LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI PADA ADSORBEN KULIT JENGKOL DENGAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR

16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 5 bulan. 3.2 BAHAN DAN PERALATAN 3.2.1 Bahan Pada penelitian ini bahan-bahan yang digunakan antara lain : 1. Limbah Cair dari salah satu Industri Pelapisan Logam di sekitar Kawasan Industri Medan KIM 2. Kulit Jengkol Pithecellobium jiringa Prain yang dikumpulkan dari pajak Simpang Limun 3. Aquadest H 2 O 5. Asam Nitrat HNO 3 4N 6. Asam Klorida HCl 7. Natrium Hidroksida NaOH 8. Natrium Tiosulfat Na 2 S 2 O 3 0,1 N 9. Iodin I 2 0,1 N 10. Indikator Amilum 1

3.2.2 Peralatan

Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain: 1. Atomic Absorption Spectroscopy AAS 2. Spektrofotometer FTIR 3. Corong gelas 4. Termometer 5. Hot plate dan magnetic stirrer 6. Kertas Whatman No.1 Universitas Sumatera Utara 17 7. Beaker glass 8. Tabung reaksi 9. Erlenmeyer 10. Oven 11. Alat-alat titrasi 12. Gelas ukur 13. Ayakan 100 mesh 14. Lumpang dan alu 15. Ball mill 16. Stopwatch 17. Timbangan digital 18. Batang pengaduk 19. Penjepit tabung 20. pH meter 21. Desikator 3.3 PROSEDUR PERCOBAAN 3.3.1 Pembuatan Adsorben 1. Kulit Jengkol dicuci dengan air lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. 2. Kulit Jengkol dihaluskan hingga berbentuk serbuk berukuran 100 mesh. 3. Kulit Jengkol diaktifkan dengan larutan asam nitrat HNO 3 4 N dengan rasio kulit jengkol : asam nitrat adalah 20:0,5 mgmL dan dipanaskan selama 60 menit pada suhu 70 o C, lalu didinginkan. 4. Setelah dingin, dilanjutkan dengan pencucian beberapa kali menggunakan aquadest untuk menghilangkan pengotor terlarut. 5. Kulit jengkol dimasukkan ke dalam oven selama 60 menit pada suhu 100 o C. 6. Prosedur diulangi untuk suhu aktivasi 80 dan 90 o C, waktu aktivasi 90 dan 120 menit, suhu pengeringan 110 dan 120 o C, waktu pengeringan 90 dan 120 menit dan rasio kulit jengkol : asam nitrat 20:1 dan 20:2 mgmL Universitas Sumatera Utara 18

3.3.2 Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben

1. Timbang 1 gram adsorben dan keringkan pada suhu 115 o C selama 1 jam [33]. 2. Lakukan pendinginan dalam desikator. 3. Selanjutnya tambahkan 50 ml larutan iod 0,1 N dan diaduk dengan magnetic stirer selama 15 menit. 4. Saring dan diambil sebanyak 10 ml filtrat. Titrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna kuning berkurang. 5. Selanjutnya tambahkan beberapa tetes indikator amilum 1 dan dititrasi kembali sampai larutan tidak berwarna 6. Catat volume Na 2 S 2 O 3 0,1 N yang terpakai. Titrasi juga dilakukan untuk larutan blanko. Bilangan iodin dihitung dengan menggunakan persamaan: Bilangan Iodin mg g = 10- VxN1 N2 W 2 x W 1 xFp [34] Dimana, V = volume natrium tiosulfat yang diperlukan ml N 1 = normalitas natrium tiosulfat N N 2 = normalitas iodin 0,1 N W 1 = jumlah iodin untuk setiap 1 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N 12,69 mgml W 2 = massa sampel g Fp = faktor pengenceran 5 34

3.3.3 Analisa Karakteristik Gugus Fungsi dengan Spektrofotometri FTIR

1. Siapkan sampel yang akan diuji. 2. Lakukan pengukuran dengan alat FTIR dan amati grafik yang terbentuk. 3. Simpan data yang dihasilkan dan lakukan pembahasan terhadap puncak-puncak yang terbentuk [35] Universitas Sumatera Utara 19

3.3.4 Prosedur Adsorpsi Batch

1. Diukur 50 ml sampel limbah cair pelapisan logam dan dimasukkan ke dalam beaker glass. 2. Diatur pH sebesar 5 dengan penambahan larutan 0,1 M HNO 3 atau 0,1 M NaOH. Karena proses adsorpsi Pb II optimum pada pH 5. 3. Ditambahkan adsorben kulit jengkol berukuran 100 mesh dengan massa 0,5 g. 4. Campuran diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 30 rpm dan dipertahankan selama 30 menit. 5. Campuran disaring dengan corong gelas dan kertas saring Whatman No.1. 6. Ulangi percobaan untuk variasi massa kulit jengkol 1 dan 1,5 g. Rangkaian alat proses adsorpsi dapat dilihat pada Gambar L3.1 Lampiran 3.

3.3.5 Prosedur Analisa Konsentrasi Ion Logam Pb II

Untuk menentukan dan melihat konsentrasi Pb II pada limbah cair, maka setiap sampel yang diuji, dianalisa menggunakan Atomic Adsorption Spectrofotometri AAS. Perbedaan konsentrasi logam Pb II mula-mula atau sebelum dan sesudah perlakuan merupakan jumlah ion logam Pb II yang terserap adsorben. Pengujian dilakukan dengan mengukur nilai serapannya pada panjang gelombang 283,3 nm. Kemudian dari data tersebut, akan dicari kapasitas adsorpsi ion logam Pb II dengan persamaan : q e = C o - C e V W [10] Dimana, q e = Kapasitas adsorpsi mgg C o = Konsentrasi awal Pb II mgL C e = Konsentrasi akhir Pb II mgL V = Volume sampel yang digunakan L W = Berat adsorben yang digunakan g Universitas Sumatera Utara 20 3.4 FLOWCHART PENELITIAN 3.4.1 Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol Alur proses pembuatan adsorben kulit Jengkol dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Flowchart Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol Mulai Kulit jengkol dihaluskan hingga berukuran 100 mesh Dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama 7 hari Didinginkan pada suhu ruangan Dicuci dengan aquadest Selesai Diaktifkan dengan larutan asam nitrat HNO 3 4 N rasio 20:0,5 mgmL Dipanaskan selama 60 menit pada suhu 70 o C Dipanaskan di dalam oven selama 60 menit pada suhu 100 o C Ulangi percobaan untuk suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan, waktu pengeringan dan rasio kulit jengkol : asam nitrat yang berbeda Kulit Jengkol dicuci dengan air Universitas Sumatera Utara 21 Ya

3.4.2 Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben

Alur proses analisa bilangan iodin adsorben dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.2. Gambar 3.2 Flowchart Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben Mulai Keirngkan 1 gram adsorben pada suhu 115 o C selama 1 jam Didinginkan di dalam desikator Tambahkan 50 ml larutan iod 0,1 N dan aduk dengan magnetic stirer selama 15 menit Saring dan ambil sebanyak 10 ml filtrat Titrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N Tidak Apakah warna kuning pada larutan berkurang? Tambahkan beberapa tetes indikator amilum 1 Ya Titrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N Tidak Apakah larutan menjadi tidak berwarna? Catat volume Na 2 S 2 O 3 0,1 N yang terpakai dan titrasi blanko Selesai Universitas Sumatera Utara 22

3.4.3 Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Adsorben

Alur proses analisa karakteristik gugus fungsi pada adsorben dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.3. Gambar 3.3 Flowchart Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Adsorben

3.4.4 Proses Adsorpsi Batch

Alur proses adsorpsi dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.4. Mulai Diukur 50 ml limbah cair dan masukkan ke dalam beaker glass Diatur pH sebesar 5 dengan penambahan larutan 0,1 M HNO 3 atau 0,1 M NaOH. Ditambahkan adsorben kulit jengkol berukuran 100 mesh dengan masssa 0,5 g Diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 30 rpm selama 30 menit Disiapkan sampel adsorben kulit jengkol yang akan diuji Lakukan pengukuran dengan alat FTIR dan amati grafik yang terbentuk Selesai Mulai A Universitas Sumatera Utara 23 Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Adsorpsi Batch Disaring dengan corong gelas dan kertas saring Whatman No.1 Ulangi percobaan untuk variasi dosis yang lain Selesai A Universitas Sumatera Utara 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 BILANGAN IODIN ADSORBEN KULIT JENGKOL

Pada penelitian ini, adsorben dari bahan baku kulit jengkol diaktivasi secara kimia dengan aktivator asam nitrat HNO 3 4 N dan dioptimasi dengan memvariasikan suhu aktivasi 70, 80 dan 90 o C, waktu aktivasi 60, 90 dan 120 menit, suhu pengeringan 100, 110 dan 120 o C dan waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit. Setelah diperoleh hasil yang optimum dari variasi tersebut, adsorben dioptimasi lagi menggunakan variasi rasio adsorben : asam nitrat sebesar 20:0,5; 20:1 dan 20:2 mgml. Sebelum dan setelah diaktivasi, dilakukan analisa bilangan iodin terhadap adsorben mg I 2 g adsorben. Sebelum aktivasi, bilangan iodin adsorben kulit jengkol adalah 374,36 mgg. Nilai ini sedikit lebih rendah daripada bilangan iodin adsorben biji asam jawa yaitu sebesar 379,81 mgg [32]. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena perbedaan jumlah pengotor pada adsorben yang dihasilkan sebelum aktivasi dilakukan. Berdasarkan data Standar NasionaI Indonesia 1995, standar kualitas karbon aktif untuk daya serap terhadap iodin yaitu minimal 750 mgg [36]. Dalam hal ini adsorben kulit jengkol tidak memenuhi standar karbon aktif berdasarkan SNI karena bilangan iodin yang diperoleh secara keseluruhan masih dibawah 750 mgg.

4.1.1 Pengaruh Suhu Aktivasi

o

C, Waktu Aktivasi menit, Suhu Pengeringan

o C dan Waktu Pengeringan menit terhadap Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol Pada penelitian ini dapat dilihat kapasitas adsorpsi adsorben yang paling baik dari berbagai variasi suhu aktivasi 70, 80 dan 90 o C, waktu aktivasi 60, 90 dan 120 menit, suhu pengeringan 100, 110 dan 120 o C dan Waktu Pengeringan 60, 90 dan 120 menit yang dinyatakan sebagai bilangan iodin mgg, yaitu jumlah mg iodin yang dapat diserap oleh setiap 1 gram adsorben, sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.1 sampai dengan 4.9. Untuk nilai bilangan iodin untuk setiap grafik dapat dilihat pada Tabel L1.1 Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 25 Gambar 4.1 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100 o C dan Waktu Pengeringan 60 menit Gambar 4.2 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100 o C dan Waktu Pengeringan 90 menit Universitas Sumatera Utara 26 Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100 o C dan Waktu Pengeringan 120 menit Dari Gambar 4.1, 4.2 dan 4.3 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 100 o C untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit. Pada Gambar 4.1 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 90 menit bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi dari 70 o C ke 80 o C namun setelah itu mengalami penurunan pada suhu 90 o C. Namun pada waktu aktivasi 120 menit, bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.2, bilangan iodin mengalami variasi peningkatan dan penurunan yang tidak beraturan pada ketiga grafik dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.3 bilangan iodin menunjukkan variasi peningkatan dan penurunan juga namun pada waktu aktivasi 120 menit, bilangan iodin terus meningkat dimana sebelumnya ditunjukkan juga pada Gambar 4.1 pada waktu aktivasi yang sama. Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Adanya kesesuaian teori secara berulang yang hanya terdapat pada waktu 120 menit yaitu pada Gambar 4.1 dan 4.3 menunjukkan bahwa waktu aktivasi 120 menit merupakan waktu yang Universitas Sumatera Utara 27 optimum dalam aktivasi adsorben kulit jengkol selama 90 menit dengan bilangan iodin tertinggi pada Gambar 4.3 sebesar 519,14 mgg. Pada Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dilihat bilangan iodin yang dihasilkan secara keseluruhan lebih rendah daripada Gambar 4.3. Hal ini menunjukkan dari ketiga grafik, suhu pengeringan optimum pada suhu 100 o C dengan waktu pengeringan optimum pada waktu 120 menit. Gambar 4.4 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110 o C dan Waktu Pengeringan 60 menit Universitas Sumatera Utara 28 Gambar 4.5 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110 o C dan Waktu Pengeringan 90 menit Gambar 4.6 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110 o C dan Waktu Pengeringan 120 menit Dari Gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin Universitas Sumatera Utara 29 adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 110 o C untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit. Pada Gambar 4.4 yaitu pada waktu aktivasi 90 dan 120 menit bilangan iodin menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi dari 70 o C ke 80 o C namun setelah itu mengalami peningkatan pada suhu 90 o C. Namun pada waktu aktivasi 60 menit, bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.5 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 120 menit bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Namun pada waktu aktivasi 90 menit, bilangan iodin menurun dengan peningkatan suhu dari 70 sampe 80 o C kemudian naik pada suhu 90 o C. Pada Gambar 4.6 bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu untuk setiap variasi waktu aktivasi. Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Pada Gambar 4.4 dan 4.5 terdapat kesesuaian teori pada waktu aktivasi 60 menit untuk masing-masing grafik. Namun Gambar 4.6 menunjukkan kesesuaian teori pada ketiga grafik, yaitu meningkatnya bilangan iodin dengan meningkatnya suhu aktivasi. Hal ini menunjukkan bahwa suhu pengeringan 110 dan waktu pengeringan 120 menit merupakan suhu dan waktu yang optimum dengan bilangan iodin 634,50 mgg untuk suhu aktivasi 110 menit dan waktu aktivasi 120 menit. Gambar 4.7 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120 o C dan Waktu Pengeringan 60 menit Universitas Sumatera Utara 30 Gambar 4.8 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120 o C dan Waktu Pengeringan 90 menit Gambar 4.9 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120 o C dan Waktu Pengeringan 120 menit Dari Gambar 4.7, 4.8 dan 4.9 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin Universitas Sumatera Utara 31 adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 120 o C untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit. Pada Gambar 4.7 pada tiap waktu aktivasi bilangan iodin mengalami variasi kenaikan dan penurunan dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.8 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 120 menit bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi dari suhu 70 ke 80 o C kemudian turun pada suhu 90 o C. Namun pada waktu aktivasi 90 menit, bilangan iodin terus menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.9 bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu untuk waktu aktivasi 90 dan 120 menit. Namun pada waktu 60 menit bilangan iodin menurun kemudian naik lagi dengan meningkatnya suhu aktivasi. Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Pada Gambar 4.9 adanya kesesuaian teori pada grafik yaitu pada waktu 90 dan 120 menit. Hal ini menunjukkan bahwa dari ketiga grafik suhu pengeringan 120 o C dan waktu pengeringan 120 menit yang paling dengan bilangan iodin tertinggi 589,18 pada suhu aktivasi 90 o C dan waktu 120 menit. Dari keseluruhan grafik, bilangan iodin cenderung meningkat seiring bertambahnya suhu aktivasi, suhu pengeringan, suhu pengeringan dan waktu pengeringan. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu dan waktu maka daya serap adsorben juga semakin meningkat. Namun pada grafik tertentu bilangan iodin mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu serta waktu pada kedua proses. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan. Pertama, kadar air sulit dikontrol sebelum dilakukan penyerapan senyawa iodin. Kedua, ketidak merataan adsorben dalam wadah saat proses aktivasi dilakukan sehingga asam nitrat tidak efektif dalam memodifikasi adsorben kulit jengkol. Bilangan iodin yang optimum diperoleh pada suhu aktivasi 90 o C, waktu aktivasi 120 menit, suhu pengeringan 110 o C dan waktu pengeringan 120 menit sebesar 634,50 mgg. Secara teori semakin meningkatnya suhu, pengotor-pengotor yang mulanya terdapat pada bagian pori dan menutup pori ikut terlepas sehingga memperluas permukaan adsorben. Hal ini juga mengakibatkan banyak komponen seperti air dan kandungan volatil keluar dari dalam adsorben. Besarnya permukaan adsorben Universitas Sumatera Utara 32 yang terjadi ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Waktu aktivasi yang semakin lama dapat meningkatkan bilangan iodin suatu adsorben yang dapat ditandai dengan meningkatnya kandungan karbon dalam adsorben tersebut [38]. Meningkatnya waktu pengeringan dapat menyebabkan terbukanya mesopori dan mikropori yang meningkatkan ukutan pori adsorben [39]. Namun pada pemanasan yang berlebihan dapat terjadi pengurangan mesopori dan mikropori pada adsorben tersebut [32] serta menyebabkan kerusakan struktur dan dinding pori yang dapat menghambat pertumbuhan pori [40]. Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi yang paling baik untuk menghasilkan adsorben dari kulit jengkol dengan bilangan iodin yang paling optimum pada suhu aktivasi 90 o C, waktu aktivasi 120 menit, suhu pengeringan 110 o C dan waktu pengeringan 120 menit adalah 634,50 mgg.

4.1.2 Pengaruh Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat terhadap Bilangan Iodin Adsorben

Pada penelitian ini dapat dilihat kapasitas adsorpsi adsorben yang paling baik dari berbagai variasi rasio kulit jengkol : asam nitrat tertentu yang dinyatakan sebagai bilangan iodin mgg, yaitu jumlah mg iodin yang dapat diserap oleh setiap 1 gram adsorben, sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.10. Gambar 4.10 Pengaruh Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat terhadap Bilangan Iodin Adsorben Universitas Sumatera Utara 33 Dari grafik pada Gambar 4.10 di atas dapat dilihat bahwa bilangan iodin cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya rasio kulit jengkol : asam nitrat. Bilangan iodin paling besar diperoleh pada rasio 20:2. Pada rasio 20:0,5 ; 20:1 dan 20:2 mgml, bilangan iodin terus meningkat. Bilangan iodin meningkat dari rasio 20:0,5 ke 20:1. Namun pada rasio 20:2, peningkatan yang ada tidak terlalu besar, sehingga dapat dianggap bahwa rasio 20:1 merupakan rasio kulit jengkol : asam nitrat yang paling optimum dalam menyerap senyawa iodin. Hal ini disebabkan oleh jumlah aktivator yang digunakan pada rasio 20:1 sudah cukup untuk memodifikasi adsorben dari kulit jengkol yang digunakan. Secara teori, semakin meningkatnya rasio kulit jengkol : aktivator yang digunakan maka daya serap adsorben akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya dehidrasi kimia serta kondensasi yang semakin kuat sehingga menghasilkan struktur pori yang besar [41]. Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi rasio kulit jengkol : asam nitrat yang paling optimum dalam menyerap senyawa iodin yaitu sebesar 20:1 dengan bilangan iodin 634,50 mgg. Berdasarkan data Standar NasionaI Indonesia 1995, standar kualitas karbon aktif untuk daya serap terhadap iodin yaitu minimal 750 mgg [36]. Dalam hal ini adsorben kulit jengkol belum memenuhi standar karbon aktif berdasarkan SNI karena bilangan iodin yang optimum yaitu sebesar 634,50 mgg masih dibawah standar karbon aktif SNI. Hal ini dapat disebabkan karena aktivasi tidak dilakukan dengan cara karbonisasi.

4.2 ADSORPSI LOGAM Pb II PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

Limbah cair yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair yang berasal dari salah satu industri pelapisan logam di sekitar Kawasan Industri Medan KIM. Kandungan logam Pb II awal dalam limbah cair sebelum dilakukan proses adsorpsi dengan adsorben adalah sebesar 19,12 ppm. Universitas Sumatera Utara 34

4.2.1 Pengaruh Massa Adsorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Logam Pb II.

Pada penelitian ini dapat dilihat kemampuan adsorpsi adsorben yang paling baik dari variasi massa adsorben tertentu yang dinyatakan sebagai kapasitas adsorpsi mgg, sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.11. Konsentrasi logam Pb II dalam limbah cair sebesar 19,12 ppm dengan adsorbansi 0,096. Gambar 4.11 Pengaruh Massa Adsorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Adsorben Dari grafik pada Gambar 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi semakin menurun seiring dengan semakin banyaknya massa adsorben. Kapasitas adsorpsi yang paling besar diperoleh pada massa adsorben 0,5 gram yaitu sebesar 0,92 mgg dengan adsorbansi 0,0123. Pada massa adsorben 0,5; 1 dan 1,5 gram, kapasitas adsorpsi terus menurun. Pada massa adsorben 0,5 g konsentrasi Pb II berkurang menjadi 9,91 ppm dengan kapasitas adsorpsi 0,92 mgg. Pada massa adsorben 1 g dengan konsentrasi Pb II 5,89 ppm diperoleh kapasitas adsorpsi 0,66 mgg. Pada massa adsorben 1,5 g dengan konsentrasi 6.14 ppm diperoleh kapasitas adsorpsi 0,43mgg. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, pada massa lebih dari 0,5 g adsorben membentuk gumpalan-gumpalan yang menyebabkan berkurangnya luas permukaan adsorben [12] dan perpindahan massa yang terjadi saat proses adsorpsi berlangsung menjadi kurang baik. Kedua, penggunaan stirrer yang bersifat magnet menyebabkan berkumpulnya logam- Universitas Sumatera Utara 35 logam pada sekitar permukaan stirrer tersebut sehingga adsorpsi menjadi kurang efisien. Ketiga, pola pengontakan yang kurang sesuai yaitu penuangan adsorben dengan cepat sehingga proses difusi menjadi kurang maksimal. Secara teori, semakin meningkatnya massa adsorben yang digunakan maka kapasitas adsorpsi juga akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan situs atau luas permukaan adsorpsi meningkat bersamaan dengan berat dari adsorben, sehingga memberikan hasil kapasitas adsorpsi yang lebih besar pada massa adsorben yang lebih besar [42]. Kapasitas adsorpsi dapat berkurang dengan meningkatnya massa adsorben dapat disebabkan oleh terbentuknya gumpalan yang menyebabkan menurunnya luas permukaan keseluruhan [43]. Adsorpsi fisika melibatkan gaya antar molekul gaya Van der Waals atau ikatan hidrogen. Ikatan yang terbentuk dari proses adsorpsi fisika sangat lemah dan energi yang dilepaskan relatif rendah sekitar 20 kJmol, karena itu adsorpsi fisika bersifat reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali [32]. Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa massa yang paling optimum dalam menjerap logam Pb II yaitu sebesar 0,5 yang dinyatakan dengan kapasitas adsorpsi sebesar 0,92 mgg. Rendahnya kapasitas penyerapan logam Pb pada adsorben dapat terjadi karena adanya logam-logam lain seperti krom Cr, tembaga Cu, seng Zn, nikel Ni dan kadmium Cd dalam limbah cair industri pelapisan logam sehingga terjadi kompetisi di dalam proses adsorpsi logam berat. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, kandungan Pb II yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan untuk limbah cair industri pelapisan logam adalah sebesar 0,1 ppm [44]. Namun konsentrasi Pb II yang paling rendah dalam limbah cair pada penelitian ini adalah sebesar 5,89 ppm. Kadar tersebut masih jauh dengan baku mutu lingkungan hidup. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan. Pertama, limbah cair yang digunakan berasal dari inlet buangan yang memiliki konsentrasi ion Pb II yang masih tinggi. Kedua proses adsorpsi merupakan pengolahan tingkat ke-3, dimana ada 2 proses pengolahan limbah yang dilakukan di industri pelapisan logam terlewati. Universitas Sumatera Utara 36

4.3 KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI PADA ADSORBEN KULIT JENGKOL DENGAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR

Pada penelitian ini, adsorben sebelum diaktivasi, adsorben dengan bilangan iodin yang paling besar setelah diaktivasi dan adsorben yang telah digunakan untuk mengadsorpsi logam berat Pb II kemudian dikarakterisasi gugus-gugus fungsinya menggunakan spektrofotometri FTIR. Setiap ikatan kimia yang spesifik menunjukkan pita absorpsi energi yang unik dalam analisa FTIR dan hal ini berguna untuk mengidentifikasi adanya gugus-gugus fungsional dari adsorbent [45]. Gugus-gugus fungsional yang terbentuk disimpulkan dengan membandingkannya dengan literatur yaitu tabel karakteristik pita IR berbagai senyawa [46] dan tabel frekuensi berbagai gugus-gugus fungsi [47]. Adapun hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12, 4.13 dan 4.14 berikut. Gambar 4.12 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sebelum Aktivasi 547,78 cm -1 : gugus S-S senyawa sulfur 1612,49 cm -1 : gugus C=C alkena 1045,42 cm -1 : gugus C-H alkena aromatik 2349,30 cm -1 : gugus CO 2 1219,01 cm -1 : gugus P-O senyawa fosfor karbondioksida 1338,60 cm -1 : gugus C-H alkana 2939,52 cm -1 : gugus C-H alkana 1519,91 cm -1 : gugus NO 2 senyawa nitro 3394,72 cm -1 : gugus O-H alkohol Universitas Sumatera Utara 37 Gambar 4.13 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Aktivasi Gambar 4.14 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Adsorpsi 470,63 cm -1 : gugus S-S senyawa sulfur 1635,64 cm -1 : gugus C=C alkena 995,27 cm -1 : gugus P-O-C senyawa fosfat 1728,22 cm -1 : gugus C=O aldehid 1072,42 cm -1 : gugus C-O alkohol 2924,09 cm -1 : gugus C-H alkana 1323,17 cm -1 : gugus C-H alkana 3421,72 cm -1 : gugus O-H alkohol 1377,17 cm -1 : gugus S=O sulfonil 462,92 cm -1 : gugus S-S senyawa sulfur 1635,64 cm -1 : gugus C=C alkena 991,41 cm -1 : gugus P-O-C senyawa fosfat 1728,22 cm -1 : gugus C=O aldehid 1068,56 cm -1 : gugus C-O alkohol 2924,09 cm -1 : gugus C-H alkana 1323,17 cm -1 : gugus C-H alkana 3410,15 cm -1 : gugus O-H alkohol 1373,32 cm -1 : gugus S=O sulfonil Universitas Sumatera Utara 38 Dari Gambar 4.12, 4.13 dan 4.14 di atas dapat dibandingkan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada adsorben sebelum dan sesudah aktivasi serta sesudah adsorpsi. Dari grafik pada Gambar 4.12, yaitu adsorben sebelum aktivasi terlihat gugus fungsional hidroksil termasuk ikatan hidrogen [regangan O-H 3700-3200 cm -1 ], yang semakin tidak tampak pada Gambar 4.13 dan 4.14 yaitu adsorben sesudah aktivasi dan sesudah adsorpsi. Reduksi dari ikatan hidrogen ini menunjukkan asam nitrat sebagai agen pengdehidrasi, bereaksi dengan bahan baku setelah kedua substansi tercampur. Pergeseran pita pada 2939,52 sebelum diaktivasi menjadi 2924,09 cm -1 yang merupakan regangan C-H juga menunjukkan adanya pelepasan sejumlah hidrogen secara signifikan. Pada adsorben sebelum diaktivasi terdapat regangan pada 1045,42 cm -1 yang merupakan regangan alkena aromatik C-H. Pita ini tidak terdapat pada adsorben sesudah aktivasi, sehingga dapat disimpulkan aktivasi kimia melepaskan banyak ikatan pada senyawa aromatik dan mengeliminasi banyak substrat-substrat ringan dan volatil [48]. Pada Gambar 4.12, yaitu adsorben sebelum aktivasi juga terlihat regangan pada 2349,30 cm -1 yang menunjukkan regangan CO 2 yang tidak tampak pada adsorben sesudah aktivasi pada Gambar 4.13. Adanya regangan pada 1612,49 cm - 1 yang merupakan rengangan C=C ikatan alkena bergeser menjadi 1635,64 cm -1 dan berkurang ketajamannya pada adsorben yang diaktivasi. Adanya regangan pada 1519,91 regangan NO 2 pada adsorben sebelum aktivasi yang menunjukkan senyawa nitro tidak tampak lagi pada adsorben setelah aktivasi. Pelepasan gugus CO2 menunjukkan aktivasi kimia melepas sejumlah oksigen yang terperangkap dalam adsorben. Pembentukan gugus sulfonil pada adsorben yang terjadi akibat pergeseran pita pada 547,78 cm -1 pada Gambar 4.12 menjadi 470,63 cm -1 Gambar 4.13 yaitu regangan S-S senyawa sulfur yang menunjukkan terjadinya pengikatan oksigen oleh sulfur setelah aktivasi memperlihatkan kemungkinan peningkatan daya adsorpsi oleh adsorben karena gugus sulfonil terlibat pada proses adsorpsi di penjelasan selanjutnya. Dari grafik pada Gambar 4.13 dan 4.14 dapat dilihat perbedaan antara adsorben sebelum dan sesudah adsorpsi tidak mengubah struktur kerangka dari adsorben kulit jengkol. Namun terjadi pergeseran pita yaitu dari 3421,72 menjadi Universitas Sumatera Utara 39 3410,15 cm -1 menunjukkan adanya pengikatan logam timbal pada gugus hidroksil. Juga terjadi pergeseran pita pada 1377,17 menjadi 1373,32 cm -1 yaitu regangan gugus sulfonil S=O yang juga semakin berkurang ketajamannya pada adsorben setelah adsorpsi. Hal ini menunjukkan gugus sulfonil terlibat dalam proses adsorpsi logam seperti yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya [15]. Perubahan yang lain juga dapat dilihat yaitu dari 995,27 menjadi 991,41 cm -1 untuk regangan senyawa fosfat P-O-C serta dari 470,63 menjadi 462,92 cm -1 untuk regangan senyawa merkaptan S-S, yang menunjukkan bahwa senyawa tersebut juga terlibat selama proses adsorpsi logam timbal. Pergeseran pita yang ditunjukkan oleh spektrum FTIR ini menunjukkan bahwa gugus hidroksil, sulfonil, fosfor dan merkaptan terlibat selama proses adsorpsi logam timbal. Universitas Sumatera Utara 40 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

10 87 77

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

2 4 19

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 2

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 10

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 3 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 19

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 2

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 13