Kebenaran versus Keadilan: 20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

Bab 7 Kebenaran versus Keadilan:

Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan? Selama negosiasi untuk mengakhiri perang saudara di Guatemala, angkatan bersenjata Guatemala mendukung ide pencarian kebenaran secara resmi. Dalam pertemuan dengan para pembela hak asasi manusia internasional pada tahun 1994, Mario Enriquez, menjadi menteri pertahanan pada waktu itu, menyatakan posisinya dengan jelas. “Kami sangat mendukung komisi kebenaran,” katanya. “Persis seperti di Cili: kebenaran, namun tanpa pengadilan.” Cerita ini diberikan oleh direktur divisi Amerika Human Rights Watch, José Miguel Vivanco, untuk menggambarkan kecemasan di kalangan pembela hak asasi bahwa pencarian kebenaran secara resmi sering kali digunakan sebagai cara menghindari pengadilan oleh para pelanggar hak asasi. Pada akhirnya, mandat untuk membuat komisi di Guatemala secara eksplisit melarangnya untuk memiliki “efek atau tujuan yudisial”, meskipun tidak jelas apa yang dimaksud dengan frase ini. i Apakah, dengan interpretasi yang amat sempit, hal ini membatasi penggunaan informasi yang didapat komisi ini oleh penuntut, misalnya? Pada awalnya ini tidak jelas. Komisi-komisi lain juga mengajukan kecemasan ini. Di El Salvador, penerbitan laporan komisi kebenaran segera disusul undang-undang amnesti secara luas. Di Afrika Selatan, keadilan diperdagangkan: komisi kebenaran menawarkan kebebasan dari tuntutan sebagai imbalan kebenaran seutuhnya mengenai kejahatan bermotif politik. Kasus-kasus ini dan lainnya mendorong kecurigaan bahwa komisi kebenaran malah akan melemahkan prospek keadilan yang sebenar-benarnya di pengadilan, bahkan bahwa komisi secara sengaja digunakan sebagai cara untuk menghindarkan para pelaku dari tanggung jawab. Namun tinjauan serius dari pengalaman yang ada, dan hubungan langsung antara penemuan kebenaran dan usaha penuntutan, menantang kesimpulan demikian. Bahkan dalam kasus ketika tampak ada tujuan untuk mempertukarkan keadilan dengan penyelidikan yang lebih lemah terhadap kebenaran, seperti tampak di Guatemala, El Salvador dan Afrika Selatan, hubungan sebenarnya antara kebenaran dan usaha mencapai keadilan, dan akibat langsung dari usaha penyelidikan kebenaran non-yudisial terhadap prospek keadilan, sebenarnya tidak terlalu jelas. Pengalaman menunjukkan bahwa pencarian kebenaran kadang-kadang secara langsung memperkuat usaha penuntutan sesudahnya, sebagaimana akan digambarkan di bawah ini. Lebih lanjut lagi, komisi kebenaran biasanya dipergunakan bila sistem pengadilan lemah atau nyaris tidak bekerja, atau korup dan berbias politik, dan memiliki prospek yang lemah untuk penuntutan yang serius – ada atau tidak ada komisi kebenaran – bahkan bila tidak ada amnesti yang ditawarkan. Dan akhirnya, badan-badan demikian sering kali mampu memberikan kontribusi terhadap usaha pertanggungjawaban lainnya – dan prospek keadilan ii di masa depan – dalam cara-cara yang tidak bisa digunakan pengadilan. Badan kebenaran non-yudisial tidak dan seharusnya tidak dipergunakan untuk mengganti tindakan yudisial terhadap para pelaku, dan baik korban maupun masyarakat di negara-negara yang memiliki komisi kebenaran pun tidak menganggap demikian. Meskipun subjeknya bisa bertumpang tindih karena sama-sama berkaitan dengan kejahatan di masa lalu, pengadilan dan komisi memiliki tujuan yang berbeda, dan yang satu tidak bisa menjalankan fungsi yang lain. Cendekiawan dan pembuat kebijakan yang kadang-kadang menyatakan bahwa usaha pencarian kebenaran non-yudisial dapat menggantikan penuntutan dengan berhasil – seperti di New York Times bahwa pengadilan kejahatan internasional Yugoslavia seharusnya digantikan dengan pencarian kebenaran non-yudisial – salah memahami peran-peran yang berbeda itu, dan kurang mempertimbangkan nilai penting penuntutan legal bagi para korban dan masyarakat luas. Namun, meskipun terdapat peran yang berbeda, jelaslah dalam banyak kesepakatan damai akhir-akhir ini, dan dalam deskripsi mereka yang terlibat dalam banyak perundingan damai, bahwa terdapat hubungan yang alamiah dan dekat – paling tidak dipersepsikan demikian – antara usaha pencarian kebenaran non-yudisial dan penyelidikanpenuntutan yudisial. Jika amnesti disepakati atau diberikan, para perunding perdamaian atau pemimpin demokratik yang baru bisa menggunakan komisi kebenaran untuk menemukan suatu bentuk pertanggungjawaban pelanggaran di masa lalu, atau memodifikasi amnesti dengan kekuasaan yang diberikan pada komisi kebenaran, misalnya. Mereka bisa menggunakan komisi kebenaran sebagai cara menurunkan pelaku pelanggaran dari posisi kekuasaan, bahkan bila tidak bisa diadili dan dihukum. Mereka bisa juga memutuskan, di meja perundingan, untuk mencapai kesepakatan mengenai komisi kebenaran bersama amnesti luas blanket amnesty, seakan-akan keduanya merupakan satu paket, seperti di Sierra Leone. Namun meskipun terdapat fakta jelas mengenai hubungan dekat antara komisi kebenaran dan keadilan terkompromi atau keadilan terbatas, saya akan menjelaskan bahwa komisi kebenaran seharusnya tidak dilihat sebagai pengganti penuntutan. Komisi kebenaran juga bukan merupakan pilihan kedua, bila keadilan “riil” tidak dapat dicapai, sebagaimana kadang-kadang dinyatakan oleh para pembela hak asasi. Sebaliknya, komisi bisa, dan mungkin akan, memberikan kontribusi positif pada keadilan dan penuntutan, kadang-kadang dengan cara yang paling tidak terbayang sebelumnya. Suatu kesulitan dalam membedakan komisi kebenaran dan pengadilan, dan peran-peran mereka yang berbeda, bisa dipahami. Dan, pembedaan antara keduanya diperlukan untuk memahami interaksi mereka. Pencarian kebenaran resmi dan pengadilan pelaku kejahatan hak asasi sering kali dipertimbangkan, dan dilaksanakan, pada saat yang hampir sama, terutama pada saat transisi politik, dan sering kali tumpang tindih dalam subjek yang dibahas. Namun pengadilan berfokus sempit pada identifikasi tanggung jawab legal individual pada kejahatan spesifik dan pemberian hukuman bagi mereka yang bersalah. Sebaliknya, komisi kebenaran, sebagaimana dicatat di atas, tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan pengadilan, dan hanya komisi Afrika Selatan memiliki kekuasaan untuk memberikan amnesti. Komisi biasanya menyelidiki dan melaporkan, dan tidak lebih jauh dari itu, berfokus pada penggambaran pola-pola luas kejadian selama bertahun-tahun, dan kebijakan serta praktik spesifik yang menyebabkannya. Selain itu, komisi juga memberikan gambaran kasus individual hanya sebagai contoh dari pola itu atau untuk menggarisbawahi peristiwa penting. iii Komisi kebenaran dan pengadilan bisa bekerja dengan sebagian bahan yang sama, dan komisi bisa membuat keputusan yang mirip keputusan hukum dalam menyimpulkan tanggung jawab institusional atau individual. Namun kekuasaan, struktur dan tujuan mereka berbeda. Kesulitan Mencapai Keadilan dalam Pengadilan Karena berbagai alasan yang biasanya tidak terkait dengan komisi kebenaran, keberhasilan penuntutan terhadap pelanggar hak asasi di negara-negara dalam masa transisi dari otoritarianisme biasanya amat rendah. Alih-alih sebagai pengganti tindakan yudisial, dalam banyak kasus komisi kebenaran berperan sebagai pelengkap sistem pengadilan yang amat lemah, membantu mengisi kekosongan yang timbul dari “diam”-nya pengadilan, inkompetensi atau ketidakmampuan pengadilan untuk menyelesaikan ribuan kasus kejahatan yang perlu diselesaikan. Bila dilihat sepintas, pada transisi setelah pelanggaran hak asasi secara besar-besaran, pengadilan yang berhasil mengadili para pelaku amatlah jarang, dan bila pun berhasil, tidak menyentuh penanggung-jawab yang tertinggi. Sebagai contoh, di Guatemala, Haiti dan Uganda – negara-negara yang mengalami sejumlah besar pelanggaran dan tidak ada hukum amnesti yang menghalangi pengadilan bagi banyak dari kejahatan tersebut iv – hanya ada sekitar dua puluhan pengadilan kasus pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya yang dilakukan agen rezim terdahulu. Sebagian besar adalah pengadilan serdadu rendah, bukan perwira senior yang merencanakan atau mengarahkan kekejaman itu. Rwanda hanya sedikit lebih baik: ada hampir 150 pengadilan domestik dalam 3 tahun setelah genosida tahun 1994, meskipun ada lebih dari 130 ribu tahanan yang menunggu saat pengadilan. v Terdapat banyak alasan mengapa sedemikian sedikit pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi dijalankan: sistem yudisial yang nyaris mandek, pejabat yang korup atau bisa disuap, dan kurangnya bukti konkret merupakan alasan-alasan biasa. Sistem yudisial yang kekurangan dana tidak memiliki program perlindungan saksi, dan banyak yang takut untuk memberikan bukti. Polisi atau jaksa penuntut tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan mempresentasikan kasus yang kuat, hakim dan jaksa bergaji rendah, dan pengadilan bekerja dengan amat sedikit sumber daya fisik dan keuangan dan tanpa dukungan administrasi. Di beberapa negara, terutama Amerika Latin, amnesti luas diberikan untuk mencegah pengadilan kejahatan politik, sering kali diciptakan oleh rezim pelanggar sebelum meninggalkan kekuasaan. vi Kadang-kadang, kurang terdapat kemauan politik untuk mempermasalahkan isu yang sukar atau berbahaya secara politis, terutama muncul dari pemimpin nasional yang tidak sepakat dengan pengadilan yang “memecah belah” dan mahal, atau muncul dalam keengganan jaksa atau hakim untuk mengajukan kasus mereka. Di Amerika Latin, angkatan bersenjata yang kuat mencegah atau membatasi penuntutan anggota mereka dari kejahatan mereka, bahkan bila tidak ada pemberian amnesti secara eksplisit. Di Kolombia dan Guatemala, hakim yang mencoba menyelidiki pelanggaran oleh militer dibunuh, sehingga mencegah hakim lain melakukan hal serupa. Bahkan di Afrika Selatan, yang relatif aman dan terdapat sistem pengadilan yang cukup baik untuk menjalankan pengadilan yang serius meskipun masih belum direkonstruksi dari masa-masa apartheid, pembatasan pengadilan cukup jelas. Dua pengadilan berprofil tinggi mengenai kasus era apartheid dilaksanakan tahun 1996, setelah dua tahun penyelidikan intensif dan biaya 8 juta dollar untuk pengadilan saja, tidak termasuk biaya penyelidikan. Meskipun terdapat bukti yang cukup, salah satu dari kedua pengadilan itu berakhir dengan kebebasan semua dari 20 orang tertuduh. Catatan mengenai impunity ini tetap ada meskipun terdapat kewajiban hukum untuk mengadili kejahatan demikian. Beberapa dari kewajiban hukum ini ada dalam traktat internasional, misalnya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Lainnya CAT, atau Konvensi Mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Banyak ahli hukum menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional customary international law, yang memiliki penerapan secara universal, terlepas dari traktat apa pun, juga memberikan kewajiban mengenai tuntutan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, yang menjadikan amnesti bagi kejahatan demikian ilegal. Interpretasi dan jangkauan hukum internasional sedang berkembang pesat, dan terdapat ketidaksepakatan mengenai apa yang dilarang dan apa yang diwajibkan. Namun, beberapa kewajiban tertentu, sebagaimana ada dalam traktat, amatlah jelas. vii Beberapa pakar hak asasi manusia menunjukkan alasan moral dan politis bahwa impunity hanya akan menimbulkan lebih banyak pelanggaran di masa depan. viii Namun, yang penting di sini adalah bahwa bila hukum internasional jelas mewajibkan penuntutan kepada mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia, tindakan serius terhadap pelakunya masihlah jarang, dan banyak amnesti luas masih tetap berlaku. ix Kebenaran versus Keadilan: Tinjauan terhadap Pengalaman Tujuan yang dinyatakan hampir semua komisi kebenaran adalah untuk memperkuat atau memberikan kontribusi pada keadilan di pengadilan. Banyak yang sudah mengajukan catatan-catatan kasus mereka ke pengadilan atau otoritas penuntut dan menyarankan penuntutan, atau menyarankan cara-cara memperkuat sistem pengadilan untuk masa depan. Namun, apakah dari hasil kerja komisi terjadi penuntutan ditentukan oleh banyak faktor di luar kendali komisi: kekuatan dan independensi sistem hukum; kemauan politik lembaga eksekutif dan yudikatif untuk menantang pelaku yang berkekuasaan tinggi; kekuatan oposisi politik atau LSM yang mendorong penuntutan dan berusaha menghalangi atau membatalkan amnesti; dan keahlian, pengalaman dan sumber daya yang dimiliki sistem hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus besar. Namun tidak ada alasan mengapa sebuah komisi tidak bisa memberikan kontribusi pada pengadilan di kemudian hari. Bagian-bagian berikut ini meneliti hubungan antara komisi kebenaran dan prospek keadilan di enam negara: mendorong amnesti di El Salvador; memberikan bukti untuk mendukung tuntutan di Argentina, Uganda dan Haiti; bekerja di bawah amnesti yang telah ada di Cili, dan kemudian memperkuat tuntutan internasional di kemudian hari; dan menawarkan amnesti sebagai imbalan kebenaran di Afrika Selatan. Mendorong Amnesti di El Salvador Amnesti luas yang segera menyusul laporan komisi kebenaran di El Salvador mewarnai ingatan seluruh anggota komisi tersebut, baik warga El Salvador maupun mereka yang memperhatikan transisi di sana. El Salvador merupakan kasus terjelas hingga kini tentang bagaimana amnesti diundang-undangkan sebagai reaksi langsung terhadap laporan komisi kebenaran, namun detail kisah ini menyebabkan kesimpulannya masih belum jelas. Laporan komisi kebenaran El Salvador yang menggunakan bahasa yang keras, mencakup nama lebih dari 40 pejabat tinggi yang terlibat dalam pelanggaran berat, meskipun terdapat tekanan dari pemerintah untuk tidak menyebutkan nama. Sebagai respon terhadap laporan ini dan juga rumor mengenai ancaman kudeta militer yang marah, presiden El Salvador segera mengajukan RUU di parlemen untuk memberikan “amnesti luas, absolut dan tanpa syarat” kepada “semua yang dengan satu dan lain hal terlibat dalam kejahatan politik, atau kejahatan dengan dampak politik”. Hanya lima hari setelah laporan komisi kebenaran diterbitkan, parlemen mengesahkan undang-undang ini, yang didukung mantan oposan bersenjata. x Kenyataannya, laporan komisi kebenaran itu tidaklah mengusulkan penuntutan mereka yang disimpulkan bersalah dalam kejahatan yang mengerikan, yang mengejutkan dan mengecewakan para penganjur hak asasi. Ia juga tidak menolak pemberian amnesti luas, yang bisa saja menyulitkan pengesahan UU amnesti tersebut, karena telah disepakati bahwa saran komisi tersebut mengikat. Banyak yang percaya bahwa pelanggaran eksplisit saran komisi tersebut sedemikian segera setelah terbitnya laporan akan mendapatkan celaan dari komunitas internasional. xi Menurut seorang anggota staf senior, para anggota komisi sempat mempertimbangkan pemberian amnesti, menimbang kondisi sistem peradilan yang begitu bias. Namun sebagai gantinya, dalam laporan itu satu halaman penuh digunakan untuk membahas mengapa pengadilan yang adil tidak mungkin dilakukan yaitu karena ketidakmampuan dan bias pengadilan, dan karena itu harus ditunda hingga reformasi yudisial dilakukan. Apa yang tertulis dalam halaman tersebut dikomentari oleh seorang ketua organisasi hak asasi internasional sebagai “merusak susu sebelanga” dengan menghilangkan harapan dan tuntutan agar sistem peradilan bekerja. xii Laporan itu menyatakan: Satu aspek jelas yang menyedihkan dari situasi ini adalah ketidakmampuan yang amat jelas dari sistem peradilan, baik untuk menyelidiki kejahatan maupun untuk menerapkan hukum, terutama mengenai kejahatan yang dilakukan dengan dukungan langsung maupun tidak langsung dari institusi negara. … Kita harus bertanya, apakah sistem pengadilan mampu, dalam kondisi sekarang ini, untuk memenuhi tuntutan keadilan. Jika kita melihat masalah ini dengan mendalam, pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan tegas. … Pertanyaannya bukanlah apakah yang bersalah harus dihukum, namun apakah keadilan bisa ditegakkan. Moralitas publik menuntut bahwa mereka yang bertanggung-jawab atas kejahatan yang digambarkan di sini harus dihukum. Namun, El Salvador tidak memiliki sistem pelaksanaan keadilan yang memenuhi tuntutan minimum objektivitas dan imparsialitas sehingga keadilan dapat ditegakkan. Dengan kondisi semacam ini, jelas bahwa, untuk sekarang, sistem yudisial satu-satunya yang bisa dipercaya oleh komisi untuk melaksanakan keadilan dengan cara yang sebenar-benarnya adalah sebuah sistem yang sudah direstrukturisasi sesuai dengan kesepakatan perdamaian. xiii Komisi ini mendapatkan kritikan keras karena tidak membahas masalah amnesti. Seorang ahli tentang El Salvador menulis, “Dengan segala kemungkinan, tampaknya komisi kebenaran tidak akan dapat mencegah pemerintah memberikan amnesti luas segera setelah laporannya diterbitkan. Namun komisi tidak menyarankan penuntutan, tidak berkomentar mengenai amnesti, tidak menyerukan usaha untuk menentukan nasib para korban atau mengidentifikasi mereka yang bertanggung-jawab, dan memberikan hanya sedikit kontribusi pada diskusi mengenai cara-cara kompensasi. Seandainya komisi kebenaran menggariskan jenis-jenis kejahatan yang tidak bisa diberi amnesti menurut hukum internasional atau menuntut bahwa amnesti dikaitkan dengan pengungkapan seluruh fakta seperti di Afrika Selatan, pemerintah harus “membayar mahal” untuk amnesti itu”. xiv Meskipun mendapat kritikan keras demikian, anggota komisi Thomas Buergenthal membela posisi komisi. Ia menyatakan bahwa menyarankan penuntutan ketika pengadilan secara serius tidak dimungkinkan hanya akan membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk. “Mereka akan menjalankan proses pengadilan dan pada akhirnya membebaskan para tertuduh,” demikian katanya, yang akan memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membantah temuan komisi itu. “Dan bagaimana cara mengharapkan orang bersaksi melawan mereka? Siapa yang akan bersaksi melawan Menteri Pertahanan [René Emilio] Ponce, misalnya? Saya yakin, pengadilan akan memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan. Tidak ada yang akan memberikan kesaksian, dan semuanya akan dibebaskan, kecuali kelompok kiri. Orang-orang bahkan nyaris terlalu takut untuk berbicara dengan kami.” xv Namun Buergenthal mengakui bahwa komisi bisa saja menggunakan pendekatan yang berbeda. Mungkin merupakan kesalahan untuk tidak berkomentar mengenai amnesti, misalnya, dengan mewajibkan pemilihan umum atau semacam proses nasional atau debat publik sebelum amnesti dibicarakan dalam parlemen. Cukup mungkin bahwa parlemen El Salvador akan memberikan amnesti bagi kejahatan-kejahatan demikian bahkan bila komisi kebenaran tidak memberikan nama-nama para tertuduh, dan bila ia menyarankan demikian. Kesepakatan damai tahun 1991 tidak menyelesaikan masalah ini, dan hanya sepakat bahwa isu amnesti akan dipertimbangkan enam bulan setelah selesainya komisi kebenaran bertugas. Mereka yang menentang UU amnesti, seperti Komisi Pengacara untuk Hak Asasi Manusia yang bermarkas di New York, mengakui bahwa amnesti tampaknya tidak bisa dihindarkan. Komisi ini menulis: “Sebagaimana segera dikatakan oleh pemerintah, partai-partai politik menandatangani kesepakatan pada tahun 1992 bahwa amnesti luas akan diberikan setelah laporan komisi itu. Yang dipermasalahkan adalah waktu, lingkup dan bagaimana amnesti berkaitan dengan saran-saran komisi kebenaran”. xvi Apakah El Salvador akan memberikan amnesti luas atau tidak, jelas bahwa pembahasan RUU yang singkat itu merupakan reaksi langsung terhadap penunjukan nama pelaku dalam laporan komisi, dan merupakan kekecewaan besar bagi mereka yang berharap bahwa komisi kebenaran akan menjadi satu langkah menuju akuntabilitas. Seperti dijelaskan di muka, perwira tinggi militer yang disebut namanya dalam laporan itu dipurnawirawankan dari angkatan bersenjata beberapa bulan kemudian, meskipun dengan penghargaan militer penuh. Meskipun tidak pernah diumumkan, beberapa pengamat melihat amnesti ini sebagai paket, sebagai pertukaran agar militer mau turun. Meskipun ini sangat memalukan sebagai satu bentuk pertanggungjawaban, paling tidak tampak ada satu akibat langsung dari kesimpulan tegas komisi ini. Bukti untuk Mendukung Penuntutan: Argentina, Uganda dan Haiti Berlawanan dengan El Salvador, komisi nasional di Argentina berperan penting dalam pengadilan terhadap mantan anggota junta militer, berperan sebagai model hubungan positif antara komisi kebenaran dan penuntutan di masa depan. Komisi Argentina selalu dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pendahulu pengadilan. Dan memang, ketika kerja komisi ini selesai, anggota komisi menyerahkan catatan-catatan kasusnya langsung ke penuntut. Hal ini memungkinkan mereka segera membangun tuntutan terhadap 9 anggota paling senior rezim militer sebelumnya, dengan akses ke sejumlah besar saksi primer. Menurut wakil jaksa penuntut untuk pengadilan yang paling menonjol, terhadap pemimpin senior rezim militer, Luis Moreno Ocampo, pengadilan itu “tidak akan mungkin” bila tidak ada informasi dari komisi, yang dikenal sebagai CONADEP. “Mungkin bisa dilakukan pengadilan tanpa laporan dari CONADEP, namun tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu, juga dalam jumlah kasus solid yang diberikan,” menurutnya. xvii Dalam waktu sedikit lebih dari 5 bulan, penuntut memperhatikan hampir 9 ribu catatan kasus, memilih lebih dari 800 saksi untuk hadir dalam pengadilan, mencakup sekitar 700 kasus individual. Pengadilan dimulai hanya 18 bulan setelah junta militer turun dari kekuasaan, ketika momentum untuk pertanggungjawaban dan ketertarikan publik masih tinggi. Pengadilan merupakan pertunjukan yang menyentak mengenai kengerian yang direncanakan, memungkinkan publik untuk mendengar kisah langsung dari mereka yang terjerat pusat penyiksaan militer dan masih selamat. Karena komisi mencatat kesaksian secara privat, ini merupakan kesempatan bagi publik untuk melihat para saksi secara langsung menceritakan kisah mereka. Pada akhirnya, lima dari sembilan yang diadili diputus bersalah untuk pembunuhan, penyiksaan dan tindakan kekerasan lainnya, dengan hukuman dari 4 setengah tahun hingga seumur hidup. Sementara rakyat Argentina marah pada hukuman yang rendah dan pembebasan, komunitas negara memuji salah satu keberhasilan pengadilan domestik terhadap mantan pemimpin dalam negara demokrasi baru. Banyak pengadilan lain direncanakan, bergantung pada catatan dari CONADEP, namun segera dipotong. Di bawah tekanan militer, dibuat peraturan yang membatasi penuntutan hanya pada pelanggaran selama “perang kotor”. xviii Ketika presiden Carlos Menem menjabat pada tahun 1989, ia segera memaafkan mereka yang sudah diputus bersalah. Komisi kebenaran di negara lain juga memberikan informasi mereka ke pengadilan dengan saran untuk penuntutan, namun kurang berhasil. Di Uganda, misalnya, komisi kebenaran yang bertugas antara tahun 1986-1995 menyerahkan banyak kasus ke tim penyelidikan polisi bila cukup bukti untuk melakukan penuntutan. Setelah penyelidikan, polisi diharapkan mengirimkan tiap kasus ke jaksa penuntut umum. Namun amat sedikit kasus yang berhasil dibawa ke meja hijau. Menurut ketua komisi Uganda, Jaksa Agung Arthur Oder, komisi menyerahkan sekitar 200 kasus untuk penyelidikan lebih lanjut; jaksa penuntut umum akhirnya menuntut sekitar 50, dan memberikan hukuman untuk sekitar 12 kasus, terutama untuk pelanggaran ringan seperti usaha penculikan atau konspirasi. xix Laporan komisi menyarankan agar semua yang terkait dalam pelanggaran diadili, namun anggota komisi mengakui bahwa hal ini tidak realistis. Oder menyatakan bahwa, “Terdapat mungkin 50 ribu orang yang bertanggung-jawab atas kejahatan itu. Mungkin 10 ribu bisa diidentifikasi. Ada 2-3 ribu yang ditunjuk dalam dokumen komisi. Tapi paling banyak hanya 1-2 ribu yang bisa didatangkan”. xx Namun, karena berbagai alasan, jelas bahwa angka di atas jauh lebih tinggi daripada jumlah yang akhirnya dibawa ke pengadilan. Kegagalan sistem pengadilan untuk menuntut kasus-kasus ini, meskipun ada bukti kuat dan ribuan saksi langsung, mencerminkan sejumlah masalah, termasuk infrastruktur, politis dan psikologis. Uganda merupakan contoh bagus mengenai berbagai jenis tantangan yang menghadapi negara yang berusaha membuat sistem pengadilannya bekerja. Saya bertanya kepada mantan jaksa Uganda, Alfred Nasaba, tentang mengapa begitu sedikit kasus dari komisi yang dibawa ke pengadilan. Ia menyatakan bahwa hanya satu dari tiga kasus komisi diberikan kepadanya oleh polisi selama ia menjadi jaksa, antara tahun 1991-1995. Dan dalam masing-masing kasus, timnya tidak berhasil mendapatkan saksi untuk memberikan kesaksian. “Para saksi berubah pikiran, dan kemudian tidak datang untuk membuktikan kasus mereka,” jelasnya. Dalam kasus lain, saksi meninggal atau menghilang, atau tidak mau bekerja-sama untuk alasan yang tidak jelas. xxi Penasihat kepresidenan Uganda untuk hak asasi manusia, dan mantan jaksa agung, George Kanyeihamba, memberikan alasan serupa. “Ini bukan masalah kapasitas. Ini merupakan pertanyaan tentang pembuktian. Sukar membuktikan kasus ini di pengadilan. Para saksi merasa terintimidasi dan terlalu takut untuk memberikan kesaksian.” xxii Terdapat rasa takut yang tersebar luas terhadap pembalasan bila seseorang bersaksi di pengadilan Uganda. Bahkan komisi kadang-kadang menemukan bahwa saksi datang lagi ke dengar-kesaksian dan membantah ucapan mereka sebelumnya, sekalipun sudah direkam. Jelas bahwa mereka mendapat tekanan untuk mencabut cerita mereka, apalagi bila mereka menunjuk nama. Tentu saja para saksi semakin ragu-ragu lagi apabila mereka diharapkan membantu memenjarakan orang. Di sebuah negara yang terkenal di seluruh dunia karena kebrutalan rezim Idi Amin dan Milton Obote, tampak mengherankan bahwa tuntutan pengadilan bisa gagal karena kurangnya bukti. Menteri kehakiman, Bart Katureebe, menceritakan sebuah kisah untuk menjelaskan bagaimana ini bisa terjadi. Ketika ia masih seorang pengacara muda pada dekade 1970-an, di bawah pemerintahan Idi Amin, ia menjadi pegawai rendahan di Departemen Kehakiman. Satu hari, ia dan rekan-rekannya melihat dari jendela mereka di lantai 4, tentara-tentara memasukkan seseorang ke dalam bagasi mobil, hampir bisa dipastikan akan mengalami siksaan berat, mungkin akan dibunuh. “Namun jika Anda membawa saya ke pangadilan sebagai saksi, saya tidak bisa menunjuk siapa yang bersalah. Saya tidak bisa mengenali mereka dari tempat saya. Dan semua orang lain di tempat itu kabur. Jika ada yang melihat kejadian seperti itu, mereka selalu menghindar. Jadi tidak ada saksi mata yang bisa menunjuk siapa tepatnya yang melakukan hal itu.” xxiii Menteri Kehakiman Katureebe melanjutkan bahwa mereka yang paling bersalah, bahkan mereka yang posisinya tinggi dalam hierarki, justru malah paling sukar untuk diadili. “Jika Idi Amin dibawa ke Uganda sekarang, mungkin ia tidak bisa diadili berdasarkan hukum kami. Ia tidak terlibat langsung dalam tindakan-tindakan itu. Diperlukan kasus spesifik, dan bukti yang belum dirusak, untuk membuktikan kasus itu.” Ia bertanya, apakah aturan-aturan pembuktian yang normal bisa ditinggalkan, agar dapat menuntut seorang mantan despot? Di Uganda, keputusannya adalah tidak, demi keadilan dan hukum. “Bukti yang diberikan kepada komisi demikian dapat dipercaya sehingga Anda akan menganggap bahwa ia pasti akan dihukum. Namun bila mereka dibawa ke pengadilan, dengan aturan pembuktian yang berbeda, mereka dibebaskan dari tindakan pelanggaran yang spesifik. Ini membuat kasus-kasus lain tidak jadi diajukan,” lanjut Katureebe. Seorang mantan wakil presiden dan menteri pertahanan semasa Idi Amin kini hidup sebagai orang bebas di Uganda, setelah dibebaskan di pengadilan. “Kebijakan kami di Uganda adalah: bila ada kasus, tuntut dia. Kalau tidak bersalah, biarkan dia hidup sebagai warga negara biasa. Kebijakan ini sudah memberikan hasil.” Argumen Menteri Kehakiman Katureebe, bahwa para pemimpin hanya bisa diadili bila mereka terlibat dalam kejahatan spesifik, tidaklah tepat benar. Bahkan, dalam teori “tanggung jawab komando” yang sudah diterima dalam hukum internasional, seorang atasan sipil atau militer harus bertanggung-jawab tidak saja untuk perintahnya yang melanggar hukum, namun juga untuk tindakan bawahannya bila 1 ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahannya melakukan atau akan melakukan tindakan demikian, dan 2 ia tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah hal demikian atau menghukum bawahannya. Penuntutan yang berhasil terhadap pemimpin junta di Argentina, misalnya, bergantung pada prinsip ini. xxiv Namun, penuntutan tetap memerlukan kemauan politis. Anggota komisi di Uganda bercerita mengenai kasus yang demikian jelas, yang catatan tertulisnya saja sudah cukup untuk menuduh, namun si tertuduh hanya ditahan sebentar, dilepaskan dengan jaminan, dan kasusnya tidak diselidiki secara serius. Banyak orang yang dikenal sebagai pembunuh berkeliaran di Uganda, sebagaimana dipahami anggota komisi. “Saya baru bertemu salah satu dari mereka di bank,” menurut ketua komisi Oder. “Seorang pejabat tinggi dalam komunitas Muslim di sini. Ada bukti jelas tentang kejahatannya, tapi ia tetap bebas.” xxv Dan masih ada tantangan lain. Unit penyelidikan polisi di Uganda sangat kekurangan staf, sumber daya dan kemampuan, karena pembersihan besar-besaran di jajaran kepolisian pada masa Idi Amin. Ada atau tidak adanya bukti, pengadilan mengenai kejadian masa sebelum 1986 tampaknya tidak mungkin terjadi di Uganda. Hal itu diperparah dengan hanya sedikitnya saksi yang mau mengusahakan untuk memenjarakan tetangganya, penyidik yang terlalu banyak pekerjaan dan terlalu sedikit kemampuan, dan hanya sedikit ketertarikan mengenai pengadilan tentang peristiwa pada masa rezim sebelumnya. Faktor-faktor lain telah mengalahkan hasil kerja komisi kebenaran. Di Haiti pada awalnya juga direncanakan bahwa informasi dari komisi kebenaran akan digunakan untuk menuntut mereka yang terlibat dalam pelanggaran. Mandat komisi ini menyuruhnya untuk menyerahkan informasi tersebut ke departemen kehakiman. Sementara komisi menyelesaikan kerjanya, Menteri Kehakiman René Magloir mantan anggota komisi yang turun untuk menjadi menteri kehakiman memberitahu saya bahwa kantornya sedang mempersiapkan diri untuk menerima laporan itu. xxvi Namun meskipun terdapat usaha untuk mendorong pengadilan tingkat tinggi, hanya sedikit kasus yang sudah maju selama tahun-tahun sejak pemerintahan demokratik kembali ke Haiti pada tahun 1994 dan komisi kebenaran menyerahkan catatannya ke departemen kehakiman pada awal tahun 1996. Para pengacara internasional yang bekerja pada beberapa dari kasus itu menyatakan bahwa terdapat ketakutan akan pembalasan pada pada saksi, pengacara, hakim dan bahkan polisi, yang mempersulit penuntutan. Kelompok-kelompok bersenjata berat yang bertanggung-jawab pada pelanggaran di masa lalu masih aktif di seluruh negeri, dan banyak orang tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka dengan mencoba menyelidiki, menuntut atau menjadi saksi melawan orang-orang yang masih sangat berbahaya itu. Amnesti yang Sudah Diberikan di Cili Cili menunjukkan bahwa meskipun sudah terdapat pemberian amnesti, informasi dari komisi kebenaran bisa digunakan di pengadilan paling tidak untuk menentukan identitas pelaku dalam beberapa kasus individual. Militer Cili menganugerahkan amnesti luas kepada dirinya sendiri pada tahun 1978, yang mencakup hampir semua kejahatan yang ia lakukan sejak merebut kekuasaan pada tahun 1973. Ketika ia menyerahkan kekuasaan pada tahun 1990, amnesti ini tetap diberlakukan. Sementara kejahatan yang terjadi sejak tahun 1978 bisa dituntut, mayoritas pelanggaran serius terjadi pada tahun-tahun pertama masa kekuasaan militer, dan dicakup dalam aturan amnesti tersebut. Namun pengadilan yang membahas masa awal ini tetap berjalan; peraturan amnesti ditafsirkan hanya melarang pemberian hukuman, namun tidak bisa mencegah penyelidikan, bahkan interogasi di pengadilan untuk menentukan pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan. Ketika Presiden Patricio Aylwin Azocar mulai berkuasa pada tahun 1990, ia berpikir untuk membatalkan UU amnesti, dan mendapat tekanan untuk melakukan hal itu dari kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban. Pada akhirnya, ia membiarkan aturan tersebut tetap berlaku. Beberapa pengamat mengklaim bahwa ini merupakan keputusan politis, karena ia masih diawasi oleh militer yang masih kuat. Aylwin dan para penasihatnya pada waktu itu menekankan bahwa mereka tidak mendapat cukup dukungan di Parlemen untuk menghilangkan ketentuan amnesti itu. xxvii Meskipun terdapat amnesti itu, Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi diwajibkan melaporkan ke pengadilan semua fakta yang ia temukan tentang kejahatan. Dengan terbitnya laporan komisi tersebut, Presiden Aylwin mengumumkan posisinya mengenai bagaimana UU amnesti semestinya ditafsirkan, memerintahkan pengadilan untuk tidak menggunakan UU tersebut hingga tiap kasus sudah diselidiki dengan dalam – yang kemudian dikenal sebagai “Doktrin Aylwin”. Dalam sebuah pidato yang disiarkan secara nasional, Aylwin mengatakan, “Hari ini saya memberikan catatan dan sebuah kopi laporan [komisi kebenaran] ke Kejaksaan Agung, memintanya untuk memerintahkan pengadilan di bawahnya untuk mempercepat semua pengadilan yang sudah mulai berjalan yang melibatkan pelanggaran hak asasi, dan memulai pengadilan kasus-kasus baru yang muncul dari laporan ini. Menurut saya, amnesti sekarang ini, yang dihargai oleh pemerintah, tidak boleh menjadi halangan terhadap penyelidikan yang diperintahkan pengadilan mengenai pertanggungjawaban terhadap pelanggaran hak asasi, terutama dalam kasus orang hilang”. xxviii Dengan interpretasi UU ini, beberapa keluarga berhasil di pengadilan dalam mengidentifikasi pelaku dan bahkan melihat mereka menjadi tertuduh. xxix Pada tahun 1999, situasi mulai berubah secara dramatis, karena Kejaksaan Agung Cili memutuskan bahwa amnesti tidak lagi berlaku dalam kasus penghilangan. xxx Menyusul penangkapan Pinochet di London pada akhir tahun 1998, sejumlah besar kasus yang menyangkut pelanggaran berat oleh rezim militer mulai maju di pengadilan Cili. Karena mulai mencemaskan posisi legalnya yang lemah, militer mengharapkan kompromi dengan para pengacara hak asasi manusia, agar tetap memberikan amnesti untuk kejahatan sebelum tahun 1978, sebagai imbalan “semua informasi yang bisa kami dapatkan untuk menemukan tempat penguburan mereka yang dihilangkan”, menurut seorang perwira militer senior. xxxi Negosiasi masih berjalan ketika buku ini dicetak [dalam edisi aslinya]. Amnesti sebagai Cara Menemukan Kebenaran di Afrika Selatan Hanya di Afrika Selatan sebuah komisi kebenaran diberi kekuasaan untuk memberikan amnesti. Namun amnesti ini diberikan dengan syarat: amnesti akan diberikan secara individual kepada mereka yang menceritakan seluruh hal yang mereka ketahui mengenai kejahatan mereka di masa lalu dan bisa membuktikan bahwa kejahatan tersebut memiliki motif politis. Ketika pemerintahan pasca-apartheid mulai berkuasa pada tahun 1994, ia diwajibkan oleh konstitusi sementara untuk memberikan semacam amnesti, namun konstitusi itu hanya menyebutkan “akan diberikan amnesti” tanpa menjelaskan bagaimana penerapannya. Menteri kehakiman baru, Dullah Omar, menghabiskan bulan-bulan pertama dalam jabatannya berkutat dengan masalah implementasi amnesti ini “dengan cara yang bisa diterima oleh moralitas masyarakat”. Amnesti segera dikaitkan dengan rencana komisi kebenaran nasional yang saat itu mulai berkembang: amnesti diberikan hanya sebagai pertukaran dengan kebenaran. Sebuah pemberian amnesti akan menjadi pemikat untuk mendapatkan kerja sama dari para pelaku dalam proses penemuan kebenaran, dan ancaman penuntutan akan menjadi pentungan. xxxii Lebih dari 18 bulan setelah ide itu pertama kali diusulkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru terbentuk memulai dengar-kesaksian dan menerima pengajuan permintaan untuk amnesti. Pengajuan amnesti semakin banyak menjelang tenggat waktu: komandan senior polisi, anggota tim komando, bahkan anggota pemerintahan dari ANC. Secara keseluruhan, ada lebih dari 7 ribu pengajuan amnesti untuk kejahatan yang spesifik. Sayangnya, banyak pengajuan yang datang dari mereka yang sudah dipenjara, dan hampir semua anggota senior pemerintah apartheid tidak mengirimkan pengajuan dan tetap membantah adanya kejahatan. Namun, dalam pengakuan, pengaju amnesti memberikan kesaksian mengenai bagaimana operasi direncanakan, mengapa sasaran tertentu dipilih, bentuk kekejaman dan siksaan apa yang dialami sebelum korban dibunuh, dan siapa dalam garis komando – dan sejauh mana ke atas – yang memberikan perintah atau mengetahui tindakan tersebut. Bila diberikan, amnesti membebaskan individu dari tuntutan tindak kriminal untuk tindakan tersebut. Amnesti juga mengalihkan tanggung jawab ganti rugi kepada negara. Penuntutan untuk kekejaman di masa lalu tetap berlanjut, bahkan sementara komisi sedang bekerja. Dua tim penyelidikan khusus dibentuk segera setelah pemilihan umum tahun 1994 untuk menyelidiki kasus kekerasan politik yang penting. Ketika mereka yang akan dituntut mulai diselidiki, dan mendengar nama mereka disebut dalam pengakuan mantan rekan mereka, beberapa pelanggar segera mengirimkan permohonan amnesti. Hubungan antara komisi kebenaran dan kantor penuntut umum – terutama Tim Penyelidikan Khusus Jaksa Penuntut Umum Jan d’Oliveira dari Transvaal – kadang-kadang tegang. Dua tahun penyelidikan kejahatan, bahkan nyaris menjadi penangkapan, dihentikan karena para tersangka meminta amnesti. Dalam pandangan seorang penyelidik senior dari Tim Penyelidikan Khusus, timnya berperan “mengejar semua domba ke dalam kandang komisi kebenaran… Tanpa kami, banyak yang tidak akan mengaku. ‘Terobosan besar’ komisi itu adalah hasil dari kerja kami mengejar orang-orang itu.” xxxiii Komisi itu sendiri merasa dipersulit karena kantor jaksa penuntut umum hanya memberikan akses terbatas ke catatan-catatan kasusnya. Komisi memiliki kekuasaan untuk memaksa pembukaan catatan tersebut, namun memilih untuk tidak melakukannya karena kurang waktu dan mencegah mempertegang hubungan lebih lanjut. Kebenaran dari Pengadilan? Banyak yang beranggapan bahwa pengadilan merupakan pilihan lebih baik daripada komisi kebenaran, tidak hanya karena mereka memberikan keadilan, namun karena dalam pengadilan terungkap kebenaran. Sebagai contoh, pengadilan mantan anggota junta di Argentina pada pertengahan dekade 1980-an mendapatkan perhatian yang luas. Media melaporkan pengadilan tersebut dengan panjang, dan sebuah surat kabar harian baru didirikan hanya untuk memfokuskan diri pada pengadilan itu, dan mendapatkan pangsa pasar yang luas. Meskipun laporan komisi kebenaran itu sendiri amat laku terjual, pengadilan-pengadilan tersebut memberikan kesaksian langsung dari ratusan korban dan saksi, dan dari pelaku sungguhan di depan meja hijau. Kisah-kisah yang diceritakan amat menggugah, dan dengan detail yang jelas, dan mendapatkan perhatian negara itu selama berbulan-bulan. Namun, tujuan pengadilan bukanlah untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi untuk menemukan apakah standar pembuktian kejahatan dapat dipenuhi pada kasus-kasus yang spesifik. Sederajat kebenaran bisa ditemukan dalam proses ini, tapi pengadilan terbatas dalam kemampuan mengungkapkan kebenaran karena ada aturan pembuktian yang sering mengecualikan informasi penting. Di Afrika Selatan, beberapa pengadilan pada saat bersamaan mendapatkan pemberitaan pers mengenai cara kerja tim pembunuh milik pemerintah dan konspirasi buatan pemerintah untuk mendorong kekerasan politik di kota-kota pada dekade 1980-an. Namun, meskipun terdapat pengadilan yang berprofil tinggi, panjang dan sangat terbuka selama tahun-tahun belakangan ini, warga Afrika Selatan menemukan keterbatasan pendekatan pengadilan untuk mendapatkan kebenaran. Sepanjang tahun 1996, paling tidak dua pengadilan penting diadakan bersamaan di Afrika Selatan. Yang pertama menuduh mantan menteri pertahanan, Magnus Malan, dan sembilan belas orang lainnya untuk merencanakan dan melaksanakan pembantaian tiga belas orang pada tahun 1987. Setelah pengadilan yang panjang, dengan sebuah tim penuntut yang tidak serius, yang diketuai jaksa yang ditunjuk oleh pemerintah apartheid sebelumnya, semua tertuduh dibebaskan. Pembebasan mereka memberikan kegembiraan bagi rezim lama dan semua pendukungnya. Pengadilan yang kedua, terhadap Kolonel Eugene de Kock, mantan ketua tim pembunuh dari polisi rahasia, berakibat pada pembuktian terhadap kesalahannya atas 89 tuduhan, termasuk 6 pembunuhan, dua konspirasi dan 80 kasus membawa senjata tanpa izin dan penipuan. Para penuntut juga mempersiapkan kasus-kasus berprofil tinggi lainnya. Paul van Zyl, seorang pengacara yang juga anggota senior staf Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, menyatakan bahwa “pengadilan memiliki efek penjelas yang terbatas. Ini berkaitan dengan kesalahan individual, bukan sistem secara keseluruhan. Pengadilan menciptakan dinamika ‘kita melawan mereka’. Sebuah pengadilan tidak membahas mengenai keterlibatan kita. Ini membuat tampaknya mereka bersalah, bukan kita. Jadi semua warga kulit putih Afrika Selatan bisa melihat pada Eugene de Kock dan mengatakan, ‘penjahat’, tanpa menyadari bahwa merekalah yang menjadikannya demikian. Ibu-ibu rumah tangga kelas menengah dan pengusaha kulit putih yang mendukung Partai Nasional memungkinkan Eugene de Kock menjadi demikian. Namun pengadilan tidak akan memunculkan hal itu”. xxxiv Meskipun terdapat efek penjelas sekunder dari pengadilan, sebagaimana diakui van Zyl dan lain-lain, sebuah pengadilan lebih berkaitan dengan menentukan kesalahan mengenai kasus spesifik, bukan penjelasan yang lebih luas. Sistem pengadilan Afrika Selatan lebih kuat dan lebih netral daripada di negara-negara transisi pasca-otoritarian lainnya. Usaha-usaha di negara-negara lain untuk mengadili para tersangka pelaku kejahatan bermotif politik malah cenderung mengaburkan daripada mengungkapkan kebenaran. Sebuah pengadilan di El Salvador pada tahun 1991 mengenai pembunuhan enam pastor Jesuit, penjaga rumah tangga dan putrinya pada tahun 1989, berakibat suatu kekacauan karena ada kesaksian yang bertentangan dan prosedur pengadilan yang tidak lazim. Pengadilan itu dilakukan sebelum komisi kebenaran dibentuk oleh PBB, dan bisa menunjukkan suatu derajat pertanggungjawaban untuk pelanggaran oleh negara. Di negara-negara di mana jarang terdapat pengadilan perwira militer, hal demikian mendapatkan banyak perhatian pers dan diikuti dengan saksama oleh pengamat hak asasi manusia internasional. Namun pengadilan itu malah semakin mendiskreditkan lembaga peradilan. Sebagaimana dicatat profesor hukum Amerika Serikat, Robert Goldman, mengenai pengadilan itu, untuk Komisi Pengacara Hak Asasi Manusia, “Pelaksanaan pengadilan ini tidak memberikan keyakinan terhadap sistem keadilan bagi tindakan kriminal di El Salvador. Secara struktural dan operasional, ia memiliki ciri-ciri yang telah ditinggalkan sistem hukum lainnya, seperti hakim yang melakukan peran penyelidikan dan penghukuman, juri yang bebas mengabaikan hukum dan akal dalam memberikan keputusan, arahan pembuktian yang kuno dengan aturan pengecualian yang diterapkan secara selektif, dan penggunaan pengakuan ekstrayudisial yang sudah dicabut. … Jika pengadilan ini, dengan perhatian publik yang demikian kuat, menunjukkan cara kerja sistem, maka ada sebab untuk kecemasan tentang bagaimana pelaksanaan pengadilan kasus kriminal biasa”. xxxv Pembelaan disusun sebagai satu serangan terhadap komunitas internasional yang menekan pemerintah agar melakukan pengadilan, dan memberikan ancaman kepada juri bila mereka membuat “keputusan yang salah”. Keputusan itu sendiri yang memutuskan bahwa dua dari sembilan orang itu bersalah untuk pembunuhan “sangat menimbulkan pertanyaan dan dalam satu hal tidak rasional”, menurut Goldman. “Yang terjadi dalam ruang pengadilan di San Salvador mengungkapkan sedikit kebenaran dan keadilan parsial”. xxxvi Bagaimana Komisi Kebenaran Bisa Memberikan Kontribusi kepada Keadilan Sebagaimana digambarkan di atas mengenai kasus Argentina, sebuah komisi kebenaran bisa secara langsung memperkuat pengadilan dengan bantuan kumpulan informasinya mengenai kejahatan, yang bisa langsung diserahkan kepada otoritas penuntut. Bahkan, semakin jelas bahwa catatan milik komisi kebenaran bisa dipergunakan sebagai sumber bukti untuk bertahun-tahun ke depan, tidak hanya untuk pengadilan domestik, namun juga untuk pengadilan yang dilakukan pada tingkat internasional. Baltasar Garzón, hakim Spanyol yang menuntut Augusto Pinochet, sangat bergantung pada laporan komisi kebenaran Cili untuk menyusun tuntutannya. Demikian pula, organisasi hak asasi internasional menggunakan laporan komisi kebenaran Chad dalam usaha menuntut mantan pemimpin Chad, Hissein Habré. Hal serupa bisa terjadi di negara-negara lain. Selain itu, terdapat pula cara lain mengenai bagaimana komisi kebenaran bisa memberikan kontribusi atau memberikan dampak bagi keadilan. Menilai Peran Pengadilan di Bawah Sistem Represi Agak berbeda dari menyerahkan kasus pelanggaran untuk ditindak pengadilan, sebuah komisi kebenaran bisa juga memberikan kontribusi potensial di bidang lain yang berada di luar jangkauan pengadilan: menilai peran hakim dan sistem pengadilan secara keseluruhan dalam mempertahankan atau mentolerir pelanggaran oleh penguasa. Di beberapa negara, pengadilan tetap bekerja secara relatif independen bahkan dalam tahun-tahun terparah represi. Di Cili, misalnya, militer menunjukkan independensi pengadilan untuk melegitimasikan pemerintahannya dan membantah keberadaan masalah hak asasi; sementara itu, pengadilan tidak menggunakan kekuatannya untuk menghentikan pelanggaran. Afrika Selatan, El Salvador, Guatemala dan negara-negara lainnya juga mengalami pola-pola yang serupa: hakim mengabaikan atau mendukung secara aktif kebijakan dan tindakan penguasa, mengabaikan atau menutupi bukti atau menolak menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran oleh negara. Laporan kebenaran Guatemala menggambarkan bagaimana “[i]mpunitas mewarnai negara sedemikian rupa sehingga mengendalikan seluruh negara”. xxxvii Komisi kebenaran bisa menganalisis pola-pola demikian dan secara lengkap mendokumentasikan peran sistem pengadilan dalam memungkinkan represi. Meskipun militer, polisi atau perwira intelijen adalah pelaku pelanggaran, lembaga pengadilanlah yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk mengendalikan otoritas mereka. Jika badan pengadilan bekerja dengan baik dan berfungsi secara independen, pola-pola kekerasan dan pelanggaran oleh penguasa bisa saja terbatasi. Komisi kebenaran Cili memberikan satu bab penuh mengenai “sikap pengadilan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi antara 11 September 1973 dan 11 Maret 1990”, memasukkan kelemahan sistem pengadilan di bawah pemerintahan militer. Laporan itu menyatakan bahwa “pengawasan legal amatlah kurang” sementara “sistem pengadilan berfungsi secara normal dalam hampir semua bidang kegiatan nasional yang konfliknya sampai ke pengadilan”, dan bahwa “kekuasaan pengadilan hanyalah satu-satunya dari tiga cabang kekuasaan yang terus berjalan”. xxxviii Laporan itu kemudian menyalahkan pengadilan untuk parahnya kekerasan, menyatakan bahwa, “Postur yang diambil pengadilan selama pemerintahan militer, meskipun secara tidak disengaja, bertanggung-jawab untuk memperparah proses pelanggaran hak asasi manusia secara sistematik”, sehingga menawarkan “agen-agen represi, suatu jaminan bahwa mereka akan mendapatkan impunitas untuk tindakan kriminal mereka, tanpa mempedulikan kejahatan yang mereka lakukan”. xxxix Laporan Argentina, Nunca Más , juga memiliki satu bab mengenai “Badan Pengadilan pada Masa Represi” menunjukkan kegagalan habeas corpus, penguburan tanpa pencatatan identitas oleh pengubur dari pengadilan, persetujuan hakim terhadap penggeledahan polisi terhadap kantor organisasi hak asasi, dan keanehan-keanehan lain. “Alih-alih berperan sebagai rem terhadap absolutisme sebagaimana harusnya ia lakukan, ia malah menjadi struktur pengadilan gadungan, suatu topeng untuk menutupi mukanya”. xl Berbeda dengan Cili, pejabat-pejabat tertinggi badan pengadilan Argentina diganti pada saat kudeta, termasuk seluruh hakim agung, dan semua hakim yang tersisa harus bersumpah untuk mendukung sasaran junta militer. Lapoan itu menggambarkan bagaimana badan pengadilan yang baru dibentuk itu “mendukung pengambilalihan kekuasaan dan memungkinkan penyelewengan hukum terjadi dengan tampilan legal”. xli Laporan komisi Uganda memiliki satu bab mengenai “Hilangnya Pengadilan yang Jujur dan Publik di Depan Sidang yang Independen dan Tidak Memihak” yang menggambarkan praktik ilegal dan tidak adil dari pengadilan militer dan sipil, memberikan contoh mendetail dari catatan pengadilan. Ia antara lain menyimpulkan bahwa pengadilan militer “tidak independen dan imparsial. Ia berperan lebih sebagai, dan untuk kepentingan rezim militer, bukan untuk keadilan”. xlii Laporan El Salvador menunjukkan masalah dalam pengadilan sepanjang analisisnya. Ia menunjukkan, misalnya, bagaimana hakim menyembunyikan bukti, dan tidak bersedia untuk bekerja-sama dengan penyelidikan oleh komisi. Dalam satu kasus penting, pembantaian di El Mozote pada bulan Desember 1981, laporan menyimpulkan bahwa ketua hakim agung Mauricio Gutiérrez Castro, “melakukan intervensi dengan sangat memihak untuk alasan yang bias politik, dalam proses pengadilan kasus tersebut”. xliii Akhirnya, komisi menyimpulkan bahwa “[s]ituasi yang digambarkan dalam laporan ini seharusnya tidak akan terjadi bila sistem yudisial berfungsi sebagaimana seharusnya”. xliv Secara lebih mendetail, ia menerangkan, “Tidak satu pun dari tiga cabang pemerintahan – yudisial, legislatif atau eksekutif – mampu meredam kendali militer terhadap masyarakat. Badan pengadilan menjadi lemah karena ia diintimidasi dan dasar atau hakikatnya mengalami pembusukan; karena ia tidak pernah memiliki independensi institusional dari badan legislatif dan eksekutif, efektivitasnya semakin menurun. Pada akhirnya, karena diamnya atau ketaatannya yang menyedihkan, ia menjadi faktor yang memberikan kontribusi pada tragedi yang dialami negeri ini. xlv Akhirnya, hanya komisi di Afrika Selatan yang sudah mengadakan dengar-kesaksian untuk menganalisis peran pengadilan dalam mendukung atau mengizinkan represi negara. Ketika para hakim menolak undangan untuk berpartisipasi dalam dengar-kesaksian itu kecuali satu hakim, komisi mempertimbangkan untuk menerbitkan panggilan, namun akhirnya membatalkan hal itu. Menyarankan Reformasi Yudisial Memahami peran pengadilan dalam represi tentu saja mengarah pada analisis mengenai apa yang harus diubah. Mungkin kontribusi paling langsung yang bisa diberikan bagi keadilan di masa depan adalah dengan mereformasi sistem keadilan pidana untuk menjamin bahwa pengadilan, penuntut dan polisi dapat mencegah pelanggaran lebih lanjut oleh kekuatan negara, dan menjamin bahwa tertuduh penjahat mendapatkan perlakuan yang adil. Beberapa komisi di masa lampau, termasuk di Cili dan El Salvador, telah memberikan saran spesifik dan mendetail, dan sebagian dari saran itu telah dijalankan. Di El Salvador, misalnya, komisi merekomendasikan pengurangan konsentrasi kekuasaan pada sistem pengadilan yang dipegang oleh kejaksaan agung terutama oleh ketuanya dengan menghapuskan kekuasaan untuk sertifikasi dan pengawasan hakim dan pengacara. Ia juga menyarankan pembentukan dewan independen dengan kekuasaan untuk menunjuk dan memecat hakim, dan badan lain untuk sertifikasi pengacara; peningkatan gaji hakim; pembuatan pengadilan baru; dan penguatan sekolah hukum. Selain itu, komisi menyarankan bahwa undang-undang tertentu diubah untuk melindungi hak mereka yang dituduh melakukan kejahatan: bahwa pengakuan ekstrayudisial dilarang untuk dipergunakan sebagai bukti di pengadilan untuk mencegah penyiksaan, dan bahwa ketaatan dengan batas waktu penahanan sebelum pengadilan diterapkan dengan ketat. Banyak saran ini diterapkan, dan komisi kebenaran harus diberi pujian untuk andilnya dalam memberikan perubahan ini. Komisi di Cili juga menyarankan seperangkat perubahan untuk memperkuat pengadilan dan mendorong kepedulian hak asasi manusia. Komisi menghadapi fakta bahwa badan pengadilan, meskipun tidak dibubarkan pada masa kediktatoran, membiarkan penghilangan dan pembunuhan tanpa sanksi. Saran komisi ini luas, mencakup pengubahan dalam artikel tertentu dalam KUHP Cili untuk mensyaratkan bukti yang kuat sebelum penangkapan, usaha untuk menjamin ketaatan polisi terhadap perintah pengadilan, pembuatan badan independen untuk menunjuk dan mempromosikan hakim secara objektif, dan memasukkan topik hak asasi manusia dalam pendidikan hukum. Komisi kebenaran lain juga memberikan saran yang serupa. Mendorong Ketaatan pada Hukum dan Memenuhi Kewajiban Internasional Beberapa pengacara hak asasi manusia menyatakan bahwa komisi kebenaran bisa dipakai sebagai cara memperkuat ketaatan hukum setelah suatu masa pemerintahan otoriter yang tidak taat hukum. Hampir semua orang menyadari ketidakmungkinan menuntut semua orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius, bila jumlahnya besar; dan beberapa orang melihat komisi kebenaran sebagai bagian dari jawaban masalah ini. Jika diberi kekuatan yang tepat, komisi bisa membantu menjalankan tugas negara di bawah hukum internasional untuk menjawab pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara masif. Rob Weiner, direktur program Amerika Latin Komisi Pengacara untuk Hak Asasi Manusia di New York, menyatakan bahwa tiga langkah harus dijadikan syarat minimal bagi sebuah negara yang baru saja mengalami pelanggaran masif hak asasi manusia: penyelidikan fakta-faktanya oleh otoritas yang relevan, kemungkinan bagi para korban untuk maju dan menuturkan cerita mereka, dan temuan fakta-fakta secara formal. xlvi Dengan deskripsi yang serupa dengan komisi Afrika Selatan, Weiner menyatakan bahwa syarat tertentu bisa diberikan kepada amnesti: bahwa ada pengumuman dan publikasi fakta yang relevan oleh penguasa, termasuk identitas pelaku; amnesti hanya diberikan kepada mereka yang meminta secara individual; aplikan menceritakan seluruh peran mereka dalam tindakan atau kelalaian yang dimintakan amnesti; dan bahwa korban bisa minta ganti rugi dari negara, bahkan bila ia tidak dapat menuntut pelaku untuk memberikan ganti rugi syarat terakhir ini tidak ada dalam amnesti Afrika Selatan. Weiner juga menyatakan bahwa pengajuan amnesti harus diputuskan oleh badan pengadilan biasa, dan bukan badan atau komisi ad hoc. Komisi Afrika Selatan memiliki kekurangan karena meninggalkan “sistem pengadilan reguler di pinggiran, ketika ia harusnya berperan sebagai protagonis dalam membangun kredibilitas sistem legal”, tulisnya. Yang paling penting adalah bahwa “lingkup politik harus digunakan untuk mendukung kedaulatan hukum, bahkan sekalipun negara mengampuni yang salah”. xlvii Model Weiner mengasumsikan adanya sistem yudisial yang bekerja dan dapat dipercaya, yang sayangnya tidak selalu demikian. Penganjur hak asasi manusia selama beberapa tahun sudah menganjurkan agar traktat hak asasi manusia internasional mewajibkan pemerintah untuk menyelidiki dan mengumumkan kepada korban atau keluarga mereka semua temuan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebuah komisi kebenaran merupakan satu cara bagaimana pemerintah dapat memenuhi kewajiban ini. Apakah Seluruh Kebenaran Merupakan suatu Bentuk Keadilan? Beberapa korban dan anggota keluarga korban menyatakan bahwa mendengarkan seluruh kebenaran diumumkan sudah memberikan rasa keadilan bagi mereka. Setelah bertahun-tahun membantah atau mendiamkan, pengakuan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan bisa menyentak. Dan bila nama pelaku diterbitkan dalam laporan komisi, mungkin hal itu akan memberikan sanksi moral dan malu bagi para pelaku, bahkan bila tidak ada sanksi legal dan hukuman. Namun pertanyaan mengenai penunjukan nama menunjuk pada inti satu pertanyaan yang paling sukar mengenai komisi kebenaran: berapa banyak kebenaran yang harus diceritakan komisi kebenaran? i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii

Bab 8 Menyebutkan Nama Tertuduh