Pendahuluan 20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

Bab 1 Pendahuluan

“Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?” Demikian saya pernah bertanya kepada seorang pegawai pemerintahan Rwanda pada akhir 1995, hanya satu tahun setelah genosida di negeri itu menyebabkan kematian lebih dari 500.000 orang. Ia telah kehilangan tujuh belas anggota keluarga dekatnya selama tiga setengah bulan aksi pembunuhan. Kebetulan saja ia sedang tidak negeri itu ketika tragedi itu terjadi, dan karena itu hanya ia satu-satunya yang tertinggal dari seluruh keluarganya. Ketika ia menggambarkan kejadian itu, ia mengungkapkan dengan perasaan pasrah yang mendalam, “Seiring perjalanan waktu setiap hari, kita mampu melupakan lebih.” Maka saya pun bertanya, “Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?” Ia ragu. “Kami harus mengingat apa yang telah terjadi supaya mencegahnya dari keterulangannya,” demikian ia menjawab dengan pelan. “Tetapi kami harus melupakan perasaan, emosi, yang menyertainya. Hanya dengan melupakanlah kita mampu berjalan terus.” Saya duduk dengan sang pegawai tersebut ketika kami melakukan kunjungan bersama sekelompok pengunjung internasional ke tempat peringatan pembantaian massal, di mana tulang belulang dan pakaian-pakaian mereka yang sudah compang- camping tapi belum hancur bersama daging mereka dihamparkan di lantai sebuah gereja. Tatkala saya mengamati tempat ini dan tempat-tempat lainnya di hari-hari berikutnya, dan mencoba mencerap sepenuhnya horor yang telah dialami sang pegawai ini atau juga oleh yang lainnya, saya pun menyadari bahwa tak ada jawaban lain lagi atas pertanyaan saya di atas tadi. Kita harus mengingat, tetapi kita juga kadang harus begitu menginginkan tindakan melupakan. Saya mendapatkan sensasi yang sama pada beberapa bulan kemudian, ketika berbicara dengan seorang buruh pertanian di pedalaman El Salvador. Sebuah komisi kebenaran yang dibentuk oleh PBB, tiga tahun sebelumnya, telah menyelidiki pelbagai pelanggaran selama perang saudara dua belas tahun di negeri itu. Dan saya mengunjungi desanya, di sebuah daerah yang dikenal luas sebagai tempat yang secara politis telah mengalami kerusakan oleh peperangan. Saya bertanya kepadanya apakah kerja komisi kebenaran yang telah dibentuk PBB itu sampai ke sana, dan apa dampak yang telah ditimbulkannya bagi mereka. Ketika saya menanyakan tentang perang, ia menggambarkan aksi-aksi pembunuhan yang ia lihat dilakukan oleh tangan-tangan para tentara: bagaimana leher ayahnya digorok, bagaimana seorang tetangga yang sedang hamil dibunuh secara brutal. Apakah ia telah berbicara kepada komisi kebenaran? Demikian saya bertanya. Apakah ia telah memberikan kesaksian? Tidak, ia belum melakukannya. “Sangat susah untuk mengingat hal ini, sangat pedih untuk mengingat,” katanya. Dan kita bisa merasakan hal itu ketika ia mengungkapkan kisahnya. “Oh, bagaimana mereka membunuh para gerilyawan,” katanya. “Saya tak suka mengingat semua hal ini. Apa baiknya bagi kami kalau pergi ke komisi kebenaran? Saya akan kehilangan sehari kerja saya, dan tak satu hal pun akan berubah.” Ia berhenti sejenak. “Mengingat itu mendatangkan kepedihan. Namun sangat penting memperjuangkan tegaknya hukum.” Mengingat itu tidak mudah, namun melupakan juga tidak mungkin. Ada pelbagai macam taktik bertahan hidup secara emosional dan psikologis bagi mereka yang telah mengalami kekerasan brutal. Sementara beberapa korban, semisal pria Salvador ini, berkeinginan untuk melupakan, korban-korban lain yang saya temui dan saya ajak bicara dengan mantap menegaskan bahwa hanya dengan mengingat sajalah mereka bisa mengalami pemulihan. Hanya dengan mengingat, mengisahkan cerita mereka, dan mempelajari tiap rincian sampai sekecil-kecilnya tentang apa yang telah terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab atas semua tragedi masa lampau itu, mereka baru bisa meninggalkan masa lampau di belakang mereka. Di Afrika Selatan, berkali-kali saya mendengar para korban-yang-bertahan-hidup survivor mengatakan bahwa mereka bisa memaafkan para pelaku pelanggaran itu hanya jika para pelaku itu mengakui kebenaran secara menyeluruh dan utuh. Hampir tak terpahami bahwa mendengarkan hal-hal rincian yang bahkan paling memilukan dari tindakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap seseorang yang paling dikasihi akan mendatangkan kedamaian. Di Afrika Selatan, banyak survivor yang mampu mendengarkan kisah-kisah ini melalui acara pengakuan di hadapan publik public hearing dari orang-orang yang mencari amnesti atas kejahatan- kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Satu syarat bagi penerimaan amnesti adalah adanya penyingkapan atau pengungkapan yang sepenuh-penuhnya secara rinci atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Termasuk juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara langsung oleh para korban atau anggota keluarga yang bertahan hidup. Di wilayah pinggiran kota Port Elizabeth, bagian pantai selatan Afrika Selatan dan di sebuah tempat yang merupakan pusat kegiatan anti-apartheid yang militan pada 1980-an, saya berbicara dengan Elizabeth Hashe, seorang wanita kulit hitam yang sudah berusia tua, yang suaminya adalah seorang aktivis dan yang hilang tiga belas tahun sebelumnya bersama dua orang rekannya. Bertentangan dengan yang kebanyakan terjadi di Amerika Latin dan di mana pun juga, “penghilangan” aktivis politik penculikan dan yang berakhir dengan pembunuhan, dan pembuangan seseorang tanpa jejak merupakan sesuatu yang tak umum di Afrika Selatan, dan karenanya fakta bahwa ketiga orang tersebut hilang telah menjadi perhatian besar masyarakat di sana. Ada penyelidikan resmi ketika mereka hilang, dan polisi dengan yakin sekali mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu di mana orang-orang itu berada. Hanya dengan kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan-lah nasib mereka akhirnya terungkap. Saya berbicara dengan Nyonya Hashe pada saat istirahat minum teh di tengah-tengah acara melelahkan selama dua minggu pengakuan-di-hadapan-publik, setelah mendengarkan selama empat hari pengakuan seorang polisi yang sangat detail tentang bagaimana mereka menculik dan membunuh suaminya dan kedua orang rekannya itu, memanggang tubuh mereka selama enam jam hingga mereka menjadi abu, dan membuang sisanya ke Sungai Ikan Fish River. Apa yang Nyonya Hashe pikirkan atas apa yang didengarnya itu? Demikian saya bertanya. Apa artinya hal itu baginya? “Sekurang-kurangnya sekarang saya mengetahui sepenggal dari kisah tersebut. Lebih baik mengetahui, mengetahui bagaimana mereka dibunuh,” kata Nyonya Hashe. Monica Godolozi, satu lagi dari tiga janda yang ditinggal mati oleh suami mereka, tidak ikhlas memberikan maaf. Seperti kebanyakan para audiens di ruang dengar- kesaksian yang penuh sesak dan sangat brisik itu, ia begitu yakin bahwa para polisi itu tidaklah menceritakan kebenaran secara utuh. Mereka sebenarnya masih menutup-nutupi fakta soal penyiksaan yang terjadi atau mereka lakukan sebelum ketiga korban itu dibunuh. Ketika para polisi itu menyangkal telah melakukan penyiksaan dan kekerasan, para audiens pun menyoraki mereka dengan teriakan panjang dan keras; banyak di antara ratusan orang yang hadir di ruangan itu kemungkinan besar telah menjadi atau pernah menjadi korban polisi tersebut. Nyonya Godolozi mengatkan kepada saya, “Saya tak akan memaafkan mereka. Tak ada satu hal pun yang bisa mereka lakukan lagi agar saya bisa memaafkan mereka. Kecuali, jika menceritakan kebenaran, lalu bolehlah. Siapa pun yang menceritakan kebenaran, akan saya maafkan dia. Tetapi tidak untuk orang yang menceritakan kebohongan.” Nyonya Hashe tidak sepakat. “Bukankah kita menginginkan kedamaian bagi Afrika Selatan? Bagaimana kita menemukan kedamaian jika kita tidak memaafkan? Suami saya telah memperjuangkan perdamaian untuk seluruh Afrika Selatan. Bagaimana kau bisa membenarkan sebuah kesalahan dengan sebuah kesalahan lain lagi?” Satu tahun sebelumnya, Nyonya Hashe kelihatan begitu pedih dan perih ketika ia memberikan kesaksian di hadapan komisi pada salah satu dari acara dengar-kesaksian-publiknya yang pertama. Berkat belajar dari apa yang telah terjadi pada suaminya – atau paling kurang dari apa yang dikisahkan oleh orang yang membunuhnya, di mana sisa tubuhnya dibuang, dan banyak rincian lainnya lagi tentang bagaimana ia mati – membuatnya berubah; tetapi bagi Nyonya Godolozi, hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah diterima. Bertentangan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, banyak rakyat Afrika Selatan masih menuntut keadilan dan penghukuman yang tegas bagi para pelaku kejahatan di masa lalu. Di mana keadilan tidak mungkin, kebutuhan minimal untuk memaafkan, paling ditekankan, akan diberikan untuk mendapatkan kebenaran yang sepenuhnya, sejujurnya, dan tak tertutupi oleh apa pun juga. Para janda Afrika Selatan itu, sang petani Salvador, dan pegawai pemerintahan Rwanda, semuanya mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh korban- korban individual dan oleh seluruh bangsa setelah suatu periode represi politik yang brutal. Saya telah pergi ke Afrika Selatan, El Salvador, dan Rwanda, sebagaimana juga saya telah melakukan berbagai perjalanan ke sejumlah negeri, untuk memahami bagaimana sebuah negeri dan rakyatnya memulihkan diri dari suatu masa yang sarat dengan kekejaman yang meluas. Secara khusus, saya tertarik dengan dampak dari pencarian kebenaran resmi, di mana semua kekejaman masa lalu didokumentasikan dan dipublikasikan, dan diselidiki oleh sebuah komisi khusus, seperti yang pernah dilakukan di El Salvador dan Afrika Selatan. Saya mendengar suara-suara yang serupa di mana- mana, kisah-kisah kebrutalan yang memedihkan, perih, perjuangan, dan bertahan hidup. Rincian penindasan memang berbeda-beda, sebagaimana juga tergantung pada respon individual dan nasional negara yang berbeda-beda. Namun saya segera melihat apa yang bisa dibayangkan oleh seseorang: bahwa penindasan meluas semacam itu telah meninggalkan suatu warisan kekuasaan. Kerusakan timbul melampaui kepedihan dan kehilangan yang segera terlihat. Di mana ada penyiksaan, di sana ada korban berjalan, korban terluka. Di mana ada pembunuhan, atau pembantaian massal, di sana selalu ada saksi atas pembantaian brutal dan semena-mena itu, dan ada para anggota keluarga menjadi begitu takut dan tenggelam dalam kesedihan mendalam. Di mana ada orang dihilangkan, diculik oleh pemerintah tanpa meninggalkan jejak, di sana selalu ada orang tercinta yang selalu menantikan berita. Di mana ada tahun-tahun kepedihan tak terbicarakan dan keheningan yang dipaksakan, di sana selalu ada ketakutan yang menyebar luas, ketakutan yang melemahkan; dan ketika penindasan berakhir, selalu ada kebutuhan untuk perlahan belajar mempercayai pemerintah, polisi, tentara, dan untuk memperoleh kepercayaan diri dalam kebebasan bebicara dan secara terbuka mengungkapkan kepedihan. Dunia ini telah digerakkan oleh perubahan politik dalam tahun-tahun belakangan ini, perubahan yang ditandai oleh pergantian rezim kejam dan represif dengan pemerintahan demokratik atau semi-demokratik. Dari perang saudara dan represi di Amerika Tengah hingga ke rezim diktator di Amerika Selatan; dari berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan hingga ke konflik kekerasan tanpa akhir di Afrika Tengah; dari penyingkiran pemerintahan komunisme di Eropa Timur hingga ke pelbagai transisi politik dan perubahan politik yang cepat di Asia, pemerintahan-pemerintahan baru telah menyapu bersih rezim-rezim lama dan merayakan kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Kebanyakan perubahan ini terjadi setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan akhir yang cepat dari Perang Dingin, yang telah menyingkirkan dorongan untuk menggalang dukungan internasional terhadap rezim-rezim yang korup dan menyalahgunakan kekuasaannya. Ketika suatu masa pemerintahan otoritarian atau perang saudara berakhir, sebuah negara dan rakyatnya berdiri di persimpangan jalan. Apa yang mesti dilakukan terhadap masa lalu yang dipenuhi kisah tentang para korban, pelaku, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang menghantui, dan tiadanya pengakuan resmi dari negara? Apakah masa lalu ini harus dibongkar kembali, dilestarikan, diakui atau dimintakan maaf? Bagaimana sebuah bangsa yang bermusuhan dipersatukan kembali, pihak-pihak yang bermusuhan dirukunkan kembali, dalam konteks sejarah yang penuh kekerasan dan bahkan terasa begitu getir dan perih, yang menambah perih dan pedihnya luka? Apa yang harus dilakukan dengan ratusan atau ribuan pelaku yang tetap saja berjalan melenggang dengan bebasnya? Dan bagaimana sebuah pemerintahan yang baru mencegah kekejaman serupa dari pengulangannya di masa depan? Di satu pihak para survivor secara individual berjuang membangun kembali kehidupan yang rapuh, mengurangi perihnya kenangan yang membakar yaitu kenangan akan penyiksaan dan penderitaan di masa lalu atau kenangan akan pembantaian yang mereka saksikan dan alami. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai satu keseluruhan harus menemukan sebuah jalan untuk bergerak terus, mencipta kembali ruang yang dapat ditinggali, ruang kedamaian nasional, membangun rekonsiliasi antara para pihak yang bermusuhan, dan mengamankan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Beberapa orang berpendapat bahwa cara terbaik untuk berjalan ke depan adalah dengan menguburkan masa lalu. Karena, menggali kembali hal-hal yang mengerikan di masa lalu dan menunjukkan kesalahan hanya akan membawa kepedihan dan akan membelah-belah suatu bangsa atau negeri secara lebih parah. Namun, bisakah suatu masyakarat membangun masa depan demokrasi di atas fondasi sejarah yang gelap, disangkal atau dilupakan sama sekali? Pada tahun-tahun belakangan, tampak jelas setiap negeri yang bangkit dari sejarah kekelaman masa lalunya mau tidak mau menghadapi pertanyaan ini. Di beberapa negeri, hal ini telah menjadi bahan perdebatan selama negosiasi damai, di mana “masa lalu” sering kali menjadi isu mata-agenda pembicaraan yang pertama dan paling mengundang perdebatan. Di mana pun, pemerintahan yang baru telah menghadapi isu tersebut, dengan pertanggungjawaban untuk kejahatan masa lalu sering kali merupakan satu dari isu yang paling penting bagi pemerintahan yang baru, khususnya ketika ribuan korban atau survivor melakukan aksi penuntutan. Negeri-negeri yang dibahas dalam buku ini telah keluar dari rezim represif atau kediktatoran yang menyebar di berbagai belahan dunia, dan keluar dari masa-masa itu melalui berbagai bentuk transisi yang berbeda-beda. Perubahan bisa terjadi pada akhir perang saudara, melalui kejatuhan rezim militer, atau melalui pemberontakan rakyat menentang rezim represif yang dikombinasikan dengan angin perubahan dalam dukungan internasional. Namun dalam masing-masing dari pelbagai bentuk transisi politik yang berbeda-beda ini, pertanyaan dan kesulitan-kesulitan yang persis sama tetap saja mengemuka. Buku ini menggali pelbagai kesulitan yang bersembunyi di balik pertanyaan- pertanyaan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memahami dengan lebih baik tentang bagaimana negara dan individu menyikapi kekejaman berat di masa lalu, dan secara khusus untuk memahami peran yang dimainkan oleh komisi-komisi kebenaran. Nama komisi kebenaran itu sendiri merupakan nama yang diberikan untuk badan resmi yang didirikan untuk melakukan penyelidikan dan membuat laporan tentang pola-pola pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan telah berhasil membawa masalah ini menjadi pusat perhatian internasional, khususnya melalui acara dengar-pendapat umum atau kesaksian publik baik dari pihak korban maupun pelaku yang sama-sama menggambarkan rincian kekejaman dari kejahatan di masa lalu. Kendatipun hanya sedikit komisi kebenaran serupa yang muncul sebelum komisi kebenaran Afrika Selatan, namun kebanyakan komisi kebenaran tersebut tidak melakukan acara kesaksian publik, dan tak satu pun yang menyertakan tawaran atau tuntutan akan adanya amnesti secara individual mungkin karena sarat problem etis. Hal seperti itu tampak sukses di Afrika Selatan. Tawaran dan peluang seperti itu memungkinkan para pelaku kejahatan mau mengakui kekejaman mereka di masa lalu di hadapan kamera televisi yang tayangannya disaksikan oleh seantero publik Afrika Selatan. Meskipun sejumlah negara “demokrasi baru” juga sedang mempertimbangkan untuk mendirikan komisi kebenaran seperti itu – seperti di Indonesia, Kolombia, dan Bosnia – dan beberapa komisi kebenaran baru saja dibentuk di Nigeria dan Sierra Leone, namun tetap saja beberapa aspek tertentu dari badan ini tidak mudah dipahami. Ada miskonsepsi umum, sebagai misal, tentang bagaimana badan ini bekerja secara khas – di bawah kekuasaan apa, dan sering kali di bawah kendali utama siapa – dan juga tentang dampak yang mungkin diberikan oleh keberadaan lembaga tersebut. Ada juga masalah menyangkut harapan yang dibebankan kepada lembaga tersebut dalam kaitan dengan nasib para korban, kebijakan yang dibuat, dan masyarakat secara umum. Buku ini secara mendasar ditulis dengan dorongan utama untuk memperjelas secara persis tentang apa gerangan hakikat badan ini; apa yang dilakukannya dan apa potensi yang bisa disumbangkannya; dan apa batasan-batasannya. Saya sering kali dikejutkan dengan jalan bagaimana pemahaman kebenaran, dan pemahaman komisi kebenaran, dipahami dan dibincangkan sebelumnya. Juga sering dikejutkan oleh asumsi yang sering dipegang tentang apa itu proses pencarian kebenaran dan apa yang akan dihasilkannya. Sayangnya, banyak asumsi yang menyenangkan telah dikemukakan secara berulang-ulang dengan penegasan tanpa teruji oleh para penulis dan pemikir yang malah cerdas dan dikenal cermat, dan para pemimpin politik. Saya sendiri tidak begitu bebas juga dari kecenderungan seperti ini, dalam beberapa tulisan saya tentang masalah ini sebelumnya. Beberapa pernyataan yang paling sering diulang-ulang, dan yang mungkin paling kita harapkan sebagai pernyataan yang benar, adalah tentang pengamatan dan pertimbangan yang cermat dan berhati-hati. Sebenarnya, mereka semua tidaklah begitu teguh kokoh dengan pendirian itu bahkan di bawah suatu tes pembuktian yang anekdotal. Sebagai contoh, apakah kebenaran bisa mengarah pada rekonsiliasi? Atau, dengan kata lain, apakah perlu mengetahui kebenaran agar rekonsiliasi tercipta? Barangkali, pertanyaan inilah yang paling sering dikemukakan dalam wilayah pencarian kebenaran. Dan, adalah mungkin mengarah pada bukti dan mengutip para korban yang selamat untuk memperlihatkan bahwa bukti itu benar; kadang-kadang memang demikian, bagi sementara orang atau dalam situasi tertentu. Namun, memang mudah untuk membayangkan bahwa hal yang sebaliknya barangkali juga benar. Atau, yang jauh lebih penting lagi adalah bahwa rekonsiliasi, sebagai sebuah konsep yang memang membingungkan, mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang sangat jauh dari soal mengetahui atau mengakui kebenaran tentang kesalahan-kesalahan masa lalu. Sebagai contoh sebagaimana akan saya tunjukkan lebih rinci dalam uraian selanjutnya, rekonsiliasi yang benar mungkin tergantung pada suatu tujuan yang jelas pada adanya ancaman kekerasan yang lebih lanjut; program pemulihan atau ganti-rugi bagi mereka yang telah menjadi korban; perhatian pada ketimpangan struktural dan kebutuhan material yang mendasar dari komunitas yang menjadi korban; adanya keterkaitan alamiah dalam masyarakat yang menyatukan semua pihak yang sebelumnya saling bermusuhan; atau, paling sederhana kendati sering kali kurang disadari, sekadar berlalunya waktu. Selain itu, sering kali diyakini bahwa menggali kebenaran dan memberikan para korban kesempatan untuk bicara bisa mendatangkan penyembuhan atau pengalaman “katarsis”. Namun demikian, hal ini tetap mengandung suatu asumsi yang dapat dipertanyakan, sekurang-kurangnya dalam beberapa kasus. Kendatipun bukti ilmiah yang kecil tetap tersedia bagi pertanyaan ini, namun jelaslah bahwa pengertian tentang proses penyembuhan ini sekurang-kurangnya menjadi semakin perlu diperhatikan. Sementara itu, penyelidikan ini hampir-hampir tidak bisa menjadi suatu proses penyembuhan bagi mereka yang secara aktual bertanggung-jawab terhadap pencarian dan pengungkapan kebenaran. Para staf dan komisioner dari lembaga-lembaga ini – dan kadang-kadang para jurnalis yang mengikuti atau meliput kerja sebuah komisi kebenaran – sering kali memperlihatkan begitu banyak tanda mengalami tekanan yang berat dan trauma setelah menjalani pekerjaannya itu selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, setelah mendengarkan ratusan demi ratusan kisah-kisah yang mengerikan dari para korban atau saksi. Yang lebih mengherankan lagi, staf administrasi yang bertanggung-jawab bagi pengelompokan dan pemasokan data ke komputer – yang membuat tabulasi dari berlusin- lusin jenis penyiksaan, penyelewengan, pembunuhan, mutilasi, atau kekejaman mengerikan lainnya – kadang-kadang adalah orang-orang dalam komisi itu sendiri yang justru paling banyak dipengaruhi oleh informasi-informasi itu. Namun sepanjang kadar tertentu skeptisisme – atau mungkin juga realisme – dalam hal yang ditangani lembaga-lembaga ini, harus juga ada suatu apresiasi yang lebih baik bagi sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang sangat berarti tetapi tidak banyak diketahui, yaitu sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang mereka berikan pada kesempatan tertentu. Di Cili, hampir sepenuhnya berdasarkan temuan dari komisi kebenaran negara tersebut, negara telah membayar ribuan keluarga lebih dari 5.000 per tahun sebagai ganti rugi bagi pelanggaran yang dilakukan militer selama pemerintahan Augusto Pinochet, sebagai tambahan terhadap upaya pemulihan lainnya. Sama halnya juga, sebagian berdasarkan catatan komisi kebenaran di Argentina, negara telah menyediakan tiga juta dollar, sebagai bayaran sejumlah hampir 220.000 per keluarga, bagi para korban selama “perang kotor” di negara tersebut. Reformasi yudisial dilakukan di El Salvador yang mengikuti penyelidikan komisi kebenaran PBB yang didirikan di sana. Di Afrika Selatan, hanya sedikit orang saja sekarang membela atau mencoba membenarkan sistem apartheid, atau mempertanyakan fakta bahwa praktik-praktik busuk, seperti penyiksaan yang meluas di pelbagai markas-markas polisi, digunakan untuk melanggengkan kebijakan apartheid. Di beberapa negara, seperti Argentina, laporan komisi telah mendapatkan begitu banyak perhatian, dan menjadi buku yang sangat laku dan dicari-cari. Namun, barangkali yang tetap saja paling tidak mendapat perhatian adalah soal kesulitan yang paling berat dalam melaksanakan upaya-upaya tersebut, kesulitan pendokumentasian dan penghadiran “kebenaran” – terlepas dari bagaimana hal itu didefinisikan di pelbagai negara – dalam periode penyelidikan yang singkat dan intensif, ketika isu-isu yang sedang dieksplorasi sering kali tetap menjadi yang paling sensitif dan ketika tugas-tugas komisi adalah untuk mencapai dan sekadar menghadirkan kisah-kisah dari ribuan demi ribuan korban. Dilihat secara lebih cermat, tampak menjadi lebih jelas bahwa komisi-komisi kebenaran sangat berbeda watak dan hakikatnya dari pengadilan, dan fungsinya pun berbeda, demikian juga sasarannya. Jelas juga bahwa banyak pertanyaan metodologis yang merupakan soal penting bagi komisi-komisi kebenaran tidak bisa dijawab dengan beralih begitu saja ke norma-norma hukum yang sudah mapan atau prinsip-prinsip umum yang sudah baku, tidak juga dapat diselesaikan dengan menggunakan pedoman-pedoman universal. Alih-alih, pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan perhatian yang cermat terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik dan konteks dari masing-masing negara. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini – bagaimana sebuah komisi melakukan tugasnya dengan paling baik dalam hal pengumpulan, penyusunan atau pengorganisasian, pengevaluasian terhadap pelbagai tuntutan dari para korban dan pihak lain; apakah perlu dilakukan dengar-kesaksian publik atau perlu dilakukan semua penyelidikan secara handal; apakah komisi perlu menyebut nama pelaku tertentu dalam laporannya; dan banyak lagi lainnya – akan dijawab secara berbeda di tiap-tiap negara. Tugas ini menjadi lebih sulit oleh adanya fakta bahwa banyak dari pertanyaan ini bersifat unik terhadap jenis penyelidikan kebenaran yang luas ini dan tidak selalu berakhir dengan pengadilan, sebagai contoh, di mana prosedur-prosedur yang standar telah lama sekali menjadi mapan. Pencarian kebenaran resmi, demikian ia kemudian sering dinamakan, merupakan suatu urusan yang berat dan rumit. Berdasarkan hasil pelbagai wawancara yang saya lakukan di berbagai belahan dunia, di mana saya mempunyai kesempatan untuk berbicara secara detail dengan para komisioner dan staf dari berbagai komisi kebenaran yang sudah ada, juga dengan para korban, pembela, dan para pengambil kebijakan yang telah mengamati atau berpartisipasi dalam proses ini, sejumlah hal umum kemudian muncul ke permukaan. Pertama, harapan terhadap komisi-komisi kebenaran hampir selalu lebih besar daripada apa yang secara paling masuk akal bisa diharapkan dari badan-badan tersebut. Harapan-harapan ini mungkin berupa rekonsiliasi yang cepat dan segera, pemulihan yang signifikan bagi para korban, penyelesaian yang menyeluruh bagi begitu banyak kasus individual, atau berupa suatu proses yang menghasilkan pertanggungjawaban para pelaku dan reformasi kelembagaan yang signifikan. Karena adanya pelbagai alasan yang akan saya eksplorasi secara menyeluruh dalam bab-bab selanjutnya, hanya sedikit dari harapan-harapan tersebut dapat dipenuhi oleh komisi kebenaran. Pada taraf tertentu, kekecewaan bukanlah suatu hal yang tidak umum terjadi ketika komisi kebenaran menyelesaikan tugasnya atau ketika pemerintah menerima tetapi tidak berupaya melaksanakan rekomendasi dari laporan komisi kebenaran. Sementara ada ruang tertentu bagi pengembangan, beberapa dari harapan tersebut sangat tidak realistik dalam situasi di mana ada ribuan demi ribuan korban, di mana institusi- institusi demokratik tetap lemah, dan di mana keinginan para pelaku untuk mengungkapkan penyesalan atau berpartisipasi dalam upaya rekonsilasi sangat lemah. Namun, ironisnya, harapan-harapan besar ini dan kekecewaan yang diakibatkannya itu sering kali mencegah orang dari sikap menghargai kontribusi signifikan yang telah diberikan dan dilakukan oleh badan-badan tersebut. Kedua , banyak dari problem paling sulit yang dihadapi oleh komisi-komisi kebenaran tampaknya merupakan permasalahan yang umum bagi kerja-kerja penyelidikan. Hal ini tampak dalam kerja komisi-komisi baru yang selalu terbentur pada pertanyaan-pertanyaan yang sama dan asumsi-asumsi yang salah. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman dan praktik-praktik di masa lalu yang bisa jadi akan sangat membantu dalam menemukan model yang diinginkan di masa depan. Namun sayangnya, banyak komisi baru justru memulai kerjanya tanpa mempelajari pengalaman-pengalaman komisi-komisi sebelumnya itu. Fakta ketiga, yang menjadi semakin tampak jelas hanya pada waktu belakangan ini, adalah bahwa badan-badan tersebut bisa melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang berjangka waktu lama, suatu hal yang sama sekali tidak diperkirakan pada awalnya. Tampaknya hal ini menjadi semakin benar secara khusus dalam kaitannya dengan persoalan keadilan dan pertanggungjawaban. Secara khusus pada waktu belakangan ini, pelbagai arsip dan laporan dari beberapa komisi kebenaran di masa lalu sangat diandalkan dalam upaya untuk menuntut para tertuduh dalam arena internasional. Tiba- tiba saja, kegunaan dari kepemilikan atas catatan yang terdokumentasi dengan baik, yaitu catatan dan dokumentasi dari pelbagai kejahatan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya telah menjadi tampak jelas, bahkan ketika soal pengadilan domestik tidak menjadi pertimbangan yang utama. Semua isu ini akan dibahas secara detail dalam keseluruhan buku ini judul masing-masing bab kiranya memperlihatkan dengan jelas soal subjek bahasannya. Buku ini disusun secara tematik, diarahkan pada seputar isu yang paling sering dihadapi dan digeluti oleh pelbagai komisi yang telah ada, atau seputar pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh para pengamat kinerja dan kerja komisi ini dari luar lapangan. Dalam upaya memunculkan wajah proses ini, saya menggambarkan lima komisi yang lebih substansial dari pelbagai komisi yang diuraikan dalam buku ini secara lebih rinci – yaitu komisi yang ada di Argentina, Cili, El Salvador, Afrika Selatan, dan Guatemala – dan mengacu pada komisi-komisi tersebut lebih banyak ketimbang yang lainnya dalam keseluruhan uraian dalam buku ini. Keenam-belas komisi lainnya akan digambarkan secara lebih ringkas tapi jelas. Sejumlah bagan pendukung, termasuk suatu daftar kronologis dari dua puluh satu komisi paling mutakhir, dapat dilihat pada lampiran 1. Buku ini dimaksukan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik; untuk benar-benar menghadirkan pengalaman para korban, harapan para pembela hak asasi manusia, dan dilema yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan ketika mereka berkutat atau terlibat dalam proses-proses ini. Utamanya, keputusan untuk menggali rincian masa lalu yang sangat sulit harus diserahkan kepada suatu negara dan rakyatnya sendiri. Dan, beberapa negara bahkan memiliki alasan tertentu untuk membiarkan masa lalunya sebagaimana adanya. Namun, adalah suatu asumsi yang aman, bahkan kendati terdapat variasi yang begitu besar dalam situasi transisi politik, bahwa kita semua akan segera melihat pelbagai contoh komisi kebenaran yang bisa diandalkan dalam masa sekarang ini.

Bab 2 Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu