Bab 10 Memandang ke Masa Depan:
Rekonsiliasi dan Reformasi
Mungkin tujuan terpenting dari semua komisi kebenaran adalah untuk mencegah terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di masa depan. Sebuah komisi bisa
mencapai tujuan ini dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara
pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam. Secara lebih konkret, hampir semua komisi kebenaran
memberikan saran untuk diadakannya reformasi militer, kepolisian, sistem peradilan dan politik untuk mencegah pelanggaran dan memperkuat mekanisme respon terhadap pelanggaran, bila tetap
terjadi.
Kedua tujuan tersebut – memajukan rekonsiliasi dan mendorong reformasi institusional – merupakan tantangan yang berat bagi komisi-komisi kebenaran selama ini. Dan, meskipun telah
ada beberapa kontribusi penting yang diberikan, banyak komisi masih belum berhasil mencapai tujuan yang semula diharapkan. Ini menjadi sumber kekecewaan bagi banyak orang yang memiliki
harapan besar pada kekuatan transformasional yang dimiliki komisi kebenaran, namun bila diteliti lebih dalam, hal ini tidak mengherankan. Kedua tujuan ini tergantung pada sejumlah aktor atau
elemen luar – sebagai contoh, kemauan politik, inisiatif kepresidenan atau parlementer, dan kesiapan pada tingkat masyarakat dan perorangan untuk berubah. Sehingga, usaha sekeras apa pun
oleh sebuah komisi yang menjelaskan kebenaran, bila tidak didukung pihak-pihak lainnya, tidak akan berhasil mencapai semua perubahan tersebut.
Rekonsiliasi sering kali dicantumkan sebagai sasaran dalam proses perdamaian nasional, namun sering kali tidak jelas apa yang diartikan dengan istilah tersebut. Oxford English Dictionary
mendefinisikan “reconcile” sebagai “to bring a person again into friendly relations … after an estrangement … To bring back into concord, to reunite persons or things in harmony
[Berbaik kembali dengan seseorang … setelah masa-masa keterasingan … Mengakurkan kembali,
menyatukan kembali orang atau barang ke kondisi harmonis].
i
Dalam konteks konflik atau kekerasan politik, rekonsiliasi dijabarkan sebagai “mengembangkan saling penerimaan yang
bersifat damai antara orang-orang atau kelompok yang bermusuhan atau dahulunya bermusuhan”.
ii
Sering kali terdapat anggapan bahwa mengetahui kebenaran tentang masa lalu merupakan syarat mutlak untuk terjadinya rekonsiliasi. Di tempat-tempat seperti Afrika Selatan,
ini merupakan prinsip dasar dalam seruan pembentukan komisi kebenaran, dan perhatian internasional terhadap komisi itu menimbulkan anggapan bahwa semua komisi kebenaran
terutama dibentuk untuk mendorong rekonsiliasi. Pada kenyataannya, tingkat pemberian tekanan pada rekonsiliasi sebagai tujuan pencarian kebenaran bervariasi secara besar di antara
komisi-komisi kebenaran. Tidak semua komisi kebenaran memiliki tujuan ini, namun komisi-komisi yang juga berusaha untuk mendorong rekonsiliasi – seperti Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi di Cile – menemukan bahwa tujuan ini sukar dicapai.
Harus ada perbedaan yang jelas antara rekonsiliasi individual dan rekonsiliasi nasional atau politik. Kekuatan proses komisi kebenaran adalah untuk mendorong rekonsiliasi pada tingkat
nasional atau politik. Dengan berbicara secara terbuka mengenai peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dipertentangkan, dan dengan mengizinkan sebuah komisi independen untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang menonjol, sebuah komisi bisa meredakan ketegangan yang mungkin tampak dalam parlemen nasional atau badan-badan politik lainnya. Sebuah pertanggungjawaban resmi
dan kesimpulan tentang fakta-fakta bisa memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan untuk berdebat dan memerintah secara bersama-sama tanpa konflik laten dan kepahitan tentang
kebohongan di masa lalu. Ini tidak berarti bahwa ingatan atau pengetahuan tentang masa lalu tidak akan berpengaruh pada politik masa kini, namun jika fakta-fakta mendasar tetap menjadi sumber
konflik atau kepahitan, hubungan politik bisa menjadi tegang. Dalam transisi dari perang saudara yang dinegosiasikan, ketegangan yang laten menjadi perhatian tersendiri, karena pihak-pihak yang
bermusuhan langsung datang dari medan pertempuran ke meja perundingan.
Pada tingkat individual, rekonsiliasi jauh lebih kompleks, dan jauh lebih sukar untuk dicapai melalui komisi nasional. Memang ada contoh-contoh di mana proses komisi kebenaran
menimbulkan penyembuhan dan pemberian maaf bagi beberapa orang, namun mengetahui kebenaran secara global atau bahkan mengetahui kebenaran spesifik tentang kasus seseorang
belum tentu menimbulkan rekonsiliasi si korban itu dengan pelaku pelanggarannya. Pemberian maaf, penyembuhan dan rekonsiliasi adalah proses yang amat personal, dan kebutuhan serta reaksi
tiap-tiap orang pada pendamaian dan kebenaran bisa berbeda-beda.
Sejak sebelum pembentukannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dipresentasikan sebagai cara untuk melakukan rekonsiliasi bagi sebuah negara yang
terpecah-belah dan menyembuhkan luka-luka jiwanya. Pesan dari komisi itu jelas dan kokoh, mendorong masyarakat untuk berharap bahwa rekonsiliasi bisa dan akan tercapai setelah komisi
itu bekerja selama dua setengah tahun. Pada sesi-sesi dengar-kesaksian publiknya, sebuah spanduk besar dipasang di belakang para komisioner yang berbunyi, “Kebenaran: Jalan Menuju
Rekonsiliasi”. Poster-poster yang mempromosikan komisi itu menyatakan, “Mari saling berbicara. Dengan menceritakan kebenaran. Dengan menceritakan kisah kita, sehingga kita bisa berjalan
bersama mencapai rekonsiliasi”. Dalam beberapa sesi kesaksian yang pertama, Uskup Agung Desmond Tutu kadang-kadang menanyakan kepada para korban apakah mereka siap memaafkan
dan berdamai setelah menceritakan pengalaman mereka paling tidak ada satu saksi yang dengan sopan menjawab tidak pada pertanyaan itu – dan menyatakan pula bahwa komisi tidak bisa dan
seharusnya tidak memintanya untuk melakukan hal itu, atau juga memberikan maaf atas namanya. Bahkan Komite Amnesti dalam komisi itu, yang bertanggung-jawab pada nasib mereka
yang mengaku bersalah, terpengaruh oleh pengutamaan rekonsiliasi ini: seorang anggota Komite Amnesti memberi tahu saya bahwa mereka mendasarkan keputusannya sebagian pada “apa yang
bisa mendorong rekonsiliasi”, karena mereka menganggap bahwa tujuan tersebut merupakan sasaran mendasar kerja komisi itu.
iii
Dengan demikian, keberhasilan komisi sebagian diperhitungkan dari apakah dan seberapa besar “rekonsiliasi” ditimbulkan oleh hasil kerjanya. Menjelang selesainya laporan pada
pertengahan tahun 1998, pers dan publik mulai sadar bahwa tidak ada rekonsiliasi besar-besaran yang terjadi. Banyak orang bahkan menganggap bahwa negara menjadi semakin buruk, hubungan
antara kelompok-kelompok yang diharapkan untuk membaik malah menjadi semakin buruk. Market Research Africa
melakukan survei nasional yang hasilnya menunjukkan bahwa dua per tiga anggota masyarakat menganggap bahwa keterbukaan fakta-fakta tersebut menjadikan warga
Afrika Selatan marah dan merusakkan hubungan antar-ras. “Di antara mereka yang ditanyai, 24
menganggap bahwa orang-orang merasa marah dan pahit, 23 menyatakan bahwa komisi kebenaran akan menyebabkan rasa sakit. Hanya 17 yang menganggap bahwa masyarakat akan
saling memaafkan”, demikian laporan tersebut.
iv
Hasil survei tersebut dikutip dalam artikel-artikel di seluruh dunia, dengan inferensi bahwa komisi kebenaran Afrika Selatan pada akhirnya tidaklah
terlalu berhasil.
v
Pada saat itu, komisi sudah lama menyadari bahwa sasaran awalnya untuk mencapai rekonsiliasi sepenuhnya tidak realistis. Uskup Agung Tutu mulai mengajukan sasaran baru yang
lebih mungkin dapat dicapai: agar komisi “mendorong” rekonsiliasi, bukan mencapainya, sebagaimana tersurat dalam nama Undnag-Undang tentang Pendorongan Persatuan dan
Rekonsiliasi Nasional yang membentuk komisi tersebut. Namun, meskipun secara umum terdapat kekecewaan, tetap tidak terjadi refleksi serius oleh pers atau masyarakat tentang apa yang
dimaksudkan dengan rekonsiliasi, atau apa yang diperlukan untuk mencapainya dalam sebuah masyarakat seperti Afrika Selatan, di mana komunitas-komunitas dipisahkan tidak hanya oleh ras
dan jarak fisik, namun juga oleh kondisi dan kesempatan ekonomi.
Komisi kebenaran tidak mengabaikan kekecewaan dan rasa frustrasi tersebut dalam laporannya. Sebagai contoh, ia mengutip secara panjang lebar sebuah laporan peneliti luar tentang
komunitas Duduza, sebuah kota kaum kulit hitam yang berpenduduk sekitar 100 ribu orang, yang mungkin mewakili perasaan warga kota-kota lainnya:
Publikasi tentang pembentukan dan kinerja komisi, dan juga kerjanya di Duduza, paling tidak memaksa warga untuk memikirkan kembali bagaimana mereka mengartikan rekonsiliasi dan
pemberian maaf. Bagi beberapa orang, ini dipandang secara ilmiah – dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada dan menyusun pemikiran tentang apa yang harus diubah, yaitu
bagaimana rupa komunitas yang sudah mengalami rekonsiliasi. Bagi yang lainnya, ini menjadi refleksi personal, yang melibatkan rasa kebencian, kesalahan dan takut. Berpikir tentang rekonsiliasi
berarti berpikir tentang proses mengatasi hambatan psikologis yang selama ini menghantui mereka, hingga bertahun-tahun. …
Sementara beberapa korban masih menganggap bahwa ide rekonsiliasi, terutama pemberian maaf, sebagai pemikiran yang memuakkan, bagi sebagian besar warga, Komisi memberikan
kontribusi terhadap komitmen yang lebih besar untuk mencapai rekonsiliasi. Ia telah menyediakan tempat untuk mencapai rekonsiliasi. … Ia dianggap sebagai forum yang menyediakan platform untuk
mengisahkan pengalaman, mengungkapkan kebenaran, meminta pertanggungjawaban pelaku, ganti rugi, penyesalan dan pemberian maaf. Ini merupakan tahap-tahap dalam proses yang dipahami dan
diterima sebagai sesuatu yang sah. …
Rekonsiliasi tidak terjadi begitu saja. Seseorang tidak bisa dengan serta-merta memutuskan bahwa ia bersedia memberikan maaf dan melupakan apa yang sudah terjadi. Hampir semua korban di
komunitas ini menjalankan proses rekonsiliasi. Belum tentu mereka menginginkan pembalasan, namun di pihak lain, belum tentu juga mereka mau melupakan masa lalu, seakan-akan tidak ada apa
pun yang terjadi. Mereka menuntut untuk mengetahui kebenaran yang terjadi dan mendapat waktu untuk memikirkannya. Mereka sering kali tidak mau memberikan maaf, kecuali para pelaku
menunjukkan penyesalan dan mereka mendapatkan ganti rugi. …
Para korban belum siap untuk menjalankan proses rekonsiliasi, kecuali mereka mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Mereka sering kali menyatakan bahwa mereka bersedia memberikan
maaf, namun mereka ingin tahu siapa yang perlu mereka maafkan dan untuk apa. Suatu keinginan untuk berdamai tergantung pada kemampuan tiap orang untuk menyikapi dan memproses
pengetahuan tentang kebenaran ini. Bila masa lalu tetap disembunyikan, proses rekonsiliasi akan dibangun di atas dasar yang amat rentan. Komisi memberikan andil bagi sebagian pengungkapan
kebenaran, namun banyak orang yang masih belum mendapatkan kebenaran tentang detail-detail kasus mereka.
vi
Sebagaimana digambarkan oleh pengamat ini di Duduza, di mana terdapat pengungkapan informasi tentang kasus-kasus spesifik, dan di mana para pelaku menunjukkan penyesalan,
terdapat contoh-contoh kuat pemberian maaf dan rekonsiliasi yang timbul langsung sebagai hasil kerja komisi kebenaran. Terdapat banyak peristiwa rekonsiliasi komunitas atau individual yang
menonjol, terutama dalam kesaksian para pemohon amnesti yang dihadapkan dengan para korbannya. Seorang pengacara menggambarkan sesi kesaksian di Richards Bay, tempat anggota
Partai Kemerdekaan Inkatha meminta amnesti untuk pembunuhan beberapa anggota Kongres Nasional Afrika. Para kerabat korban pada awalnya marah dan bersikap agresif terhadap para
pemohon tersebut. Namun dinamika ini segera berubah sepanjang sesi dengar-kesaksian tersebut:
Setiap hari ada ratusan orang yang menghadiri sesi tersebut, memenuhi aula yang digunakan. Perlahan-lahan, mereka mulai berempati bagi para pemohon, demikian pula para anggota komisi,
yang menanyakan semakin sedikit pertanyaan, karena mereka sadar bahwa para pemohon tersebut menceritakan semua hal yang mereka ingat dan memiliki komitmen untuk menceritakan keseluruhan
kebenaran.
Sehari sebelum sesi diakhiri diadakan pertemuan informal antara komunitas dan para pemohon, yang di dalamnya ditanyakanlah banyak pertanyaan tentang insiden-insiden spesifik. Satu
persatu kerabat yang ditinggalkan maju dan memaafkan para pemohon, dan berterima-kasih untuk mendapatkan seluruh kebenaran, mengetahui apa yang terjadi dan siapa yang terlibat serta
memberikan perintah. Pada akhir pertemuan dibuat keputusan untuk memaafkan para pemohon dan memberi tahu komisi bahwa komunitas tersebut menganggap bahwa para pemohon telah
mengungkapkan seluruh kebenaran, dengan keterbatasan ingatan manusia, bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan motif politik, dan bahwa mereka tidak akan menentang pemberian amnesti.
Kami semua kemudian menyanyikan Nkosi Sikelele, dan kemudian Mkhize memimpin doa atas permintaan komunitas. Pada akhir pertemuan, warga memeluk para pemohon tersebut.
vii
Sementara sebagian terbesar sesi kesaksian untuk mendapatkan amnesti tidak berakhir dengan cara demikian, terdapat beberapa contoh lain yang serupa rekonsiliasi individual atau komunitas
yang merupakan hasil langsung dari proses pencarian kebenaran secara resmi.
Rekonsiliasi juga terjadi di tingkat-tingkat lainnya, seperti di ruang rapat sebuah perusahaan besar yang sebelumnya tidak pernah membicarakan secara formal isu rasial. Sebuah
perusahan gula yang besar yang berpartisipasi di dalam dengar-kesaksian sektoral komunitas usaha menggunakan peristiwa tersebut untuk melakukan tinjauan internal yang serius pada catatan
sikap perusahaan tersebut. Sebuah kelompok eksekutif perusahaan sejumlah 20 orang yang terdiri dari gabungan berbagai ras bertemu delapan kali selama beberapa bulan untuk mempersiapkan
pernyataan resmi untuk dipresentasikan pada komisi kebenaran. Namun, pada awalnya, seorang eksekutif senior berkulit putih yang terlibat dalam proses itu memberi tahu saya bahwa
pertama-tama mereka harus mencapai kesepakatan dalam bidang istilah. “Pertemuan pertama sangat tegang: kami menghabiskan waktu satu setengah jam hanya untuk menentukan bagaimana
kami saling memanggil: kami merasa bahwa sebaiknya kami tidak menggunakan istilah ‘kulit hitam’, sebagaimana anggapan kaum berkulit putih, namun menggunakan istilah ‘Afrika’. Kami
ingin memanggil keturunan India ‘Asiatik’, namun mereka mengatakan, ‘Jangan, panggil kami keturunan India.’ Jadi, kami memahami bahwa ‘kulit hitam’ mencakup Afrika, India dan kulit
berwarna. Kami belum pernah membicarakan hal ini sebelumnya, juga tentang masa lalu. … Ini berkaitan dengan nilai-nilai, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Pada akhirnya,
kami berhasil menyusun pernyataan bersama untuk dipresentasikan kepada komisi.”
Pada kunjungan saya ke Cili di tahun 1996, lima tahun setelah Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi menyelesaikan kerjanya, saya menemukan bahwa banyak warga Cili
menekankan bahwa rekonsiliasi nasional telah berhasil dicapai. Direktur badan yang melanjutkan
kerja komisi kebenaran, Alejandro Gonzalez, mendefinisikan rekonsiliasi sebagai “penghargaan pada aturan-aturan demokrasi. Terdapat dialog yang beradab antara pemerintah dan oposisi, dan
tidak ada yang ingin mengambil alih kekuasaan secara tidak demokratis”.
viii
Orang-orang lain memberikan gambaran yang serupa. Namun, sementara menekankan bahwa rekonsiliasi nasional
telah terjadi, banyak warga Cili menggambarkan hubungan personal mereka yang masih tegang akibat hal-hal yang terjadi di masa lalu. Mantan korban dan pendukung rezim Augusto Pinochet
bekerja dan hidup bertetangga, namun dengan kesepakatan tersirat untuk tidak membicarakan masa lalu atau perbedaan pandangan mereka yang signifikan. Jika muncul isu-isu tentang masa
lalu, yang timbul adalah perasaan tidak nyaman.
Ketika Pinochet ditangkap di London pada akhir tahun 1998, jurang yang ada dalam masyarakat tersebut semakin tampak jelas. Sementara negeri tersebut menyikapi ketegangan yang
terjadi, semakin jelas bahwa tidak tercapai konsensus mengenai fakta-fakta mendasar tentang apa yang telah terjadi di masa lalu.
ix
Tingginya dukungan bagi mantan rezim Pinochet, dan tingkat justifikasi yang digunakan untuk mendukung posisi ini, sangat bertentangan dengan pandangan
Afrika Selatan pasca-apartheid tentang masa lalunya meskipun saya tidak mencoba menyamakan bentuk dan akibat penindasan di kedua negara tersebut. Rekonsiliasi dalam bentuk ini –
pemahaman bersama tentang sejarah sebuah negara dan kesalahan-kesalahan yang terjadi – benar-benar tercapai di Afrika Selatan dan tidak menjadi perdebatan lagi. Sangat bertentangan
dengan dukungan sebagian warga Cili kepada Pinochet, sangat sedikit orang di Afrika Selatan yang akan mengaku bahwa mereka mendukung apartheid – bahkan meskipun sebagian terbesar
warga kulit putih mempertahankan pemerintahan tersebut selama empat dekade. Dalam bantahan ini, kita dapat melihat tingkat keberhasilan rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan, yang
sebagian besar merupakan hasil dari kerja komisi kebenaran. Saat ini, hampir tidak ada satu orang pun yang akan menunjukkan keuntungan apartheid, sebagaimana juga tidak seorang pun akan
membantah bahwa pernah terjadi penyiksaan dalam skala besar di kantor polisi dan penjara di Afrika Selatan.
Bertentangan dengan Afrika Selatan dan Cili, sebagaimana dicatat di depan, beberapa komisi kebenaran sama sekali tidak berusaha untuk mencapai rekonsiliasi sebagai tujuan kerja
mereka. Sebagai contoh, rekonsiliasi tidak dijadikan tujuan komisi di Argentina, dan pemikiran untuk mengadakan rekonsiliasi – dalam kondisi yang ada – mendapatkan tentangan. Sebagaimana
respon jurnalis Horacio Verbitsky ketika saya menyebutkan kata itu, “Rekonsiliasi bagaimana? Setelah anak Anda diculik, disiksa, dihilangkan, dan pelakunya membantah pernah melakukannya
– apakah Anda ingin ‘berdamai’ dengan pelaku hal itu? Kata ‘rekonsiliasi’ tidak memiliki arti di sini. Diskursus politik tentang rekonsiliasi tidak memiliki nilai moral, karena membantah realitas
yang terjadi. Tidak layak mengharapkan rekonsiliasi setelah apa yang telah terjadi.”
x
Patricia Valdez, mantan direktur komisi kebenaran El Salvador dan ketua lembaga Poder Ciudadano,
organisasi Argentina untuk mendorong inisiatif demokratik, menyatakan demikian, “Tidak ada orang yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina, tidak seorang pun menyebutkan kata itu.
Bukan berarti mereka menentang hal itu, namun kata itu tidak ada artinya di sini. Belum ada orang yang secara serius mengajukan pertanyaan tersebut”.
xi
Juan Méndez, mantan penasihat hukum Human Rights Watch dan mantan direktur Institut Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan
bahwa rekonsiliasi di Argentina “diartikan oleh mereka yang ingin agar tidak ada hal-hal yang dilakukan untuk menyikapi masa lalu. Rekonsiliasi dipahami oleh para korban sebagai, ‘Kita
diminta untuk berdamai dengan para penyiksa, dan mereka tidak perlu melakukan apa-apa’.” NGO-NGO disudutkan, sementara militer diizinkan untuk memberikan definisi pada istilah itu,
kata Méndez.
xii
Sangat sedikit tokoh masyarakat yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina. Salah satunya adalah Presiden Carlos Menem, yang menggunakannya sebagai alasan untuk memberikan
pengampunan di tahun 1990 kepada para pemimpin militer yang pada waktu itu sedang dipenjarakan atas kejahatan mereka di bawah rezim militer. Justifikasi rekonsiliasi ini adalah
klaim politis yang tidak mendapatkan dukungan rakyat, yang terlihat dari demonstrasi spontan puluhan ribu orang yang turun ke jalan untuk menentang pengampunan ini. “Tentu saja,
rekonsiliasi adalah tujuan yang mulia, namun tidak bisa dipaksakan melalui keputusan presiden begitu saja,” tulis Human Rights Watch merespon pengampunan tersebut. “Akan lebih mudah
menerima alasan rekonsiliasi, bila ada tanda-tanda serius bahwa militer benar-benar menyesali perannya dalam ‘perang kotor’, dan bersedia mencapai rekonsiliasi dengan para korban mereka.
Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya: militer melihat pengampunan tersebut sebagai satu langkah ke arah pengakuan terhadap ‘kemenangan mereka dalam menghancurkan subversi’. Pada
hari pembebasannya, Videla [mantan presiden pertama rezim militer] mengirimkan surat terbuka ke pimpinan tertinggi militer yang menyatakan bahwa angkatan darat telah dituduh melakukan
kejahatan yang tidak ia lakukan dan layak mendapatkan permintaan maaf dari masyarakat”.
xiii
Demikian pula, komisi-komisi yang mengurus orang-orang yang diculik dan dihilangkan di Sri Lanka tidak menyarankan bahwa rekonsiliasi atau pemaafan akan timbul sebagai akibat
kerja mereka; mereka memandang tugas mereka adalah mencatat siapa yang dihilangkan dan menyarankan keluarga mana saja yang perlu mendapat ganti rugi.
xiv
Menyarankan rekonsiliasi individual tidak layak, menurut pandangan penganjur hak asasi manusia, karena tidak seorang
pelaku pun yang menyatakan penyesalannya atau mengaku bertanggung-jawab. Alih-alih menyarankan pemaafan, komisi menyerukan pengadilan dan mengajukan nama para tertuduh
kepada pengadilan untuk ditindaklanjuti. Seperti Apa Rupa Rekonsiliasi?
Rekonsiliasi memiliki implikasi membangun atau membangun kembali hubungan yang tidak lagi
dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Namun bagaimana mengukur kemajuan rekonsiliasi? Jika ada proses rekonsiliasi yang sedang berjalan, atau suatu masyarakat sudah mulai mencapai
rekonsiliasi, apa tanda-tandanya? Singkatnya, bagaimana rupa rekonsiliasi? Untuk mengukur apakah rekonsiliasi sudah atau mulai berakar, saya menyarankan tiga pertanyaan.
xv
Bagaimana masa lalu disikapi di lingkup publik? Apakah ada rasa pahit tentang masa lalu
dalam hubungan politik atau publik lainnya? Apakah konflik atau pelanggaran di masa lalu diproses atau diserap sedemikian rupa sehingga orang bisa membicarakannya – bila tidak mudah,
paling tidak secara sopan – bahkan dengan mantan lawan?
Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang dahulunya bertikai? Terutama, apakah hubungan masih didasarkan pada masa lalu?
Referensi terus-menerus pada masa lalu mungkin menandakan permusuhan. Terdapat banyak contoh ingatan yang pahit yang justru bisa mendorong
kekerasan baru atau sengaja digunakan para pemimpin untuk menimbulkan ketegangan antar-komunitas. Hubungan yang baru terbentuk antara pihak-pihak yang semula bermusuhan bisa
bergantung pada kepentingan atau tantangan baru yang berpengaruh pada semuanya. Pengikat-pengikat ini bisa berupa proyek pembangunan atau rekonstruksi ekonomi, ikatan
keluarga atau komunitas, bahkan perang dengan musuh lain. Perang Malvinas untuk sementara menyatukan warga Argentina untuk mendukung angkatan bersenjatanya, meskipun selama
bertahun-tahun menjadi penindas. Di Amerika Serikat, Perang Dunia Pertama berperan penting
dalam menggabungkan kembali secara psikologis Utara dan Selatan, setengah abad setelah berakhirnya Perang Saudara.
Apakah ada banyak versi tentang masa lalu? Melakukan perdamaian atau rekonsiliasi
tidak semata-mata mengembalikan hubungan baik, namun juga “mendamaikan” fakta-fakta atau kisah-kisah yang bertentangan, “membuat fakta-fakta atau pernyataan-pernyataan yang
bertentangan menjadi konsisten, bersesuaian atau kompatibel satu sama lain”.
xvi
Sebagaimana dijelaskan beberapa penulis Afrika Selatan, rekonsiliasi adalah “menghadapi kebenaran yang
menyakitkan untuk mengharmoniskan pandangan-pandangan yang tidak berimbang sehingga konflik-konflik dan perbedaan yang masih akan terjadi paling tidak berada dalam satu lingkup
pemahaman”.
xvii
Para penulis tersebut melanjutkan, “Rekonsiliasi, dalam artiannya secara luas, adalah ‘tutup buku’ tentang masa lalu. Satu elemen penting dalam proses ini adalah penghentian
siklus menuduh-membantah-balas menuduh yang memecah-belah. Rekonsiliasi terjadi bukan dengan melupakannya, namun dengan menyelesaikannya melalui proses evaluasi – sebagaimana
akuntan menyelesaikan proses pembukuan”.
xviii
Di negara-negara di mana konflik atau kekerasan yang terpendam berulang kali pecah selama bertahun-tahun, akar masalahnya sering kali adalah perbedaan mendasar persepsi tentang
masa lalu; misalnya konflik Palestina-Israel dan kebencian antara Serbia dan tetangga-tetangganya. Di Amerika Latin, perbedaan mendasar persepsi tentang penyebab atau
justifikasi perang saudara atau kudeta militer kadang-kadang mencegah terjadinya rekonsiliasi yang konkret. Di El Salvador, para perwira senior militer terus membantah fakta-fakta tentang
kejadian yang sudah jelas, misalnya bersikukuh bahwa pembantaian di El Mozote – yang dibuktikan dengan penggalian kembali kuburan para korban – sama sekali bukanlah pembantaian,
namun pertempuran biasa antara gerilyawan dan militer.
xix
Bila masih terdapat versi-versi masa lalu yang berbeda secara mendasar, atau bantahan tentang peristiwa-peristiwa penting demikian,
rekonsiliasi hanya akan terjadi di permukaan. Tidak ada satu versi kebenaran yang mutlak: tiap orang memiliki ingatannya sendiri, yang
kadang kala bertentangan; namun mengungkapkan kebohongan dan bantahan bisa memungkinkan sebuah negara untuk mencapai satu versi sejarah yang akurat pada umumnya. Ada beberapa fakta
yang sedemikian mendasar sehingga harus diterima secara luas sebelum terjadi rekonsiliasi secara konkret.
Faktor-Faktor Apa Sajakah yang Mendorong Rekonsiliasi?
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas membantu mengidentifikasi apakah rekonsiliasi terjadi, lalu apa faktor atau elemen spesifik yang bisa memberikan sumbangannya pada perkembangannya?
Pertanyaan ini sebaiknya dipertimbangkan dari sudut pandang para korban, karena para pelaku cenderung menganggap bahwa rekonsiliasi telah tercapai, sementara tidak demikian dengan para
korban. Saya menyarankan lima elemen berikut ini sebagai elemen pendukung, bahkan kadang-kadang mutlak perlu, untuk membuat rekonsiliasi berakar. Sementara komisi kebenaran
atau mekanisme lainnya untuk menyelesaikan kesalahan di masa lalu memiliki peran penting, mekanisme-mekanisme tersebut bukan penentu satu-satunya atau yang terpenting dalam
memfasilitasi rekonsiliasi. Hanya beberapa dari elemen berikut yang secara langsung dipengaruhi oleh kerja komisi kebenaran.
Penghentian kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini tampaknya jelas perlu, namun
kadang kala terabaikan. Sebuah transisi ke perdamaian atau demokrasi memiliki arti bahwa perang
atau konflik terbuka sudah berakhir, namun tidak berarti bahwa semua kekerasan politik atau ancaman kekerasan sudah berakhir; sering kali tidak demikian keadaannya. Apakah dalam bentuk
kelompok paramiliter yang tidak terkendali yang terus ada di Haiti setelah kembalinya pemerintahan demokratis; ancaman atau pertikaian di perbatasan, antara pemerintah Rwanda dan
kelompok Hutu bersenjata yang berpangkalan di Kongo; atau pasukan militerparamiliter yang terus mengancam aktivis-aktivis di beberapa bagian Amerika Latin, ancaman kekerasan politik
atau intimidasi sering kali berlanjut lama setelah gencatan senjata formal atau penandatanganan perjanjian damai. Bila ancaman demikian berlanjut, rekonsiliasi bisa tidak berakar.
Pengakuan dan pemberian pemulihan ganti rugi . Pengakuan resmi terhadap fakta-fakta
masa lalu, baik oleh para pelaku itu sendiri atau wakil dari badan-badan yang bersangkutan seperti pernyataan presiden untuk menyambut laporan komisi kebenaran, bisa memiliki peran
krusial dalam proses penyembuhan masyarakat. Pengakuan demikian berfungsi untuk mengakui pemahaman bersama tentang sejarah dan menghentikan bantahan dari pihak-pihak tertentu. Para
korban sering kali menyatakan bahwa mereka tidak bisa memaafkan para pelaku, dan tidak ingin atau tidak mampu melakukan rekonsiliasi, sampai orang-orang yang menyebabkan penderitaan
mereka mengaku, dan idealnya, meminta maaf dan memberikan ganti rugi secara simbolis. Agar bisa efektif, pengakuan tersebut harus lebih dari sekadar pernyataan yang bisa ditafsirkan luas,
seperti sekedar pernyataan bahwa “kami melakukan kesalahan”.
Pengikat masyarakat. Dalam banyak kondisi, sebaiknya didorong proyek yang
menyatukan kelompok-kelompok yang tadinya bertikai untuk mendapatkan keuntungan bersama, seperti program pembangunan atau rekonstruksi. Tingkat kontak yang terjadi antara pihak-pihak
tersebut akan menentukan apakah terjadi rekonsiliasi. Di beberapa negara, terutama di Amerika Latin, sering kali tidak ada kaitan yang sudah terbentuk antara pihak-pihak yang bermusuhan,
terutama bila konflik terjadi antara kelompok politik atau kelas. Banyak konflik di Afrika terjadi antara kelompok etnik atau regional yang tidak memiliki ikatan yang kuat untuk menyatukan
masyarakat tersebut. Untuk mendorong rekonsiliasi, perlu dijawab pertanyaan tentang bagaimana membangun atau membangun kembali ikatan tersebut.
Menyelesaikan ketidaksetaraan struktural dan kebutuhan material. Di mana terjadi
ketidaksetaraan yang parah akibat penindasan di masa lalu, rekonsiliasi tidak bisa dijadikan sekadar proses psikologis atau emosional. Di Afrika Selatan, banyak yang menekankan
pentingnya memecahkan masalah ketidaksetaraan ekonomi yang dialami kaum kulit hitam, bila ingin mencapai persatuan nasional. Ilmuwan Uganda Mahmood Mamdani, yang berada di
Universitas Capetown pada tahun 1997, mengatakan bahwa komisi kebenaran Afrika Selatan seharusnya tidak berfokus pada korban dan pelaku, namun pada korban dan pihak-pihak yang
diuntungkan
oleh apartheid. Dalam pandangan Mamdani, “Bila fokus diberikan pada para pelaku, para korban dianggap sebagai hanya minoritas aktivis politik, bila ingin terdapat pengakuan bahwa
sebagian terbesar rakyat adalah korban, fokus harus dialihkan dari para pelaku ke pihak-pihak yang diuntungkan. Perbedaannya di sini: fokus pada para pelaku mendorong tuntutan keadilan
berupa pengadilan terhadap kejahatan mereka, fokus pada mereka yang diuntungkan mendorong keadilan sebagai keadilan sosial”.
xx
Komisi kebenaran di Afrika Selatan mengakui pentingnya menyelesaikan masalah ekonomi untuk mencapai rekonsiliasi, meskipun menyatakan bahwa tugas
itu berada di luar mandatnya. Dalam bab tentang rekonsiliasi di dalam laporan komisi, dinyatakan demikian, “Rekonsiliasi membutuhkan komitmen, terutama dari mereka yang pernah diuntungkan
dan terus diuntungkan oleh diskriminasi di masa lalu, untuk menyikapi ketidaksetaraan yang tidak adil dan kemiskinan yang merendahkan martabat kemanusiaan”.
xxi
Waktu. Rekonsiliasi jarang terjadi dengan segera. Beberapa negara tidak bisa secara serius
menghadapi masa lalu hingga puluhan tahun. Di beberapa negara, usaha-usaha seperti komisi kebenaran, pemberian ganti rugi dan pengadilan memulai proses penyembuhan, namun ingatan
dan rasa sakit yang dialami tetap bertahan dan menjadi perhatian selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, rekonsiliasi di tingkat masyarakat akan bergantung pada faktor-faktor dan
dinamika-dinamika yang tidak selalu bisa diramalkan atau dikendalikan. Memberikan Saran untuk Perubahan dan Tindak Lanjut Lainnya
Sukar bagi sebuah komisi kebenaran untuk memajukan rekonsiliasi karena perkembangannya sangat tergantung pada kepentingan, keinginan dan partisipasi masyarakat luas, kadang-kadang
bahkan melibatkan para pelaku itu sendiri. Demikian pula, sukar untuk mendorong reformasi kebijakan atau institusional yang serius karena hal demikian tergantung pada keinginan pimpinan
politik, bahkan kepala angkatan bersenjata. Meskipun terdapat kesulitan untuk melakukan hal-hal tersebut, komisi kebenaran sudah memberikan kontribusi penting dalam bidang ini.
Sebagai contoh, bila seseorang ditangkap di El Salvador sebelum pertengahan dekade 1990-an, pengakuan yang ia berikan bisa dipakai untuk melawannya di pengadilan – termasuk
pengakuan yang didapatkan dengan penyiksaan. Para penganjur hak asasi manusia telah berulang kali menekankan bahwa penggunaan “pengakuan ekstra-yudisial” demikian menimbulkan
masalah, karena bisa mendorong interogasi yang abusif dan karena tidak ada cara untuk menarik kembali pengakuan tersebut. Namun, di El Salvador, penggunaan pengakuan tersebut bukan hal
yang aneh.
Terlebih lagi, seorang hakim atau pengacara di El Salvador sangat tergantung pada “kebaikan hati” Mahkamah Agung, terutama ketuanya, untuk mendapatkan dan mempertahankan
hak untuk berpraktik hukum. Mahkamah Agung yang terkenal dengan bias politiknya yang ke kanan, secara aktif menghalangi penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemerintah.
Ketua Mahkamah Agung, Mauricio Gutiérrez Castro, sangat dikenal untuk posisinya yang berpihak ke pemerintah dan tekanan yudisialnya. Mahkamah Agung mengendalikan praktis
seluruh sistem peradilan, dan hampir tidak ada hakim atau pengacara yang bisa atau mau menentang posisi mahkamah tersebut.
Pada tahun 1997, pengakuan ekstra-yudisial dibatalkan keabsahannya melalui amandemen konstitusional. Menyiksa tersangka kejahatan untuk memaksanya mengaku dan menggunakan
pengakuan tersebut untuk melawan mereka di pengadilan tidak diizinkan lagi. Selain itu, struktur penunjukan dan pengawasan hakim juga diubah: terdapat Dewan Peradilan yang independen
untuk mengawasi dan mencopot hakim, dan berada dalam sistem pemilihan hakim yang luas dan demokratis. Sejumlah perbaikan lain dalam sistem peradilan juga dilakukan, seperti pengurangan
masa penahanan dan adanya kemungkinan ganti rugi untuk korban kesalahan yudisial. Pada akhir tahun 1996, disahkan Hukum Acara Pidana yang baru untuk melindungi hak-hak prosedural para
korban dan saksi.
xxii
Perbaikan-perbaikan tersebut adalah hasil langsung dari saran-saran yang diberikan oleh komisi kebenaran El Salvador, meskipun perbaikan tersebut tidak terjadi dengan mudah. Menurut
mandatnya, saran yang diberikan komisi kebenaran bersifat mengikat, namun parlemen El Salvador ragu-ragu untuk menerapkan banyak saran perbaikan, dan diperlukan tiga tahun
perdebatan internal, kebuntuan, tekanan internasional dan akhirnya mediasi oleh wakil senior PBB yang dikirim dari New York untuk kesepakatan kompromi yang menyetujui banyak saran
reformasi yudisial tersebut.
xxiii
Para anggota parlemen konservatif menentang beberapa dari saran tersebut, seperti penolakan terhadap pengakuan ekstra-yudisial, karena mereka menganggap
bahwa penggunaan hal itu adalah alat penting untuk melawan peningkatan kejahatan. Kesepakatan akhir memungkinkan pengakuan demikian di pengadilan hanya bila diambil dengan kehadiran
seorang pengacara.
Pada tahun-tahun setelah laporan komisi kebenaran diterbitkan, PBB memberikan perhatian mendalam pada saran-saran yang diberikan komisi, dan memberikan tekanan untuk
penerapannya. Misi PBB di El Salvador mengadakan pertemuan bulanan dengan wakil kedua pihak dalam perjanjian damai pemerintah dan mantan gerilyawan untuk meninjau saran
manakah yang sudah diterapkan dan mendorong penerapan saran-saran lainnya. Kantor sekretaris jenderal PBB di New York menganalisis saran-saran tersebut dengan teliti, dan menerbitkan
laporan mendetail tentang institusi mana yang bertanggung-jawab untuk saran tertentu, dengan laporan lanjut secara periodik untuk mencatat saran mana sajakah yang sudah diterapkan.
Menurut Jeff Thale, peneliti El Salvador di Kantor Amerika Latin di Washington, Hukum Acara Pidana yang baru, yang mencakup banyak perubahan mendasar itu, “tidak akan disusun
tanpa saran yang diberikan komisi kebenaran. Adalah seruan komisi kebenaran untuk reformasi yudisial tersebut yang memberikan mandat kepada PBB untuk mendorong hal tersebut.”
xxiv
Banyak saran untuk perbaikan serupa diberikan oleh NGO atau pemerintah luar negeri yang memiliki kepentingan dengan hak asasi manusia, namun laporan komisi kebenaranlah yang
memfokuskan perhatian dan tekanan pada hal ini. Sayangnya, meskipun seharusnya bersifat mengikat, masih banyak saran yang ada dalam laporan yang belum diimplementasikan. Pakar dan
pembela hak asasi manusia Amerika Serikat, Margaret Popkin, yang merupakan pengamat El Salvador menyatakan bahwa, “Jelas, lebih banyak diberikan tekanan untuk menerapkan perbaikan
struktural dan institusional daripada penerapan sanksi administratif atau pencekalan orang-orang yang disebut namanya dalam laporan, atau tindakan yang ditujukan untuk mendorong rekonsiliasi
nasional.”
xxv
Sementara beberapa laporan komisi kebenaran di masa lalu hanya memberikan saran yang amat singkat dan umum, laporan komisi kebenaran belakangan ini jauh lebih mendalam, dan
mencakup sebuah bab yang mendetail tentang reformasi spesifik dalam berbagai sektor pemerintahan dan kemasyarakatan. Saran dalam laporan komisi El Salvador mencapai 15
halaman, Afrika Selatan 45 halaman, dan Cili lebih dari 55 halaman. Sebuah komisi bisa mengumpulkan masukan dari sejumlah besar pakar dalam mempersiapkan sarannya, atau bahkan
mengadakan sesi dengar-kesaksian publik untuk diskusi dan masukan dari para peminat. Komisi Guatemala, misalnya, mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri pertemuan terbuka,
yang didatangi lebih dari 400 orang – termasuk anggota parlemen dan pemimpin masyarakat sipil dari seluruh spektrum politik – dan bersama-sama mereka merancang sederetan rencana untuk
saran kebijakan.
Laporan komisi telah menyarankan perbaikan spesifik dalam sektor peradilan, militer dan politik: pengadilan para pelaku atau pencopotan dari jabatan mereka di militer atau kepolisian;
ganti rugi untuk korban, penyelidikan lebih lanjut terhadap isu yang belum selesai dibahas komisi yang sudah ada; usaha penanaman budaya hak asasi manusia di masyarakat, termasuk pendidikan
hak asasi manusia yang mendalam; dan komitmen nasional terhadap standar norma hak asasi manusia internasional melalui ratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional. Beberapa
komisi memberikan saran yang sedemikian mendasar, yang menunjukkan betapa lemahnya dasar politik dan hak asasi manusia di negara yang bersangkutan. Misalnya, laporan komisi Uganda
1986, yang selesai pada tahun 1995, menyarankan agar konstitusi baru menjamin “sistem
pergantian presiden dan pemerintahan secara damai melalui pemilihan umum secara teratur”, agar “ada larangan bagi presiden untuk terus menjabat bila masa jabatan sudah berakhir”, dan sistem
pengawasan dan perimbangan antara berbagai cabang pemerintahan.
xxvi
Namun hingga kini baru saran-saran yang diberikan komisi El Salvador yang memiliki kekuatan mengikat. Undang-undang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra
Leone, yang disahkan pada bulan Februari 2000, juga memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk menerapkan saran-saran yang diberikan komisi, dengan menyatakan, “Pemerintah harus
dengan taat dan segera menerapkan saran-saran dalam laporan yang diarahkan pada badan-badan negara dan mendorong atau memfasilitasi penerapan saran-saran yang diarahkan pada kelompok
lainnya”.
xxvii
Hampir semua komisi lain hanya bisa memberikan saran perubahan yang diperlukan, dengan harapan bahwa momentum transisi politik dan keinginan kepemimpinan baru yang
demokratis akan mendorong presiden atau parlemen untuk menjalankan saran-saran perbaikan tersebut. Dengan demikian, banyak saran komisi kebenaran tidak bisa diterapkan sepenuhnya; dan
di beberapa negara, misalnya Haiti, saran komisi tidak pernah menjadi pertimbangan serius oleh para pembuat kebijakan. Namun saran yang diberikan oleh komisi yang dibentuk negara biasanya
lebih memiliki bobot politis daripada yang diberikan badan advokasi non-pemerintah, sehingga bisa membantu menekankan perbaikan-perbaikan yang paling diperlukan. Jika dilakukan dengan
baik, saran yang diberikan komisi kebenaran bisa berperan sebagai peta bagi kelompok advokasi dan pemerintah asing atau badan pendana untuk mendorong perubahan.
Beberapa komisi memberikan saran untuk dibentuknya badan lebih lanjut untuk mengawasi penerapan saran-saran mereka. Di Cili, disarankan pembentukan Badan Nasional
Ganti Rugi dan Rekonsiliasi, yang disahkan melalui undang-undang sebagai “layanan masyarakat terdesentralisasi yang diawasi presiden. … Sasarannya adalah untuk koordinasi, pelaksanaan dan
pendorongan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memenuhi saran yang dikandung dalam laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi”.
xxviii
Selain mendefinisikan mandat badan tersebut, undang-undang tersebut juga mendefinisikan ganti rugi finansial dan hak-hak lain yang
diberikan kepada para korban dan keluarganya. Mandat yang diberikan selama dua kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun tersebut mencakup pencarian jenazah orang yang dihilangkan,
menyelesaikan kasus yang belum selesai dibahas komisi, mengorganisir arsip-arsip komisi dan menerapkan ganti rugi spesifik.
Hingga kini, belum ada tinjauan yang mendalam tentang berapa banyak dari ratusan saran yang diberikan komisi kebenaran telah dijalankan. Banyak dari saran tersebut memerlukan
tindakan legislatif, atau bahkan reformasi konstitusional, sementara lainnya hanya memerlukan inisiatif kepresidenan atau perubahan administratif. Bahkan setelah bertahun-tahun, beberapa dari
saran tersebut masih ada dalam pertimbangan atau masih didorong oleh aktivis non-pemerintah. Namun jelas bahwa catatan penerapan saran komisi kebenaran adalah salah satu aspek terlemah
dari komisi kebenaran hingga kini. Tanpa kekuasaan untuk memaksa, dan sering kali tanpa badan resmi untuk mengawasi dan mendorong penerapan saran-saran tersebut setelah komisi kebenaran
menyerahkan laporannya dan ditutup, di banyak negara banyak saran-saran yang bagus yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ada cara-cara untuk memperbaiki catatan ini di masa
depan. Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone, misalnya, selain mewajibkan pemerintah untuk menerapkan saran-saran dalam laporan akhirnya, juga menyerukan
pembentukan komisi tindak lanjut untuk mengawasi penerapannya. Komisi Sierra Lenone ini juga mewajibkan pemerintah dan komisi tindak lanjut tersebut untuk menerbitkan laporan kemajuan
yang sudah dicapai setiap tiga bulan.
i
ii iii
iv v
vi vii
viii ix
x xi
xii xiii
xiv xv
xvi xvii
xviii xix
xx xxi
xxii xxiii
xxiv xxv
xxvi xxvii
xxviii
Bab 11 Reparasi atas Kejahatan Negara