Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya

17. UU No. 24,321 juga mengizinkan keluarga yang telah menyatakan bahwa seorang dari anggota keluarganya “menghilang dengan diduga telah mati” untuk mengubah statusnya menjadi “dihilangkan secara paksa”. 18. Wawancara oleh penulis dengan staf Human Rights Office of the Ministry of the Interior, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. 19. Mercedes Meroño, Mardes de la Plaza de Meio, wawancara oleh penulis, Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. 20. Wawancara oleh penulis with Hlengiwe Mkhize, ketua Reparation and Rehabilitation Committee of the Truth and Reconciliation Commission, Johannesburg, South Africa; dan wawancara-wawancara melalui telepon dengan Thulani Grenville-Grey, anggota staf komisi dan Farouk Hoosen, direktur President’s Fund, Juni 1999. 21. Si M Pa Rele …If I Don’t Cry Out …, Report of The National Commission for Truth and Justice, Haiti, 1996, hlm. 285. 22. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 186. 23. Untuk gambaran tentang program reparasi nasional, lihat “United Nations Commission on Human Rights: Study Concerning the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report”, Theo van Boven, rapporteur. UN Dok. ECN.4Sub.21993, 8 Juli 1993. 24. Untuk mendapatkan tinjauan tentang program reparasi bagi korban Perang Dunia II lihat Christian Pross, Paying for the Past: The Struggle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror, terj. Belinda Cooper, Baltimore: John Hopkins University Press, 1998. Lihat juga kesimpulan dalam van Boven, “United Nation Commission,” par. 107-11 dan par. 125, sebagaimana disarikan dalam Kritz, Transitional Justice, vol.1, hlm. 536-38, 543. 25. Lihat UU No. 9, 140, Brazil, 4 Desember 1995. Komisi ini juga memiliki kewenangan untuk menyelidiki ketiga kasus penghilangan manusia tersebut, dan mengawasi beberapa penggalian mayat yang dilakukan Tim Antroplogi Forensik Argentina. 26. Reparasi juga dibayarkan kepada keturunan dari mereka yang selamat dan masih hidup ketika tancangan undang-undang tersebut disahkan. Lihat pembahasan singkat dalam bab 2. 27. Lihat van Boven, “United Nations Commission”. Sebagai tambahan, beberapa individu telah mendapatkan kompensasi melalui penuntutan di pengadilan nasional atau forum internasional, misalnya melalui Inter-American Commission on Human Rights atau the Inter-American Court on Human Rights Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, namun putusan-putusan ini hanya berpengaruh pada sebagian kecil dari mereka yang terlibat kasus ini secara langsung dibandingkan dengan besarnya jumlah orang yang tercakup dalam program reparasi nasional.

Bab 12: Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya

1. The Policy Statement on Impunity of Amnesty International Pernyataan Kebijakan Amesty International tentang Impunitas menyatakan bahwa “harus ada penyelidikan yang menyeluruh tentang tuduhan pelanggaran hak asasi amnusia” dan bahwa “kebenaran tentang pelanggaran harus terungkap”. The Policy Statement on Accountability for Past Abuses of Human Rights Watch Pernyataan Kebijakan Human Rights Watch tentang Pertanggungjawaban Pelanggaran Masa Lalu menyatakan bahwa terdapat “kewajiban untuk menyelidiki” dan berargumentasi bahwa “cara yang paling penting dalam menegakkan pertanggungjawaban adalah dengan pemerintah mengungkapkan semua yang dapat dengan terpercaya ditegakkan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia”. Lihat Kritz, Transitional Justice, vol. 1, hlm. 219, 217. 2. Wilder Tayler, wawancara oleh penulis, New York. Menurut staf lain, pada praktiknya Human Rights Watch juga secara umum mempertimbangkan preferensi lokal dan tidak akan mendesak diterapkannya suatu kebijakan dalam suatu negara bila ditentang oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal. 3. Nick Howen, mantan direktur hukum Amnesty International, wawancara oleh penulis, 9 Juli 1997, London. 4. “Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity”, Louis Joinet, rapporteur. UN Doc ECN.4Sub.2199720Rev. 1, Annex II, 2 Oktober 1997, Principle 1. 5. Ibid., Principle 2. 6. Richard Carver, wawancara melalui telepon oleh penulis, 17 Agustus 1999. 7. Spanyol adalah salah satu contoh negara yang menunjukkan sedikit keinginan untuk menyelidiki kejahatan masa lalu, setelah wafatnya Jenderal Francisco Franco dan beberapa abad pemerintahan represifnya. Para komentator menilai bahwa telah banyaknya tahun berlalu setelah pelanggaran yang paling berat dilakukan adalah alasan paling utama dari kurangnya ketertarikan untuk menjelajahi masalah ini. 8. Untuk informasi lebih lanjut tentang negosiasi-negosiasi perdamaian ini dan hal-hal yang terkait, lihat Jeremy Armon, Dylan Hendrickson, dan Alex Vines, eds., Conciliation Resources: The Mozambique Peace Process in Perspective , London: Conciliation Resources, 1998, dapat dilihat di www.c-r.org; dan Cameron Hume, Ending Mozambique’s War: The Role of Mediation and Good Offices, Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press, 1994. 9. Di antara mereka yang menyatakan kepada saya tidak ada amnesti adalah kepala oposisi di parlemen, Raul Domingos, dan menteri pertahanan, Aguiar Mazula. Domingos menjelaskan bahwa pemerintah telah menawarkan amnesti ke Renamo, namun karena Renamo merasa tidak pernah melanggar hukum mana pun, “Kami menolaknya”. Semua wawancara yang dilakukan di Mozambique yang dikutip dalam bab ini dilakukan pada bulan September 1996. 10. Alex Vines, wawancara oleh penulis, Agustus 1996, London. 11. Ken Wilson, Direktur Program Ford Foundation untuk Mozambique, wawancara oleh penulis, September 1996, Johannesburg, Afrika Selatan. 12. Untuk gambaran sejarah dan politik Renamo, lihat Alex Vines, Renamo: From Terorism to Democracy in Mozambique? , London: James Currey, 1996, edisi yang telah direvisi dan diperbaharui; pertama kali dipublikasikan tahun 1991. 13. Untuk gambaran tentang pelanggaran-pelanggaran perang, lihat Human Rights Watch, Conspicuous Destruction: War, Famine and the Reform Process in Mozambique , New York: Human Rights Watch, 1992. 14. Renamo memang menyerahkan surat kepada presiden Mozambique, Joaquim Chissano, pada suatu saat ketika perundingan sedang berlangsung, yang isinya meminta dibentuknya suatu komisi kebenaran, namun tidak pernah mendapatkan jawaban. Para peninjau yang tahu tentang keberadaan surat ini melihatnya sebagai hanya suatu tantangan, bukan permintaan yang serius. 15. Alcinda Honwana, “Sealing the Past, Facing the Future: Trauma Healing in Rural Mozambique”, dalam Armon, Hendrickson, and Vines, eds., Conciliation Resources, hlm. 77; dapat dilihat di www.c-r.orgacc_mozhonwana.htm . Honwana menulis bahwa, “Dalam konteks Mozambique sebagaimana di banyak tempat lain di Afrika, kesehatan secara tradisional didefinisikan sebagai hubungan harmonis antara manusia dan alam sekitarnya, manusia dengan leluhurnya, dan antar- manusia sendiri. … Jadi penyakit dianggap lebih merupakan fenomena sosial daripada fisik. … ‘Menenangkan Roh’ kemudian menjadi suatu mekanisme untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dan mendapatkan kembali keadaan baik di dalam maupun di antara masyarakat. Model kesehatan dan penyembuhan semacam ini bertentangan dengan pendekatan tradisional Barat yang melihat bahwa individu dan konteks sosialnya, tubuh dan pikiran, sebagai dua entitas yang dapat dipisahkan”, hlm. 76. 16. William Minter, Apartheid’s Contras: An Inquiry into the Roots of War in Angola and Mozambique, London: Zed Books, and Johannesburg: Witwatersrand University Press, 1994, hlm. 282. 17. Patut dicatat bahwa keadaan Hak Asasi Manusia di Mozambique maju dengan pesat setelah perang usai, lebih dari negara-negara transisional lainnya. Keprihatinan utama dari para pengamat hak asasi manusia belakangan ini lebih tertuju pada kondisi penjara dan korupsi. 18. Jumlah yang terbunuh di bawah Khmer Merah tidak diketahui, namun diperkirakan sekitar 1 sampai dengan 2 juta orang. 19. David Hawk, wawancara melalui telepon oleh penulis, 8 Agustus 1997. 20. Lihat, misalnya, Crocker Snow, Jr., “From the Killing Fields, Compassion”, World Paper, Juli 1995, hlm. 16 dan Seth Mydans, “Side by Side Now in Cambodia: Skulls, Victims and Victimizers, New York Times , 27 Mei 1996, A6. 21. Stephen P. Marks, “Forgetting ‘the Policies and Practices of the Past’: Impunity in Cambodia”, Fletcher Forum of World Affairs 18, No.2 1994, hlm. 37-38. 22. Ibid., hlm. 40. 23. Brad Adams, “Snatching Defeat from the Jaws of Victory?” Phnom Penh Post, 23 Januari 1999. 24. Untuk mendapatkan tinjauan tentang tanggapan internasional terhadap kejahatan-kejahatan Khmer Merah dan usulan langkah-langkah internasional untuk permintaan pertanggungjawaban, lihat Balakrishnan Rajagopal, “The Pragmatics of Prosecuting the Khmer Rouge”, Phnom Penh Post, 8 Januari 1999, dan Adams, “Snatching Defeat”. 25. Committee to Oppose the Return of the Khmer Rouge Komite Penentang Kembalinya Khmer Merah , suatu koalisi yang terdiri dari lebih dari seratus kelompok hak asasi manusia dan gereja di Washington, dengan kuat melobi untuk mendukung suatu inisiatif agar Khmer Merah diminta pertanggunganjawaban atas kejahatan-kejahatannya. 26. Sementara pembunuhan massal yang dilakukan Khmer Merah sering kali disebut sebagai genosida sebagaimana dalam hukum AS dan kantor-kantor yang dibentuk atas dasar hukum tersebut, banyak dari kekerasan ini yang tidak masuk dalam definisi tersebut. Genosida, sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Genosida, adalah “keinginan untuk menghancurkan, sebagian dari atau seluruh, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama” Convention of the Prevention and Punishment of the Crimes of Genocide Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan-Kejahatan Genosida, 1948, Pasal 2. Beberapa tindakan kekerasan Khmer Merah dapat diklasifikasikan sebagai genosida, misalnya kampanye-kempanye menentang etnis Vietnam, namun banyak dari pelanggarannya yang tidak ditujukan pada kelompok tertentu semacam itu. 27. Penelitian yang dilakukan oleh dua cendikiawan AS ini menghasilkan buku yang menggarisbesarkan pilihan-pilihan pertanggungjawaban dalam situasi-situasi transisional, secara khusus difokuskan pada Kamboja. Lihat Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy , New York: Oxford University Press, 1997. 28. U.S. Congressional Record-Senate, April 10, 1992. Juga diharapkan bahwa proyek ini akan memicu diadilinya Khmer Merah. Undang-Undang Keadilan Genosida Kamboja menyatakan termasuk dalam tujuannya, “mengadili kepemimpinan politik dan militer Khmer Merah” dan “mengembangkan usulan Amerika Serikat tentang dibentuknya tribunal pidana internasional untuk mengadili mereka yang tertuduh dalam kasus genosida di Kamboja”. H.R. 2333, 1994. 29. Peter Cleveland, wawancara oleh penulis, 12 Maret 1997, Washington, DC. 30. Tujuan dari menempatkan foto-foto tersebut dalam internet, sebagaimana dijelaskan Direktur Proyek, Ben Kiernan, adalah untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang selamat untuk mengidentifikasikan mereka yang terbunuh Ben Kiernan, wawancara oleh penulis, 25 April 1997, New Heaven, C T. Alamat website adalah www.yale.educgp . 31. Seth Mydans, “20 Years On, Anger Ignites against Khmer Rouge”, New York Times, 20 Januari 1999, A1. 32. “Most Cambodians Want Trial for Khmer Rouge: Poll”, 27 Januari 1999, Reuters News Service. 33. Mark McDonald, “Cambodians Brace for UN Trial Proposal: Most Want Leaders Punished, but Resist Opening Old Wounds”, San Jose Mercury News, 8 Februari 1999. 34. “Tutu Will Help Cambodia”, Daily Mail and Guardian Afrika Selatan, 18 Januari 1999. 35. Report of the Group of Experts for Cambodia Established Pursuant to General Assembly Resolution 521355, UN Dok. A53850S1999231, Annex, Arch 16, 1999, hlm. 54. 36. Brad Adams, “Snatching Defeat”. 37. Pengadilan terkadang tidak termasuk karena keadaan-keadaan politik pelaku memiliki cukup kekuatan untuk meminta amnesti atau para hakim merasa terlalu terancam untuk mengadili kasus- kasus sensitif atau kurangnya kapasitas sistem peradilan yang tidak berfungsi atau kemampuan yang terbatas hingga hanya dapat memproses beberapa kasus tertentu. Namun bila pengadilan ini mungkin, maka harus dilakukan, terutama untuk pelaku tingkat tinggi namun terkadang akan ada pertanyaan tentang waktu, misalnya menunggu sampai perjanjian perdamaian telah diterapkan secara penuh sebelum ancaman penuntutan dilancarkan. Sebaliknya, komisi kebenaran mungkin didirikan namun tidak diinginkan karena berbagai alasan yang dapat diterima. Saya mengakui bahwa hal ini bertentangan dengan asumsi beberapa orang yang memperjuangkan kebijakan “kebenaran selalu, dan pengadilan hanya kalau tidak terlalu berisiko”. 38. Konferensi-konferensi ini menghasilkan dua buku. Lihat Alex Boraine, Janet Levy, dan Ronel Scheffer, eds., Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, Cape Town: Justice in Transition, 1995. 39. Konferensi ini didukung oleh Robert F. Kennedy Memorial Center for Human Rights yang berbasis di Washington, dan bekerja-sama dengan Malawian University, dan dibiayai oleh U.S. Institute of Peace. Lihat Understanding the Past to Safeguard the Future: Proceedings of a Conference Convened by the University of Malawi and the Robert F. Kennedy Center for Human Rights at Lilongwe, Malawi, 18-19 Oktober 1996 , Washington, DC: Robert F. Kennedy Center, April 1997. 40. Lihat Seth Mydans, “In a Tiny Office, Khmer Rouge Files Tell Grisly Tales”, New York Times, 13 Januari, 1999, A3. 41. Allan Nairn, “Haiti Under the Gun”, The Nation, 15 Januari 1996, 11-15; dan “Haiti Under Cloak”, editorial, The Nation, 26 Februari 1996, 4-5; dan “Danger Signs in Haiti”, editorial, New York Times, 9 September 1996, A14. Kepala FRAPH, Emmanuel Constant, mengaku bekerja untuk badan pusat intelejen Amerika Serikat U.S. Central Intelligence Agency; walaupun Haiti telah meminta agar ia diekstradisi, ia hidup dengan bebas di Queens, New York. 42. Dalam kasus yang sama, Central Intelligence Agency menyita banyak dokumen yang sensitif dari Stasi Jerman Timur, atau polisi rahasia, setelah Tembok Berlin diruntuhkan. CIA lama sekali menolak pengembalian dokumen-dokumen ini, sehingga menimbulkan ketegangan antara Amerika Serikat dan Jerman, suatu persetujuan akhirnya dicapai pada akhir tahun 1999 untuk mengembalikan sebagian besar dari dokumen-dokumen tersebut. Lihat Roger Cohen, “Germany’s East is Still Haunted by Big Brother”, New York Times, 19 November 1999, A12. 43. Lihat Tim Weiner, “Interrogation, C.I.A.-Style: The Spy Agency’s Many Mean Ways to Loosen Cold-War Tongues”, New York Times, 9 Februari 1997, dan Dana Priest, “Army’s Project Had Wider Audience: Clandestine Operations Training Manuals Not Restricted to Americas”, Washington Post, 6 Maret 1997, A1, A16. 44. Lihat, misalnya, Peter Kornbluh, “Chile’s ‘Disappeared’ Past: US should Acknowledge Complicity in Murderous Regime”, Boston Globe, 13 September 1998, E2, dan Tim Wiener, “All the President Had to Do Was Ask: The C.I.A. Took Aim at Allende”, New York Times, 13 September 1998, hlm. 4-7. 45. Hanya ada sedikit pengecualian: pada pertengahan tahun 1970-an, Senat menyelidiki dan mengeluarkan laporan panjang tentang cabang intelijen dari pemerintah AS. Lihat Report of the Senate Select Committee to Study Governmental Operations with Respect to Intelligence Activities , vols. 1-7, Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1976, umumnya dikenal dengan nama Church Committee Report. Setelah dikeluarkannya laporan komisi kebenaran El Savador, pemerintahan Clinton menunjuk suatu panel untuk “menyelidiki implikasi” dari laporan tersebut terhadap “penerapan kebijakan luar negeri AS dan operasi-operasi Departemen Negara”, namun dengan mandat yang sempit yang tidak mencakup peninjauan ulang kebijakan AS terhadap El Savador. Ahli dalam hal El Savador mengkritik laporan tersebut sebagai tidak terlalu dapat dipercaya. U.S. Department of State, Report of the Secretary of State’s Panel on El Salvador, Juli 1993. Lihat juga Martha Dogget, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 270. Melihat cerita ini, beberapa pengamat telah meminta komisi kebenaran di Amerika Serikat untuk menilik dukungan Amerika Serikat terhadap rezim represif tersebut dan keterlibatannya dalam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi. Hal ini telah diangkat terutama tentang keterlibatan AS di Amerika Tengah, seperti yang dapat dilihat dalam Thomas Buergenthal, “The U.S. Should Come Clean on ‘Dirty Wars’”, New York Times, 8 April1998. Bab 13: Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer?