang cakupan dan akibat pelanggaran yang luas yang terjadi selama bertahun-tahun, untuk juga menyelidiki semua kasus yang dihadapkan. Namun, ia bisa memberikan kebenaran luas mengenai pola-pola luas kejadian tersebut, dan menunjukkan bahwa memang ada kekejaman dan siapa yang bertanggung-jawab. Jika komisi berhati-hati dan kreatif, ia bisa mencapai lebih dari sekadar memaparkan fakta-fakta pelanggaran. Komisi juga bisa memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana rakyat dan negara secara keseluruhan dipengaruhi, dan faktor-faktor apa saja yang memberikan kontribusi pada kekerasan. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix

Bab 7 Kebenaran versus Keadilan: