Membiarkan Masa Lalu 20050200 Book Kebenaran tak terbahasakan Priscilla B Hayner

Bab 12 Membiarkan Masa Lalu

Sebagaimana Adanya Mengapa beberapa negara berlalu dari perang saudara yang mengerikan atau kekerasan negara besar-besaran, dan tidak berminat untuk menggali kembali detail-detail masa lalu mereka? Setelah melihat korban-korban dan para anggota keluarga mereka di Argentina, El Salvador, Sri Lanka, Afrika Selatan dan negara-negara lainnya yang menuntut kebenaran seutuhnya, orang mungkin mengasumsikan bahwa pertanggungjawaban secara penuh dan mendetail merupakan hal atau keinginan yang universal. Jelas, terdapat kecenderungan di lingkungan advokasi internasional bahwa pencarian kebenaran secara resmi perlu selalu direkomendasikan untuk negara-negara yang baru saja mengalami pemerintahan otoriter. Kebijakan Amnesty Internasional dan Human Rights Watch HRW, dua organisasi hak asasi manusia internasional yang terbesar, menyerukan penyelidikan untuk menemukan kebenaran mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia, di mana pun. i Banyak yang mengutip hukum internasional untuk memperkuat “hak untuk mendapatkan kebenaran” yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan penyelidikan. Beberapa pandangan ini tidak mau berkompromi. Penasihat hukum senior di HRW, Wilder Tayler, menyatakan bahwa secara prinsip, kewajiban internasional untuk menyelidiki kebenaran tidak mengizinkan pengecualian sama sekali. ii Posisi Amnesty Internasional mengenai pertanggungjawaban menekankan tiga prinsip: kebutuhan untuk menemukan kebenaran yang disembunyikan, kebutuhan untuk mengembalikan kehormatan dan nama baik para korban, dan kebutuhan untuk menunjuk individu yang bersalah dan mengadili mereka. Namun, direktur hukum Amnesty Internasional menjelaskan bahwa salah satu aspek dari kebijakan ini perlu ditekankan atau diabaikan tergantung keinginan dan kebutuhan para korban dalam situasi-situasi yang spesifik. iii Demikian pula, prinsip internasional yang dikenal sebagai “prinsip melawan impunity ” yang diajukan pada tahun 1997 oleh Utusan Khusus PBB, Louis Joinet, mencantumkan rekomendasi pembentukan komisi penyelidikan untuk menemukan kebenaran mengenai masa lalu di sebuah negara transisi. “Pelaksanaan hak untuk mendapatkan kebenaran secara penuh dan efektif sangatlah penting untuk mencegah terulangnya [pelanggaran berat hak asasi manusia] di masa depan”, demikian saran tersebut. iv Dokumen tersebut melanjutkan, “Pengetahuan masyarakat mengenai sejarah penindasan mereka merupakan bagian dari pengetahuan umum, sehingga harus diperhatikan melalui tindakan tepat dari negara. Tindakan-tindakan demikian harus diarahkan untuk memelihara ingatan kolektif tersebut agar tidak punah, dan terutama, mencegah perkembangan pandangan yang revisionis dan negasionis”. v Saran-saran kebijakan tersebut didasarkan pada keinginan untuk melawan impunity, membangun budaya pertanggungjawaban, dan memberikan penghormatan bagi para korban. Di sebagian besar negara dan kondisi peralihan, saran-saran tersebut tepat dan bahkan membantu dalam menekan pemerintah yang ogah-ogahan membuka rahasia kejahatan mereka. Fokus Joinet adalah pada pemeliharaan dokumentasi resmi, yang penting dalam semua masyarakat, baik dengan atau tanpa badan pencari kebenaran. Bahkan, terdapat contoh di berbagai bagian dunia mengenai bahaya mengizinkan negara mengabaikan kejahatan masa lalunya. Pakar hak asasi manusia Afrika, Richard Carver, menyatakan bahwa beberapa negara di Afrika memiliki kebijakan demikian, dan terdapat beberapa dampak jangka panjang yang negatif dari kegagalan mereka untuk menyikapi masa lalunya. Sebagai contoh, di Malawi, beberapa bagian dari pola represif masa lalu, seperti perundang-undangan sensor, mendapat dukungan dari mereka yang dahulunya menentang kebijakan demikian di bawah rezim yang lama. Jika peraturan demikian dan dampak-dampaknya “diekspos ke masyarakat, gejala represif itu mungkin masih akan ada, tapi akan ada resistensi publik yang lebih besar”, menurut Carver. Ia menyarankan mengenai perlunya semacam proses untuk menemukan dan mengumumkan kebenaran, yang tidak selalu berbentuk komisi kebenaran; tentu saja ada sejumlah cara lain untuk menyikapi dan mendokumentasikan masa lalu, melalui studi historis dan akademis, melalui teater, proyek dokumentasi atau melalui organisasi non-pemerintah. vi Juga terdapat kondisi ketika saran mengenai “kebenaran di atas segala-galanya” tidak tepat, atau paling tidak ketika saran untuk pembentukan badan resmi pencari kebenaran seperti komisi kebenaran tidak tepat. Masih kurang diketahui bahwa pencarian kebenaran secara resmi memiliki perbedaan mendasar dari mekanisme pertanggungjawaban transisional lainnya. Kebenaran bisa menyakitkan – terutama kepada para korban, selain mereka yang lain. Menggali detail konflik masa lalu bisa membahayakan dan mengurangi stabilitas, jauh lebih daripada pengadilan, dan bisa mengganggu hubungan yang rapuh dalam komunitas yang baru mulai berdamai. Penyelidikan kebenaran biasanya menuntut keterlibatan aktif dan emosional oleh para korban, yang biasanya diminta kesaksiannya. Hal ini juga menuntut keterlibatan nasional secara luas dan sumber daya yang besar dalam masa transisi yang memiliki banyak prioritas penting lainnya. Semua ini memang bukan alasan untuk tidak membentuk komisi kebenaran atau untuk tidak menekan pemerintah agar mengakui kejahatannya. Namun mereka menunjuk alasan-alasan selain politik untuk menjelaskan mengapa ada tentangan terhadap proses penemuan kebenaran secara formal. Saya sepakat bahwa terdapat “hak untuk mengetahui kebenaran” yang dimuat dalam konvensi internasional dan diperkuat oleh pengadilan internasional. Namun, apakah hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran merupakan suatu kewajiban? Artinya, bila orang-orang yang paling terkena dampaknya, yaitu para korban, tidak berminat atau tidak siap untuk menghadapi kengerian masa lalu itu, apakah mereka diwajibkan untuk melakukannya? Apakah kadang-kadang terdapat aspek-aspek konflik, transisi atau kebudayaan atau sejarah suatu masyarakat yang membuat proses demikian tidak diminati atau tidak membantu? Saya akan melihat dua kasus, di Mozambik dan Kamboja, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kedua negara itu mengalami kekerasan politik mengerikan pada dekade terakhir ini, namun di kedua negara dan karena alasan yang berbeda, terdapat penolakan terhadap ide pencarian kebenaran skala besar dalam transisi politik mereka. Ketika saya mengunjungi Mozambik, saya berbicara dengan orang-orang dari pelbagai spektrum politik, termasuk korban, akademisi, pejabat pemerintah dan lain-lain, dan mendengar pernyataan yang singkatnya berbunyi, “Tidak, kami tidak ingin memasuki kembali rawa-rawa konflik, kebencian dan penderitaan ini. Kami ingin berfokus pada masa depan. Untuk saat ini, masa lalu masih terlalu menjadi bagian dari masa kini untuk diselidiki. Untuk saat ini, lebih baik diam daripada berkonfrontasi, daripada menimbulkan penderitaan baru. Meskipun kami tidak akan lupa, kami ingin berusaha seakan-akan kami melupakan hal ini.” Demikian pula, di Kamboja, yang memiliki alasan berbeda, terdapat pula penolakan terhadap usaha menggali kembali sejarah. vii Apa yang mendorong kurangnya keinginan untuk menemukan kebenaran? Ada empat elemen yang terdapat di negara-negara demikian. • Rasa takut terhadap dampak negatif: persepsi bahwa kekerasan akan meningkat, perang timbul lagi, atau kekerasan dan perang yang ada tidak akan berhenti, bila dosa lama diutak-atik lagi. • Kurangnya keinginan politik: kurang atau tidak ada keinginan pemimpin politik untuk menemukan kebenaran dan kurang ada tekanan dari luar pemerintah untuk melakukan demikian. • Prioritas penting lainnya: kehancuran ekstensif sebagai akibat perang atau kekerasan, sentimen luas di masyarakat untuk berfokus pada kehidupan sehari-hari dan pembangunan kembali, dan kurangnya struktur institusi mendasar untuk mendukung proses pencarian kebenaran. • Mekanisme atau pilihan alternatif: karakteristik nasional bisa menjadikan usaha menemukan kembali kebenaran tidak diperlukan atau tidak diinginkan, seperti adanya mekanisme tidak resmi dari komunitas untuk menyikapi kekerasan atau kebudayaan yang menolak menghadapi konflik secara langsung. Keinginan untuk menemukan kebenaran bisa menunggu beberapa lama, seiring semakin kuatnya institusi atau menurunnya ketegangan yang memicu konflik. Sebuah negara perlu menunggu bertahun-tahun untuk dapat menghadapi dan secara jujur menyelidiki beberapa peristiwa. Hal ini tidak membantah perlunya melakukan penyelidikan dalam masa transisi, sebagaimana lazimnya. Namun dalam beberapa kondisi, hal ini tidak mungkin atau tidak sesuai dengan kebutuhan negara atau para korban. Pembentukan dan operasi secara efektif dari sebuah komisi kebenaran kadang-kadang memerlukan dorongan dan perhatian dari komunitas internasional, terutama untuk melawan resistensi dari mantan pelaku yang mungkin masih memegang kekuasaan. Namun pada akhirnya keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan pencarian kebenaran secara luas harus dilakukan oleh negara itu sendiri. Pertanyaan mengenai bagaimana dan apakah komunitas internasional bisa mempertimbangkan kepentingan sebuah negara, dan kapan dan bagaimana mendukung seruan lokal untuk membentuk komisi kebenaran, dibicarakan lebih lanjut di bawah ini. Namun, pertama-tama, kasus Mozambik, dan lalu Kamboja, menunjukkan bahwa sebuah negara bisa secara sah memilih untuk tidak melakukan pencarian kebenaran secara resmi pada saat transisi. Mozambik: Cara-Cara Alternatif untuk Menyikapi Masa Lalu Tetangga Afrika Selatan di sebelah timur laut, Mozambik, mencapai perdamaian melalui perundingan setelah bertahun-tahun mengalami peperangan pada saat yang berdekatan dengan berakhirnya apartheid di Afrika Selatan. Kesepakatan perdamaian pada tahun 1992 itu mengakhiri 16 tahun peperangan dan mendorong dilaksanakannya pemilihan umum pada tahun 1994. viii Sebagaimana di Afrika Selatan, “rekonsiliasi” merupakan fokus utama transisi dan tatanan politik yang baru. Namun rekonsiliasi dipahami secara berbeda di kedua negara itu. Bila di Afrika Selatan terdapat pandangan luas, paling tidak pada awal bekerjanya komisi kebenaran, bahwa “semakin banyak kebenaran, semakin banyak kita membicarakan masa lalu, semakin banyak pula rekonsiliasi”, di Mozambik pandangan yang diterima, meskipun tidak terdengar, adalah bahwa “semakin kita mengabaikan masa lalu, semakin mungkin dilakukan rekonsiliasi”. Nyaris tidak ada perhatian di Mozambik untuk mempertanggungjawabkan kejahatan di masa lalu. Di sebuah negara di mana terbunuh sejuta penduduk sipil, ribuan orang disiksa dan tercatat tindakan mengerikan seperti mutilasi dan barbarisme, nyaris tidak ada seruan di tingkat nasional untuk keadilan, pertanggungjawaban, hukuman atau pencopotan jabatan – di mana banyak dari mereka yang bertanggung-jawab terhadap kejahatan di masa lalu menjabat, di parlemen atau di angkatan bersenjata. Amnesti umum untuk “kejahatan terhadap negara” diumumkan oleh parlemen sepuluh hari setelah ditandatanganinya perjanjian damai pada tahun 1992, meskipun banyak pejabat senior pemerintah dan oposisi tidak mengetahuinya bahkan setelah beberapa tahun. ix Hal ini memang tidak dibicarakan; tidak ada perhatian serius mengenai penuntutan individu untuk kekejaman mereka di masa lalu. Pengadilan yang adil di Mozambik sangatlah sukar. Alex Vines, pakar Mozambik di HRW, menjelaskan bahwa konflik di sana “luar biasa ruwet”, sehingga akan menjadi amat sukar untuk menyalahkan seseorang secara individual, dan “tidak banyak fakta yang kuat di Mozambik, dan dokumentasi mengenai para penjahat besar sudah diutak-atik”. Sebagai akibatnya, menurutnya, jika ada pengadilan, mudah untuk menyalahkan mereka yang sebenarnya tidak bersalah sebagai pembalasan dendam pribadi atau demi keuntungan ekonomis. x Kekejaman yang Terlalu Banyak Beberapa orang menganggap bahwa tidak ada keinginan untuk melihat kembali masa lalu di Mozambik karena masa lalu terlalu mengerikan. Mereka yang mengamati Mozambik selama dua dekade terakhir menggambarkannya sebagai perang yang paling brutal yang pernah dialami dunia. Taktik-taktik yang mengerikan digunakan terutama oleh pasukan gerilya Renamo sebuah singkatan dalam bahasa Portugis untuk menyebut Perlawanan Nasional Mozambik. “Dari awal hingga akhir, tak mungkin terhitung semua kejadian mengerikan di Mozambik,” menurut Ken Wilson, seorang pejabat program Ford Foundation dan pakar internasional mengenai Mozambik. xi Seorang jurnalis pernah memberi tahu saya bahwa ia mencoba membuat daftar pembantaian di negara tersebut. “Anda tidak bisa mencatat semuanya. Anda akan memenuhi halaman demi halaman. Tiap minggu akan ada berita bahwa lima puluh orang lagi dibunuh di suatu tempat,” ia menjelaskan. Beberapa menganggap bahwa ide komisi kebenaran tidaklah realistis karena tidak mungkin untuk secara adil mendokumentasikan keseluruhan apa yang terjadi. Kekerasan yang terjadi “amat membingungkan di tingkat lokal, dan sukar untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi,” kata Wilson. “Bagaimana cara memahami apa yang sebenarnya terjadi di Mozambik? Itu amatlah ruwet. Hal-ikhwal peperangan yang terjadi berubah dari tahun ke tahun. Dan siapa yang harus bertanggung-jawab untuk apa yang terjadi? Di pihak pemerintah, bagaimana menentukan pertanggungjawaban para tentara yang namanya tidak tercatat, tidak pernah memperoleh gaji, yang komandannya tidak pernah ada bersama mereka dan sama sekali tidak ada catatan mengenai mereka? Dan banyak tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok setengah bandit. … Tidak terbayangkan untuk berusaha menemukan siapa yang melakukan apa.” Renamo dibentuk oleh Rhodesia pada tahun 1977, dan setelah kemerdekaan Rhodesia menjadi Zimbabwe, dukungan untuk Renamo beralih ke Afrika Selatan, dengan dukungan dari elemen-elemen sayap kanan yang ingin menjatuhkan pemerintahan Marxis [di Mozambik]. Sementara para gerilyawan itu mendapatkan dukungan internasional setelah beberapa tahun, perang itu dikobarkan oleh pihak luar. Tujuan Afrika Selatan adalah untuk mendestabilisasi Mozambik yang dianggap sebagai pangkalan operasi ANC dan elemen-elemen bersenjatanya, yang menentang kekuasaan kaum kulit putih di Afrika Selatan sehingga mereka menggunakan Renamo untuk meneror penduduk dan merusakkan infrastruktur ekonomi negara itu. xii Taktik Renamo mencakup menculik anak-anak menjadi anggota gerilya dan memaksa mereka melakukan kekejaman di desa mereka sendiri, agar mereka tidak akan kembali. Renamo sering kali memutilasi korban mereka untuk menyebarkan ketakutan, sering kali memotong telinga atau bibir korbannya, hidup atau mati. Pemerintah Mozambik, yang dikenal sebagai Frelimo Front Pembebasan Mozambik, juga bertanggung-jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran serius, namun tidak sebesar jumlah maupun kekejaman yang dilakukan Renamo. Praktik Frelimo mencakup penahanan ribuan orang dalam kamp “re-edukasi” yang brutal, dan membunuh para pemimpin tradisional yang dianggap sebagai ancaman. Beberapa dari mereka yang waktu itu memegang jabatan senior di pemerintahan kini secara terbuka mengakui kesalahan kebijakan partai dan keseriusan pelanggaran itu. Jumlah korban amatlah banyak, dan detailnya mengerikan. Semua keluarga di Mozambik dikatakan terpengaruh langsung oleh perang itu – anggota keluarga terbunuh, diculik, dipaksa untuk berperang, atau dipindahkan dari rumah mereka. Bukan hal yang tidak lazim bila saudara kandung berperang di pihak yang saling bermusuhan. xiii Mungkin ide untuk mencari kebenaran tidak menarik karena bila orang mulai menunjuk siapa yang bersalah, mereka akan terpaksa menunjuk terlalu dekat dengan rumah sendiri. Mungkin pula karena alasan yang sama ini tidak ada bukti pembalasan dendam setelah perang itu berakhir. Roberto Luis, seorang spesialis pembangunan Mozambik yang bekerja erat dengan komunitas pedesaan, menjelaskan: “Siapa yang membalas siapa? Ini bukan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Keluarga dan komunitas dipertentangkan satu sama lain. Jika perang terjadi antar-etnik atau kelompok bahasa, mungkin akan ada pembalasan. Namun sukar dibayangkan bagaimana cara terjadinya mobilisasi untuk pembalasan. Pertentangan yang terjadi adalah antar-keluarga – bahkan tiap keluarga pun terpecah. Konflik ini sedemikian rumit sehingga tidak memungkinkan pembalasan.” Jika seseorang tetap ingin melakukan pembalasan di Mozambik, ukuran masalah yang sedemikian besar ini akan menghentikanmu. “Apakah Anda bisa membunuh semua orang yang melakukan kekejaman? Kalaupun benar, berapa yang akan tersisa?” tanya Luis. Ketua Institut Afrika-Amerika di Mozambik, Célia Diniz, menyebut konflik Renamo-Frelimo itu sebagai “masalah domestik. Keluarga yang sama, desa yang sama, suku yang sama, berada di dua pihak yang bertentangan. Pada akhir perang, tidaklah mungkin mengatakan, ‘Kami tidak mau menerima kalian lagi.’ Mereka semua bagian dari garis keturunan kami.” Pada tahun-tahun pertama setelah perang, penduduk Mozambik amat takut terhadap kembalinya konflik, meskipun kemungkinannya amat kecil. Perang dalam jenis yang sama tentunya tidak akan berulang lagi, karena pemerintah-pemerintah tetangga Mozambik sudah berubah dan tidak lagi ingin mendestabilisasi negara itu. Namun tetap ada perasaan di Mozambik bahwa bila perang itu dibicarakan, maka perang akan timbul lagi; jika diingatkan tentang perang, orang Mozambik akan mengubah pembicaraan, meskipun mereka mengakui kehilangan keluarga dan teman mereka. “Pada tingkat akar rumput, saya tidak melihat tanda-tanda mengingat konflik itu,” kata João Paulo Borges Coelho, dosen Universitas Mondlane yang mempelajari perang itu dan akibatnya. “Mungkin orang-orang terlalu sibuk untuk berusaha sembuh, dan mereka tahu bahwa harga untuk perdamaian adalah dengan melupakan [konflik].” Resistensi terhadap mengingat masa lalu tersebar luas di seluruh lapisan masyarakat. Dalam persiapan pemilihan umum 1994, beberapa warga Brazil datang ke Mozambik, memberikan bantuan untuk kampanye politik partai pemerintah. “Ketika saya bertemu mereka, saya bertanya strategi apa yang mereka pikirkan,” seorang mantan menteri senior, José Luís Cabaço, memberi tahu saya. “Mereka mengatakan bahwa kampanye sebaiknya berfokus pada pelanggaran yang dilakukan Renamo pada waktu perang. ‘Tidak, jangan demikian,’ saya langsung menjawab. ‘Itu hanya akan menimbulkan konflik. Di tingkat bawah, hal itu akan dilihat sebagai ‘mencoba mengembalikan konflik ke desa kami, ketika kami sudah menyelesaikannya’; membawa roh-roh jahat ke desa kami.” Seseorang mencoba pendekatan demikian. Seorang kandidat dari sebuah partai politik baru datang ke kota Gaza, mengadakan rapat umum, dan mengutuk Renamo dan Frelimo, untuk mendapatkan dukungan bagi partainya. Ia mengatakan bahwa Renamo dan Frelimo patut disalahkan untuk perang yang sudah terjadi dan semua kekejaman itu. Massa menjadi amat marah dan berusaha menyerangnya, karena ia dianggap mencoba menimbulkan kebencian dan masalah di komunitas setelah anggota Renamo dan Frelimo telah berdamai. “Ini merupakan cara masyarakat mengatakan bahwa mereka telah menerima rekonsiliasi antara Frelimo dan Renamo,” kata Brazão Mazula, rektor Universitas Mondlane dan mantan ketua komisi pemilihan umum Mozambik, yang menceritakan kisah itu. “Kini, bila kita membentuk komisi kebenaran, atau membuka isu masa lalu, kita hanya akan memunculkan kebencian itu.” Perdamaian dan rekonsiliasi, pada tingkat mendasar yaitu hidup bersama tanpa konflik, datang dengan segera di Mozambik. Terdapat banyak cerita bagaimana para serdadu dari dua pihak yang bertikai meletakkan senjata dan menyalami lawan mereka sebagai saudara. Ketika kesepakatan damai ditandatangani di Roma, “perintah datang dari atas, dan perang langsung berhenti. Tidak satu peluru pun ditembakkan,” digambarkan oleh seorang pengamat. Perang itu “padam”, seperti api yang padam, kata seorang lainnya. Sejak hari itu, orang-orang yang tadinya bermusuhan hidup dalam damai praktis tanpa insiden. Perdamaian yang dicapai dengan mudah ini mengejutkan banyak orang. Akademisi Mozambik yang mempelajari transisi masa perang ini dengan paling teliti, João Paulo Borges Coelho, merasa keheranan dengan apa yang ia lihat. Ia menunjukkan tidak adanya dendam mengenai pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi antara para anggota parlemen yang tadinya bermusuhan, juga mudahnya tentara-tentara dari pihak yang bermusuhan bergabung untuk menuntut imbalan jasa dari pemerintah. “Tidak ada keragu-raguan terhadap pihak yang lain,” ia mencatat. “Dengan kata lain, saya tidak paham apa yang sedang terjadi … Baru-baru ini, saya mengajar di sebuah kelas, di mana terdapat anak komandan Renamo dan anak seorang jenderal yang bertugas di daerah yang sama. Mereka membicarakan ini di kelas dengan panas, namun setelah pelajaran berakhir, mereka minum kopi bersama, saling memboncengkan … seperti tidak ada yang terjadi. Tidak jelas mengenai bagaimana memikirkan hal ini.” Ketika perang berakhir, organisasi nasional dan internasional memikirkan pembuatan mekanisme untuk memperkuat perdamaian di tingkat lokal, namun inisiatif mereka ternyata tidak diperlukan. “Kami semua berpikir mengenai bagaimana mendorong perdamaian dan rekonsiliasi, namun ketika kami datang ke tingkat bawah, mereka sudah melakukan rekonsiliasi,” jelas José Luís Cabaço, mantan pejabat pemerintah Frelimo. “Pemikiran kami hanya membingungkan dan memicu masalah.” Kesepakatan Politik Pada tingkat elite politik, sebuah proses yang lain terjadi. Karena kedua pihak yang bernegosiasi untuk perdamaian bertanggung-jawab untuk pelanggaran semasa perang, keduanya tidak berminat untuk mengumumkan kejahatan mereka ke muka umum, bahkan di meja perundingan. Dan tidak seorang pun dari luar – baik korban maupun komunitas internasional – memaksa mereka untuk melakukannya. Jadi, alih-alih pertanggung-jawaban, kebenaran atau keadilan, yang ditekankan dalam perundingan adalah rekonsiliasi, yang diartikan “kita akan berbicara, dan kita mungkin akan memerintah bersama, namun kita tidak akan mengorek-orek masa lalu”. Isu pelanggaran di masa lalu tidak ada dalam agenda selama pembicaraan damai selama dua tahun. Kedua pihak secara diam-diam setuju untuk tidak membawanya ke negosiasi; kesepakatan ini tidak diumumkan ke publik. Semua yang memperhatikan negosiasi itu dapat melihat bahwa subjek itu ditabukan. Dua tahun setelah pemilihan umum, pakar Mozambik, Ken Wilson, menggambarkan bahwa “terdapat kesepakatan tersirat untuk tidak mengorek-orek masa lalu. Tentu saja, banyak rahasia yang tersimpan, namun tidak ada yang ingin mengetahui rahasia tersebut.” Seorang jurnalis senior memberitahu saya, “Tidak akan mungkin tercapai kesepakatan damai bila salah satu pihak mempertanyakan pelanggaran,” dan “hanya akan terjadi kekacauan bila masalah yang lama dimunculkan kembali, setelah empat tahun perang berakhir. Penggunaan kata rekonsiliasi secara berulang-ulang dalam kerangka pembicaraan tersebut menunjukkan bahwa hal itu tidak akan terjadi.” Mengakui ironi tersebut, ia menambahkan, “Saya tahu proses di Afrika Selatan disebut ‘komisi kebenaran dan rekonsiliasi’, namun artinya berbeda. Di sini, rekonsiliasi artinya ‘jangan mengutak-atik masa lalu’.” Bahkan, hal ini merupakan salah satu isu pertama yang diumumkan sebelum negosiasi dimulai. “Syarat pertama negosiasi adalah ‘rekonsiliasi’, yaitu bahwa kedua pihak tidak akan menggunakan keburukan pihak lainnya di masa lalu untuk masa depan,” kata Brazão Mazula, yang menyunting sebuah buku mengenai proses perdamaian Mozambik. “Pada awalnya Frelimo meminta Renamo untuk mengakui kejahatan mereka sebagai syarat melakukan perundingan perdamaian. Renamo menjawab bahwa Frelimo harus pula mengakui kejahatan mereka sendiri. Diperlukan lima atau enam bulan yang menyulitkan sebelum isu ini selesai, dengan bantuan Gereja sebagai mediator. Nyaris tidak mungkin menyelesaikan isu ini, sehingga dapat memulai negosiasi. Pada akhirnya, disepakati kebijakan ‘rekonsiliasi’, yaitu bahwa memang ada kejahatan, namun mereka semua dimaafkan, dan akan diadakan pengampunan umum. Setelah kesepakatan ini, kedua pihak tidak perlu lagi mengakui kejahatan mereka. Namun bukan hal yang mudah untuk mencapai kesepakatan itu. Saya bertanya kepada Raul Domingos – yang merupakan pemimpin senior Renamo selama bertahun-tahun, hadir di perundingan damai dan kemudian mengetuai partai Renamo di parlemen – apakah rekonsiliasi dalam negosiasi artinya “mendiamkan masa lalu”. Ia sepakat, “Kata rekonsiliasi artinya melupakan masa lalu dan bertoleransi. Kami dahulu saling membunuh, namun kami melupakannya karena kami bersaudara dan harus hidup bersama. Tanpa ini, perang tidak akan berakhir.” xiv Penyembuhan dengan Cara Lain Jika kesepakatan damai itu melayani kepentingan politik para politisi, tampaknya ia juga bersesuai dengan proses natural rekonsiliasi dan penyembuhan pada tingkat lokal. Mungkin kondisi lokal Mozambik yang menjadikannya berbeda dengan negara-negara lain adalah kekuatan mekanisme penyembuhan tradisionalnya yang berakar kuat di seluruh negara. Pada akhir perang, hampir semua serdadu pulang ke rumahnya, sehingga mencampurkan pelaku kejahatan dan korban dalam masing-masing komunitas, desa dan bahkan keluarga. Mereka menggunakan penyembuh tradisional untuk menyembuhkan luka mereka. Curandeiros , atau penyembuh tradisional, ada di semua kota dan desa, dan dipercaya serta dihormati banyak orang. Di Mozambik sukar ditemukan orang yang tidak mempercayai kekuatan mereka. Di desa-desa, hal itu tidak dipertanyakan lagi. “Saya tidak tahu sebaiknya saya percaya atau tidak,” kata penerjemah dan pemandu saya, spesialis pembangunan Roberto Luis. “Sukar mengatakan ‘tidak, saya tidak percaya’, kalau saya bekerja dengan orang-orang yang percaya. Dan kadang-kadang tampak bukti – kalau mereka meminta hujan, hujan pun turun. Hal itu hanya memperkuat kepercayaan.” “Mekanisme penyembuhan neotradisional,” sebagaimana dinyatakan seorang pakar Mozambik, memiliki peran penting dalam memasukkan kembali para serdadu ke dalam masyarakat mereka. Cara kerjanya kira-kira sebagai berikut: kalau kamu membunuh, roh orang yang dibunuh itu akan mengikuti kamu dan menimbulkan kesialan. Untuk mengembalikan roh itu, harus ada upacara. Keluargamu akan mengadakan upacara untuk “memanusiakan kembali” kamu, untuk menjadikan kamu “normal” kembali. Upacara ini selalu dilakukan oleh seorang pemimpin tradisional, bukan seorang yang ditunjuk pemerintah. Dengan upacara ini, para pembunuh bisa kembali ke masyarakat, dan diterima kembali tanpa pertanyaan, bahkan oleh keluarga korban mereka. Luis melihat, “Ini merupakan bantuan yang amat besar, terutama bagi orang yang terlibat dalam kekejaman. Ini memungkinkan mereka diterima lagi dalam komunitas, tidak lagi menakutkan. Mereka menjadi manusia lagi, bukan monster.” Upacara-upacara demikian terutama penting di tempat-tempat terjadinya pembantaian, terutama bila pembantaian itu terjadi di desa yang bersangkutan. “Di mana banyak orang mati, mereka mengadakan upacara untuk membasuh semua darah yang tertumpah di tanah. Upacara ini dilakukan sebagai rekonsiliasi spiritual antara yang hidup dan yang mati. ‘Ada demikian banyak orang mati, sehingga kami tidak bisa hidup di sini,’ demikian masyarakat setempat akan berkata. ‘Kami perlu berdamai dengan mereka yang mati dan mendamaikan tempat ini dengan mereka.’ Kondisinya seakan-akan ada roh jahat yang ada di sana dan perlu diusir supaya kehidupan bisa berlanjut. Saya tidak tahu seberapa jauh keberadaan roh jahat tersebut, namun ada kepercayaan yang amat kuat bahwa hal itu memang ada. Orang-orang menyisihkan uang untuk upacara demikian, meskipun mereka sebenarnya tidak punya uang – untuk membeli hewan korban, minuman yang diperlukan, dan lain-lain. Ini adalah kekuatan atau struktur yang amat kuat dalam semua komunitas Mozambik,” kata Luis. “Kami tahu bahwa banyak orang percaya pada hal itu,” kata psikolog, Ilídio Silva, yang bekerja untuk sebuah organisasi non-pemerintah di Mozambik yang berusaha menggabungkan praktik psikoterapi modern dengan tradisi penyembuhan lokal. “Tak ada yang lebih baik daripada hal yang kamu percayai. Jika orang percaya, maka hal itu ada.” Dengan amat sedikit praktisi psikologi di seluruh negara, jelas bahwa psikoterapi Barat bukan pilihan yang tepat untuk menyembuhkan trauma di Mozambik, karena kurangnya sumber daya dan personil. Namun, terapi Barat mungkin juga tidak akan tepat, karena orang-orang tampaknya akan merespon lebih baik terhadap struktur kepercayaan lokal mengenai penyakit dan penyembuhan. Antropolog Mozambik, Alcina Honwana, mencatat bahwa “terapi yang tidak memperhitungkan peran roh-roh leluhur dan roh-roh jahat dalam menyebabkan dan menyembuhkan trauma malah akan menghalangi usaha keluarga dan komunitas dalam menolong para korban”, mengutip studi tentang masyarakat yang terpengaruh oleh perang di Mozambik yang menunjukkan bahwa “membicarakan pengalaman traumatik belum tentu membantu korban untuk sembuh. Dalam kasus-kasus demikian, pelaksanaan ritual penyembuhan tradisional malah jauh lebih efektif”. xv Ketika saya mengunjungi sebuah desa yang terletak sejauh 90 menit perjalanan mobil di utara ibu kota, gambaran itu terbukti. Seseorang yang kehilangan ayahnya dalam perang melawan Renamo kini tinggal bertetangga dengan mantan serdadu Renamo yang dianggapnya terlibat dalam pembunuhan tersebut, namun ia tidak pernah mempermasalahkan hal ini dengan tetangganya, dan memang tidak ingin melakukan itu. “Bahkan jika saya ingin mengkonfrontasinya, seluruh komunitas akan menentang saya. Mereka akan mengatakan ‘Kami juga mengalami hal yang sama,’” ia menjelaskan. “Ini merupakan isu komunitas, bukan individual.” Kedua tuan rumah saya, salah satunya kepala sekolah setempat, menunjuk dua orang yang sedang berjalan melintas. “Kedua orang itu mantan anggota Renamo yang melakukan pembunuhan. Mereka hidup di sini dengan bebas; semua orang tahu mereka. Namun mereka tidak pulang ke desa asal mereka, sehingga mereka belum ‘dibersihkan’ karena pembersihan itu hanya bisa dilakukan di desa asal mereka. Mereka dianggap belum normal.” Saya minta kedua tuan rumah untuk menjelaskan bagaimana kedua orang itu berbeda. “Anda bisa melihatnya dari kelakuan mereka, dari cara mereka berbicara,” mereka menjawab, agak kurang memahami pertanyaan saya. Di komunitas yang didiami 13 ribu orang ini, tidak ada polisi. Perlu waktu setengah hari untuk menunggu bis dan pergi ke kota terdekat untuk mendapatkan polisi. Struktur masyarakat dijaga oleh kekuatan pemimpin tradisional dan para penasihatnya. Saya menawarkan pemikiran mengenai komisi nasional untuk menyelidiki kekejaman. Salah satu orang, sang kepala sekolah, menjawab, “Jika akan ada komisi, kecuali ia berakar di tingkat komunitas, dan dengan cukup keamanan untuk melindungi orang, orang-orang akan amat segan untuk datang. Mereka akan diganggu sesudahnya. Adalah hal yang sangat penting untuk menjaga agar semuanya berada di tingkat lokal. Jika ada komisi yang tidak memberikan perlindungan, dan Anda memberikan kesaksian, rumah Anda bisa-bisa dibakar.” Saya bertanya apakah ada tindakan pembalasan sejak akhir perang empat tahun lalu. Di desa ini tidak ada, jawab mereka, namun itu bukan berarti bahwa ingatan tentang perang tidak pernah sama sekali menimbulkan kekerasan. Di kota lain yang berdekatan, setahun lalu, “mereka sedang mabuk. Seorang Renamo menyombongkan diri tentang semua yang ia lakukan, semua kekejamannya. Orang-orang lain tidak senang, dan memukulinya. Saya kira mereka membunuhnya. Karena ia menyombongkan diri.” Jelas, meskipun ada usaha-usaha lokal, tidaklah realistis untuk menganggap bahwa tidak akan ada ketegangan dan kesulitan yang berasal dari ingatan tentang perang tersebut. William Minter, seorang ilmuwan Amerika Serikat yang mengikuti perang dan proses perdamaian Mozambik, berkesimpulan bahwa “banyak dari mereka yang bersalah melakukan kekejaman melakukannya sebagai bagian dari mesin militer yang dimasukinya karena paksaan. Tidak akan ada pengadilan Nuremberg untuk Angola atau Mozambik, atau komisi kebenaran formal dengan tugas yang tidak mungkin dilakukan, untuk melacak pertanggungjawaban untuk ratusan insiden yang tidak tercatat yang terjadi selama hampir dua dekade perang. Kebenaran individual, bila akan terungkap, akan bersifat sepotong-potong. Mengingat-ingat sejarah, walaupun penting, tidak akan diprioritaskan di atas tugas sukar rekonsiliasi individual dan nasional.” xvi Pada akhirnya, proses di Mozambik bukanlah mengenai melupakan atau membantah masa lalu, namun mengenai menerimanya sepenuhnya dan secara keseluruhan, walaupun rumit. Nama dan undang-undang pendirian komisi kebenaran Afrika Selatan dan cara komisi itu menyebut dirinya menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk berdamai dengan orang dan peristiwa di masa lalu. Salah satu jurnalis investigatif terkenal di Mozambik, misalnya, adalah yang paling keras menentang pemikiran mengenai komisi kebenaran. Carlos Cardoso, yang berasal dari Afrika Selatan dan pada saat itu menjadi editor MediaFax di Mozambik, selama beberapa tahun berusaha menemukan kebenaran yang tersembunyi. Namun, ia berkata, “Saya tidak percaya komisi kebenaran. Untuk ‘berdamai dengan masa lalu’ – orang-orang perlu hak untuk menginterpretasikan masa lalu sesuai keinginannya. Saya tidak ingin berekonsiliasi dengan kejahatan mengerikan terhadap masyarakat. Mengapa saya harus menerimanya? Saya ingin memiliki kontradiksi dengan masa lalu.” Marilah melihat ke masa lalu, kata Cardoso, tapi jangan melakukannya dengan satu komisi yang mengatakan hanya ada satu kebenaran. “Sejarah demikian kompleks: Anda tidak bisa membekukannya. Dan jika Anda mulai menggali, di mana Anda dapat berhenti? Siapa yang bersih di sini. Ini merupakan sebuah kolam lumpur; semuanya terlibat, termasuk komunitas internasional.” Berulang kali saya mendengar bahwa menggali ke masa lalu bukanlah pilihan yang tepat bagi Mozambik, sehingga saya mulai bertanya: di sebagian besar belahan dunia ini, ada pepatah, “jika kamu tidak belajar dari sejarah, kamu akan mengulanginya”. Apakah Mozambik merupakan perkecualian? Hampir semua menjawab ya. José Luís Cabaço, mantan pejabat senior pemerintahan memperkuat pendapat ini. “Masa lalu tidak bisa eksis di negeri ini,” katanya. Ia kemudian berpikir sejenak dan memperlunak ucapannya. “Betul, hal ini memang perlu diajarkan di sekolah-sekolah, supaya tidak terulang. Tapi masa lalu ini masih merupakan bagian dari masa kini, sehingga sulit untuk diajarkan. Dalam waktu lima atau sepuluh tahun, para sejarawan akan dapat menulis sejarah yang pantas, untuk menggambarkan kerangka dan ideologi. Namun hal ini tidak akan terjadi sebelum lima atau sepuluh tahun. Kini hal ini masih bagian jurnalisme, belum menjadi sejarah.” xvii Kamboja: Dua Puluh Tahun Kemudian Kamboja dikenal luas secara internasional karena “ladang pembantaian”-nya pada akhir dekade 1970-an, ketika pemerintah Khmer Merah membunuh antara 1-2 juta orang, hampir seperlima penduduk negara itu. xviii Apakah dan bagaimana cara warga Kamboja menginginkan untuk mengenang masa lalu ini, sama sekali tidak jelas. Pada awal dekade 1980-an, segera setelah Khmer Merah diturunkan dari kekuasaan, terdapat keinginan untuk menceritakan dan mengumumkan apa yang terjadi kepada dunia, menurut David Hawk, yang mengetuai Komisi Dokumentasi Kamboja, sebuah organisasi non-pemerintah yang waktu itu mendorong pengadilan para pemimpin Khmer Merah atas dasar Konvensi Genosida. xix Timbul usaha spontan untuk mencatat pengalaman mereka yang selamat, dan beberapa warga Kamboja menulis otobiografi tentang pengalaman mereka. Namun perang saudara berlanjut selama dekade 1980-an, penderitaan berlanjut, dan warga Kamboja menunjukkan keinginan untuk melanjutkan kehidupan mereka tanpa menggali peristiwa-peristiwa di masa lalu. Pada awal dekade 1990-an, dikatakan bahwa warga Kamboja ingin melupakan masa lalu begitu saja dan tidak menunjukkan keinginan untuk membicarakan masa lalu tersebut. xx Pengamat luar negeri menyimpulkan bahwa kebisuan mengenai masa lalu ini disebabkan rasa takut untuk berbicara mengenai masa yang masih bermasalah dan juga kecenderungan umat Buddhis dan masyarakat Kamboja untuk tidak melakukan konfrontasi. Pada tahun 1994, Stephen Marks, ketua bagian pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia untuk misi PBB ke Kamboja pada tahun 1992-1993, menggambarkan sejumlah alasan mengapa pemerintah Kamboja tampaknya tidak akan menghukum Khmer Merah untuk kekejaman mereka. Ini mencakup fakta bahwa banyak elite politik, militer dan keuangan yang akan terseret, karena banyak pejabat pemerintahan kini berafiliasi dengan Khmer Merah pada waktu itu, rakyat Kamboja memilih mengakomodasi Khmer Merah daripada perang berlanjut; sistem pengadilan terlalu lemah untuk mengharapkan pengadilan yang serius; raja Kamboja, yang amat dihormati, telah mengajukan rencana rekonsiliasi dengan Khmer Merah; dan ajaran Buddhis Kamboja menyatakan bahwa rekonsiliasi tidak menuntut keadilan atau pembalasan. xxi Kassie Neou, direktur Institut Hak Asasi Manusia Kamboja, yang pernah menjadi korban Khmer Merah, menggambarkan pandangannya tentang mengkonfrontasi masa lalu dengan cara yang “sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Kamboja” kepada Marks. Bagaimana masa lalu dipelihara dan ditunjukkan amat penting, menurutnya. Menurut Marks, Neou percaya bahwa “monumen-monumen untuk peringatan genosida yang kini ada di beberapa tempat di Kamboja harus diganti dengan sebuah stupa, yang akan menjadi tempat peringatan, namun bukan tempat untuk mengutuk, tempat keluarga para korban bisa datang dan mengenang kehidupan mereka yang dicintainya. Tempat-tempat tersebut akan juga menjadi pusat pendidikan hak asasi manusia, dalam semangat rekonsiliasi Buddhis. Kerangka dan tulang para korban sebaiknya tidak ditunjukkan kepada umum, namun dikremasi, sehingga membebaskan jiwa-jiwa mereka.” Neou menekankan bahwa “terlalu banyak darah orang yang tak bersalah ditumpahkan. Segala hal yang dapat mengganggu perdamaian seharusnya dilarang.” xxii Sebuah dampak meresahkan dari kebisuan mengenai masa lalu ini adalah kesalahpahaman mendasar atau ketidakacuhan mengenai periode sejarah ini. Para pemuda di bawah 20 atau 25 tahun, yang tidak cukup tua untuk mengingat kekerasan, nyaris tidak mengerti apa yang terjadi di negeri mereka selama berada di bawah kekuasaan Khmer Merah. Pada kesempatan-kesempatan langka ketika para korban yang selamat menceritakan pengalaman mereka, para pemuda sering kali menganggap bahwa orang-orang tua tersebut bercanda atau melebih-lebihkan. Brad Adams, seorang pembela hak asasi manusia Amerika Serikat yang tinggal di Kamboja selama beberapa tahun pada dekade 1990-an, mengatakan, “Sebuah catatan yang lengkap dan akurat sangatlah penting untuk mencegah pembelokan sejarah di kalangan rakyat Kamboja, terutama karena tiadanya gambaran serius mengenai sejarah Kamboja kontemporer di sekolah-sekolah. Sangatlah menakutkan bila mendengarkan rakyat Kamboja berpikir bahwa ‘Khmer Merah sebenarnya bukanlah Khmer, namun agen Vietnam yang dikirim ke sini untuk menghancurkan rakyat Khmer Merah.’ Semakin banyak informasi tentang apa yang terjadi sangatlah baik, dan mungkin menjadi satu-satunya obat terhadap masalah potensial ini.” xxiii Sementara rakyat Kamboja tidak melihat adanya harapan untuk keadilan di negeri itu dan tidak menunjukkan ketertarikan untuk mengkonfrontasi sejarah secara langsung, ketertarikan komunitas internasional pada pertanggungjawaban kejahatan Khmer Merah selama dekade 1970-an semakin meningkat belakangan ini. xxiv Sebagai akibat dari ketertarikan ini, pada awal dekade 1990-an, di Kongres Amerika Serikat dimulai inisiatif untuk mendokumentasikan kejahatan Khmer Merah dan mendorong pengadilan. Senator Chuck Robb, ketua Sub-Komisi Senat untuk Asia Timur, memutuskan bahwa kejahatan Khmer Merah seharusnya diselidiki secara cermat dan dicatat, lalu yang bersalah diadili. xxv Di bawah inisiatif kantor senator ini, terutama di bawah pimpinan staf seniornya, Peter Cleveland, Undang-Undang Pengadilan Genosida Kamboja disahkan pada tahun 1994, memberikan US 800 ribu kepada Departemen Luar Negeri untuk membentuk Kantor Penyelidikan Genosida Kamboja dan memberikan sumbangan riset. xxvi Dana diberikan kepada Universitas Yale untuk sebagian terbesar dari penelitian dan konsultan independen untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan legal dan kebijakan. xxvii Pidato Senator Robb di Kongres membuat inisiatif tersebut tampak seperti komisi kebenaran, kecuali bahwa tidak dilakukan oleh penguasa negara bersangkutan dan juga tidak mendapatkan dukungannya: Sayangnya, catatan faktual mengenai ladang pembantaian di Kamboja tidak lengkap, dan semakin lama semakin sukar untuk menentukan dengan teliti apa yang sebenarnya terjadi dalam tahun-tahun teror itu. Sejarah kini dicoba dibasuh. … Namun, undang-undang yang saya ajukan hari ini akan meningkatkan pengetahuan kita dengan mendokumentasikan, mengumpulkan, mengorganisir dan menilai informasi mengenai kekejaman yang dilakukan para pemimpin nasional Khmer Merah. … Terlalu banyak warga Kamboja yang mati dengan mengerikan, sehingga kita tidak boleh melupakan hal ini, dan masa depan negara ini terlalu penting untuk dibiarkan saja tanpa mengenang apa yang benar-benar terjadi. … Semua warga Kamboja akan dapat mempelajari sejarah mengerikan negerinya, dan kita berharap pula, informasi spesifik mengenai mengapa, kapan dan di mana seorang anggota keluarga dibunuh. xxviii “Anda tidak bisa mengatakan, ‘Biarkan genosida yang sudah lewat berlalu begitu saja,’” kata staf senior senator tersebut, Peter Cleveland, dalam menjelaskan motivasi mereka untuk undang-undang tersebut. “Senator merasa bahwa Anda tidak bisa mengabaikan hal-hal demikian, hal demikian harus disikapi. Moralitas menuntut tindakan itu.” xxix Namun di Kamboja, menurut Cleveland, praktis tidak ada dukungan untuk proyek itu. Ia menggambarkan dengan keheranan bagaimana “pemerintah Kamboja tidak menginginkan hal ini. Dan kelompok-kelompok hak asasi Kamboja semua berkumpul dengan saya untuk menghalangi ide tentang penyelidikan genosida.” Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menentang inisiatif tersebut dan baru menerima proyek tersebut setelah disahkan sebagai undang-undang, demikian menurut Cleveland. Departemen Luar Negeri mengingatkan Senator Robb bahwa undang-undang tersebut bisa mengganggu hubungan bilateral jika pemerintah Kamboja merasa terganggu dengan penyelidikan itu, yang pasti akan menyentuh orang-orang yang sedang bernegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat pada saat itu. “Namun Anda tidak bisa mengabaikan masalah itu hanya untuk mendapatkan kesepakatan dengan Khmer Merah,” balas Cleveland. “Pada satu titik, Anda tidak bisa membiarkan sebuah negara menjadi hakimnya sendiri. Komunitas internasional tidak bisa membiarkannya begitu saja.” Proyek yang didanai Amerika Serikat ini terbatas dalam satu aspek penting: dengan menyempitkan lingkupnya ke tahun-tahun kekuasaan Khmer Merah, ia mengabaikan tinjauan terhadap dukungan Amerika Serikat pada Khmer Merah setelah ia jatuh dari kekuasaan, dan juga, dampak pengeboman Amerika Serikat terhadap Kamboja pada awal dekade 1970-an, yang dituding sebagai pemicu pertumbuhan Khmer Merah. Dalam usahanya untuk menjatuhkan pemerintah Kamboja yang didukung Vietnam, pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan diplomatik penting kepada Khmer Merah selama bertahun-tahun setelah ia jatuh dari kekuasaan, membiarkannya menduduki kursi Kamboja di PBB, berkoalisi dengan kelompok-kelompok lain, meskipun kekejaman yang dilakukannya telah dikenal luas. Inisiatif Amerika Serikat tersebut memberikan kontribusi penting untuk pemeliharaan dokumen-dokumen. Proyek Universitas Yale, yang mendapatkan bantuan hampir setengah juta dollar dari pemerintah Amerika Serikat, juga bantuan dari yayasan swasta lain, berhasil memunculkan sejumlah besar dokumen yang sebelumnya tidak diketahui. Dokumentasi setebal antara 50-100 ribu halaman itu, yang hampir semuanya ditemukan di sebuah gudang di Phnom Penh, menurut direktur proyek, Ben Kiernan, menggambarkan praktik pengintaian polisi rahasia Khmer Merah dan membantu menggambarkan struktur rezim itu. Sebuah peta komputer mengenai ladang pembantaian, foto 16 ribu orang yang dibunuh di penjara, dan data biografi luas mengenai korban dan pelaku sudah ditempatkan di World Wide Web. xxx Yale membantu membuat pusat dokumentasi di Kamboja, tempat dokumen disimpan dan diproses, dan membantu menjadikan pusat tersebut sebuah organisasi Kamboja yang independen. Setelah beberapa pemimpin aktif Khmer Merah menyerah pada akhir tahun 1998 dan disambut dengan hangat oleh perdana menteri dan Khmer Merah akhirnya habis, sebagai sebuah kekuatan tempur, terdapat keinginan yang semakin jelas dari rakyat Kamboja untuk mengadili para pejabat tertinggi Khmer Merah. “Negara ini tampaknya tiba-tiba memulai perbincangan nasional yang lama tertunda mengenai masa lalunya yang traumatik”, demikian dilaporkan New York Times. xxxi Sebuah survei menunjukkan bahwa 80 responden ingin agar para pemimpin Khmer Merah diadili; xxxii namun laporan dari Kamboja juga menunjukkan bahwa rakyat Kamboja mencemaskan “instabilitas, krisis dan gejolak politik memiliki benih-benih untuk mengembalikan ke kondisi pada tahun 1975,” sebagaimana dijelaskan seorang diplomat. “Masyarakat mengalami trauma. Mereka hanya ingin untuk melanjutkan sisa hidup mereka.” xxxiii Pada awal tahun 1999, perdana menteri, Hun Sen, menyarankan agar Kamboja mempertimbangkan komisi kebenaran bersama dengan pengadilan, dan berencana mengundang Uskup Agung Desmond Tutu untuk melakukan kunjungan kemungkinan tujuannya adalah untuk mencegah pengadilan internasional, yang mulai dipertimbangkan komunitas internasional; hal ini tidak jelas. xxxiv Kemudian, beberapa bulan kemudian, sebuah tim pakar hukum yang ditunjuk PBB, yang sedang mempelajari opsi-opsi pertanggungjawaban untuk Kamboja, menyarankan untuk mempertimbangkan komisi kebenaran untuk Kamboja. Namun demikian, tim tersebut menekankan pentingnya “proses refleksi” oleh rakyat Kamboja untuk menentukan apakah tindakan tersebut diinginkan, dan apakah komisi tersebut akan menjadi pelengkap bagi pengadilan yang akan dijalankan. xxxv Masih belum jelas apa yang akan dipikirkan rakyat Kamboja mengenai penyelidikan kebenaran berskala luas demikian, meskipun terdapat indikasi anekdotal bahwa proses dengar-kesaksian secara luas masih akan dianggap terlalu konfrontasional atau berbahaya, karena banyak mantan anggota Khmer Merah yang tersebar di masyarakat. Seorang pengamat yang menekankan pentingnya menjelaskan kebenaran tentang masa lalu juga menjelaskan bahwa “tampaknya tidak mungkin bila rakyat biasa Kamboja, yang mengalami trauma berat karena puluhan tahun perang, pembantaian massal dan represi politik, akan mengambil risiko untuk bertindak aktif dalam komisi kebenaran. Risikonya terlalu besar, dan keuntungannya terlalu kecil.” xxxvi Jika akan ada komisi kebenaran di Kamboja, bentuknya akan berbeda dari komisi kebenaran yang sudah ada; mungkin dengan mencatat kesaksian dari pemimpin komunitas atau orang lain yang bisa menggambarkan dampak kekerasan terhadap suatu daerah, alih-alih mengumpulkan cerita-cerita individual dari ribuan korban. Apa Peran Komunitas Internasional? Negara-negara seperti Kamboja dan Mozambik, di mana terdapat paling tidak satu masa resistensi luas terhadap penggalian masa lalu, relatif jarang. Bila ini merupakan konsensus bersama, kebijakan rekonsiliasi melalui kebisuan bisa diterima oleh komunitas internasional. Namun, bagaimana cara menentukan “konsensus bersama” bila para korban hidup dalam kebisuan yang menekan dan kelompok-kelompok hak asasi manusia dikekang selama bertahun-tahun? Dalam sebagian terbesar kasus, ada beberapa kelompok atau sektor dalam masyarakat yang tidak menginginkan kebenaran untuk diungkapkan. Sementara yang lainnya merasa lebih diuntungkan oleh kebisuan atau dengan mengungkap sebagian kecil saja dari kebenaran. Dalam kondisi demikian, pembantahan terhadap kebenaran yang berlanjut akan mendorong konflik dan menggagalkan usaha penyembuhan masyarakat. Di beberapa negara, komunitas internasional memiliki peran penting dalam mendorong usaha penyelidikan kebenaran secara serius dan memberikan dana atau bahkan personel untuk memungkinkannya. Di negara-negara tempat mantan pelaku kejahatan memiliki terlalu banyak kekuasaan dalam perundingan damai atau dalam pemerintahan baru, komunitas internasional tepat untuk mendorong pertanggungjawaban, termasuk penyelidikan terhadap kebenaran. Bila sektor-sektor suatu negara menuntut pertanggungjawaban, penting bagi komunitas internasional – PBB, partner bilateral, organisasi non-pemerintah internasional – untuk menyokong mereka dan menekan pemerintah yang aktor nasionalnya tidak memiliki kekuasaan atau ruang politik untuk melakukannya. Dan bila penyelidikan kebenaran resmi terjadi, komunitas internasional harus mengawasi agar hal itu dilaksanakan secara adil dan dapat dipercaya. Namun bagaimana cara orang luar membedakan motivasi politik untuk mencegah terungkapnya kebenaran dan klaim yang sah bahwa tindakan tersebut tidak tepat untuk suatu negara pada saat tertentu? Apa yang bisa dilihat untuk menunjukkan kegunaan dan ketepatan badan penyelidik kebenaran yang resmi? Saya ingin menunjukkan beberapa faktor. Sebagaimana dicatat di depan, kuantitas maupun jenis pelanggaran hak asasi manusia, juga apakah pelanggaran tersebut sudah didokumentasikan oleh penyelidik lain, tidak menentukan apakah pelanggaran tersebut layak atau tidak diselidiki secara resmi. Jumlah kasus yang relatif sedikit pun tidak mengurangi pentingnya isu tersebut. Namun, patokan terpenting dalam menentukan pentingnya komisi kebenaran adalah keinginan dari masyarakat untuk mengetahui kebenaran yang dipertanyakan. Sukar untuk mengukur sentimen tersebut dalam bentuk konkret. Hanya sedikit negara transisional yang semaju Afrika Selatan, yang memiliki pengetahuan, kesabaran, infrastruktur masyarakat sipil, dan sumber daya untuk didedikasikan selama satu setengah tahun untuk mengumpulkan pemikiran dan reaksi dari seluruh negara. Jajak pendapat tidak realistis untuk dilakukan di banyak negara, dan ketakutan untuk membicarakan pelanggaran pemerintah secara terbuka bisa berlanjut lama setelah akhir perang atau turunnya rezim yang represif. Meskipun tidak ada alat ukur yang formal, pakar asing dan pemerintah harus melihat pada preferensi nasional dan menjadikannya panduan, terutama pada pandangan para korban atau kelompok yang mewakili mereka. Di negara-negara yang tidak tertarik atau resisten terhadap pemikiran untuk menggali masa lalu, ini akan tampak di seluruh tingkat masyarakat: pilihan untuk melepaskan masa lalu, rasa segan untuk membicarakan masa lalu, kebosanan terhadap kekerasan, dan keinginan kuat untuk perdamaian dan pembangunan kembali. Di tempat lain, tuntutan untuk kebenaran dan pertanggungjawaban tampak jelas melalui demonstrasi massal, lobi dari organisasi korban atau organisasi hak asasi manusia, atau dalam posisi negosiasi pihak-pihak dalam perundingan damai. Ada perbedaan mencolok antara Mozambik, yang memiliki keengganan untuk membicarakan perang, dan Argentina, di mana para ibu yang anaknya dihilangkan berdemo tiap minggu di lapangan ibu kota untuk menuntut kebenaran; atau Guatemala, di mana organisasi non-pemerintah sejak sebelum negosiasi damai telah mengorganisir lobi untuk komisi kebenaran yang kuat dan mengumpulkan sejumlah besar informasi dari berkas-berkas mereka untuk diberikan kepada komisi ketika ia mulai bekerja. Benar bahwa di beberapa negara masyarakat sipil tidak begitu kuat untuk mendorong isu ini, dan tidak banyak organisasi advokasi hak asasi manusia atau kelompok pendamping korban. Jika masyarakat sipil masih lemah, atau dilemahkan, maka perjalanan waktu akan bisa memperkuat suara rakyat, memungkinkan penyelidikan terhadap kebenaran lebih tepat dan memenuhi keinginan rakyat pada masa depan. Meskipun ada risiko dalam menunda penyelidikan – terutama dalam hilangnya momentum transisional – mungkin perlu untuk menunggu sampai kondisi keamanan meningkat, atau bahkan sampai tokoh penting diadili dan keluar dari kelompok elite politik, meskipun skenario ini relatif sukar terjadi. Namun bahkan di mana tidak ada ketertarikan, beberapa pakar internasional akan bertanya, mengapa tidak mendorong penyelidikan terhadap kebenaran resmi sebagai kewajiban standar setelah pelanggaran berat? Pertama, jika sebuah komisi dibentuk dan gagal – dibubarkan sebelum selesai, gagal menulis laporan, memiliki mandat yang lemah dan melakukan kompromi politik, atau gagal mendapatkan perhatian dari komunitas korban – tampaknya sukar mengharapkan komisi yang lebih baik di masa depan. Kedua, bila mekanisme penyelidikan kebenaran dibentuk tanpa dukungan, kapasitas, sumber daya atau kebebasan untuk bekerja dengan baik, atau untuk menjelaskan misinya kepada publik, ia akan gagal, bahkan bila penyelidikannya dilakukan pada bidang-bidang yang paling sederhana pun, dan mungkin akan menimbulkan harapan keliru yang akan semakin mengecewakan para korban dan keluarganya. Meskipun harapan masyarakat terhadap komisi kebenaran kadang-kadang terlalu tinggi, akan semakin buruk bila komisi sama sekali tidak mungkin menyelesaikan tugasnya, bahkan sebagian saja. Dan ketiga, ada potensi untuk terjadinya bahaya – baik dalam menimbulkan trauma ulangan bagi korban, atau dalam mengobarkan ketegangan lagi. Kecemasan yang menyertai proses ini merupakan indikasi bahaya yang benar-benar ada – terutama dalam memicu kekerasan lebih lanjut – dan pandangan masyarakat mengenai bahaya ini harus diperhatikan. Sebuah proses penyelidikan kebenaran berskala luas berbeda dari pengadilan, yang seharusnya didorong oleh komunitas internasional sebagai kewajibannya bila ada kejahatan hak asasi yang serius dan pengadilan demikian, bagi banyak jenis kejahatan hak asasi manusia, dianggap sebagai kewajiban dalam hukum internasional. Bahkan dengan mengakui keterbatasan pengadilan yang lengkap dan adil dalam banyak masyarakat transisional, untuk semua alasan yang digambarkan dalam bab 7, adalah hal yang tepat untuk mendorong pertanggungjawaban dan mendorong badan pengadilan untuk berfungsi, atau sebagaimana sering kali diperlukan, untuk mendorong reformasi yudisial sehingga memungkinkan pertanggungjawaban di masa depan. Mengadili mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat membantu memperkuat ketaatan hukum dan melawan impunity. xxxvii Sementara mendikte proses transisi perlu dihindari, ada peran penting bagi komunitas internasional untuk memberikan kontribusi terhadap pertanggungjawaban di negara-negara lain. Di banyak negara yang mengalami transisi, ada kekurangan pengetahuan pada aktor-aktor domestik mengenai opsi-opsi transisional mereka, selain menuntut para pelaku kejahatan di pengadilan. Dan mereka sering kali memiliki pengetahuan yang amat terbatas mengenai apa sebenarnya komisi kebenaran, bagaimana cara terbaik untuk membentuknya, dan apa yang bisa diharapkan dari badan demikian. Komunitas internasional bisa membantu memberikan informasi sebagai perbandingan dan keahliannya sehingga para aktor domestik memiliki opsi-opsi yang lebih baik. Ada banyak contoh usaha demikian. Afrika Selatan menunjuk pada dua konferensi internasional pada tahun 1994 yang membantu mereka menyusun ide untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. xxxviii Sebuah konferensi diadakan di Malawi pada tahun 1996 untuk membicarakan contoh internasional inisiatif pertanggungjawaban dan penyelidikan kebenaran, untuk membantu pemerintah Malawi dalam menyelidiki soal cocok-tidaknya komisi kebenaran di sana. xxxix Pada tahun 1998, sebuah organisasi hak asasi manusia di Belgrade, Yugoslavia, mengadakan konferensi internasional yang sebagian diarahkan untuk menyelidiki rencana pembentukan komisi kebenaran di Bosnia. Selain itu, menyimpan dan merawat bukti dokumenter bisa sangat penting bagi penyelidikan atau pengadilan di masa depan. Bahkan bila penyelidikan kebenaran tidak langsung dijalankan segera setelah transisi, sangat mungkin bahwa ketertarikan terhadap dokumentasi sejarah akan muncul di kemudian hari, baik melalui inisiatif pemerintah atau pribadi. Dokumen-dokumen bisa dengan mudah dirusakkan pada saat transisi politik, atau hilang atau rusak karena kurang perhatian; kadang-kadang ada kesempatan untuk aktor luar untuk membantu menyimpan dokumen pada transisi politik yang bergejolak, atau menyediakan sumber daya untuk pemeliharaannya. Proyek Kamboja Yale, yang didanai pemerintah Amerika Serikat, sebagian melakukan hal itu, memelihara dan mengkatalogkan dokumentasi mengenai masa Khmer Merah dan menyediakannya kepada publik. Pusat Dokumentasi Kamboja, yang berkembang sebagai hasil proyek ini, menjadi pusat pengumpulan dokumentasi ini, dan digunakan pada tahun 1998-1999 oleh para pakar hukum internasional yang mengevaluasi bukti-bukti yang bisa digunakan untuk menuntut para mantan pemimpin Khmer Merah. xl Sebaliknya, pemerintah Amerika Serikat melakukan tindakan yang amat bertentangan di Haiti. Ketika pasukan Amerika Serikat menginvasi Haiti pada musim gugur 1994, mereka langsung mendatangi markas militer dan kelompok paramiliter, Front Kemajuan Haiti FRAPH, dan menyita dokumen, foto, video dan material lain yang merupakan bukti luas mengenai pelanggaran luar biasa yang mereka lakukan, termasuk foto-foto mengerikan dari para korban FRAPH. Beberapa pakar hak asasi manusia asing di Haiti yang memiliki sebagian material serupa juga menyerahkannya kepada tentara Amerika Serikat; mereka merasa lega karena bahan-bahan itu berada di tangan yang lebih aman. “Tidak ada satu pun alat fotokopi di negara itu, sehingga tidak mungkin membuat salinan dokumentasi, dan dalam kekacauan tersebut di mana pun tidak aman,” kata seseorang kepada saya. Namun semuanya berpikir bahwa dokumentasi itu akan dikembalikan ke Haiti ketika keadaan menjadi aman. Sebaliknya, tidak satu pun dari dokumentasi sebanyak sekitar 160 ribu halaman, foto, video atau kaset audio yang dikembalikan Amerika Serikat kepada negara tersebut. Mereka berada di tangan pemerintah Amerika Serikat, di kantor Departemen Pertahanan. Alasan untuk melakukan hal ini bukanlah sesuatu yang terpuji: Amerika Serikat memberikan dukungan langsung kepada beberapa orang yang terlibat langsung dalam pelanggaran, membayar tokoh-tokoh FRAPH sebagai sumber intelijen, dan dokumen-dokumen tersebut pasti akan menunjukkan peran dan keterlibatan pemerintah Amerika Serikat dalam mendukung beberapa tokoh preman. Amerika Serikat akhirnya menawarkan untuk mengembalikan dokumen tersebut hanya bila pemerintah Haiti setuju untuk membatasi pemakaian bahan-bahan tersebut, dan setelah beberapa bagian dihitamkan, namun pemerintah Haiti menolak hal itu. Meskipun meminta secara resmi kepada pemerintah Amerika Serikat untuk mengakses dokumen tersebut, komisi kebenaran Haiti akhirnya menyelesaikan kerja mereka tanpa bantuan dokumentasi tersebut. xli Kasus Haiti merupakan kasus terburuk tentang di mana suatu negara asing menghalangi hak sebuah negara lainnya untuk mendapatkan kebenaran; xlii Namun kredibilitas usaha internasional untuk mendorong pertanggungjawaban terhadap pelanggaran di masa lalu akan bergantung pada keterbukaan pemerintah asing tersebut untuk mempertanggung-jawabkan kebijakan dan tindakannya sendiri. Bahkan, bila sebuah negara transisional ragu-ragu, menolak atau menunda usaha untuk mendokumentasikan kebenaran, atau di mana kondisi politik menghalangi usaha serius secara domestik, tidak ada alasan mengapa sebuah negara asing yang terlibat dalam menyokong rezim yang melakukan pelanggaran tidak meninjau dan mempertanggungjawabkan tindakannya untuk mendukung, mendorong atau memberikan pelatihan militer dan dukungan politik untuk kegiatan-kegiatan pelanggaran tersebut. Bahkan, tinjauan demikian bisa diharapkan akan memiliki efek langsung dalam kebijakan negara di kemudian hari, dengan mempertimbangkan hubungannya dengan rezim-rezim pelanggar lainnya. Catatan komunitas internasional dalam hal ini tidak kuat. Di Amerika Serikat, di mana terdapat bukti langsung keterlibatannya dalam aktivitas ilegal dan tidak dapat diterima – seperti buku panduan latihan dari CIA dan personel militer Amerika Serikat untuk melakukan penyiksaan, xliii atau dukungan langsung terhadap kudeta militer terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis xliv – nyaris tidak ada tinjauan kebijakan yang serius, dan kurang pula “kebenaran”, selain yang keluar dari usaha organisasi non-pemerintah untuk membuka dokumen yang dirahasiakan. xlv Kemungkinan hal ini tidak akan berubah: klaim mengenai “keamanan nasional” menyelubungi banyak kebijakan luar negeri dari tinjauan serius, dan hanya sedikit pemerintah yang mau menunjukkan sisi gelap keterlibatan luar negeri mereka, atau secara jujur mengakui kesalahan. Dengan demikian, usaha untuk mendorong pertanggungjawaban di luar negeri akan dipandang dengan skeptis bila diajukan oleh pemerintah yang tidak bertanggung-jawab atas keterlibatannya sendiri dalam tindakan yang sama atau serupa. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv

Bab 13 Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana