Bab 15 Tantangan dan Bantuan dari Pihak Luar
Selain kesulitan yang timbul dari dalam komisi, semua usaha pencarian kebenaran akan sangat terpengaruh oleh faktor-faktor luar – keterlibatan dan informasi yang diberikan organisasi non-
-pemerintah, tingkat akses untuk mendapatkan catatan tertulis milik pemerintah atau angkatan bersenjata atau juga pemerintah asing yang diberikan kepada komisi, kesediaan mantan pelaku
pelanggaran untuk bekerja-sama dengan usaha pencarian kebenaran, dan kemungkinan ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang dihadapi komisi selama masa kerjanya.
Keberhasilan komisi kebenaran di masa lalu amat terpengaruh oleh faktor-faktor tersebut, meskipun dipahami bahwa elemen-elemen luar tersebut tidak dapat dikendalikan atau ditentukan
oleh komisi itu sendiri – meskipun terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan komisi kebenaran untuk menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai pendukungnya.
Unsur yang Terpenting: Masyarakat Sipil Kekuatan masyarakat sipil di sebuah negara – seberapa besar dan terorganisirnya organisasi,
advokasi, informasi, komunitas dan badan riset non-pemerintah – menjadi salah satu penentu keberhasilan komisi kebenaran mana pun. Dengan kemampuan mereka untuk menimbulkan
tekanan publik untuk mendorong terbentuknya komisi yang kuat, dan karena informasi, jaringan dan keahlian mereka dalam pengawasan hak asasi manusia; kontribusi organisasi non-pemerintah
ornop, LSM, NGO menjadi penting. Namun, hubungan antara komisi kebenaran dan ornop tidaklah selalu mulus.
Lobi dan Advokasi Komisi kebenaran di Afrika Selatan akan sangat berbeda seandainya saja tidak terdapat
keterlibatan aktif ornop-ornop selama masa persiapan dan kerjanya. Menteri kehakiman meminta Pusat Sumber Daya Hukum di Johannesburg, sebuah ornop hak asasi manusia, untuk membantu
merancang undang-undang pembentukan komisi itu. Badan tersebut membantu mengatasi kesulitan dalam perancangan undang-undang dan membantu menerjemahkan saran-saran untuk
perbaikan ke dalam bahasa hukum sebelum memberikannya kepada parlemen untuk perancangan lebih lanjut, debat dan dengar-kesaksian publik. Rancangan akhir yang dibuat oleh parlemen
mencakup rencana untuk mengadakan proses amnesti secara tertutup dan rahasia, suatu hal yang ditentang keras oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia. Organisasi-organisasi hak asasi
manusia, gereja dan para korban mengadakan kampanye lobi yang gencar untuk mencabut klausul ini, meskipun pada awalnya mereka mengalami kegagalan. Sekitar dua puluh kelompok demikian
– yang mencakup praktis semua organisasi hak asasi manusia di negeri itu – menyatukan kekuatan dan mengirimkan surat kepada parlemen: jika undang-undang tersebut tidak diubah, yaitu
menjadikan proses amnesti dilaksanakan secara terbuka, komisi tidak akan mendapatkan kerja sama dari organisasi-organisasi yang menandatangani surat tersebut, demikian ancaman mereka.
Pada akhirnya, klausul tersebut diubah, sehingga hanya memungkinkan pelaksanaan proses
amnesti secara rahasia hanya bila “demi kepentingan keadilan” atau “bila terdapat kemungkinan timbulnya bahaya bagi seseorang bila proses dilakukan secara terbuka”.
i
Klausul ini pada akhirnya jarang digunakan; setelah dua tahun diadakan proses dengar-pendapat untuk amnesti, belum ada
yang dilakukan secara rahasia.
ii
Ornop di tempat-tempat lain tidaklah selalu berhasil mendorong terbentuknya komisi sebagaimana mereka inginkan. Di Guatemala, organisasi hak asasi manusia, masyarakat adat dan
kelompok korban mendorong pihak-pihak yang menandatangani perjanjian perdamaian dan mediator PBB untuk mengubah mandat komisi kebenaran, namun keputusan akhirnya tetap
memiliki beberapa keterbatasan yang ditentang oleh kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah studi oleh Alexandra Barahona de Brito tentang kebijakan kebenaran dan keadilan di Cili dan Uruguay menyimpulkan bahwa faktor kunci yang menerangkan perbedaan penting
dalam kebijakan kedua negara adalah “kekuatan gerakan hak asasi manusia dan Gereja dan hubungan mereka dengan pihak-pihak [yang bersepakat untuk damai]. Di Uruguay, tidak ada
organisasi yang bebas dari campur tangan negara, seperti Gereja, atau organisasi hak asasi manusia yang kuat yang bisa menentang inkonsistensi para pihak tersebut. Organisasi hak asasi
manusia yang ada terlalu lemah untuk mendorong ke arah yang diinginkan”.
iii
Lobi yang dilakukan ornop sering kali berlanjut pada masa kerja sebuah komisi, ketika organisasi bisa menekan komisi untuk memperluas cakupan kerjanya atau mendorong perubahan
dalam kebijakan operasional, menekan pemerintah domestik atau asing untuk membuka arsipnya kepada komisi dan untuk bekerja-sama dengan penyelidikannya, dan mendorong donor
pemerintah atau privat untuk mendukung kerja komisi. Karena komisi kebenaran biasanya dibubarkan bersamaan dengan penyerahan laporannya, tekanan untuk implementasi
saran-sarannya juga hanya bisa dilakukan oleh organisasi di luar komisi tersebut, yang mencakup ornop nasional dan internasional, pemerintah asing dan PBB. Selain itu, beberapa pemerintah
hanya menerbitkan sedikit laporan komisi kebenaran, dan menganggap penyebarluasan laporan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Penerbitan sebuah versi laporan yang lebih
dapat diakses, atau distribusi lebih luas dari laporan secara lengkap, menjadi tanggung jawab aktor privat.
Keahlian, Arsip Kasus dan Jaringan di Tingkat Bawah Kelompok-kelompok hak asasi manusia merupakan sumber pengisi jajaran staf dalam
komisi-komisi kebenaran. Ketika ornop-ornop Argentina tidak berhasil mendorong terbentuknya komisi yang diberikan dasar hukum undang-undang – komisi tersebut dibentuk atas perintah
presiden – pada awalnya, karena kekecewaan mereka, mereka menolak bekerja-sama dengan komisi tersebut. Namun para komisioner berusaha me-lobi dengan kuat untuk mendapatkan
dukungan mereka. “Tanpa bantuan ornop, kami tidak mungkin menjalankan tugas tersebut,” menurut seorang komisioner Argentina, Eduardo Rabossi. “Kami menggunakan tiga minggu
pertama dalam mandat kami yang sepanjang sembilan bulan untuk meyakinkan ornop-ornop untuk bersedia bekerja-sama. Kami mendatangi mereka dan berbicara di kantor masing-masing
ornop. Akhirnya, beberapa tokoh kunci bersedia bekerja-sama. Mereka menjadi staf senior, dan membawa rekan-rekan mereka. Maka, dua atau tiga minggu setelah komisi secara resmi dibentuk,
kami mulai bisa bekerja.”
iv
Tidak semua ornop Argentina mau bekerja-sama dengan komisi itu. Ornop terpenting yang menolak kerja sama adalah Ibu-ibu Plaza de Mayo, organisasi yang mewakili keluarga
orang-orang yang dihilangkan. Organisasi ini secara aktif menentang komisi kebenaran selama masa keberadaannya, menolak untuk bekerja-sama atau memberikan informasi. Selain
kekecewaan mereka bahwa komisi ini dibentuk oleh presiden, mereka tetap menuntut agar sanak keluarga mereka dikembalikan dalam keadaan hidup, dan menentang semua usaha untuk
menemukan jenazah mereka yang dibunuh. Bahkan setelah 15 tahun, salah satu cabang organisasi ini yang telah pecah menjadi dua tetap menentang penggalian jenazah-jenazah yang tidak
dikenal. Mereka tidak ingin gerakan mereka yang terdiri dari ribuan anggota keluarga terpecah menjadi keluarga-keluarga secara perseorangan, dengan ditemukannya jenazah salah satu anggota
keluarga mereka, demikian alasan organisasi tersebut.
v
Selain staf terlatih, ornop di Argentina juga memberikan salinan arsip kasus mereka mengenai penghilangan, yang dicantumkan dalam daftar korban dalam laporan akhir komisi,
meskipun komisi tidak melakukan konfirmasi ulang. Sebagai hasilnya, kasus-kasus dari banyak keluarga yang tidak bersedia bekerja-sama dengan komisi tetap dicantumkan dalam laporan
komisi, berdasarkan kesaksian mereka kepada sebuah ornop.
vi
Di Cili, Vicaría de la Solidaridad, kantor hak asasi manusia dalam Keuskupan Agung Santiago, secara teliti mencatat semua kasus
penghilangan selama tahun-tahun kediktatoran. Ketika komisi kebenaran Cili dibentuk, Vicaría memberikan arsipnya yang rapi kepada komisi tersebut, yang menjadi tulang punggung basis
informasinya. Ketika komisi tersebut berusaha untuk mengkonfirmasi masing-masing kasus dengan mendengarkan kesaksian dari keluarga mereka yang dihilangkan, ia telah memiliki
gambaran tentang siapa yang akan diwawancara dan berapa banyak jumlahnya. Demikian pula, ornop-ornop di El Salvador, Guatemala, Afrika Selatan dan negara-negara lain juga memberikan
arsipnya pada komisi-komisi kebenaran di negara mereka. Bahkan seandainya komisi tidak mencantumkan informasi ini dalam laporannya, informasi ini memetakan gambaran penting
tentang di mana saja terjadi pelanggaran, sehingga membantu merancang alokasi staf dan kantor cabang, dan untuk menunjukkan pola-pola tertentu dan kasus penting yang memerlukan
penyelidikan lebih lanjut.
Banyak komisi harus menjaga kerahasiaan secara ketat mengenai rencana kerja mereka dan kasus-kasus yang sedang mereka selidiki, karena sensitivitas tugas ini. Hal ini memang dapat
dibenarkan dalam banyak kondisi, namun di pihak lain komisi tidak dapat mendapatkan bantuan keahlian yang dimiliki orang-orang di luar stafnya. Di El Salvador, komisi mencemaskan
kalau-kalau hubungan kerja yang dekat dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia akan menimbulkan keberpihakan. Meskipun semua organisasi, partai politik dan kelompok pemerintah
serta militer diminta memberikan kasusnya kepada komisi, hubungan antara komisi tersebut dan pakar-pakar lokal relatif jauh. Di Haiti, kelompok-kelompok hak asasi manusia merasa diabaikan
dalam proses yang ada, dan banyak yang menganggap bahwa ada kesempatan yang hilang, untuk memobilisasi dan mengedukasi para korban. Alih-alih menggunakan jaringan
kelompok-kelompok hak asasi manusia, komisi Haiti menggunakan struktur gereja atau pemerintahan lokal untuk mencapai para saksi dan korban.
Komisioner Afrika Selatan, Mary Burton, mengatakan bahwa komisi tersebut pada awalnya “mengira bahwa ia akan bekerja-sama dengan ornop-ornop, namun ternyata tidak
demikian”. Ornop-ornop mengalami penurunan dana dari donor-donor internasional ketika praktik apartheid dihentikan, dan terdapat “rasa permusuhan yang mendalam dari ornop-ornop terhadap
komisi yang mendapatkan dana besar ini. Mereka merasa bahwa mereka diharapkan untuk bekerja secara sukarela, namun komisi yang melakukan hal-hal serupa mendapatkan imbalan”, seperti
mencatat kesaksian dari para korban untuk diberikan kepada komisi dan memberikan konseling trauma setelah dengar-kesaksian publik. Komisi kebenaran memang meminta sumbangan dari
para donor untuk diberikan kepada organisasi-organisasi yang secara langsung membantu kerja komisi, namun diperlukan waktu cukup lama sebelum dana ini dapat dicairkan. Selain itu, menurut
Burton, “terdapat perbedaan pandangan secara ideologis” di dalam komisi, sehingga beberapa komisioner mencemaskan bahwa mereka akan terlihat memihak ke kelompok tertentu bila mereka
menjalin hubungan yang erat, sehingga mereka menjaga jarak dari hampir semua kelompok masyarakat sipil yang terorganisasi dan menolak beberapa tawaran bantuan. “Ini merugikan kita,”
demikian pandangan Burton.
vii
Selain itu, tampak jelas bahwa beberapa komisioner tidak menyukai kritikan yang datang dari kelompok korban yang paling vokal dan terorganisir,
Khulumani. Akibatnya, jaringan perujukan psikologis dan kerja sama yang diharapkan untuk dibentuk untuk mendukung dan memperluas hasil kerja komisi tidak pernah terbentuk dengan
baik.
Keterlibatan lebih besar ornop-ornop seharusnya bisa juga memberikan dampak lebih besar dari kerja komisi tersebut pada tingkat lokal di Afrika Selatan. Tlhoki Mofokeng dari Pusat
Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi, yang bekerja-sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lokal yang berminat dengan komisi kebenaran, mencatat bahwa “Seandainya komisi kebenaran
melibatkan lebih banyak ornop yang terkait dengan para korban, hasilnya akan jauh lebih baik. Dampak komisi ini terlihat pada tingkat makro, namun pada tingkat mikro, dampaknya amat
terbatas.”
viii
Merasa frustrasi dengan komunikasi yang buruk dan akses yang terbatas kepada komisi itu, Khulumani, organisasi para korban di Afrika Selatan, menyarankan bahwa komisi-komisi serupa
seharusnya memiliki badan penasihat atau penghubung dalam stafnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dari para korban. Mereka menyarankan bahwa
anggota staf tersebut seharusnya bisa pula memberikan referensi legal untuk membantu korban dan keluarganya, untuk membantu keluarga-keluarga mendapat akses pada rekening bank korban
yang dihilangkan, misalnya, atau untuk mendapatkan akte kematian.
ix
Klinik legal yang ada di universitas-universitas Afrika Selatan hanya memberikan bantuan amat kecil dalam hal ini.
Meskipun asistensi legal secara individual tidak mungkin dilakukan oleh komisi-komisi kebenaran yang sudah memiliki setumpuk pekerjaan, adalah hal yang baik bila komisi menugaskan seorang
anggota stafnya untuk memberikan informasi atau kelanjutan kasus, paling tidak bagi para saksi. Akses ke Informasi Resmi
Meskipun komisi-komisi kebenaran lazimnya dibentuk dan didanai oleh negara, dan bekerja di bawah mandat dari presiden atau parlemen, banyak komisi yang tidak mendapatkan akses
maksimum pada dokumen pemerintah atau militer dalam usaha pencariannya terhadap kebenaran. Di El Salvador, komisi memiliki hak yang disuratkan dalam mandatnya, untuk memasuki semua
kantor untuk mencari dokumen, dan juga mendapatkan komitmen formal dari kedua pihak yang menandatangani perjanjian perdamaian untuk bekerja-sama secara sepenuhnya untuk memberikan
laporan, arsip atau dokumen.
x
Namun komisi mendapatkan sangat sedikit informasi resmi, karena permintaan untuk mendapatkan arsip militer dan personel, serta catatan lainnya, baik terhadap
pemerintah maupun oposisi, “biasanya mendapat jawaban bahwa arsip-arsip tersebut telah dihancurkan, tidak dapat ditemukan, atau tidak lengkap”, menurut komisioner Thomas
Buergenthal.
xi
Di banyak negara, informasi yang paling penting atau paling menunjukkan kesalahan seseorang sering kali dimusnahkan lama sebelum terbentuknya komisi. Di Argentina dan Cili,
angkatan bersenjata menjaga jarak dari komisi kebenaran, dan hampir semua permintaan untuk mendapatkan informasi tentang kasus-kasus spesifik biasanya diabaikan atau ditolak dengan
alasan tidak ada informasi yang tersedia.
xii
Di kedua negara tersebut, militer membakar atau menghilangkan bukti-bukti sebelum meninggalkan kekuasaan. Respon dari militer terhadap
permintaan komisi kebenaran Cili untuk mendapatkan informasi pada umumnya adalah bahwa bahan-bahan tersebut sudah dibakar atau dimusnahkan, begitu hal tersebut diizinkan. Komisi
Afrika Selatan menyediakan satu bab penuh untuk menggambarkan masalah arsip-arsip yang dihilangkan. Dalam penyelidikannya, komisi tersebut menemukan bahwa pemusnahan dokumen
dilakukan “dalam skala besar” pada dekade 1990-an, dan beberapa departemen masih melakukan pemusnahan arsip hingga tahun 1996, dua setengah tahun setelah pemilihan umum demokratis
pertama dan setahun berjalannya komisi kebenaran. “Penghancuran besar-besaran arsip … memiliki dampak besar bagi ingatan sosial Afrika Selatan. Ingatan tentang dokumen resmi,
terutama mengenai kinerja internal aparat keamanan negara apartheid, sudah dimusnahkan”, demikian dinyatakan dalam laporan.
xiii
Keengganan untuk menyerahkan arsip-arsip bisa berlanjut lama setelah komisi kebenaran dibubarkan dan pemerintah demokratis berjalan. Beberapa badan pemerintahan yang bekerja
dalam pemerintahan sipil yang kuat dan batasan waktu yang lebih longgar masih mengalami hambatan untuk mendapatkan akses informasi dari badan-badan pemerintahan lain, terutama
angkatan bersenjata. Di Argentina, Kantor Hak Asasi Manusia dari Kementerian Dalam Negeri melanjutkan pengumpulan kesaksian tentang pelanggaran pada masa rezim militer,
menambahkannya pada arsip-arsip Komisi Orang-Orang Hilang. Setelah seorang pensiunan kapten secara terbuka mengakui bahwa ia melemparkan tahanan hidup-hidup ke dalam laut dari
udara, timbul seruan publik untuk mendapatkan daftar resmi orang-orang hilang yang ada dalam arsip-arsip militer. “Informasi tersebut mungkin memang ada, tapi di mana, itu pertanyaannya,”
kata Mercedes Assorati, staf di Kantor Hak Asasi Manusia yang mengawasi arsip-arsip komisi. “Para hakim tidak bisa mendapatkannya. Dan kami hanya bisa menulis surat yang sopan, ‘Yth.
pejabat tinggi militer, kami mohon informasi yang Anda miliki’. Kami tidak bisa menggeledah arsip mereka atau mendatangi ESMA [sebuah sekolah militer yang berfungsi sebagai tempat
penyiksaan pada perang saudara,” katanya. “Kami tahu bahwa ada daftar tentang segala sesuatu yang terjadi: siapa yang diculik, siapa dibebaskan, dan bila seorang dibunuh, kapan dan di mana.
Ada perintah untuk memusnahkan semua arsip sebelum militer meninggalkan kekuasaan, dan hal itu dilakukan dengan cermat. Namun informasi demikian masih mungkin ada di tangan-tangan
pihak ketiga; ada orang yang menyimpan arsip-arsip demikian. Namun kemungkinannya adalah dokumen-dokumen tersebut tidak ada dalam badan-badan resmi.”
xiv
Pada dekade 1990-an, dengan gencarnya tuntutan agar pemerintah dan angkatan bersenjata Argentina mengumumkan daftar tersebut, kantor hak asasi manusia pemerintah berada dalam
posisi yang tidak diuntungkan. “Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan, jadi kami tidak melakukan apa-apa. Pemikiran itu masih ada, namun amat sukar, dari sudut pandang legal, apalagi
dari ‘realitas’ yang ada. Kami tidak punya kekuasaan untuk menyelidiki dan menuntut, kecuali hanya untuk menekan departemen-departemen lain,” kata Assorati.
Akses ke Dokumentasi Pemerintahan Asing Dengan keterbatasan akses ke dokumentasi di dalam negeri, catatan dan arsip yang disimpan
pemerintah lain bisa menjadi sumber informasi yang penting. Untuk beberapa alasan, pemerintah
Amerika Serikat merupakan sumber terpenting dokumentasi demikian. Pertama, ia memiliki hubungan erat dengan banyak pemerintahan penindas, terutama di Amerika Latin, dan
kedutaan-kedutaannya menyusun laporan panjang lebar tentang aktivitas dan perkembangan politik. Di beberapa negara yang sudah memiliki komisi kebenaran, termasuk Guatemala, El
Salvador dan Cili, Amerika Serikat mendukung atau secara langsung mendanai pemerintah dan militer yang bertanggung-jawab untuk sebagian terbesar pelanggaran yang diselidiki
komisi-komisi kebenaran. Personel militer, intelijen dan diplomatik Amerika Serikat memelihara kontak reguler dengan banyak pelaku pelanggaran yang terburuk, dan memberikan komentar
tentang aktivitas mereka dalam telegram harian ke Washington. Semua laporan tersebut masih ada dalam arsip. Kedua, sejak Presiden Jimmy Carter memerintahkan Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat untuk menyusun laporan tahunan tentang kondisi hak asasi manusia di setiap negara, pemerintah Amerika Serikat mendapatkan informasi penting tentang kondisi hak asasi
manusia di seluruh dunia. Sementara laporan tahunan ini terbuka untuk akses umum, banyak laporan intelijen yang menjadi dasar laporan ini dirahasiakan. Dan ketiga, relatif mudah
meskipun tetap tidak mudah untuk meminta deklasifikasi [pencabutan status rahasia sebuah dokumen] informasi resmi di Amerika Serikat, dibandingkan di negara-negara lainnya, karena
adanya Akta Kebebasan Informasi FOIA yang memungkinkan individu meminta deklasifikasi informasi.
xv
Arsip Keamanan Nasional, sebuah ornop yang berbasis di Washington, memiliki keahlian dalam menjalankan prosedur permintaan deklasifikasi tersebut. Melalui ribuan permintaan
demikian selama lima belas tahun terakhir, badan ini telah memiliki bahan-bahan sejarah yang kaya dan menerbitkan kumpulan catatan yang sudah dideklasifikasi yang mendokumentasikan
hubungan Amerika Serikat dengan banyak negara selama dekade-dekade terakhir.
xvi
Respon pemerintah terhadap permintaan FOIA bisa menyita waktu delapan bulan hingga delapan tahun – tidak terlalu berguna bagi komisi kebenaran yang berumur pendek. Namun,
beberapa komisi kebenaran bisa menggunakan sistem deklasifikasi ini. Karena pengalamannya, NSA menjadi rekanan komisi kebenaran di El Salvador dan Guatemala untuk melakukan hal ini.
Komisi El Salvador terutama mempergunakan informasi yang sudah dideklasifikasi yang ada dalam arsip ornop tersebut, untuk mengkonfirmasi temuan-temuannya. Ia meminta deklasifikasi
dokumen-dokumen lainnya, namun mendapat tentangan keras dari beberapa departemen dalam pemerintahan Amerika Serikat. Dengan dilantiknya Presiden Bill Clinton pada bulan Januari
1993, pemerintah mulai bersedia bekerja-sama, meskipun pada saat itu komisi kebenaran hanya memiliki waktu tersisa dua bulan untuk menyelesaikan penyelidikan dan laporannya.
xvii
Komisi Guatemala menggunakan dokumentasi Amerika Serikat secara jauh lebih ekstensif, dan jauh lebih tergantung pada bantuan dari NSA. Lama sebelum dibentuknya komisi
kebenaran, berkonsultasi dengan badan-badan hak asasi manusia lainnya yang berfokus pada Guatemala, NSA meminta informasi FOIA tentang sekitar 40 kasus terpenting yang diperkirakan
akan diselidiki komisi kebenaran.
xviii
Selain itu, begitu komisi dibentuk, komisi meminta secara langsung ke Presiden Clinton untuk mendeklasifikasi informasi penting yang berkaitan dengan
penyelidikannya. Amerika Serikat membentuk badan antar-agensi untuk memproses permintaan ini, yang berkaitan dengan arsip-arsip Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, CIA,
Dewan Keamanan Nasional dan Badan Pembangunan Internasional berkaitan dengan program keamanannya di dekade 1960-an. Sesuai dengan permintaan, salinan dokumen yang
dideklasifikasikan diberikan terlebih dahulu kepada NSA untuk diproses.
xix
Direktur Proyek Guatemala dalam NSA, Kate Doyle, bertanggung-jawab dalam pengumpulan dan pemrosesan bahan-bahan ini selama lima tahun, sejak pengiriman permintaan
FOIA pada tahun 1994. Selama itu, ada dua sampai enam orang yang mengerjakan proyek tersebut dalam NSA, membaca dan mengorganisir dokumen-dokumen yang ada dan membantu
menginterpretasikannya bagi komisi. Ketika Doyle datang ke Guatemala, ia memberikan instruksi mendetail kepada komisi tentang bagaimana mengartikan dokumen-dokumen tersebut. “Penting
untuk mengingatkan para peneliti bahwa dokumen-dokumen yang sudah dideklasifikasikan tersebut tidaklah mutlak benar. Selain memuat informasi yang kaya dan bernilai tinggi, mereka
juga mengandung kesalahan faktual, misinformasi atau kebohongan,” kata Doyle. Ia dan stafnya mendapatkan pula dokumen-dokumen dari perpustakaan kepresidenan J.F. Kennedy, Lyndon
Johnson, Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter dan Ronald Reagan, dan menyelidiki juga bahan-bahan yang sudah dideklasifikasikan sebelumnya dalam Arsip Nasional dan arsip militer
seperti milik akademi angkatan bersenjata, untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dekade 1960-an. Bahan-bahan tersebut kemudian diberikan
kepada penyelidik dari komisi kebenaran dan sebuah tim 25 sejarawan Guatemala yang berkumpul untuk membantu menulis laporan sejarah tentang konflik yang terjadi kelompok ini
kemudian diperkecil menjadi hanya beberapa pakar dalam penulisan laporan akhirnya. Dokumen-dokumen dari Amerika Serikat ini memberikan banyak informasi baru dan memperkuat
hasil penyelidikan yang sudah ada. “Dokumen-dokumen tersebut menjelaskan sifat kekerasan yang terjadi, hubungan Amerika Serikat-Guatemala, dan operasi militer serta pemberontak.
Banyak isu yang akan dibahas oleh komisi termuat dalam dokumen-dokumen itu. Dokumen-dokumen yang berasal dari dekade 1960-an dan 1970-an ditulis dengan sangat jelas dan
kaya dengan detail-detail tentang perang yang sebelumnya tidak diketahui. Dokumen-dokumen tersebut menjadi bahan bacaan yang mengasyikkan,” kata Doyle.
xx
Doyle dan stafnya juga menggunakan bahan-bahan ini untuk menyusun basis data informasi militer, yang merupakan kompilasi non-pemerintah pertama yang berisi informasi
mendetail tentang angkatan bersenjata Guatemala. “Sangat sedikit informasi tentang militer di Guatemala, dan kami tahu bahwa Amerika Serikat bekerja-sama dengan banyak militer di negara
lain, terutama negara-negara sahabatnya, dan ia memiliki catatan yang lengkap. Jika Anda tahu tentang bagaimana memintanya dan di mana, Anda bisa mendapatkan informasi tentang para
perwira militer, unit, kegiatan dan lain-lain.” Dengan pendekatan strategis ini, NSA mendapatkan ribuan dokumen dari Badan Intelijen Pertahanan dan badan-badan lainnya. Dalam basis data
tersebut terdapat sekitar delapan ribu data individual, termasuk anggaran militer, ukuran pasukan, biografi personal komandan militer dan detail-detail lainnya, memberikan gambaran tentang
struktur militer yang sebelumnya tidak diketahui. NSA memberikan basis data ini kepada komisi di Guatemala, yang kemudian melacak di mana para perwira tersebut ditempatkan, unit mana saja
yang berada di suatu wilayah ketika terjadi pembantaian, dan detail-detail serupa antara tahun 1960 hingga 1996.
xxi
Meskipun banyak sekali informasi yang bisa didapatkan dari proses deklasifikasi ini, sistem FOIA tidak selalu dapat diterapkan untuk semua komisi kebenaran, karena banyaknya
waktu yang diperlukan untuk memproses permintaan ini. Dengan persiapan sejak dini, bantuan dari ornop, pemerintah AS yang mendukung dan permintaan langsung dari komisi untuk
mempercepat proses tersebut, usaha pencarian kebenaran di sebuah negara di mana Amerika Serikat memiliki keterlibatan bisa menggunakan hal ini sebagai sumber informasi yang penting.
Ancaman Kekerasan dan Intimidasi
Beberapa bulan setelah mulai bekerja, seorang anggota komisi kebenaran di El Salvador menghampiri stafnya yang mengurus pusat dokumentasi komisi tersebut: sebuah ruangan yang
penuh dengan rak buku, filing cabinet dan komputer yang berisi semua kesaksian para korban dan informasi primer serta sekunder lainnya – jantung seluruh kegiatan komisi. “Jika besok pagi ada
kudeta militer,” tanya komisioner tersebut kepada pegawai itu, seorang warga Uruguay, “apakah kamu akan langsung kabur ke lapangan terbang dan pergi dengan pesawat yang pertama, atau
kamu akan mendatangi kantor ini dan membakar habis semua dokumen ini?”
“Saya akan langsung kabur,” jawabnya dengan agak ragu-ragu. “Salah,” jawab komisioner itu. “Pertama, kamu harus ke sini dan membakar habis semua
arsip.” Tidak ada kudeta di El Salvador, namun memang ada ancaman kudeta dan intimidasi
terhadap personel komisi kebenaran. Pada bulan Oktober 1992, empat bulan setelah komisi mulai bekerja, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperingatkan komisioner yang berasal dari
Amerika Serikat, Thomas Buergenthal, dan seorang staf senior, untuk berhati-hati di negara tersebut, karena ada ancaman serius terhadap komisi itu. Para komisioner mendapatkan sejumlah
ancaman yang jelas ditujukan untuk mengintimidasi komisi agar tidak melanjutkan penyelidikannya, termasuk paling sedikit satu ancaman pembunuhan, yang dikirimkan melalui
fax. Pada bulan November, menjelang akhir mandat komisi tersebut, Colin Powell, yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala staf gabungan angkatan bersenjata Amerika Serikat,
mengunjungi El Salvador secara mendadak untuk bertemu dengan para pimpinan militer; banyak yang percaya bahwa kunjungan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya kudeta.
Pada awal bulan Januari, komisi kebenaran memindahkan seluruh kerjanya keluar negeri, ke kantor pusat PBB di New York, untuk dua bulan penulisan laporan akhirnya. Perpindahan ini
dikarenakan masalah keamanan, karena komisi tidak bisa menjamin keamanan seluruh staf yang ada. Pada hari-hari terakhir sebelum laporan komisi diumumkan, muncul lagi ancaman dan rumor
tentang akan terjadinya kudeta militer bila dalam laporan komisi disebutkan nama orang-orang yang bertanggung-jawab. Komisi tetap tidak mau mengubah laporannya.
Banyak komisi kebenaran bekerja di bawah ancaman kekerasan terus-menerus. Meskipun sangat sedikit komisi kebenaran yang benar-benar mengalami tindakan kekerasan, dan belum ada
anggota staf atau komisioner yang terluka serius karena penyelidikan mereka, terdapat banyak alasan untuk cemas. Banyak usaha tidak resmi untuk menggali kebenaran tentang pelanggaran
mendapat respon tindakan kekerasan. Dua hari setelah proyek kebenaran dari Gereja di Guatemala mengumumkan laporannya tentang kekejaman dalam perang saudara di negeri itu, direktur proyek
tersebut, Uskup Juan Gerardi Conedera, dengan brutal dipukuli hingga tewas di garasinya. Penyelidikan polisi tentang pembunuhan ini dilakukan dengan ceroboh dan tidak profesional, dan
setelah beberapa bulan kemudian, polisi tidak berhasil menemukan motif pembunuhan itu. Namun publik menganggap bahwa pembunuh itu dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata dan
pembunuhan itu berkaitan dengan laporan tersebut.
xxii
Pada hakikatnya proses pencarian kebenaran memang sangat berisiko; komisi kebenaran biasanya mulai bekerja tepat pada awal demokratisasi, kadang-kadang sebelum transisi politik
selesai dan lama sebelum masyarakat mulai yakin tentang kebebasan berbicara menentang mantan penindas mereka. Salah satu komisi kebenaran baru bisa mendapatkan direktur eksekutif setelah
tiga orang menolak posisi tersebut, karena mencemaskan keamanan mereka. Mereka menganggap bahwa pekerjaan komisi tersebut akan menimbulkan risiko pada keselamatan mereka.
Di El Salvador, konflik bersenjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Farabundi Martí FMLN belum berhenti secara resmi hingga bulan Desember 1992, enam bulan setelah
komisi dibentuk hingga saat itu proses perdamaian berada pada status gencatan senjata. Selama masa itu, para perwira militer senior yang sedang diselidiki komisi tetap berada pada posisinya
yang amat kuat, dan pemerintahan sipil yang mendukungnya belum berubah. Badan peradilan masih belum direformasi, dan ketua mahkamah agung, yang terkenal karena keberpihakannya ke
militer, berusaha keras untuk menghalangi kerja komisi kebenaran, terutama untuk menggali kembali kuburan massal. Komisi El Salvador mempekerjakan lima atau enam pengawal untuk 25
anggota stafnya, yang dikirim dari kantor pusat PBB di New York. Para pengawal tersebut selalu berada di dekat direktur eksekutif dan komisioner, ketika mereka sedang ada di negara itu, dan
dengan para staf bila mereka turun lapangan untuk mengadakan penyelidikan.
Komisi kebenaran di Chad mendapatkan sejumlah ancaman dari mantan anggota pasukan keamanan yang bekerja untuk badan intelijen yang baru, sehingga menghalangi kerjanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam laporan akhirnya, “Di dalam Komisi, beberapa anggota menganggap bahwa pekerjaan mereka terlalu berbahaya sehingga mereka melarikan diri. Yang
lain hanya muncul pada akhir bulan untuk mengambil gaji mereka dan menghilang lagi”.
xxiii
Ketika komisi mendapat perpanjangan waktu selama empat bulan mandatnya semula memberikan waktu enam bulan, ia harus mengganti tiga perempat anggota aslinya.
Komisi kebenaran juga menghadapi masalah besar lainnya, yaitu para saksi yang ketakutan terhadap keselamatan dirinya, sehingga tidak berani memberikan kesaksian – bahkan bila
dilakukan secara rahasia. Di Uganda, para korban kadang kala kembali mendatangi komisi kebenaran setelah memberikan kesaksian dalam dengar-kesaksian publik, untuk menarik kembali
kesaksian mereka. Jelas bahwa mereka mendapatkan ancaman dari seseorang yang terpengaruh atau terkena dampak kesaksian mereka.
Perlindungan Saksi Dari semua komisi kebenaran yang sudah ada, hanya komisi di Afrika Selatan yang memiliki
kekuasaan dan sumber daya untuk mengembangkan program perlindungan saksi yang ditujukan untuk melindungi para korban, saksi dan pemohon amnesti yang merasa bahwa mereka terancam
bahaya bila memberikan kesaksian secara publik.
Ketika mantan Wakil Jaksa Agung Afrika Selatan, Chris MacAdam, diminta mengetuai program perlindungan saksi komisi itu, ia mendatangi konsulat Italia untuk mendapatkan buku
panduan mereka tentang perlindungan saksi pengadilan Mafia. “Kejahatan Mafia serupa dengan kekerasan politik. Sistem perlindungan saksi mereka meliputi banyak saksi dengan biaya rendah.
Model ini paling tepat untuk digunakan,” ia memberi tahu saya.
xxiv
Untuk melindungi para saksi yang terancam, komisi menggunakan cara “kamuflase saksi” yang dikembangkan di Italia, yaitu
menempatkan para saksi di rumah-rumah aman di luar komunitas mereka, dengan tetap mempergunakan nama asli. Bila seorang saksi menyatakan kecemasannya tentang
keselamatannya, baik sebelum maupun sesudah memberikan kesaksian, kantor komisi setempat akan segera menempatkannya dalam sebuah rumah aman untuk perlindungan sementara, dan
kemudian mengadakan evaluasi formal tentang tingkat risiko yang dihadapi. Bagi beberapa saksi, tingkat risiko yang dihadapi dianggap tidak cukup tinggi untuk perlu mendapatkan program
perlindungan saksi ini, namun komisi akan mengatur peningkatan pengawasan polisi di tingkat komunitas, dan meminta polisi untuk melakukan kontak teratur dengan saksi tersebut. Pada
tingkat risiko terendah di dalam program perlindungan saksi itu, seseorang akan dipindahkan dari satu rumah aman ke rumah aman lainnya di wilayah kediaman mereka, dengan pengawasan ketat
dari polisi, menggunakan salah satu dari seratus rumah aman yang dimiliki komisi di seluruh negeri. Mereka yang memiliki risiko medium ditempatkan di komunitas lainnya, namun diizinkan
untuk meninggalkan rumah pada siang hari, dan hanya mendatangi rumah aman itu di malam hari. Kasus-kasus berisiko tinggi, yang dianggap berbahaya di manapun ditempatkan di rumah aman di
luar komunitas mereka dan diberi penjagaan. Tidak ada orang lain yang diizinkan tahu tentang keberadaan seorang saksi yang memiliki risiko tinggi termasuk keluarganya, dan semua kontak
dengan keluarga atau orang lainnya harus melalui komisi. Staf perlindungan saksi adalah para penyelidik yang dialihtugaskan dari kepolisian, berkisar antara 4-7 orang. Komisi memperkirakan
bahwa akan ada sekitar 100 saksi untuk dilindungi, dan menganggarkan 400.000 untuk pekerjaan ini. Dalam delapan belas bulan pertama kerja komisi, ia telah memproses lebih dari 230
permintaan perlindungan.
xxv
“Relatif mudah untuk menipu kami dengan mengarang cerita-cerita bohong,” kata MacAdam. “Banyak orang mencoba melakukannya. Jadi, kami melakukan cek keamanan
lengkap, mengambil sidik jari mereka, dan lain-lain. Seseorang dipenjarakan selama setahun karena memberikan kesaksian palsu kepada komisi. Diperlukan 5000 rand [ 1.000] dan seminggu
penyelidikan sebelum kami menemukan bahwa ceritanya bohong.” Memberikan kesaksian palsu kepada komisi kebenaran, bahkan di luar sesi dengar-kesaksian publik adalah tindakan ilegal.
Hanya dalam waktu enam bulan, sudah ada “tiga atau empat mata-mata; yaitu orang yang berusaha bergabung dengan sistem ini untuk memasuki rumah aman dan menemui para saksi yang
dilindungi – dan kemudian menjual informasi ini kepada penawar tertinggi – yang mungkin saja adalah para pelaku kejahatan yang terpengaruh dampak kesaksian mereka,” kata MacAdam.
Komisi-komisi lainnya, meskipun tidak memiliki kapasitas untuk mengadakan program formal perlindungan saksi, memberikan keamanan dengan memberikan kerahasiaan yang ketat. Di
El Salvador, misalnya, beberapa saksi, seperti mereka yang berasal dari struktur keamanan negara, baru bersedia untuk bertemu dengan komisi itu di luar negeri dan dengan jaminan penuh bahwa
wawancara tersebut akan dirahasiakan. Sebuah program perlindungan saksi seperti digunakan di Afrika Selatan tidak akan berguna bagi saksi-saksi demikian, karena bila mereka ketahuan
bekerja-sama dengan komisi kebenaran, hal itu akan membahayakan jiwa mereka.
Tentu saja terdapat banyak masalah atau kesulitan lain yang dihadapi komisi kebenaran; kadang-kadang masalah tersebut timbul dari hal-hal yang berada di luar kendali komisi kebenaran
dan memberikan dampak yang signifikan bagi komisi itu. Musim hujan di Sierra Leone mengisolasi daerah pedalaman selama tiga sampai empat bulan, dan tidak memungkinkan komisi
untuk mendatangi saksi-saksi atau mengadakan penyelidikan. Di negara-negara yang memiliki banyak bahasa nasional, seperti Guatemala atau Afrika Selatan, komisi harus menggunakan
penerjemah atau staf multilingual untuk mencatat kesaksian, terutama karena kesaksian tersebut biasanya diarsipkan dalam bahasa standar yang mungkin berbeda dengan bahasa yang digunakan
untuk memberikan mayoritas pernyataan. Di Afrika Selatan, misalnya, staf komisi memperkirakan bahwa sekitar 80 pernyataan diberikan dalam bahasa selain bahasa Inggris; beberapa pencatat
kesaksian multilingual mencatat kesaksian-kesaksian dalam lima atau enam bahasa. Semua sesi dengar-kesaksian publik di Afrika Selatan dilengkapi dengan kapasitas penerjemahan simultan –
sebuah proses yang membutuhkan banyak orang dan biaya, namun memungkinkan saksi tersebut untuk berbicara dalam salah satu dari 11 bahasa nasional. Hal-hal ini dan faktor-faktor eksternal
lainnya bisa mempersulit kerja komisi, menjadikan tenggat yang singkat dan ribuan kasus yang menghadapinya semakin merepotkan.
Seperti banyak proses lain, kualitas sebuah komisi kebenaran terutama ditentukan oleh kualitas orang-orang yang menjalankannya, meskipun cakupan dan dampaknya bisa sangat
terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan konteksnya. Dalam kasus komisi kebenaran, dibandingkan dengan proses-proses lainnya, tidak ada peluang yang diberikan untuk kesalahan
atau persiapan yang panjang, dan beban kerja serta pentingnya menyelesaikan kerjanya dengan baik amatlah besar. Sayangnya, tidak ada satu panduan yang mutlak untuk memandu sebuah
komisi kebenaran melalui berbagai kesulitan yang mungkin ia hadapi, meskipun sebuah studi yang mendetail terhadap langkah-langkah yang diambil komisi-komisi kebenaran lainnya paling tidak
bisa memberikan gambaran umum. Namun, bila dilakukan dengan baik – dan dengan sumber daya dan dukungan yang mencukupi – sebuah komisi kebenaran dapat mengubah bagaimana sebuah
negara memahami dan menerima masa lalunya, dan kemudian, dengan sedikit keberuntungan, secara mendasar memberi bentuk pada masa depannya.
i ii
iii iv
v vi
vii viii
ix x
xi xii
xiii xiv
xv xvi
xvii xviii
xix xx
xxi xxii
xxiii xxiv
xxv
Penutup: Memperluas Jangkauan Pencarian Kebenaran Resmi
11 Maret, 2002
Kepentingan terhadap komisi kebenaran tumbuh relatif pesat pada waktu buku ini pertama kali diterbitkan. Sejak edisi hardback dibagikan ke pers delapan belas bulan
yang lalu, hampir setengah lusin komisi kebenaran berhasil didirikan termasuk di Panama, Republik Federal Yugoslavia, Peru, dan Timor Timur, beberapa negara juga
bergerak cepat dalam pembentukan komisi kebenaran Ghana, Bosnia-Herzegovina, dan Burundi, dan beberapa lagi secara serius mendiskusikan kemungkinan pembentukan
komisi ini. Tiap-tiap kasus ini akan dipaparkan lagi selanjutnya. Telah terdapat beberapa kemajuan yang patut dicatat baik dari cara, mandat, dan kekuatan dari beberapa komisi
baru ini, terutama sebagai penghubung interplay antara pencarian-kebenaran non- yudisial; dan penuntutan di pengadilan-pengadilan telah dalam beberapa kasus menjadi
lebih jelas.
Komisi kebenaran terbaru yang paling menarik adalah komisi yang sedang dibentuk di Timor Timur, di mana tidak hanya terdapat hubungan dengan penuntutan,
tetapi juga komisi ini secara eksplisit dibuat sebagai alat untuk mengintegrasikan kembali pelaku tingkat-rendah kembali ke komunitas mereka. Melalui sebuah program layanan
masyarakat yang diarahkan oleh komisi kebenaran, pelaku dapat membayar langsung kepada korban kekerasan, sebuah perkembangan dibandingkan dengan model Amnesti-
untuk-Kebenaran di Afrika Selatan di mana tidak ada persyaratan bagi pelaku selain mengungkapkan kebenaran seutuhnya. Belajar dari batasan-batasan dan kesulitan-
kesulitan yang diperoleh dari pendekatan Afrika Selatan, Timor Timur membangun sebuah cara untuk memenuhi kepentingan baik pelaku yang berkepentingan untuk
kembali ke kampungnya dengan aman dan komunitas korban di mana banyak dari mereka menderita pengrusakan harta benda akibat tindakan-tindakan para pelaku.
Pengaturan ini akan dijelaskan lebih detail di bagian lain.
Mencari hubungan yang layak antara pencarian kebenaran dan penuntutan selalu menjadi pertanyaan vital baik di Peru maupun di Sierra Leone. Di Peru, sebuah badan
Kejaksaan khusus demikian juga dengan penyelidikan-penyelidikan khusus yang dijalankan oleh Kongres terus bergerak maju terhadap beberapa kasus yang melibatkan
korupsi dan kejahatan kemanusiaan, bersinggungan dengan masalah-masalah hak asasi manusia yang yang akan dibawa ke hadapan komisi kebenaran yang baru ditunjuk. Untuk
mengatasi semua potensi konflik, komisi ini secara berkala berkomunikasi dengan kantor kejaksaan, dan terdapat tujuan yang jelas untuk mengadakan saling kerja sama. Sebagai
contoh, komisi dan para jaksa setuju terhadap rencana bersama exhumations penggalian kembali makan-makam korban pelanggaran yang akan melibatkan komisi dalam setiap
penggalian yang dimulai oleh para jaksa.
Di Sierra Leone, pertanyaan mengenai hubungan antara komisi kebenaran dan rencana Pengadilan Khusus masih belum jelas. Cara bagaimana hubungan ini dilakukan –
apakah dan bagaimana informasi dibagi antara dua badan ini selama jalannya operasi
mereka, sebagai contoh – dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap efektivitas kinerja tiap atau kedua badan ini nantinya.
Terdapat juga ketergantungan yang besar pada mekanisme lokal atau praktik- praktik di komisi kebenaran yang sedang disusun. Seperti dicatat di atas, Komisi Timor
Timur dibentuk untuk merespon pada kebutuhan spesifik di lapangan, dan bergantung pada mekanisme resolusi konflik-berbasis komunitas lokal yang telah ada pada prosedur
rekonsiliasi komunitas yang ada. Demikian juga komisi di Sierra Leone diharapkan untuk memasukkan pemuka-pemuka masyarakat dan pemimpin agama dalam proses-proses
lokal berbasis desa, yang mungkin dapat melibatkan acara pembersihan yang telah berakar pada kepercayaan lokal.
Pentingnya pemikiran yang hati-hati dan konsultasi dalam pembentukan komisi kebenaran yang manapun telah menjadi lebih jelas sepanjang tahun lalu. Di Nigeria, baik
kelompok-kelompok masyarakat madani dan komisi itu sendiri menekankan batasan- batasan inheren dalam kerangka acuan yang membentuk komisi kebenaran negara
tersebut. Secara spesifik, terdapat batasan-batasan jelas yang merupakan hasil dari kepercayaan Undang-Undang Pemeriksaan oleh Pengadilan yang telah ada untuk
memberdayakan komisi, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai “belenggu” straitjacket di mana di dalamnya komisi harus bekerja. Tidak ada proses refleksi dari
cara atau tujuan akhir dari komisi tersebut sebelum dibentuk, yang mengakibatkan kurangnya kejelasan dan tuntutan yang jelas ketika komisi ini memulai kerjanya.
Sehaliknya, Peru melewati proses konsultatif yang relatif luas cakupannya dalam menentukan kerangka acuan bagi komisi kebenaran mereka, tetapi sedikit konsultasi
dalam memilih anggota-anggota komisi di luar kelompok kecil anggota pemerintahan yang membantu untuk memilih para anggota dengan kurun waktu yang singkat. Tujuh
anggota pertama tidak merefleksikan kombinasi yang memadai antara keahlian, keragaman, dan pendapat politik, yang menyebabkan adanya penambahan lima anggota
lagi beberapa minggu kemudian untuk menganeka-ragamkan keanggotaan komisi ini. Proses seleksi ini mengurangi baik proses konsultasi yang kuat dalam perkembangan
komisi ini, dan mulai melemahkan apa yang sebenarnya telah lemah sampai kemudian proses unimpeachable dengan sokongat kuat dari hampir semua partai.
Kekuasaan untuk mengadakan public hearing telah disinggung oleh pengaruh besar acara dengar-kesaksian yang diadakan oleh komisi kebenaran yang ditunjuk oleh
komisi kebenaran di Nigeria. Masyarakat Nigeria telah direcoki sepanjang tahun dengan sesi-sesi komisi kebenaran yang disiarkan oleh televisi, yang disiarkan siang hari dan
kemudian disiarkan berulang-ulang pada malam hari di beberapa saluran televisi, juga disiarkan langsung lewat radio. Kepentingan masyarakat yang besar terhadap kerja
komisi, dan penampilan khusus banyak orang yang dituduh terlibat kejahatan masa lalu, tampaknya menggeser secara fundamental pemahaman masyarakat terhadap kejadian-
kejadian yang berlangsung di bawah kekuasaan militer. Sifat pemaksaan komisi kebenaran Afrika Selatan telah mengarahkan beberapa negara, termasuk Peru, Timor
Timur, dan Sierra Leone, untuk memasukkan komponen dengar-pendapat umum public hearing
dalam mandat mereka, meski cara-cara dengar-pendapat ini dijalankan dan peran yang akan diembannya berbeda-beda tiap negara. Meski demikian, tujuan untuk
membuat komisi kebenaran lebih bernilai ketimbang hanya kegiatan mengumpulkan fakta dan pelaporan – mengubahnya menjadi proses interaksi dengan masyarakat
dibanding dengan kegiatan yang hanya berfokus ke hasil final – tampaknya telah
dimenangkan seutuhnya. Keadilan transisional sebagai suatu kesatuan telah menerima perhatian yang besar
sepanjang tahun lalu dengan banyaknya negara-negara yang keluar dari masa lalu yang suram telah menyadari pentingnya berpikir secara menyeluruh ketika merancang
kebijakan-kebijakan mereka untuk merespon pelanggaran hak asasi manusia masa lampau. Langkahnya bersifat kreatif, pendekatan yang saling berhubungan terhadap
keadilan telah menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk memenuhi lebih banyak dari banyaknya kebutuhan dan permintaan yang menyatakan bahwa negara akan
menentang, sebagaimana juga memenuhi kewajiban-kewajiban hukum negara. Sekarang secara umum telah diakui bahwa pendekatan-pendekatan yang bervariasi terhadap
pencarian kebenaran, penuntutan, reparasi, reformasi, dan inisiatif rekonsiliasi menjadi sangat kuat ketika dirancang dari awal untuk saling melengkapi dan memperkuat.
Beberapa kebutuhan ini mungkin dipertimbangkan pada periode reformasi konstitusional, atau selama periode persetujuan perdamaian yang menegangkan. Adalah penting untuk
memahami secara penuh bagian-bagian dari perjanjian ramifications keputusan- keputusan yang telah diambil pada tahap-tahap awal, yang dapat memberikan pengaruh
yang tidak perlu terhadap kemungkinan membangun akuntabilitas pada tahap selanjutnya.
Sewaktu langkah-langkah kegiatan seputar komisi kebenaran dan keadilan transisional meningkat pada tahun 2000 dan 2001, Ford Foundation mempelopori
pembentukan organisasi baru untuk membantu negara-negara yang baru bebas dari kekuasaan represif atau konflik bersenjata yang berjuang untuk menerapkan kebijakan-
kebijakan keadilan transisional. Dengan dukungan Ford dan yayasan-yayasan lainnya, International Center for Transitional Justice
ICTJ dibentuk pada Bulan Maret 2001, berbasis di New York.
1
ICTJ merespon permintaan-permintaan bantuan hukum dan teknis baik dari pemerintah maupun pihak-pihak lembaga swadaya masyarakat,
membantu membentuk kebijakan-kebijakan yang menjawab situasi nasional yang khusus. Mereka juga melakukan riset dan menyediakan pelatihan dan pengembangan kapasitas
capacity building
bagi orang-orang di negara tersebut yang sedang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai keadilan transisional. Perkembangan-perkembangan
terbaru dan tantangan-tantangan pada keadilan transisional muncul hampir setiap hari. Jelas bahwa pada akhir 2001, bidang keadilan transisional sebagai kesatuan yang utuh –
luas arena masalah, tantangan, dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kejahatan masa lalu – berada dalam kondisi yang berkembang cepat. Kecenderungan yang jelas
menuju komisi kebenaran yang lebih kuat dan lebih berakar adalah salah satu tanda dari perubahan ini. Lebih penting lagi, terdapat harapan yang meningkat terhadap
akuntabilitas pada waktu transisi, dan dengan itu, kesadaran bahwa mekanisme kreatif dapat dimunculkan untuk memajukan kemungkinan-kemungkinan keadilan di lapangan.
Bentuk-bentuk yang dipakai oleh kebijakan keadilan – dan perantara antara berbagai mekanisme yang digunakan – dapat sangat berbeda, seperti yang ditunjukkan dalam
berbagai contoh yang dipaparkan di bawah.
Tentu saja komisi kebenaran hanya merupakan salah satu mekanisme menilai masa lalu, dan kesemua mekanisme itu jelas saling melengkapi tapi tidak saling
mengganti. Kekuatan sebagaimana tantangan dari usaha-usaha pencarian kebenaran berada pada fleksibilitas dan potensi besar mereka, juga seperti kebutuhan untuk secara
hati-hati membentuk rencana kerja dalam merespon kebutuhan-kebutuhan dan kondisi
dari tiap-tiap negara. Penjelasan-penjelasan di bawah menunjukkan bagaimana baiknya beberapa dari komisi-komisi yang baru telah mulai melakukan hal-hal tersebut.
Komisi-Komisi Kebenaran Baru Panama Januari 2001
Sepuluh tahun setelah kejatuhan pemerintahan Manuel Noriega dan invasi Amerika Serikat ke Panama, peninggalan pemerintahan otoriter selama bertahun-tahun tetap belum
jelas. Akhir 1999 kuburan-kuburan tanpa tanda ditemukan di sebuah tempat di dekat markas militer dekat lapangan udara utama di Panama City. Kuburan-kuburan ini
ditemukan setelah para tentara mengaku kepada para pendeta tentang hal ini dan dipercaya masih menyimpan mayat para aktivis oposisi yang dibunuh selama periode
kekuasaan milter.
Dalam usaha merespon permintaan masyarakat untuk melakukan penyelidikan, pada Bulan Januari 2001 Presiden Mireya Moscoso membentuk Komisi Kebenaran
Panama melalui dekrit eksekutif.
2
Komisi ini mendapat mandat untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusi di Panama yang “dilakukan selama rezim
militer”, dari kudeta Bulan Oktober 1968 sampai akhir 1989. Organisasi-organisasi hak asasi manusia nasional dan internasional telah menyediakan bantuan dan informasi
mengenai pelanggaran hak asasi manusia, dengan fokus khusus pada kehilangan manusia. Pada awalnya diberikan mandat selama enam sampai sembilan bulan, komisi ini
memperoleh perpanjangan enam bulan, dan diharapkan dapat menyerahkan laporan final pada awal 2002.
Republik Federal Yugoslavia Maret 2001 Setelah bertahun-tahun bergelut dengan perang di Balkan yang berakhir dengan
perpecahan Yugoslavia menjadi empat negara yang merdeka, kematian lebih dari 200.000 orang dan pengungsian jutaan orang, presiden Republik Federal Yugoslavia,
Slobodan Milosevic, diberhentikan pada akhir 2000. Beberapa bulan kemudian dia ditangkap dan dikenai dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, dan kemudian
pada Bulan Juli 2001, dipindahkan ke Den Haag untuk menghadapi tuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida di depan Tribunal Pidana
Internasional untuk Bekas Yugoslavia ICTY.
Bertindak atas inisiatif sendiri, presiden yang baru terpilih Vojislav Kostunica mengumumkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada bulan Maret
2001. Dengan sedikit konsultasi mengenai aturan kanggotaan komisi, Presiden Kostunica meminta kepada komisi untuk menyusun sendiri Kerangka Acuan mereka. Komisi ini
kemudian menyebarkan draf program kerja kepada masyarakat untuk memperoleh masukan, dan setelah kerangka acuannya telah selesai, mereka mulai kerja secara resmi
pada bulan Februari 2002. Mereka diberikan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penyelidikan mereka dan memasukkan laporan. Sayangnya, komisi ini telah memiliki
kontroversi dari pembentukannya, setelah dua anggotanya langsung mengundurkan diri setelah ditunjuk.
Menimbang kenyataan bahwa banyak pelaku dan korban perang berada di luar Yugoslavia, komisi ini kemudian berkomitmen untuk bekerja secara regional, dan
mengadakan dengar-pendapat atau mengambil kesaksian, sebanyak mungkin, di luar batas negara mereka. Komisi ini juga berkomitmen untuk bekerja-sama penuh dengan
ICTY. Peru Juni 2001
Pemerintahan Presiden Alberto Fujimori tumbang pada bulan November 2000 dengan menghadapi bukti-bukti yang sangat banyak atas korupsi yang berada pada titik tertinggi
di bawah pemerintahannya. Akhir dari rezim Fujimori telah membuka kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban selama dua dekade penyiksaan. Sejak 1980 konflik
bersenjata antara pemerintah dan kelompok oposisi bersenjata The Shining Path and the Tupac Amaru Revolutionary Movement
telah ditandai dengan pembunuhan tanpa pengadilan, penghilangan ribuan orang, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia
dan hukum humaniter internasional serius lainnya. Selama dekade yang lalu, tindakan- tindakan anti demokrasi seperti kontrol kekuasaan eksekutif sistem pengadilan dan
pemilihan telah memberikan kontribusi terhadap erosi hak-hak utama.
Tekanan dari beberapa badan masyarakat madani mengenai permintaan resmi mengenai kekejaman masa lalu memunculkan proses yang cukup ekstensif untuk
meninjau kembali aturan-aturan yang mungkin dari usaha ini, dan pada bulan Juni 2001 presiden sementara mengeluarkan dekrit pembentukan Komisi Kebenaran yang
kemudian dinamakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Mandat komisi ini mengarahkannya untuk menyelidiki kejahatan dan pelanggaran hukum humaniter yang
dikenakan kepada negara atau kepada pemberontak bersenjata antara Mei 1980 dan November 2000. Pada bulan Juli 2001, setelah proses seleksi yang tidak melibatkan
partisipasi masyarakat atau debat publik, anggota-anggota awal komisi ini disumpah oleh presiden sementara.
Menghadapi kritik masyarakat terhadap pemilihan anggota gelombang pertama dan kekhawatiran umum bahwa keanggotaan tersebut tidak cukup representatif, presiden
baru terpilih Alejandro Toledo menunjuk lima anggota tambahan komisi pada bulan Agustus. Kedua-belas anggota komisi dengan Kepala Konfensi Keuskupan Peru menjadi
pengamat memiliki keahlian tentang hak asasi manusia dan seorang komisioner tambahan dari luar kota Lima. Mungkin yang paling kontroversial adalah penunjukan
seorang pensiunan jenderal angkatan udara yang juga bertindak sebagai penasihat keamanan Toledo. Ketika proses seleksi membuat komisi ini mengalami awal yang agak
susah, perhatian kemudian dialihkan kepada substansi kerja komisi, yaitu apa yang akhirnya menentukan kesuksesannya.
Pada pidato pelantikannya, Presiden Toledo menyatakan dukungannya kepada kerja komisi dan memberikan komitmen pemerintahannya untuk menjalankan semua
rekomendasi dari komisi. Komisi ini memiliki sembilan belas bulan untuk menyelesaikan tugasnya, termasuk empat bulan periode persiapan, ditambah kemungkinan perpanjangan
lima bulan. Komisi ini diarahkan untuk menentukan kondisi yang mengakibatkan
tumbuhnya kekerasan, memberikan kontribusi terhadap investigasi yudisial, membuat draf untuk reparasi, dan merekomendasikan reformasi. Komisi Peru juga akan menjadi
yang pertama di Amerika Latin yang mengadakan dengar-kesaksian publik, yang dimulai pada bulan April 2002
Timor Timur Juli 2002 Setelah dua puluh lima tahun di bawah kekuasaan keras Indonesia yang mengakibatkan
sekitar 200.000 orang Timor Timur meninggal dan banyak lainnya diusir, Timor Timur akhirnya diberikan kesempatan pada bulan Agustus 1999 untuk memilih kemerdekaan
atau otonomi. Suara pro-kemerdekaan menang dengan mayoritas penuh, meski berada di bawah intimidasi dan ancaman kekerasan dari milisi yang didukung oleh Indonesia.
Ketika hasil referendum diumumkan, milisi bereaksi dengan melakukan kekerasan, merampok dan membakar sebagian besar kota di sana, membunuh sekitar 1.000 orang,
dan membuat lebih dari 200.000 orang Timor Timur mengungsi ke Timor Barat, bagian dari Indonesia. Setelah melarikan diri ke Timor Barat, banyak dari sekitar 10.000 anggota
milisi Timor Timur takut akan pembalasan jika mereka kembali ke komunitas mereka, sehingga mereka enggan untuk pulang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintah Timor Timur selama masa transisi melalui United Nations Transitional Administration for East Timor UNTAET. Ketika
sebuah proposal untuk komisi kebenaran diusulkan oleh koalisi utama partai-partai politik, Kantor Hak Asasi Manusia-UNTAET memfasilitasi sebuah proses untuk
memasukkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman komisi- komisi kebenaran dari seluruh dunia.
3
Komisi kebenaran yang dibentuk untuk Timor Timur – berdasarkan petunjuk steering committee
dari perwakilan-perwakilan masyarakat madani, gereja, dan kelompok-kelompok partai, tampak berbeda dibandingkan dengan komisi-komisi
kebenaran sebelumnya. Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam bahasa Portugis: Comissão de Acolhimento, Verdade, e Reconciliação diberikan mandat
untuk mendata pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan dalam konteks konflik politik di Timor Timur antara 25 April 1974 dan 25 Oktober 1999. Komisi ini diberikan
kekuasaan sub-poena penuh dan, dengan bantuan polisi, memiliki kekuasaan untuk menyidik dan mensita informasi dari lokasi manapun di dalam negeri. Komisi ini
memiliki waktu 2 tahun untuk menyelesaikan tugasnya, setelah dua bulan periode persiapan, dengan kemungkinan perpanjangan enam bulan.
Sebagai tambahan terhadap fungsi pencarian kebenaran ini, komisi ini juga dibentuk untuk memfasilitasi kembalinya pelaku kejahatan tingkat rendah. Komisi ini
menawarkan: mereka yang terlibat kejahatan yang tidak serius dapat mengakuinya dan meminta maaf atas kejahatannya, dan setuju untuk melakukan pelayanan masyarakat atau
membayar denda atau permintaan maaf di depan umum sebagai sarana untuk memfasilitasi kembalinya mereka. Sedikit mengambil proses-proses tradisional Timor
Timur, pengaturan ini akan dilaksanakan dan dimonitor langsung oleh komisi, dan menghubungkannya melalui panel yang berasal dari masyarakat oleh komisioner regional
dengan keterlibatan komunitas korban dan korban langsungnya sendiri. Pengaturan final akan disetujui oleh pengadilan, dan pelaksanaan persetujuan ini akan menghasilkan
penghilangan tanggung jawab kriminal dan sipil yang timbul dari kejahatan tersebut. Orang yang terlibat atas pembunuhan, kekerasan seksual, mengatur atau
bersekongkol membuat kerusuhan, atau melakukan kejahatan serius lainnya mungkin tidak akan dimasukkan kedalam proses rekonsiliasi komunitas. Sebelum masuk ke
rekonsiliasi komunitas, aplikasi para pelaku akan ditinjau oleh kantor unit kejaksaan kejahatan serius UNTAET, yang memiliki kekuasaan untuk memindahkan seseorang dari
proses komisi kebenaran jika terdapat bukti bahwa mereka terlibat dalam kejahatan yang serius.
Komisi dibentuk dalam hukum melalui regulasi UNTAET di bulan Juli 2001.
4
Sekretariat persiapan dibentuk untuk mempersiapkan logistik, mengumpulkan dana, dan menjalankan semua rencana lainnya untuk memulai komisi di awal 2002. Pada bulan
Desember, setelah konsultasi yang ekstensif oleh panel perwakilan yang telah diseleksi, tujuh komisioner nasional dipilih. Sebagai tambahan, sebuah dewan penasihat kecil yang
terdiri dari pemuka masyarakat Timor Timur dan anggota internasional dibentuk untuk membantu komisi. Komisi ini secara formal diluncurkan, dan para komisioner diambil
sumpahnya di akhir Januari 2002. Perkembangan Lainnya
Sampai tulisan ini disusun, dua komisi lainnya sedang dalam tahap pembentukan yang dalam beberapa segi seharusnya memiliki karakteristik komisi kebenaran, meski mereka
memiliki fokus dan capaian yang lebih terbatas dibandingkan komisi kebenaran yang ada sekarang ini. Di Korea Selatan, Komisi Kebenaran Presidensial Tentang Kematian yang
Mencurigakan Presidential Truth Commission on Suspicious Deaths dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002, untuk menyelidiki kematian para aktivis demokrasi selama
periode rezim otoriter sebelumnya.
5
Komisi ini menerima 8 petisi dalam periode tiga bulan yang ditujukan bagi para korban untuk mendaftarkan klaimnya. Sebagai tambahan
dari mengklarifikasi kondisi para korban, komisi ini juga ditugaskan untuk mencari orang-orang yang terbukti bersalah untuk dihukum. Komisi ini dapat memberikan hadiah
yang senilai dengan 40.000 kepada orang-orang yang dapat memberikan informasi, bukti, atau dokumen yang dapat membantu penyelidikan secara signifikan. Komisi ini
secara umum berfokus pada kasus-kasus individual bukan dengan pola yang lebih luas, penyebab-penyebab, atau konsekuensi menyeluruh dari kejadian-kejadian masa lalu.
Komisi ini mulai bekerja tahun 2002.
Di Uruguay, Komisi Perdamaian dibangun oleh presiden yang baru terpilih, Jorge Batlle, pada bulan Agustus 2000. Komisi ini ditugaskan untuk “menerima, menganalisis,
mengklasifikasikan, dan mengumpulkan informasi bersama-sama sehubungan dengan penghilangan paksa yang muncul selama rezim de facto”. Awalnya komisi ini terlihat
sebagai awal sebuah lembar baru yang mengangkat isu penghilangan setelah bertahun- tahun diabaikan dan secara resmi dibantah, komisi ini kehilangan beberapa dukungan
setelah tampak jelas bahwa hasil kerja mereka relatif akan dibatasi. Dengan enam anggota komisi dan hanya satu staf, seorang sekretaris administrasi, komisi ini
menunjukkan hanya sedikit peningkatan dan memiliki sedikit kekuatan yang dapat secara agresif menyelidiki kasus-kasus individu. Laporan final diharapkan keluar pada awal
2002, yang tampaknya akan berisi rekomendasi reparasi yang dapat dilakukan kepada keluarga orang-orang hilang tersebut.
Komisi Kebenaran yang Sedang Dikembangkan Sangatlah mungkin komisi kebenaran akan dibentuk di beberapa negara berikut ini,
beberapa di antaranya mungkin akan terbentuk dalam waktu tidak lama lagi. Ghana
Pemerintah Ghana menggagas pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional pada awal 2001, dan mengusulkan agar mandatnya mencakup seluruh periode dari pemerintahan
militer, termasuk saat Jerry Rawlings menjabat sebagai penguasa militer. Selama beberapa bulan berikutnya, konsultasi nasional dan internasional yang intensif dilakukan
untuk menimbang mandat dan jangkauan yang paling baik bagi komisi tersebut, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa mandat itu harus sampai hingga waktu kemerdekaan
di tahun 1957 dan mencakup semua pemerintah sampi dengan tahun 1993, ketika Jerry Rawlings menyerahkan dirinya dalam proses pemilihan dan kemudian terpilih menjadi
presiden. Rancangan Undang-Undang finalnya, yang kemudian disahkan menjadi undang-undang pada bulan Januari 2002, memberikan kesempatan pada komisi tersebut
untuk memfokuskan diri pada tahun-tahun pemerintahan yang tidak konstitusional Februari 1966 sampai dengan bulan Agustus 1969; Januari 1972 sampai dengan
September 1979; dan Desember 1981 sampai dengan Januari 1993. Namun undang- undang tersebut mengizinkan komisi untuk menilik kejadian-kejadian yang terjadi pada
periode Maret 1957 sampai dengan Januari 1993 yang mungkin tidak ada dalam waktu- waktu yang ditentukan di atas. Organisasi Masyarakat Sipil, terutama Pusat
Perkembangan Demokratis di Ghana, memainkan peranan yang kuat dalam memfasilitasi proses konsultatif dari rancangan undang-undang tersebut. Keanggotaan komisi tersebut
sedang dipertimbangkan saat tulisan ini dibuat. Komisi ini diharapkan sudah mulai bekerja pada bulan Mei atau Juni 2002.
Bosnia-Herzegovina Setelah lebih dari tiga tahun diskusi, gagasan komisi kebenaran untuk Bosnia-
Herzegovina mulai mendapatkan banyak perhatian di tahun 2000 dan 2001. Organisasi- organisasi HAM lokal yang mendorong didirikannya komisi ini memahami komisi ini
sebagai pelengkap dan pembantu kerja-kerja dari Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia, dan bukanlah suatu badan yang akan menggantikan pengadilan
tersebut. Tribunal sendiri, yang tadinya menentang gagasan didirikannya komisi kebenaran nasional, mempertimbangkan kembali pandangannya setelah berkonsultasi
dengan beberapa aktor lokal, dan kemudian mendukung proposal itu. Kerangka Acuan Kerja Term of Reference dari komisi tersebut telah diubah untuk memastikan pemberian
informasi oleh Komisi bila Tribunal memintanya dan juga agar Komisi tersebut tunduk
pada juridiksi Tribunal tersebut. Satu aspek unik dari mandat yang diusulkan ini adalah bahwa Komisi ini juga ditugaskan untuk medokumentasikan tindakan-tindakan positif
dari seluruh garis etnis maupun agama yang dilakukan untuk membantu mereka yang ada dalam bahaya pada masa perang.
Burundi Setelah delapan tahun pergolakan sipil dengan 250,000 orang diperkirakan telah
meninggal, suatu pemerintahan transisional mulai memegang tampuk kekuasaan pada tanggal 1 November 2001. Perjanjian damai yang membuat didirikannya pemerintahan
transisional ini juga menentukan agar suatu komisi kebenaran nasional didirikan untuk menyelidiki kejadian-kejadian yang terjadi pada periode tahun 1962 sampai dengan
Agustus 2000, dan juga suatu komisi penyelidikan internasional, yang akan melihat apakah genosida telah terjadi dan apakah tribunal internasional dibutuhkan. Perjanjian ini
menentukan bahwa komisi kebenaran akan didirikan 6 bulan sejak berdirinya pemerintah transisional. Bila komisi ini didirikan, maka ia akan menghadapi suatu tugas yang sulit,
yakni menentukan kebenaran tentang suatu konflik ketika konflik itu sendiri masih berlangsung. Hal ini disebabkan masih adanya kelompok-kelompok pemberontak yang
belum berpartisipasi dalam perjanjian tersebut, dan kekerasan yang masih berlangsung akan menghalangi para penyelidik untuk mencapai beberapa wilayah di Negara itu.
Lain-Lain Suatu Komisi kebenaran sedang diusulkan di Meksiko, dengan dukungan dari berbagai
pembela HAM dan beberapa anggota pemerintah Presiden Vicente Fox, namun beberapa pihak masih skeptis. Isu ini tetap ada di atas meja di Meksiko dan tetap mendapatkan
cukup banya perhatian selama tahun 2002. Usulan pembentukan komisi kebenaran di Indonesia yang didiskusikan secara serius selama tahun 2000 dan awal 2001 akhirnya
masih tetap tidak jelas dengan naiknya seorang Presiden baru, Megawati Sukarnoputri, pada bulan Juli 2001. [Saat buku ini disiapkan untuk penerbitan versi terjemahan
Indonesiannya, Komisi yang dimaksud, yang dikenal sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sedang dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004.] Akhirnya, beberapa
aktivis di beberapa Negara seperti Kroasia, Moroko dan Kenya, juga sedang mengusulkan dibentuknya komisi kebenaran – dan mereka juga mendapatkan dukungan,
namun prospeknya masih belum jelas. Perkembangan Komisi-Komisi yang Digambarkan di Bab Lima
Dua komisi yang digambarkan di bab lima telah mengalami kemajuan-kemajuan sejak publikasi edisi pertama dari buku ini. Di Nigeria, komisi kebenarannya sedang
menyelesaikan pekerjaannya, sementara di Sierra Leone, komisi kebenaran baru akan mulai bekerja setelah mengalami banyak penundaan.
Nigeria Panel Oputa, yang adalah sebutan dari Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di
Nigeria, mulai bekerja dengan hampir tanpa perencanaan dan sangat sedikit dukungan dana dari pemerintah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, panel ini mendapatkan
perhatian dan dukungan publik yang cukup besar, kebanyakan melalui proses dengar- kesaksian publik public hearing yang diperhatikan dengan saksama selama satu tahun.
Kerja panel yang setiap harinya disiarkan melalui TV dan disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Nigeria tampaknya berhasil mencapai ke seluruh tingkat masyarakat. Komisi
ini mengadakan sesi dengar-kesaksian publik tanpa henti selama lebih dari satu tahun, melakukan perjalanan ke beberapa lokasi di negara tersebut dan mengundang pada
korban dan mereka yang dituduh dalam berbagai bentuk acara. Walaupun komisi ini memiliki kewenangan untuk melakukan sub-poena, ia jarang menggunakannya, dan
kebanyakan dari yang tertuduh datang secara suka rela untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang ditujukan terhadap mereka. Namun yang mengecewakan dari kerja komisi ini
adalah ketidakberhasilannya dalam melakukan tanya-jawab dengan tiga mantan kepala negara, dua di antaranya menggunakan perintah pengadilan untuk mencegah diri mereka
di-sub-poena.
Kesuksesan panel ini sangat luar biasa bila mengingat terbatasnya sumber daya yang diberikan kepadanya – hanya 450,000 dalam bentuk hibah dari Yayasan Ford,
yang membiayai sesi-sesi dengar-kesaksian publik. Karena keterbatasan ini, komisi ini tidak dapat melakukan penyelidikan atau pengecekan ulang dari kasus-kasus yang ada
selain daripada mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam sesi- sesi tersebut. Komisi ini memang meminta Kepala Inspektur Polisi untuk membentuk
unit khusus dari kasus-kasus yang dari temuan dalam sesi-sesi itu terlihat memang harus diproses secara hukum, dengan kira-kira 35 kasus akan diserahkan oleh komisi ini kepada
unit tersebut untuk disidik. Diharapkan laporan panel tersebut akan selesai pada awal atau tengah tahun 2002.
Sierra Leone Rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone diperlambat
dengan munculnya kembali pertikaian antara para pemberontak dan pemerintah pada awal tahun 2000. Pada akhir 2001, ketika proses perdamaian dan pelucutan senjata mulai
mengalami kemajuan, proses untuk memilih 4 orang anggota komisi dari tingkat nasional dan 3 dari internasional dilakukan. Setelah menerima lebih dari 60 nominasi dari publik
untuk anggota komisi nasional, suatu panel pemilih yang representatif melakukan wawancara dengan kandidat-kandidat yang terbaik dan akhirnya telah memutuskan
keempat anggota komisi nasional. Sementara itu Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia sedang memilih tiga anggota komisi dari internasional. Diharapkan ketujuh
anggota komisi akan dilantik pada bulan Mei 2002, dan mulai bekerja segera sesudahnya.
Kesimpulan Segera setelah kampanye militer AS dimulai di Afghanistan, pada musim gugur 2001,
telah mulai ada diskusi awal tentang pembentukan komisi kebenaran untuk negara tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa diskusi itu dipicu oleh personel-personel
internasional di wilayah tersebut yang sudah mempunyai cukup pengalaman sehingga mengerti keuntungan dan kesulitan dari gagasan semacam itu. Ketika pemerintahan
sementara mulai berkuasa di Afghanistan dan pertanyaan-pertanyaan tentang akuntabilitas untuk masa lalu tetap belum didefinisikan, belumlah jelas apakah keinginan
dari masyarakat Afghanistan dan apakah menggali dan menceritakan kembali kekerasan yang diderita selama bertahun-tahun akan membatu mereka untuk menyelesaikan
konflik-konflik dan menyembuhkan luka mereka. Pertanyaan pertama yang harus ditanyakan, seperti biasanya, adalah apakah dan bagaimana masyarakat di manapun,
terutama mereka yang menderita secara langsung karena kebijakan-kebijakan di masa lalu, mau mengingat dan mengabadikan masa lalu mereka, dan bila ya, apa mekanisme
yang paling kuat dan sesuai untuk melakukannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum dijawab di Afghanistan, sebagaimana juga di negara-negara lain yang mungkin akan
berhasil bangkit dari kekuasaan yang sewenang-wenang di waktu yang akan datang.
Namun pertanyaan apakah Afghanistan dan negara-negara lain memutuskan untuk mengambil jalan menuju pencarian kebenaran secara formal itu sebenarnya kalah
penting dari bagaimana negara itu mengembangkan dan menggunakan visi yang lebih luas untuk menghentikan kebudayaan impunitas yang memang sangat jamak dalam
negara-negara yang baru keluar dari kekuasaan otoriter. Pandangan yang luas menuju keadilan dalam jangka panjang, termasuk pertanggungjawaban atas masa lalu dan
pencegahan atas pelanggaran-pelanggaran di waktu yang akan datang menjadi tujuan dari keputusan-keputusan sulit yang harus diambil.
1 2
3 4
5
Epilog: Menatap ke Depan
Februari 2000
Minggu depan saya akan bergabung bersama suatu tim yang akan pergi ke Indonesia untuk membantu pemerintah dalam memikirkan tentang program keadilan
transisionalnya, termasuk tentang perincian perencanaan dari Komisi Kebenaran Indonesia yang mungkin akan didirikan untuk mencakup pelanggaran rezim Suharto yang
banyak jumlahnya. Saya lalu akan melakukan perjalanan ke Siera Leone mewakili Komisioner HAM PBB untuk membantu perencanaan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Sierra Leone. Kemarin saya menerima telepon dari Timor Leste tentang ketertarikan yang semakin tinggi terhadap gagasan membentuk Komisi Kebenaran di
sana, yang independen dari pengembangan komisi kebenaran di Indonesia.
Ketia saya menulis ini, suatu konferensi internasional sedang dibangun di Sarajevo untuk mendiskusikan proposal tentang komisi kebenaran Bosnia yang telah
dipertimbangkan selama beberapa tahun terakhir, namun ketertarikan terhadap gagasan tersebut tampaknya baru-baru ini mendapatkan momentum yang baik. Beberapa minggu
yang lalu saya menerima e-mail dari Kamboja yang menggambarkan tentang diskusi yang sedang berjalan tentang komisi kebenaran di negara tersebut untuk mencakup
pembantaian yang terjadi selama rezim Pol Pot dua puluh tahun yang lalu. Mereka sedang berusaha mengukur ketertarikan popular terhadap komisi kebenaran di Kamboja,
apa tujuan yang dapat dicapainya, dan bagaimana komisi semacam itu dapat memfokuskan kerjanya ketika telah begitu besar proporsi masyarakat menjadi korban
langsung. Beberapa bulan yang lalu suatu konferensi internasional tingkat tinggi dilangsungkan di Bogota yang menunjukkan konsensus yang jelas bahwa suatu komisi
yang menyelidiki kebenaran harus menjadi bagian dari perjanjian perdamaian Kolombia apa pun, bahkan ketika memang diakui bahwa perjanjian perdamaian tersebut mungkin
akan baru dapat direalisasikan bertahun-tahun yang akan datang. Diskusi aktif mengenai penyelidikan kebenaran juga dilakukan di Filipina, Jamaika dan Burundi, walaupun tiap-
tiap negara ini berbeda dari satu sama lain. Sementara di Peru sedang terjadi perencanaan yang matang antara beberapa organisasi dan anggota parlemen legislators tentang
gagasan pembuatan komisi semacam ini kapan saja transisi politik mengizinkan.
Apa yang mungkin paling memukau tentang berbagai perkembangan yang terjadi di berbagai tempat di dunia dan mencakup berbagai situasi politik dan konteks sejarah
tersebut adalah bahwa setiap pencetusan gagasan pembentukan komisi kebenaran tampaknya mencerminkan keinginan nasional yang sungguh-sungguh untuk mencari
kebenaran. Bukannya saran dari orang luar – biasanya warga negara tersebut sendiri, advokat non-pemerintah, kelompok korban, dan pemerintah maupun oposisi – yang
selama ini mendorong didirikannya badan-badan pencari kebenaran ini. Seiring dengan itu tampaknya ada pengertian dalam tiap kasus bahwa pencarian kebenaran apa pun harus
dibangun sesuai dengan situasi khusus negara tersebut. Afrika Selatan mungkin telah memicu gagasan tersebut tampaknya semua negara telah mendengar tentang komisi
kebenaran Afrika Selatan meskipun dari jauh dan tidak begitu mengerti detail-detailnya, namun tampaknya ada tekad yang sehat dalam semua negara ini bahwa mereka akan
mengadaptasikan model yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
Ketertarikan terhadap komisi kebenaran ini juga telah mendapatkan dukungan dari kalangan para tokoh dan pembuat kebijakan di ranah internasional. Salah satu
komentar yang baru-baru ini dibuat yang mengejutkan dan sangat mengesankan tentang subjek ini adalah, misalnya, dikemukakan oleh Timothy Garton Ash, seorang penulis
yang perseptif tentang Eropa Tengah yang telah mengamati dengan saksama transisi demokrasi di wilayah tersebut dan di beberapa tempat lain. Dalam pengamatannya
tentang perkembangan selama sepuluh tahun di Eropa, ia menyatakan bahwa “dengan melihat pengalaman yang lalu … semua negara di Eropa Tengah dapat dan harusnya
mencoba membentuk komisi kebenaran secepatnya”. Ia menyimpulkan “Jadi bila saya diminta untuk membuat suatu saran pendek tentang bahan dari revolusi model baru, saya
akan mengatakan: pembangkangan sipil masal yang damai, disalurkan oleh elite oposisi; perhatian dan tekanan dari dunia luar; transisi yang dinegosiasikan melalui kompromi
yang dilakukan melalui diskusi; dan suatu komisi kebenaran”
1
Jadi apa yang dapat ditarik dari semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan mengenai dan ketertarikan terhadap proses resmi pencarian kebenaran ini, dari fokus
yang intensif terhadap mekanisme yang relatif masih baru ini – sesuatu yang baru dianggap sebagai intitusi generik selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini?
Mengapa komisi kebenaran tiba-tiba menjadi populer, dan menuju ke mana kira-kira semua proses ini?
Mungkin akan lebih adil bila kita mengakui terlebih dahulu bahwa komisi kebenaran telah mulai populer jauh sebelum mekanisme ini dimengerti sepenuhnya dan
sebelum efek dari kerja komisi-komisi yang terbentuk di masa lalu telah dipelajari. Banyak bagian dari buku ini telah menjelaskan hal ini, terutama mengenai asumsi dan
anggapan yang belum teruji yang terkadang dibuat mengenai subjek rekonsiliasi dan penyembuhan luka. Namun negosiator perdamaian internasional dan pemerintah
demokratis yang baru terbentuk sering kali tidak memiliki waktu untuk menanti penelitian akadenis tentang kejadian yang terjadi di tempat lain. Jadi mereka tidak dapat
dikritik ketika mereka melompat – bahkan dengan mata terpejam – ke dalam api komisi kebenaran.
Telah jelas bahwa kepopuleran dan komisi kebenaran merupakan refleksi dari pencarian alat untuk merespon kepada tantangan-tantangan yang muncul dari jatuhnya
rezim-rezim yang represif. Sangatlah jelas bahwa sistem judisial tidak dapat menangani tuntutan-tuntutan mendesak atas akuntabilitas kejahatan-kejahatan yang luar biasa,
bahkan kalaupun sistem hukum yang bekerja dengan baik dan dapat dipercaya ada – yang mana itu sangat jarang terjadi – dan pengadilan internasional juga tidak dapat sepenuhnya
memenuhi kebutuhan ini, belum lagi bila berbicara tentang penanganan isu-isu paralel yang jatuh di luar tanggung jawab pengadilan namun berada di tengah-tengah tuntutan
dari suatu masa transisi. Terlalu sedikit mekanisme yang menangani kebutuhan yang mendesak atas akuntabilitas, reformasi, rekonsiliasi, pengakuan atas kesalahan, preservasi
sejarah, dan reparasi korban. Maka komisi kebenaran dipandang dengan penuh harap, walaupun dengan sedikit pengertian mengenai kerumitan prosesnya dan kesulitan dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Saya bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa kontribusi dari komisi-komisi ini akan sedikit ataupun tidak penting, saya hanya sekadar
mengingatkan bahwa kita harus realistis dalam berharap dan dalam menilai kemampuan dari proses jangka pendek apa pun dalam memenuhi tuntutan yang besar dan mencakup
begitu banyak sisi.
Begitu kita mengetahui dampak dan keterbatasan yang sebenarnya dari badan- badan ini, apakah kepopulerannya akan jatuh? Saya akan menduga bahwa ini tidak akan
terjadi. Bahkan saya menduga bahwa komisi kebenaran akan dengan cepat menjadi “makanan pokok” dalam menu pilihan keadilan transisional. Karena komisi kebenaran
memang menanggapi kebutuhan yang tampaknya sangat fundamental dan dirasakan banyak orang – yakni yang paling utama dan pertama adalah untuk mengetahui dan
mengakui kebenaran, untuk membongkar kebungkaman akan masa lalu yang telah lama dibantah – itulah mengapa kita kemungkinan besar akan melihat semakin banyak komisi
semacam ini akan dibentuk. Saya juga akan meramalkan bahwa dengan bantuan masyarakat internasional, dan atas dasar banyak pembelajaran dari pengalaman di masa
lalu, kita kemungkinan besar akan melihat model-model baru yang tak terduga dikembangkan, dan mungkin termasuk perbaikan-perbaikan dari contoh-contoh di masa
lalu.
Peranan masyarakat internasional sangat menentukan di sini. Terdapat keseimbangan yang rapuh antara apa yang harus diimpor dan bahkan ditegaskan untuk
dilakukan, dalam bentuk panduan-panduan internasional dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman sebelumnya, dengan apa yang harus dibiarkan terbuka bagi
setiap negara untuk dirancang sendiri sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana yang telah jelas tergambar di keseluruhan buku ini, komisi-komisi kebenaran baru yang akan
didirikan dan beroperasi tanpa bantuan internasional dalam bentuk apa pun akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengulangi kesalahan dan bergelut dengan
kesulitan-kesulitan yang telah dihadapi oleh yang lainnya di masa lalu, sehingga apa pun yang mungkin membantu untuk mentransfer pengetahuan mengenai hal-hal semacam ini
haruslah diupayakan. Namun di sisi lain, tidak ada satu model pun yang adalah model paling benar di setiap negara; kreativitas dan sensitivitas terhadap kebutuhan nasional
mungkin adalah bahan yang paling penting untuk mengadakan usaha yang sukses.
Tampaknya dimensi yang berupa-rupa dan banyak dari badan-badan ini telah cukup dikenali, demikian juga halnya dengan potensi kontribusi dan risikonya. Beberapa
tahun yang lalu komisi kebenaran masih dilihat sebagai mekanisme penyelidikan yang memiliki tujuan utama untuk menerbitkan laporan yang resmi authoritative dan faktual.
Bagaimana komisi ini sampai kepada fakta-fakta tersebut dan apa dampak sosial dari komisi tersebut dalam mengumpulkan informasi tidak begitu diperhatikan. Sekarang,
kemungkinan melakukan dengar-pendapat umum public hearing, memajukan penyembuhan sosial dan individual, dan mengambil bagian dalam proses rekonsiliasi
bagaimanapun definisinya telah membuka pertanyaan mengenai cara, yang merupakan topik tersendiri dari hasil akhir yang dicapai.
Sebenarnya bila saya hendak mengusulkan kriteria untuk mengevaluasi kesuksesan suatu komisi kebenaran, saya akan merujuk ke ketiga kategori pertanyaan
yang berbeda di bawah judul proses, produk dan dampak setelah kerja komisi postcommission impact
. Sebagai suatu proses, badan semacam ini harus dievaluasi soal tingkat keterlibatannya terhadap publik dalam mencapai pengertian terhadap apa yang
tidak diketahui atau dalam mengakui apa yang telah selama ini dibantah, mungkin melalui dengar-pendapat umum; apakah komisi ini mendapatkan partisipasi penuh dari
semua aktor dalam penyelidikannya, termasuk dari mantan pelaku; dan apakah kerjanya positif dan mendukung korban dan mereka yang selamat. Ini berbeda dengan produk dari
komisi – kualitas dan sifat dari laporannya dan seberapa jauh kebenaran terungkap, termasuk usulannya dalam masalah reparasi dan reformasi. Dan akhirnya dampak dari
komisi ini setelah pekerjaannya selesai mungkin akan berbeda dari cara operasi dan kualitas laporannya. Tingkat kontribusi kerja komisi kepada rekonsiliasi jangka panjang,
penyembuhan dan reformasi akan sebagian besar ditentukan oleh apakah pelaku dan pejabat pemerintah mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang terjadi dan apakah
laporan komisi tersebut didistribusikan dan digunakan, dan apakah rekomendasi intinya diimplementasikan.
Mereka yang sekarang sedang mengembangkan komisi kebenaran tampaknya sudah mengerti bahwa suatu komisi dapat melakukan lebih daripada sekadar menulis
laporan yang menguraikan fakta. Di Sierra Leone, tampak ada keinginan universal untuk melihat komisi kebenaran yang sedang dikembangkan memainkan peranan dalam
memfasilitasi komunikasi antara korban dan pelaku, dan dengan demikian memfasilitasi pemasukan kembali reincorporation mantan kombatan ke dalam komunitas asal
mereka. Ini sangat mungkin terjadi, menurut masyarakat Sierra Leone, dengan keterlibatan aktif dari para pemimpin utama dan pemimpin agama dalam proses komisi,
karena keduanya akan memiliki kewenangan dalam mendorong atau memfasilitasi proses pengakuan acknowledgement dan pemaafan. Banyak dari para kombatan, terutama
anak-anak, yang diculik dan dipaksa untuk berperang bersama pemberontak di Sierra Leone, sehingga mereka adalah korban sekaligus pelaku. Sementara itu banyak korban
yang menyatakan bahwa mereka mau memaafkan pelaku bila mereka mengakui apa yang telah mereka lakukan. Masyarakat Sierra Leone juga ingin komisi untuk menangani
pertanyaan dasar tentang mengapa: Mengapa perang Sierra Leone menjadi sangat butal? Mengapa memotong tangan-kaki dan memutilasi badan menjadi kejadian yang umum
dalam perang? Apakah itu pengaruh dari luar, obat bius, atau ada individu-individu yang mengenalkan kebrutalan semacam itu di dalam konflik?
Walaupun tenaga pendorong pembentukan komisi-komisi baru datang dari dalam tiap negara, kita juga menyaksikan meningkatnya “penginternasionalisasian” dari
wilayah kerja ini dalam beberapa aspek. Masing-masing negara ini menggapai keluar untuk mencari bantuan internasional dalam menimbang pilihan-pilihan yang ada – baik
itu dari PBB, LSM atau Yayasan Internasional, ataupun dari para individu yang terlibat dalam komisi kebenaran yang lalu. Tentunya akan ada risiko bahwa komisi kebenaran
akan dibentuk dan dijalankan hanya oleh orang luar yang tidak akan mengerti dinamika dan budaya nasional seperti warga negara itu sendiri. Kasus seperti El-Savador, di mana
suatu negara sangat terpolarisasi secara politik, akan jarang terjadi – yang dengan alasan itu ataupun alasan lain memutuskan untuk tidak melibatkan warga negaranya sendiri
dalam komisi. Di lain pihak, komisi campuran anggota nasional dan internasional yang mulai sering terjadi dapat menjadi aset yang baik, yang mengkombinasikan keahlian dan
pengalaman internasional dengan pengetahuan yang penting mengenai sejarah dan dinamika lokal. Penginternasionalisasian komisi kebenaran menjadi penting khususnya
karena kredibilitas dan patut dipercayanya suatu komisi kebenaran akan didasarkan terutama pada siapa anggota komisnya. Bahkan bila dimulai dengan mandat yang relatif
lemah dan sumir, anggota-anggota komisi yang kuat dapat membuat komisi meraih capaian yang jauh. Komposisi keanggotaan akan menjadi faktor yang penting dalam
menentukan kekuatan dan kesuksesan suatu komisi kebenaran.
Banyak bukti yang mengesankan bahwa sejarah, terutama periode sejarah yang sulit dan menyakitkan, diingat dan diingatkan kembali dalam cara-cara berbeda seiring
jalannya waktu, dan intensitas kepedulian publik terhadap sejarah mungkin mucul dalam siklus tertentu. Bahkan di negara-negara di mana ada usaha untuk menghadapi periode
yang sulit segera setelah transisi terjadi, masa lalu itu mungkin akan menuntut perhatian serius kembali bertahun-tahun sesudahnya. Baik Cili maupun Argentina telah mengalami
beberapa tahun dalam kediaman, dan lalu terjadilah letupan ketertarikan dengan intensitas tinggi terhadap masa lalunya yang menyakitkan. Kepedulian terhadap sejarah
yang dibungkam mungkin malah lebih menguat di generasi yang akan datang, seperti yang dapat dilihat di Jerman berkenaan dengan Holocaust. Mungkin juga negara seperti
Mozambique, setelah tidak menunjukkan kepedulian mengenai proses kebenaran resmi pada awalnya, akan memulai suatu proses penelaahan kembali yang formal setelah
banyak waktu berlalu, atau pada saat situasi politik dan sosial lebih mengizinkan, atau mungkin generasi di masa depan akan melakukan proses dokumentasi yang kebih
informal tentang kengerian yang terjadi di perang yang baru-baru ini terjadi.
Dengan memilih untuk mengingat, dengan mengakui bahwa tidak mungin untuk melupakan kejadian-kejadian ini, suatu negara akan berada dalam posisi yang lebih kuat
untuk membangun masa depan yang lebih stabil, lebih tidak mungkin untuk terancam oleh ketegangan dan konflik yang muncul dari bayang-bayang masa lalu yang misterius.
Suatu usaha formal untuk menangani ingatan-ingatan yang menyakitkan mungkin harus diteruskan jauh setelah kerja komisi selesai, namun hal itu sendiri akan membuat
kontribusi penting dalam mengakui apa yang selama ini dibantah. Pada akhirnya suatu komisi kebenaran seharusnya tidak berusaha untuk menutup isu-isu ini, melainkan – bila
kerjanya baik – maka ia harus berusaha untuk mentrasformasi sejarah dari sumber kepedihan yang tersembunyi dan konflik menjadi titik pengertian dan pengakuan publik,
sehingga masa depan tidak selalu terhalangi oleh masa lalu yang tidak terselesaikan.
1
Bibliografi
Snow Jr., Crocker, “From the Killing Fields, Compassion”, World Paper, Juli 1995, hlm. 16 dan Seth Mydans, “Side by Side Now in Cambodia: Skulls, Victims and
Victimizers, New York Times, 27 Mei 1996. Marks, Stephen P., “Forgetting ‘the Policies and Practices of the Past’: Impunity in
Cambodia”, Fletcher Forum of World Affairs 18, No.2 1994. Rajagopal, Balakrishnan, “The Pragmatics of Prosecuting the Khmer Rouge”, Phnom
Penh Post , 8 Januari 1999.
Mydans, Seth, “20 Years On, Anger Ignites against Khmer Rouge”, New York Times, 20 Januari 1999.
McDonald, Mark, “Cambodians Brace for UN Trial Proposal: Most Want Leaders Punished, but Resist Opening Old Wounds”, San Jose Mercury News, 8 Februari
1999. Boraine, Alex, Janet Levy, dan Ronel Scheffer, eds., Dealing with the Past: Truth and
Reconciliation in South Africa , Cape Town: Justice in Transition, 1995.
Robert F. Kennedy Center, Understanding the Past to Safeguard the Future: Proceedings of a Conference Convened by the University of Malawi and the Robert F.
Kennedy Center for Human Rights at Lilongwe, Malawi, 18-19 Oktober 1996 ,
Washington, DC: Robert F. Kennedy Center, April 1997. Mydans, Seth, “In a Tiny Office, Khmer Rouge Files Tell Grisly Tales”, New York
Times, 13 Januari, 1999.
Nairn, Allan, “Haiti Under the Gun”, The Nation, 15 Januari 1996. Cohen, Roger, “Germany’s East is Still Haunted by Big Brother”, New York Times, 19
November 1999. Weiner, Tim, “Interrogation, C.I.A.-Style: The Spy Agency’s Many Mean Ways to
Loosen Cold-War Tongues”, New York Times, 9 Februari 1997. Priest, Dana, “Army’s Project Had Wider Audience: Clandestine Operations Training
Manuals Not Restricted to Americas”, Washington Post, 6 Maret 1997. Kornbluh, Peter, “Chile’s ‘Disappeared’ Past: US should Acknowledge Complicity in
Murderous Regime”, Boston Globe, 13 September 1998. Wiener, Tim, “All the President Had to Do Was Ask: The C.I.A. Took Aim at Allende”,
New York Times, 13 September 1998.
Dogget, Martha, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown
University Press, 1993. Buergenthal, Thomas, “The U.S. Should Come Clean on ‘Dirty Wars’”, New York Times,
8 April1998.
Stanley, Alessandra, “US Dissents, but Accord is Reached on War Crimes Court”, New York Times
, 18 Juli, 1998. Roth, Kenneth, “The Court the US Doesn’t Want”, New Your Review of Books, 19
November 1998. Kritz, Neil J. dan William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for
Bosnia and Herzegovina: Why, How, And When?” makalah yang dipresentasikan pada Simposium Ilmu Korban Victimology, Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998.
Kritz, Neil J., “Is a Truth Commission Appropriate in the Former Yugoslavia?” makalah yang dipresentasikan pada Konferensi tentang Pengadilan Kejahatan Perang,
Belgrade 7-8 November 1998. Martin, Ian panelis “Kebutuhan atas dan Kemungkinan Dibentuknya Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Wilayah Mantan Yugoslavia”, Konferensi mengenai Sidang Kejahatan Perang, Belgrade, 7-8 November 1998.
Richard J. Goldstone, “Ethnic Reconciliation Needs the Help of Truth Reconciliation Commission”, International Herald Tribune, 24-25 Oktober 1998.
Rosenberg, Tina, “Trying to Break the Cycle of Revenge in Bosnia”, New York Times, 22 November 1998.
Harris, Marshall Freeman, R. Bruce Hitchner dan Paul R. Williams, Bringing War Criminals to Justice: Obligations, Options, Recommendations
, Dayton: The Center for International Programs, University of Dayton, 1997.
Tomuschat, Christian, “Between National and International Law: Guatemala’s Historical Clarification Commission”, dalam Festschrift Jaenicke, Heidelberg: Springer,
1998. Kritz, Neil J., and William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for
Bosnia and Herzegovina: Why, How and When?” makalah dipresentasikan di Victimology Symposium, Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998.
Buergenthal, Thomas, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transitional Law
27, No. 3 1994. Lawyers Committee for Human Rights, Improvising History: A Critical Evaluation of the
United Nations Observer Mission in El Salvador , New York: Lawyers Committee
for Human Rights, 1995. Scharf, Michael P., “The Case for a Permanent International Truth Commission”, Duke
Journal of Comparative and International Law 7 1997.
Klaaren, Jonathan dan Stu Woolman, “Government Effort to Protect Human Rights in Uganda”, Nairobi Law Monthly 35 1991.
Ball, Patrick, Who Did What to Whom? Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project
, Washington, DC: America Association for the Advancement of Science, 1996.
Spirer, Herbert F. dan Louise Spirer, Data Analysis for Monitoring Human Rights, Washington, DC: American Association for the Advancement of Science, 1993.
Brito, Alexandra Barahona de, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile
, New York: Oxford University Press, 1997. Buergenthal, Thomas, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”,
Vanderbilt Journal of Transnational Law 27 1994.
Doyle, Kate, “Getting to Know the Generals: Secret Document on the Guatemalan Military”, makalah ini dipresentasikan di Latin American Studies Association
Conference, Chicago, 24-26 September 1998. Burt, Jo-Marie, “Impunity and the Murder of Monsignor Gerardi”, NACLA Report on the
Americas , MeiJuni 1998.
Ash, Timothy Garthon, “Ten Years After” New York Review of Books, November 18, 1999.
Gordon, Danielle, “The Verdict: No Harm, No Foul”, The Bulletin of the Atomic Scientists
52:1 1996. Tutu, Desmond, No Future without Forgiveness, New York: Doubleday, 1999.
Orentlicher, Diane, “Setting Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 1991.
Cassel, Douglas, “Leson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities”, Law and Contemporary Problems 59 1996.
Cassel, Douglass, “International Truth Commission and Justice,” Aspen Institute Quarterly
5, No. 3 1993. Benedetti, Fanny, “Haiti’s Truth and Justice Commission”, Human Rights Brief,
Washington, DC: Center for Human Rights and Humanitarian Law, Washington College of Law, American University, 3:3, 1996.
Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Western, Southern and Sabaragamuwa
Provinces; Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Central, North Western, North
Central and Uva Provinces;
dan Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Northern and
Eastern Provinces , Colombo: Sri Lankan Government Publications Bureau, 1997;
dirilis untuk publik pada Januari 1998. Ford Foundation, Ford Foundation Annual Report, 1987, New York: Ford Foundation,
1987. Godlman, Francisco, “In Guatemala, All Is Forgotten”, New York Times, 23 Desember
1996. Guatemala: Nunca Más
, 4 jilid, Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, Guatemala City, 1998, versi ringkas dari laporan tersebut telah
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Guatemala: Never Again The Official Report of the Human Rights Office, Archdiocese of Guatemala
, New
York: Orbis Books, dan London: Catholic Institute for International Relations, 1999.
O’donnell, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, eds., Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies
, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986.
Schwartz, Herman, “Lustration in Eastern Europe”, Parker School Journal of East European Law
1 1994. Verbitsky, Horacio, The Flight Confessions of an Argentine Dirty Warrior, New York:
The New Press, 1996. Human Rights Program di Harvard Law School dan World Peace Foundation, Truth
Commission: A Comparative Assessment , Cambridge, MA: Harvard Law School
Human Rights Program, 1997. Human Rights Watch, “Bolivia: Almost Nine Years and Still No Verdict in the ‘Trial of
Responsibilities’”, New York: Human Rights Watch, Desember 1992. Human Rights Watch, “Thirst for Justice: A Decade of Impunity in Haiti”, New York:
Human Rights Watch, September 1996. Human Rights Watch, Chile: The Struggle for Truth and Justice for Past Human Rights
Violations , New York: Human Rights Watch, 1992.
Human Rights Watch, Conspicuous Destruction: War, Famine and the Reform Process in Mozambique
, New York: Human Rights Watch, 1992. Human Rights Watch, Getting Away with Murder, Mutilation, and Rape: New Testimony
from Sierra Leone , New York: Human Rights Watch, Juni 1999.
Human Rights Watch, Human Rights and the “Politics of Agreements”: Chile during President Aylwin’s First Year
, New York: Human Rights Watch, 1991. Human Rights Watch, Report of the International Commission of Investigation on
Human Rights Violations in Rwanda since October 1, 1990 January 7-21, 1993 ,
New York: Human Rights Watch, 1993. Human Rights Watch, Sowing Terror: Atrocities against Civilians in Sierra Leone, New
York: Human Rights Watch, Juli 1998. Human Rights Watch, Truth and Partial Justice in Argentine: An Update, New York:
Human Rights Watch, 1991. Human Rights Watch, World Report 1992, New York: Human Rights Watch, 1992.
Human Rights Watch, Zimbabwe: A Break with the Past? Human Rights and Political Unity
, New York: Human Rights Watch, 1989. Spence, Jack, Davis R. Dye, Mike Lanchin, Geoff Thale, and George Vickers,
Chapúltepec: Five Years Later , Cambridge, MA: HemispherenInitiatives, 1997.
Malamud-Goti, Jaime, “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic Governments”, dalam Justice and Society Program of the Aspen
Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989.
Benomar, Jamal, “Coming to Terms with the Past: How Emerging Democracies Cope With a History of Human Rights Violations”, Atlanta: Carter Center, 1 Juli 1992.
McAdams, James A., ed., Transitional Justice and the Rule of Law in New Democracies, Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1997.
Armon, Jeremy, Dylan Hendrickson, dan Alex Vines, eds., Conciliation Resources: The Mozambique Peace Process in Perspective
, London: Conciliation Resources, 1998, dapat dilihat di
www.c-r.org; Dugard, John, “Is the Truth and Reconciliation Process Compatible with International
Law? An Unanswered Question: Azapo v. President of the Republic of South Africa”, South African Journal on Human Rights 13 1997.
Negenda, John, “The Human Rights Commission”, dalam Uganda 1986-1991: An Illustrated Review
, Kampala, Uganda: Fountain, 1991. Zalaguett, José, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma
of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hastings Law Journal
43, 1992. Zalaquett, Jose, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former
Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon,
Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989.
Méndez, Juan E., “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19, 1997. Méndez, Juan, penutup dalam Horacuio Verbitsky, The Flight: Confessions of an
Argentine Dirty Warrior, New York: The Press, 1996.
Méndez, Juan, tinjauan terhadap A Miracle, A Universe, oleh Lawrence Weschler, dalam New York Law School Journal of Human Rights
8 1991. Herman, Judith Lewis, Trauma and Recovery, New York: Basic Books, 1992.
Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: the Aspen Institute, 1989.
Asmal, Kader, “Victims, Survivors and Citizens – Human Rights, Reparations and Reconciliation”, South African Journal on Human Rights 8, No. 4 1992.
Asmal, Kader, Louise Asmal, and Ronald Suresh Roberts, Reconciliation through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance
, Cape Town: David Philip, 1996.
Wechler, Lawrence, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Tortures, New York: Penguin, 1990, dicetak ulang dengan catatan tambahan, Chicago: University of
Chicago Press, 1998. Lawyers Committee for Human Rights, “El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects
for Legal Reform”, New York: Lawyers Committee for Human Rights, Juni 1993.
Hatamiya, Leslie T., Righting a Wrong: Japanese American and the Passage of the Civil Liberties Act of 1988
, Stanford, CA: Stanford University Press, 1993. Kriesberg, Louis, “Paths to Varieties of International-Communal Reconciliation”,
makalah dipresentasikan di the Seventeenth General Conference of the International Peace Research Association, Durban, South Africa, 22-26 Juni,
1998.
Huyse, Luc, “Justice after Transition: On the Choices Successor Elites Make in Dealing with the Past”, Law and Social Inquiry 20, 1995.
Bassiouni, M. Cherif dan Madeline H. Morris, eds., “Accountability for International Crimes and Serious Violations of Fundamental Rights”, Law and Contemporary
Problems 59, 1996.
Morris, Madeline H., ed., “Symposium: Justice in Cataclysm: Criminal Trials in the Wake of Mass Violence”, Duke Journal of Comparative and International Law 7,
1997. Mamdani, Mahmood, “Degrees of Reconciliation and Forms of Justice: Making Sense of
the African Experience”, makalah dipresentasikan di konferensi Justice or Reconciliation?
di Center for International Studies, University of Chicago, 25-26 April, 1997.
Popkin, Margaret L., Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El Salvador
, University Park: Pennsylvania State University Press, 2000. Popkin, Margaret L., Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El
Salvador , University Park: Pennsylvania State University Press, 2000.
Popkin, Margaret L. dan Naomi Roht-Arriaza, “Truth as Justice: Investigatory Commission in Latin America”, Law and Social Inquiry: The Journal of the
American Bar Foundation 20, 1995.
Popkin, Margaret L., “Judicial Reform in Post-War El Salvador: Missed Opportunities”, paper dipresentasikan pada konferensi yang diadakan oleh Latin American
Studies Association, 28-30 September 1995. Feitlowitz, Marguerite, A Lexicon of Terror: Argentina and the Legacies of Torture, New
York: Oxford University Press, 1998. Feitlowitz, Marguerite, A Lexicon of Terror: Argentine and the Legacies of Torture, New
York: Oxford University Press, 1998. Lo
ś, Maria, “Lustration and Truth Claims: Unfinished Revolutions in Central Europe”, Law and Social Inquiry
1995. Schoon, Marius, dikutip dalam Tony Freemantle, “Confession Reignites a Smoldering
Pain: Anger Flares as Man Learns Identify of Assassin Who Killed his Family”, Houston Chronicle
, 18 November 1996. Dogget, Martha, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York:
Lawyers Committee for Human Rights, and Washington: Georgetown University Press, 1993.
Meredith, Martin, Coming to Terms: South Africa’s Search for Truth, New York: Public Affairs, 1999.
D’Antonio, Michael, “Atomic Guinea Pigs”, New York Times Magazine, 31 Agustus, 1997.
Ignatieff, Michael, “Articles of Faith”, Index on Censorship 25, No. 5 1996. Scharf, Michael P., “Swapping Amnesty for Peace: Was There a Duty to Prosecute
International Crimes International Crimes in Haiti?”, Texas International Law Journal 31
1996. Scharf, Michael P., “The Letter of the Law: The Scope of the International Legal
Obligation to Prosecute Human Rights Crimes”, Law and Contemporary Problems
59 1996. Parlevliet, Michele, “Considering Truth: Dealing with a Legacy of Gross Human Rights
Violations”, Netherlands Quarterly of Human Rights 16, 1998. Roht-Arriaza, Naomi, ed., Impunity and Human Rights in International Law and
Practice , New York: Oxford University Press, 1995.
National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, Bringing them Home: Report of the National Inquiry into the
Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families
, Sydney, Australia: Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1997.
Kritz, Neil J., ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes
, vol 1-3, Washington, D.C.: U.S. Institute of Peace Press, 1995. Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared
, hlm. 428. Herbst, Patricia K. Robin, “From Helpless Victim to Empowered Survivor: Oral History
as a Treatment for Survivors of Torture”, Refugee Women and Their Mental Health
13 1992. Sellers, Patricia Viseur, “Rape under International Law”, dalam Belinda Cooper, ed., War
Crimes: The Legacy of Nuremberg , New York: TV Books, 1999.
Ball, Patrick, Paul Kobrak, dan Herbert F. Spirer, State Violence in Guatemala, 1960- 1966: A Quantitative Reflection
, Washington DC: American Association for the Advancement of Science, 1999.
Ball, Patrik, “Who Did What to Whom: Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project”, kuliah di Columbia University, 15 April 1998.
Pigou, Piers, “Amnesty for Sicelo Dlomo’s Killers”, Daily Mail and Guardian South Africa, 14 April 2000.
Hayner, Priscilla B., “Fifteen Truth Commission – 1974 to 1994: A Comparative Study”, Human Rights Quarterly
16: 4 1994. Hayner, Priscilla B., “In Pursuit of Justice and Reconciliation: Contributions of Truth
Telling”, Cynthia J. Arnson, ed., Comparative Peace Processes in Latin America,
Washington, DC: Woodrow Wilson Center Press, and Stanford, CA: Stanford University Press, 1999.
Hayner, Priscilla B., “Past Truths, Present Dangers: The Role of Official Truth Seeking in Conflict Resolution and Prevention”, dalam Paul C. Stern dan Daniel
Druckman, eds., International Conflict Resolution After the Cold War, Washington, DC: National Academy Press, 2000.
Proyek Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala Proyek Pemulihan Ingatan Historis, REMHI, Guatemala: Nunca Más, 4 jilid, Guatemala
City: Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, 1998. Report of the Commission of Inquiry into Violations of Human Rights: Findings,
Conclusions and Recommendations , Kampala, Uganda: Commission of Inquiry
into Violations of Human Rights, 1994. Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human
Rights Abuse against ANC Prisoners and Detainees by ANC Members ,
Johannesburg, 20 Agustus 1993. Carver, Richard, “Called to Account: How African Governments Investigate Human
Rights Violations”, African Affair 89 1991. Siegel, Richard Lewis, “Transitional Justice: A Decade of Debate and Experience”,
Human Rights Quarterly 20, 1998.
Weiner, Robert O., “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human Rights Amnesties”, St. Mary’s Law Journal 26 1995.
Servicio Paz y Justicia SERPAJ, Uruguay: Nunca Más: Informe Sobre La Violación a Los Derechos Humanos 1972-1985
, edisi kedua, Montevideo, Uruguay: SERPAJ, 1989.
Stef Vandeginste, “Justice, Reconciliation, and Reparation after Genocide and Crimes against Humanity: The Proposed Establishment of Popular Gacaca Tribunals in
Rwanda”, paper dipresentasikan di All-Africa Conference on African Principles of Conflict Resolution and Reconciliation, Addis Ababa, 8 – 12 November 1999.
Ratner, Steven R. dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy
, New York: Oxford University Press, 1997.
Daley, Suzanne, “In Apartheid Inquiry, Agony Is Relived but Not Put to Rest,” New York Times
, 17 Juli 1997. Daley, Suzanne, “Officer Is Denied Amnesty in the Killing of Steve Biko”, New York
Times , 11 Januari 1999.
Daley, Suzanne, “Panel Denies Amnesty for Four Offices in Steve Biko’s Death”, New York Times
, 17 Februari 1999. Whitfield, Teresa, Paying the Price: Ignacio Ellacuría and the Murdered Jesuits of El
Salvador , Philadelphia: Temple University Press, 1995.
Boven, Theo van, “United Nations Commission on Human Rights: Study concerning the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross
Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report”, UN Dok.ECN.4Sub.21993, 8 Juli 1993.
Ash, Timothy Garton, “The Truth about Dictatorship”, New York Review of Books, 19 Februari, 1998.
Ash, Timothy Garton, The File: A Personal History, New York: Random House, 1997. Rosenberg, Tina, Haunted Lands: Facing Europe’s Ghosts After Communism, New
York: Random House, 1995. Rosenberg, Tina, The Haunted Land: Facing Euope’s Ghosts after Communism, New
York: Random House, 1995. Vines, Alex, Renamo: From Terorism to Democracy in Mozambique?, London: James
Currey, 1996. Cepl, Voljtech, “Ritual Sacrifices: Lustration in the CSFR”, East European
Constitutional Review 1 1992.
Minter, William, Apartheid’s Contras: An Inquiry into the Roots of War in Angola and Mozambique
, London: Zed Books, and Johannesburg: Witwatersrand University Press, 1994.
Stanley, William, Risking Failure: The Problems and Promise of the New Civilian Police in El Salvador
, Cambridge, MA: Hemispheric Initiatives, and Washington, DC: Washington Office on Latin America, 1993.
Danieli, Yael, “Preliminary Reflections from a Psychological Perspective”, dalam Theo van Boven, Cees Flinterman, Fred Grünfeld, dan Ingrid Westendorp, eds.,
Seminar on the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms
, Netherlands Institute of Human Rights, Maastricht, Maret 11-15, 1992.
Danieli, Yael, ed., International Handbook of Multigenerational Legacies of Trauma, New York: Plenum Press, 1998.
Brasil: Nunca Maís , Rio de Janeiro: Editora Vozes, 1985.
Amnesty International Report 1993 , New York: Amnesty International USA, 1993, 220.
Amnesty International Report 1997 , London: Amnesty International, 1997.
Amnesty International Report 1998 , London: Amnesty International, 1998.
Antjie Krog, Contry of My Skull, Johannesburg: Random House, 1998, dan New York: Times Books, 1999.
Amnesty International Report 1999 , London: Amnesty International, 1999.
Sims, Calvin, “Retired Torturer Now Lives a Torturer Existence”, New York Times, Agustus 12, 1997.
Pross, Christian, Paying for the Past: The Struggle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror,
terj. Belinda Cooper, Baltimore: John Hopkins University Press, 1998.
Padarath, Ashnie, “Women and Violence in KwaZulu Natal”, dalam Meredith Turshen dan Clotilde Twagiramariya, eds., What Women Do in Wartime: Gender and
Conflict in Africa , London: Zed Books, 1998.
Nino, Carlos S., “The Duty to Punsih Past Abuses of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentine”, Yale Law Journal 100 1991.
Neier, Aryeh, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York: Times Books, 1998.
Neier, Aryeh, “What Should Be Done about the Guilty?” New York Review of Books, 1 Februari, 1990.
Krog, Antjie, “Overwhelming Trauma of the Truth”, Mail and Guardian South Africa, 24 Desember 1996.
Kraus, Clifford, “Chilean Military Faces Reckoning for Its Dark Past”, New York Times, 3 Oktober 1999.
Hume, Cameron, Ending Mozambique’s War: The Role of Mediation and Good Offices, Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press, 1994.
Hamber, Brandon, “The Burdens of Truth: An Evaluation of the Psychological Support Services and Initiatives Undertaken by the South Africa Truth and Reconciliation
Commission”, makalah dipresentasikan di Third International Conference of the Ethnic Studies Network, Derry, Irlandia Utara, 26-28 Juni 1997.
Hamber, Brandon, “Do Sleeping Dog Lie? The Psychological Implications of the Truth and Reconciliation Commission in South Africa”, seminar dipresentasikan di
Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg, 26 Juli 1995. Goldblatt, Beth, “Violence, Gender and Human Rights: An Examination of South
Africa’s Truth and Reconciliation Commission”, makalah dipresentasikan dalam pertemuan tahunan Law and Society Association, 29 Mei – 1 Juni 1997, St. Louis,
Missouri.
Garro, Alejandro M., “Nine Years of Transition to Democracy in Argentina: Partial Failure or Qualified Success?”, Columbia Journal of Transnational Law 31
1993. Comisionado Nacional de Protección de los Derechos Humanos, Los Hechos Hablan por
sí Mismos: Informe Preliminar sobre los Desaparecidos en Honduras 1980-1993 ,
Tegucigalpa, Honduras: Editorial Guaymuras, 1994, atau dalam bahasa Inggris, The Facts Speak for Themselves: The Preliminary Report on Disappearances of
the National Commissioner for the Protection of Human Rights in Honduras ,
terjemahan Human Rights Watch dan Center for Justice and International Law, New York: Human Rights Watch, 1994.
Cienfuegos, Ana Julia dan Christina Monelli, “The Testimony of Political Repression as a Therapeutic Instrument”, American Journal of Orthopsychiatry 53 1983.
Brito, Alexandra Barahona de, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile
, New York: Oxford University Press, 1997. Breaking the Silence, Building True Peace: A Report on the Disturbances in
Matabeleland and the Midlands, 1980 to 1988 , Harare, Zimbabwe: Catholic
Commission for Peace and Justice in Zimbabwe and the Legal Resources Foundation, 1997.
Boraine, Alexander, A Country Unmasked: The Story of the South African Truth and Reconciliation Commission
, Cape Town: Oxford University Press [sedang dalam proses penerbitan ketika buku saya dterbitkan].
Aron, Adrianne “Testimonio: A Bridge between Psychotherapy and Sociotherapy”, Refugee Women and Their Mental Health
13 1992. Amnesty International, “South Africa: Torture, Ill-Treatment, and Executions in African
National Congress Camp”, London: Amnesty International, 2 Desember 1992. Amnesty International, “Rwanda and Burundi: A Call for Action by the International
Community”, London: Amnesty International, September 1995. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders , edisi keempat, Washington, DC: American Psychiatric Association,
1994. Adler, Victims of Soviet Terror: The Story of the Memorial Movement, Westport, CT:
Praeger, 1993. Villa-Vicencio, Charles dan Wilhelm Verwoerd, eds., Looking Back Reaching Forward:
Reflections on the Truth and Reconciliation Commission of South Africa , Cape
Town: University of Cape Town Press, dan London: Zed Books, 2000. Yoon, Carol Kaesuk, “Families Emerge as Silent Victims of Tuskegee Syphilis
Experiment”, New York Times, 12 Mei, 1997.
Catatan
Bab 2: Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu