Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

(1)

LAMPIRAN 1

DATA PENELITIAN

1.1 BILANGAN IODIN ADSORBEN KULIT JENGKOL

Dari modifikasi adsorben kulit jengkol yang dilakukan dengan memvariasikan suhu aktivasi sebesar 70, 80 dan 90 oC, waktu aktivasi selama 60, 90 dan 120 menit, suhu pengeringan sebesar 100, 110 dan 120 oC, waktu pengeringan selama 60, 90 dan 120 menit, serta rasio bahan baku : asam nitrat (b/v) sebesar 20:0,5; 20:1 dan 20:2 (mg/ml), diperoleh bilangan iodin masing-masing adsorben seperti pada Tabel L1.1, Tabel L1.2 dan Tabel L1.3 di bawah ini. Bilangan iodin adsorben kulit jengkol sebelum diaktivasi adalah 374,36 mg/g.

Tabel L1.1 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Suhu dan Waktu

Suhu Aktivasi

(oC)

Waktu Aktivasi

(menit)

Suhu Pengeringan

(oC)

Waktu Pengeringan (menit) Bilangan Iodin (mg/g) 70 60 100

60 317,25

90 329,00

120 468,98

110

60 158,63

90 288,41

120 290,81

120

60 380,70

90 358,63

120 418,19

90

100

60 296,10

90 309,93

120 482,22

110

60 350,64

90 387,05


(2)

Tabel L1.1 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Suhu dan Waktu (Lanjutan)

Suhu Aktivasi

(oC)

Waktu Aktivasi

(menit)

Suhu Pengeringan

(oC)

Waktu Pengeringan (menit) Bilangan Iodin (mg/g) 70

90 120

60 123,38

90 408,77

120 141,00

120

100

60 179,31

90 212,74

120 211,50

110

60 400,74

90 264,38

120 421,94

120

60 460,01

90 237,94

120 307,49

80

60

100

60 359,55

90 264,38

120 354,57

110

60 283,86

90 324,71

120 356,91

120

60 376,73

90 400,74

120 190,35

90 100

60 341,65

90 253,80


(3)

Tabel L1.1 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Suhu dan Waktu (Lanjutan)

Suhu Aktivasi

(oC)

Waktu Aktivasi

(menit)

Suhu Pengeringan

(oC)

Waktu Pengeringan (menit) Bilangan Iodin (mg/g) 80 90 110

60 261,26

90 298,59

120 453,21

120

60 229,13

90 277,59

120 282,00

120

100

60 257,77

90 488,08

120 444,15

110

60 288,41

90 444,15

120 436,22

120

60 432,61

90 571,05

120 439,27

90 60

100

60 245,87

90 271,93

120 341,65

110

60 439,27

90 444,15

120 461,45

120

60 341,65

90 396,56


(4)

Tabel L1.1 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Suhu dan Waktu (Lanjutan)

Suhu Aktivasi

(oC)

Waktu Aktivasi

(menit)

Suhu Pengeringan

(oC)

Waktu Pengeringan (menit) Bilangan Iodin (mg/g) 90 90 100

60 264,38

90 226,61

120 507,60

110

60 423,00

90 581,63

120 597,18

120

60 211,50

90 264,38

120 423,00

120

100

60 380,70

90 414,87

120 519,14

110

60 519,14

90 571,05

120 634,50

120

60 475,88

90 515,53

120 589,18

Tabel L1.2 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Rasio Bahan Baku : Asam Nitrat

Rasio Bahan Baku : Asam Nitrat (mg/ml)

Bilangan Iodin (mg/g)

20 : 0,5 291,87

20 : 1 634,50


(5)

1.2 KAPASITAS ADSORPSI LOGAM Pb (II)

Kapasitas adsorpsi adalah kemampuan adsorben untuk menyerap logam tertentu yang dinyatakan dengan sejumlah mg adsorbat per 1 gram adsorben. Adsorpsi fisika melibatkan gaya antar molekul (gaya Van der Waals atau ikatan hidrogen). Ikatan yang terbentuk dari proses adsorpsi fisika sangat lemah dan energi yang dilepaskan relatif rendah sekitar 20 kJ/mol, karena itu adsorpsi fisika bersifat reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali [32]. Limbah cair yang digunakan dalam penelitian ini sebelum dilakukan proses adsorpsi memiliki konsentrasi logam Pb (II) sebesar 19,12 ppm dengan absorbansi 0,0096. Dari proses adsorpsi yang dilakukan dengan memvariasikan massa adsorben sebesar 0,5; 1 dan 1,5 diperoleh kapasitas adsorpsi logam Pb (II) yang ditunjukkan pada tabel L1.4 dibawah ini.

Tabel L1.4 Kapasitas Adsorpsi Ion Pb (II) pada Limbah Cair Pelapisan Logam untuk Setiap Variasi Massa Adsorben

Massa Adsorben (g) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

0,5 0,0123 9,91 0,92

1 0,0075 5,89 0,66


(6)

LAMPIRAN 2

CONTOH PERHITUNGAN

2.1 PERHITUNGAN BILANGAN IODIN ADSORBEN

Bilangan Iodin mg

g = 10-VxN1

N2

W2

x W1xFp (30) Dimana,

V = volume natrium tiosulfat yang diperlukan (ml) N1 = normalitas natrium tiosulfat (N)

N2 = normalitas iodin (0,1 N)

W1 = jumlah iodin untuk setiap 1 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N

(12,69 mg/ml) W2 = massa sampel (g)

Fp = faktor pengenceran (5)

Misalnya untuk adsorben setelah diaktivasi pada suhu 80 oC dan waktu 120 menit dan dikeringkan pada suhu 110oC dan waktu 120 menit dan rasio adsorben : asam nitrat sebesar 20:1 (mg/mL), diketahui :

V = 9 ml N1 = 0,1 N

W2 = 0,1 g

Maka :

Bilangan Iodin mg

g =

10-9x 0,1 0,1

0,1 x 12,69 x 5 = 634,50 mg/g

2.2 PERHITUNGAN KAPASITAS ADSORPSI ION Pb (II) qe = (Co - Ce)V

W [7]

Dimana,


(7)

Ce = Konsentrasi akhir Pb (II) (mg/L)

V = Volume sampel yang digunakan (L) W = Berat adsorben yang digunakan (g)

Misalnya untuk adsorpsi dengan menggunakan massa adsorben 0,5 g, diketahui :

Co = 19,12 ppm

Ce = 9,91 ppm

V = 0,05 L W = 0,5 g Maka :

Kapasitas Adsorpsi = (19,12-9,91)x0,05 0,5


(8)

LAMPIRAN 3

FOTO HASIL PENELITIAN

3.1 FOTO PERCOBAAN ADSORPSI LOGAM TIMBAL DALAM LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING

Gambar L3.1 Rangkaian Alat Percobaan Adsorpsi Keterangan gambar :

1. Elenmeyer 2. Magnetic Stirrer

3. Hot Plate

4. Kecepatan pengadukan

1

2

3


(9)

LAMPIRAN 4

HASIL ANALISA

4.1 HASIL ANALISA KONSENTRASI LOGAM Pb (II) AWAL DALAM LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

Gambar L4.1 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Awal Limbah Cair

4.2 HASIL ANALISA KONSENTRASI LOGAM Pb (II) SETELAH PROSES ADSORPSI

Gambar L4.2 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair dengan Massa Adsorben Kulit Jengkol 0,5 g


(10)

Gambar L4.3 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair dengan Massa Adsorben 1 g

Gambar L4.4 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair dengan Massa Adsorben 1,5 g


(11)

4.3 HASIL ANALISA GUGUS-GUGUS FUNGSI MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR


(12)

(13)

Gambar L4.7 Hasil Analisa Spektrofotometri FTIR Adsorben Sesudah Adsorpsi


(14)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Meena Palaniappan, Peter H. Gleick, Lucy Allen, Michael J. Cohen, Juliet Christian-Smith, Courtney Smith, Clearing the Waters (Oakland: Pasific Institute, 2010), hal 12 - 13.

[2] Duruibe, J.O, Ogwuegbu, M.O.C., Egwurugwu, J. N., “Heavy Metal Pollution and Human Biotoxic Effects,” International Journal of Physical Sciences, II (Mei, 2007), hal 112.

[3] Yahya S. Al-Degs, Musa I. El Barghouthi, Ayman A. Issa, Majeda A. Khraisheh, Gavin M. Walker, “Sorption of Zn (II), Pb (II), and Co (II) using natural sorbents: Equilibrium and Kinetic Studies,” Water Research, 40 (Mei, 2006), hal 2645.

[4] P. Senthil Kumar, R. Gayathri, “Adsorption of Pb2+ Ions From Aqueous Solutions Onto Bael Tree Leaf Powder: Isotherms, Kinetics and Thermodynamics Study,” Journal of Engineering Science and Technology, 4(4) 2009 : hal. 381

[5] Sukmawati, “Penggunaan Kitosan Manik Sebagai Adsorben Untuk Menurunkan Kadar Pb (II) dan Cr (II) dalam Limbah Cair Industri Pelapisan Logam,” Tesis, Program Magister Teknik Kimia USU, Medan, 2006, hal. 15.

[6] Mario Hendro K., Ratih Sulastiningrum, “Pemisahan Kromium dan Nikel dari Limbah Cair Elektroplating dengan Proses Ultrafiltrasi,” Skripsi, Program Sarjana Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hal. 1-7.

[7] World Bank, “Polution Prevention and Abatement: Electroplating Industry Effluent bu Agrowaste Carbons”, Indian J. Environ. Health, 42(4) 1998, hal. 145-150.

[8] Krishan Kishor Garg, Prashant Rawat, Basheshwar Prasad, “Removal of Cr (VI) and COD from Electroplating Wastewater by Corncob Based Activated Carbon,” Sciforschen, 1(1) 2015, hal. 1-9.

[9] Horea Bedelean, Andrada Maicaneanu, Maria Stanca, Silvia Burca, “Removal of Heavy Metal Ions from Wastewaters Using Natural Materials,” MAEGS, XVI (2009) : 179.


(15)

[10] U. Adie Gilbert, I. Unuabonah Emmanuel, A. Adeyemo Adebanjo, G. Adeyemi Olalere, “Biosorptive Removal of Pb2+ and Cd 2+ onto Novel Biosorbent Defatted Carica Papaya Seeds,” Biomass and Bioenergy, XXV (2011) : 2517.

[11] J. Kandasamy, S. Vigneswaran, T. T. L. Hoang, “Adsorption and Biological Filtration In Wastewater Treatment,” Waste and Wastewater Treatment Technologies, Fakulty of Engineering and Information Technology, Sydney, 2012. hal. 2.

[12] Uzami Hamzah, Rahmiana Zein, Edison Munaf, “Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain.) Sebagai Biosorben Untuk Penyerapan Ion Logam Pb (II) dan Cu (II) dari Air Limbah” Jurnal Kimia Unand, 2(2) 2013 : hal. 1 - 2.

[13] Gusnidar, Yulnafatmawita, Rosa Nofianti, “Pengaruh Kompos Asal Kulit Jengkol (Phitecolobium jiringa Jack Prain ex King) Terhadap Ciri Kimia Tanah Sawah dan Produksi Tanaman Padi,” J. Solum, VIII (Juli 2011), hal 58 - 60.

[14] Dr. Ir. Yul Harry Bahar, “Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2013,”

Direktorat Jenderal Hortikultura, 2014.

[15] Putri Isnaini, Rahmiana Zein, Edison Munaf, “Penyerapan Ion Cd (II) dan Zn (II) dalam Air Limbah Menggunakan Kulit Jengkol (Pithecellobiumjiringa Prain.),” Jurnal Kimia Unand, 2(3) 2013 : 1 - 2.

[16] Sadia Waseem, Muhammad Imran Din, Saira Nasir, Atta Rasool, “Evaluation of Acacia nilotica As A Non Conventional Low Cost Biosorbent For The Elimination Of Pb (II) And Cd (II) Ions From Aqueous Solutions,” Arabian Journal of Chemistry, VII (Maret 2012), hal 1091 - 1093.

[17] Dhiraj Sud, Garima Mahajan, M. P. Kaur, “Agricultural Waste Material as Potential Adsorbent for Sequestering Heavy Metal Ions from Aqueous Solutions - A Review,” Bioresource Technology, 99 (Februari 2008), hal 6017 - 6021.

[18] Frisca Febe Lumban Gaol, “Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah dan Peningkatan Kadar Ureum dan Kreatinin Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur SpragueDawley yang Diinduksi Aloksan,” Skripsi, Progran Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2014, hal 8 - 11.

[19] Vindi Wiasih, Anggi Permana, Nova Silvyani, Pramita Naily Faizah, “Pemanfaatan “Uje” (Kulit Jengkol) Sebagai Larvasida Alami Pada Nyamuk Aedes


(16)

Aegypti,”, Penelitian, Program Kreativitas Mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro, Semarang, 2013, hal 3.

[20] Nurussakinah, “Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Tanaman Jengkol (Pithecellobium jiringa (Jack) Prain.) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli,” Skripsi, Program Sarjana Fakultas Farmasi USU, Medan, 2010, hal 7.

[21] Tiphanie Deblonde, Carole Cossu-Leguille, Philippe Hartemann, “Emerging Pollutants in Wastewater: A Review of The Literature,” International Journal of Hygiene and Environmental Health, 214 ( Agustus 2011), hal 442 .

[22] W. S. Wan Ngah, M. A. K. M. Hanafiah, “Removal of Heavy Metal Ions From Wastewater by Chemically Modified Plant Waste As Adsorbents: A Review,”

Bioresource Technology, 99 (Juli 2007), hal. 3935.

[23] Nurhasni, Zainus Salimin, Ita Nurifitriyani, “Pengolahan Limbah Industri Elektroplating dengan Proses Koagulasi Flokulasi,” Valensi, 3(1) 2013 : hal. 41. [24] Julhim S. Tangio, “Adsorpsi Logam Timbal (Pb) dengan Menggunakan Biomassa Enceng Gondok (Eichhornia crassipes),” Laporan Penelitian, Program Dosen Pemula Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo, 2012, hal.13.

[25] Leni Narwati Wiji Astuti, “Gambaran Pengolahan Limbah Cair di PT Smart TBK Marunda Bekasi Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014,” Laporan Tugas Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2015, hal 4 - 30.

[26] Fenglian Fu, Qi Wang, “Removal of Heavy Metal Ions from Wastewaters: A Review,” Journal of Environmental Management, 92 (Desember 2010), hal. 407 - 414.

[27] Shivaji Sircar, Adsorption, (CRC Press LLC, 2005), hal 1.

[28] Hasrianti, “Adsorpsi Ion Cd2+ dan Cr6+ pada Limbah Cair Menggunakan Kulit Singkong,” Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012, hal. 25. [29] Yuliusman, Widodo Wahyu Purwanto, Yulianto Sulistyo Nugroho, “Pemilihan Adsorben Untuk Penjerapan Karbon Monoksida Menggunakan Model Adsorpsi Isotermis Langmuir,” Reaktor, 14(3) 2013 : hal 225 - 226.


(17)

[30] Siti Tias Miranti, “Pembuatan Karbon Aktif dari Bambu dengan Metode Aktivasi Terkontrol Menggunakan Activating Agent H3PO4 dan KOH,” Skripsi,

Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia, Depok, 2012, hal 5 - 26.

[31] Itodo A. U., Abdulrahman F. W., Hassan L. G., Maigandi S.A., Itodo H.U., “Application of Methylene Blue and Iodine Adsorption in the Measurement of Specific Surface Area by Four Acid and Salt Treated Activated Carbons,” New York Science Journal, 3(5) 2010 : hal. 25 - 26.

[32] Agus Mangiring Siburian, Agnes Sartika Doharma Pardede, Setiaty Pandia, “Pemanfaatan Adsorben dari Biji Asam Jawa untuk Menurunkan Bilangan Peroksida pada CPO (Crude Palm Oil),” Jurnal Teknik Kimia USU, 3(4) 2014 : hal. 12 - 14. [33] Rusvirman Muchtar. Drs, Msc, Hernandi Suyono, Ssi., Msi., Dasli Noerdin, Drs, MSc., Silviea Nur Astari, “Penelitian Pendahuluan Pemanfaatan Limbah Pedagang Air Kelapa Muda di Bandung,” Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, 2010.

[34] ASTM, “Standard Test Method for Determination of Iodine Number of Activated Carbon,” American Society for Testing and Material, Philadelphia, 1999. [35] Nailul Fauziah, “Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung dari Kulit Acacia Mangium Wild dengan Aktivasi Fisika dan Aplikasinya Sebagai Adsorben,” Skripsi, Program Sarjana Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2009, hal. 6 -10.

[36] SNI, “Arang Aktif Teknis,” Dewan Standardisasi Nasional, 1995.

[37] Siti Jamilatun, Martomo Setyawan, “Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa dan Aplikasinya untuk Penjernihan Asap Cair,” Spektrum Industri, 12(1) 2014 : hal. 78 - 79.

[38] Amalia Aisha Noer, Awitdrus, Usman Malik, “Pembuatan Karbon Aktif dari Pelepah Kelapa Sawit Menggunakan Aktivator H2O Sebagai Adsorben,” JOM

FMIPA, 1(2) 2014 : hal. 42 - 46.

[39] Hayan Mao, Dingguo Zhou, Zaher Hashisho, Sunguo Wang, Heng Chen, Haiyan (Helena) Wang, “Preparation of Pinewood and Wheat Straw-Based Activated Carbon Via A Microwave-Assisted Potassium Hydroxide Treatment and An Analysis of The Effects of The Microwave Activation Conditions,” Bioresources, 10(1) 2015 : hal 809 - 817.


(18)

[40] Allwar, Ahmad Bin Md Noor, Mohd Asri Bin Mohd Nawi, “Textural Characteristics of Activated Carbons Prepared from Oil Palm Shells Activated with ZnCl2 and Pyrolysis Under Nitrogen and Carbon Dioxide,” Journal of Physical

Science, 19(2) 2008 : hal. 93 - 100.

[41] Suqin Li, Liingling Zhang, Baiyi Pan, Guohong Xiong, Daqiang Cang, “Study on Preparation and Charaterization of The Adsorbents With Sewage Sludge,”

Srcosmos, 2010, hal. 1 - 3.

[42] Sarifah Fauziah Syed Draman, Norzila Mohd, Nor Hafiza Izzati Wahab, Nurul Syahirah Zulkfli, Nor Fatin Adila Abu Bakar, “Adsorption of Lead (II) Ions In Aqueous Solution Using Selected Agro-Waste,” ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences, 10(1) 2015, hal. 297 - 299.

[43] Jamal A. Abudaia, Muhamed O. Sulyman, Khalad Y. Elazaby, Salah M. Ben-Ali, “Adsorption of Pb (II) dan Cu (II) from Aqueous Solution onto Activated Carbon Prepared from Dates Stones,” International Journal of Environmental Science and Development, 4(2) 2013, hal. 191 - 194.

[44] Menteri Lingkungan Hidup, “Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah,” Kementrian Lingkungan Hidup, 2014.

[45] Bindra Shrestha, Jagjit Kour, Puspa Lal Homagai, Megh Raj Pokhrel, Kedar Nath Ghimire, “Surface Modification of The Biowaste for Purification of Wastewater Contaminated with Toxic Heavy Metals-Lead and Cadmium,” Advances in Chemical Engineering and Science, III 2013, hal. 178 - 180.

[46] Barbara Stuart, Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications (John Wiley & Sons Ltd,1999), hal. 71 - 86.

[47] John Coates, Interpretation of Infrared Spectra, A Practical Approach (John Wiley & Sons Ltd, 2000), hal. 1 - 15.

[48] Roozbeh Hoseinzadeh Hesas, Arash Arami-Niya, Wan Mohd Ashri Wan Daud, J.N. Sahu, “Preparation and Characterization of Activated Carbon from Apple Waste by Microwave-Assisted Phosporic Acid Activation: Application in Methylene Blue Adsorption,” Bioresources, 8(2) 2013, hal. 2950 - 2966.


(19)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 5 bulan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN 3.2.1 Bahan

Pada penelitian ini bahan-bahan yang digunakan antara lain :

1. Limbah Cair dari salah satu Industri Pelapisan Logam di sekitar Kawasan Industri Medan (KIM)

2. Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) yang dikumpulkan dari pajak Simpang Limun

3. Aquadest (H2O)

5. Asam Nitrat (HNO3) 4N

6. Asam Klorida (HCl)

7. Natrium Hidroksida (NaOH) 8. Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N

9. Iodin (I2) 0,1 N

10. Indikator Amilum 1% 3.2.2 Peralatan

Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain: 1. Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)

2. Spektrofotometer FTIR 3. Corong gelas

4. Termometer

5. Hot plate dan magnetic stirrer


(20)

7. Beaker glass

8. Tabung reaksi 9. Erlenmeyer 10. Oven

11. Alat-alat titrasi 12. Gelas ukur

13. Ayakan 100 mesh 14. Lumpang dan alu 15. Ball mill

16. Stopwatch

17. Timbangan digital 18. Batang pengaduk 19. Penjepit tabung 20. pH meter 21. Desikator

3.3 PROSEDUR PERCOBAAN 3.3.1 Pembuatan Adsorben

1. Kulit Jengkol dicuci dengan air lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari.

2. Kulit Jengkol dihaluskan hingga berbentuk serbuk berukuran 100 mesh.

3. Kulit Jengkol diaktifkan dengan larutan asam nitrat (HNO3) 4 N dengan rasio

kulit jengkol : asam nitrat adalah 20:0,5 mg/mL dan dipanaskan selama 60 menit pada suhu 70 oC, lalu didinginkan.

4. Setelah dingin, dilanjutkan dengan pencucian beberapa kali menggunakan

aquadest untuk menghilangkan pengotor terlarut.

5. Kulit jengkol dimasukkan ke dalam oven selama 60 menit pada suhu 100 oC. 6. Prosedur diulangi untuk suhu aktivasi 80 dan 90 oC, waktu aktivasi 90 dan 120

menit, suhu pengeringan 110 dan 120 oC, waktu pengeringan 90 dan 120 menit dan rasio kulit jengkol : asam nitrat 20:1 dan 20:2 (mg/mL)


(21)

3.3.2 Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben

1. Timbang 1 gram adsorben dan keringkan pada suhu 115 oC selama 1 jam [33]. 2. Lakukan pendinginan dalam desikator.

3. Selanjutnya tambahkan 50 ml larutan iod 0,1 N dan diaduk dengan magnetic stirer selama 15 menit.

4. Saring dan diambil sebanyak 10 ml filtrat. Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1

N sampai warna kuning berkurang.

5. Selanjutnya tambahkan beberapa tetes indikator amilum 1% dan dititrasi kembali sampai larutan tidak berwarna

6. Catat volume Na2S2O3 0,1 N yang terpakai. Titrasi juga dilakukan untuk

larutan blanko. Bilangan iodin dihitung dengan menggunakan persamaan: Bilangan Iodin mg

g = 10-VxN1

N2

W2 x W1xFp [34]

Dimana,

V = volume natrium tiosulfat yang diperlukan (ml) N1 = normalitas natrium tiosulfat (N)

N2 = normalitas iodin (0,1 N)

W1 = jumlah iodin untuk setiap 1 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N

(12,69 mg/ml) W2 = massa sampel (g)

Fp = faktor pengenceran (5) (34)

3.3.3 Analisa Karakteristik Gugus Fungsi dengan Spektrofotometri FTIR 1. Siapkan sampel yang akan diuji.

2. Lakukan pengukuran dengan alat FTIR dan amati grafik yang terbentuk.

3. Simpan data yang dihasilkan dan lakukan pembahasan terhadap puncak-puncak yang terbentuk


(22)

3.3.4 Prosedur Adsorpsi Batch

1. Diukur 50 ml sampel limbah cair pelapisan logam dan dimasukkan ke dalam beaker glass.

2. Diatur pH sebesar 5 dengan penambahan larutan 0,1 M HNO3 atau 0,1 M

NaOH. Karena proses adsorpsi Pb (II) optimum pada pH 5.

3. Ditambahkan adsorben kulit jengkol berukuran 100 mesh dengan massa 0,5 g. 4. Campuran diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 30 rpm

dan dipertahankan selama 30 menit.

5. Campuran disaring dengan corong gelas dan kertas saring Whatman No.1. 6. Ulangi percobaan untuk variasi massa kulit jengkol 1 dan 1,5 g. Rangkaian alat

proses adsorpsi dapat dilihat pada Gambar L3.1 (Lampiran 3). 3.3.5 Prosedur Analisa Konsentrasi Ion Logam Pb (II)

Untuk menentukan dan melihat konsentrasi Pb (II) pada limbah cair, maka setiap sampel yang diuji, dianalisa menggunakan Atomic Adsorption Spectrofotometri (AAS). Perbedaan konsentrasi logam Pb (II) mula-mula atau sebelum dan sesudah perlakuan merupakan jumlah ion logam Pb (II) yang terserap adsorben. Pengujian dilakukan dengan mengukur nilai serapannya pada panjang gelombang 283,3 nm. Kemudian dari data tersebut, akan dicari kapasitas adsorpsi ion logam Pb (II) dengan persamaan :

qe = (Co - Ce)V

W [10]

Dimana,

qe = Kapasitas adsorpsi (mg/g)

Co = Konsentrasi awal Pb (II) (mg/L)

Ce = Konsentrasi akhir Pb (II) (mg/L)

V = Volume sampel yang digunakan (L) W = Berat adsorben yang digunakan (g)


(23)

3.4 FLOWCHART PENELITIAN 3.4.1 Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol

Alur proses pembuatan adsorben kulit Jengkol dapat digambarkan melalui

flowchart pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Flowchart Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol Mulai

Kulit jengkol dihaluskan hingga berukuran 100 mesh

Dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama 7 hari

Didinginkan pada suhu ruangan Dicuci dengan aquadest

Selesai

Diaktifkan dengan larutan asam nitrat (HNO3) 4 N

rasio 20:0,5 mg/mL

Dipanaskan selama 60 menit pada suhu 70 oC

Dipanaskan di dalam oven selama 60 menit pada suhu 100 oC

Ulangi percobaan untuk suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan, waktu pengeringan dan rasio kulit jengkol : asam nitrat yang berbeda


(24)

Ya 3.4.2 Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben

Alur proses analisa bilangan iodin adsorben dapat digambarkan melalui

flowchart pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Flowchart Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben Mulai

Keirngkan 1 gram adsorben pada suhu 115 oC selama 1 jam

Didinginkan di dalam desikator Tambahkan 50 ml larutan iod 0,1 N dan aduk

dengan magnetic stirer selama 15 menit Saring dan ambil sebanyak 10 ml filtrat Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N

Tidak Apakah warna kuning

pada larutan berkurang?

Tambahkan beberapa tetes indikator amilum 1% Ya

Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N

Tidak Apakah larutan menjadi

tidak berwarna?

Catat volume Na2S2O3 0,1 N yang terpakai dan titrasi blanko


(25)

3.4.3 Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Adsorben

Alur proses analisa karakteristik gugus fungsi pada adsorben dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Flowchart Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Adsorben

3.4.4 Proses Adsorpsi Batch

Alur proses adsorpsi dapat digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.4. Mulai

Diukur 50 ml limbah cair dan masukkan ke dalam beaker glass

Diatur pH sebesar 5 dengan penambahan larutan 0,1 M HNO3 atau 0,1 M NaOH.

Ditambahkan adsorben kulit jengkol berukuran 100 mesh dengan masssa 0,5 g

Diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 30 rpm selama 30 menit

Disiapkan sampel adsorben kulit jengkol yang akan diuji

Lakukan pengukuran dengan alat FTIR dan amati grafik yang terbentuk

Selesai Mulai


(26)

Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Adsorpsi Batch Disaring dengan corong gelas dan kertas saring Whatman

No.1

Ulangi percobaan untuk variasi dosis yang lain

Selesai A


(27)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 BILANGAN IODIN ADSORBEN KULIT JENGKOL

Pada penelitian ini, adsorben dari bahan baku kulit jengkol diaktivasi secara kimia dengan aktivator asam nitrat (HNO3) 4 N dan dioptimasi dengan

memvariasikan suhu aktivasi 70, 80 dan 90 oC, waktu aktivasi 60, 90 dan 120 menit, suhu pengeringan 100, 110 dan 120 oC dan waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit. Setelah diperoleh hasil yang optimum dari variasi tersebut, adsorben dioptimasi lagi menggunakan variasi rasio adsorben : asam nitrat sebesar 20:0,5; 20:1 dan 20:2 (mg/ml). Sebelum dan setelah diaktivasi, dilakukan analisa bilangan iodin terhadap adsorben (mg I2/g adsorben). Sebelum aktivasi, bilangan iodin

adsorben kulit jengkol adalah 374,36 mg/g. Nilai ini sedikit lebih rendah daripada bilangan iodin adsorben biji asam jawa yaitu sebesar 379,81 mg/g [32]. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena perbedaan jumlah pengotor pada adsorben yang dihasilkan sebelum aktivasi dilakukan. Berdasarkan data Standar NasionaI Indonesia (1995), standar kualitas karbon aktif untuk daya serap terhadap iodin yaitu minimal 750 mg/g [36]. Dalam hal ini adsorben kulit jengkol tidak memenuhi standar karbon aktif berdasarkan SNI karena bilangan iodin yang diperoleh secara keseluruhan masih dibawah 750 mg/g.

4.1.1 Pengaruh Suhu Aktivasi (oC), Waktu Aktivasi (menit), Suhu Pengeringan (oC) dan Waktu Pengeringan (menit) terhadap Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol

Pada penelitian ini dapat dilihat kapasitas adsorpsi adsorben yang paling baik dari berbagai variasi suhu aktivasi (70, 80 dan 90oC), waktu aktivasi (60, 90 dan 120 menit), suhu pengeringan (100, 110 dan 120oC) dan Waktu Pengeringan (60, 90 dan 120 menit) yang dinyatakan sebagai bilangan iodin (mg/g), yaitu jumlah mg iodin yang dapat diserap oleh setiap 1 gram adsorben, sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.1 sampai dengan 4.9. Untuk nilai bilangan iodin untuk setiap grafik dapat dilihat pada Tabel L1.1 (Lampiran 1).


(28)

Gambar 4.1 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 60 menit

Gambar 4.2 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 90 menit


(29)

Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

Dari Gambar 4.1, 4.2 dan 4.3 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 100oC untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit.

Pada Gambar 4.1 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 90 menit bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi dari 70oC ke 80oC namun setelah itu mengalami penurunan pada suhu 90oC. Namun pada waktu aktivasi 120 menit, bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.2, bilangan iodin mengalami variasi peningkatan dan penurunan yang tidak beraturan pada ketiga grafik dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.3 bilangan iodin menunjukkan variasi peningkatan dan penurunan juga namun pada waktu aktivasi 120 menit, bilangan iodin terus meningkat dimana sebelumnya ditunjukkan juga pada Gambar 4.1 pada waktu aktivasi yang sama.

Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Adanya kesesuaian teori secara berulang yang hanya terdapat pada waktu 120 menit yaitu pada Gambar 4.1 dan 4.3 menunjukkan bahwa waktu aktivasi 120 menit merupakan waktu yang


(30)

optimum dalam aktivasi adsorben kulit jengkol selama 90 menit dengan bilangan iodin tertinggi pada Gambar 4.3 sebesar 519,14 mg/g.

Pada Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dilihat bilangan iodin yang dihasilkan secara keseluruhan lebih rendah daripada Gambar 4.3. Hal ini menunjukkan dari ketiga grafik, suhu pengeringan optimum pada suhu 100 oC dengan waktu pengeringan optimum pada waktu 120 menit.

Gambar 4.4 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 60 menit


(31)

Gambar 4.5 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 90 menit

Gambar 4.6 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

Dari Gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin


(32)

adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 110oC untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit.

Pada Gambar 4.4 yaitu pada waktu aktivasi 90 dan 120 menit bilangan iodin menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi dari 70oC ke 80oC namun setelah itu mengalami peningkatan pada suhu 90oC. Namun pada waktu aktivasi 60 menit, bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.5 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 120 menit bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi. Namun pada waktu aktivasi 90 menit, bilangan iodin menurun dengan peningkatan suhu dari 70 sampe 80oC kemudian naik pada suhu 90oC. Pada Gambar 4.6 bilangan iodin terus meningkat dengan meningkatnya suhu untuk setiap variasi waktu aktivasi.

Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Pada Gambar 4.4 dan 4.5 terdapat kesesuaian teori pada waktu aktivasi 60 menit untuk masing-masing grafik. Namun Gambar 4.6 menunjukkan kesesuaian teori pada ketiga grafik, yaitu meningkatnya bilangan iodin dengan meningkatnya suhu aktivasi. Hal ini menunjukkan bahwa suhu pengeringan 110 dan waktu pengeringan 120 menit merupakan suhu dan waktu yang optimum dengan bilangan iodin 634,50 mg/g untuk suhu aktivasi 110 menit dan waktu aktivasi 120 menit.


(33)

Gambar 4.8 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120oC dan Waktu Pengeringan 90 menit

Gambar 4.9 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

Dari Gambar 4.7, 4.8 dan 4.9 diatas dapat dilihat pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan dan waktu pengeringan terhadap bilangan iodin


(34)

adsorben kulit jengkol pada suhu pengeringan 120oC untuk waktu pengeringan 60, 90 dan 120 menit.

Pada Gambar 4.7 pada tiap waktu aktivasi bilangan iodin mengalami variasi kenaikan dan penurunan dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.8 yaitu pada waktu aktivasi 60 dan 120 menit bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi dari suhu 70 ke 80oC kemudian turun pada suhu 90oC. Namun pada waktu aktivasi 90 menit, bilangan iodin terus menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Pada Gambar 4.9 bilangan iodin meningkat dengan meningkatnya suhu untuk waktu aktivasi 90 dan 120 menit. Namun pada waktu 60 menit bilangan iodin menurun kemudian naik lagi dengan meningkatnya suhu aktivasi.

Menurut teori, peningkatan suhu memperluas permukaan adsorben yang ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Pada Gambar 4.9 adanya kesesuaian teori pada grafik yaitu pada waktu 90 dan 120 menit. Hal ini menunjukkan bahwa dari ketiga grafik suhu pengeringan 120oC dan waktu pengeringan 120 menit yang paling dengan bilangan iodin tertinggi 589,18 pada suhu aktivasi 90oC dan waktu 120 menit.

Dari keseluruhan grafik, bilangan iodin cenderung meningkat seiring bertambahnya suhu aktivasi, suhu pengeringan, suhu pengeringan dan waktu pengeringan. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu dan waktu maka daya serap adsorben juga semakin meningkat. Namun pada grafik tertentu bilangan iodin mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu serta waktu pada kedua proses. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan. Pertama, kadar air sulit dikontrol sebelum dilakukan penyerapan senyawa iodin. Kedua, ketidak merataan adsorben dalam wadah saat proses aktivasi dilakukan sehingga asam nitrat tidak efektif dalam memodifikasi adsorben kulit jengkol. Bilangan iodin yang optimum diperoleh pada suhu aktivasi 90 oC, waktu aktivasi 120 menit, suhu pengeringan 110oC dan waktu pengeringan 120 menit sebesar 634,50 mg/g.

Secara teori semakin meningkatnya suhu, pengotor-pengotor yang mulanya terdapat pada bagian pori dan menutup pori ikut terlepas sehingga memperluas permukaan adsorben. Hal ini juga mengakibatkan banyak komponen seperti air


(35)

yang terjadi ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin [37]. Waktu aktivasi yang semakin lama dapat meningkatkan bilangan iodin suatu adsorben yang dapat ditandai dengan meningkatnya kandungan karbon dalam adsorben tersebut [38]. Meningkatnya waktu pengeringan dapat menyebabkan terbukanya mesopori dan mikropori yang meningkatkan ukutan pori adsorben [39]. Namun pada pemanasan yang berlebihan dapat terjadi pengurangan mesopori dan mikropori pada adsorben tersebut [32] serta menyebabkan kerusakan struktur dan dinding pori yang dapat menghambat pertumbuhan pori [40].

Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi yang paling baik untuk menghasilkan adsorben dari kulit jengkol dengan bilangan iodin yang paling optimum pada suhu aktivasi 90 oC, waktu aktivasi 120 menit, suhu pengeringan 110oC dan waktu pengeringan 120 menit adalah 634,50 mg/g.

4.1.2 Pengaruh Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat terhadap Bilangan Iodin Adsorben

Pada penelitian ini dapat dilihat kapasitas adsorpsi adsorben yang paling baik dari berbagai variasi rasio kulit jengkol : asam nitrat tertentu yang dinyatakan sebagai bilangan iodin (mg/g), yaitu jumlah mg iodin yang dapat diserap oleh setiap 1 gram adsorben, sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Pengaruh Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat terhadap Bilangan Iodin Adsorben


(36)

Dari grafik pada Gambar 4.10 di atas dapat dilihat bahwa bilangan iodin cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya rasio kulit jengkol : asam nitrat. Bilangan iodin paling besar diperoleh pada rasio 20:2.

Pada rasio 20:0,5 ; 20:1 dan 20:2 (mg/ml), bilangan iodin terus meningkat. Bilangan iodin meningkat dari rasio 20:0,5 ke 20:1. Namun pada rasio 20:2, peningkatan yang ada tidak terlalu besar, sehingga dapat dianggap bahwa rasio 20:1 merupakan rasio kulit jengkol : asam nitrat yang paling optimum dalam menyerap senyawa iodin. Hal ini disebabkan oleh jumlah aktivator yang digunakan pada rasio 20:1 sudah cukup untuk memodifikasi adsorben dari kulit jengkol yang digunakan.

Secara teori, semakin meningkatnya rasio kulit jengkol : aktivator yang digunakan maka daya serap adsorben akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya dehidrasi kimia serta kondensasi yang semakin kuat sehingga menghasilkan struktur pori yang besar [41].

Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi rasio kulit jengkol : asam nitrat yang paling optimum dalam menyerap senyawa iodin yaitu sebesar 20:1 dengan bilangan iodin 634,50 mg/g.

Berdasarkan data Standar NasionaI Indonesia (1995), standar kualitas karbon aktif untuk daya serap terhadap iodin yaitu minimal 750 mg/g [36]. Dalam hal ini adsorben kulit jengkol belum memenuhi standar karbon aktif berdasarkan SNI karena bilangan iodin yang optimum yaitu sebesar 634,50 mg/g masih dibawah standar karbon aktif SNI. Hal ini dapat disebabkan karena aktivasi tidak dilakukan dengan cara karbonisasi.

4.2 ADSORPSI LOGAM Pb (II) PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

Limbah cair yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair yang berasal dari salah satu industri pelapisan logam di sekitar Kawasan Industri Medan (KIM). Kandungan logam Pb (II) awal dalam limbah cair sebelum dilakukan proses adsorpsi dengan adsorben adalah sebesar 19,12 ppm.


(37)

4.2.1 Pengaruh Massa Adsorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Logam Pb (II).

Pada penelitian ini dapat dilihat kemampuan adsorpsi adsorben yang paling baik dari variasi massa adsorben tertentu yang dinyatakan sebagai kapasitas adsorpsi (mg/g), sebagaimana digambarkan melalui grafik pada Gambar 4.11. Konsentrasi logam Pb (II) dalam limbah cair sebesar 19,12 ppm dengan adsorbansi 0,096.

Gambar 4.11 Pengaruh Massa Adsorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Adsorben Dari grafik pada Gambar 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi semakin menurun seiring dengan semakin banyaknya massa adsorben. Kapasitas adsorpsi yang paling besar diperoleh pada massa adsorben 0,5 gram yaitu sebesar 0,92 mg/g dengan adsorbansi 0,0123.

Pada massa adsorben 0,5; 1 dan 1,5 gram, kapasitas adsorpsi terus menurun. Pada massa adsorben 0,5 g konsentrasi Pb (II) berkurang menjadi 9,91 ppm dengan kapasitas adsorpsi 0,92 mg/g. Pada massa adsorben 1 g dengan konsentrasi Pb (II) 5,89 ppm diperoleh kapasitas adsorpsi 0,66 mg/g. Pada massa adsorben 1,5 g dengan konsentrasi 6.14 ppm diperoleh kapasitas adsorpsi 0,43mg/g. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, pada massa lebih dari 0,5 g adsorben membentuk gumpalan-gumpalan yang menyebabkan berkurangnya luas permukaan adsorben [12] dan perpindahan massa yang terjadi saat proses adsorpsi berlangsung menjadi kurang baik. Kedua, penggunaan stirrer yang bersifat magnet menyebabkan berkumpulnya


(38)

logam-logam pada sekitar permukaan stirrer tersebut sehingga adsorpsi menjadi kurang efisien. Ketiga, pola pengontakan yang kurang sesuai yaitu penuangan adsorben dengan cepat sehingga proses difusi menjadi kurang maksimal.

Secara teori, semakin meningkatnya massa adsorben yang digunakan maka kapasitas adsorpsi juga akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan situs atau luas permukaan adsorpsi meningkat bersamaan dengan berat dari adsorben, sehingga memberikan hasil kapasitas adsorpsi yang lebih besar pada massa adsorben yang lebih besar [42]. Kapasitas adsorpsi dapat berkurang dengan meningkatnya massa adsorben dapat disebabkan oleh terbentuknya gumpalan yang menyebabkan menurunnya luas permukaan keseluruhan [43]. Adsorpsi fisika melibatkan gaya antar molekul (gaya Van der Waals atau ikatan hidrogen). Ikatan yang terbentuk dari proses adsorpsi fisika sangat lemah dan energi yang dilepaskan relatif rendah sekitar 20 kJ/mol, karena itu adsorpsi fisika bersifat

reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali [32].

Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa massa yang paling optimum dalam menjerap logam Pb (II) yaitu sebesar 0,5 yang dinyatakan dengan kapasitas adsorpsi sebesar 0,92 mg/g. Rendahnya kapasitas penyerapan logam Pb pada adsorben dapat terjadi karena adanya logam-logam lain seperti krom (Cr), tembaga (Cu), seng (Zn), nikel (Ni) dan kadmium (Cd) dalam limbah cair industri pelapisan logam sehingga terjadi kompetisi di dalam proses adsorpsi logam berat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, kandungan Pb (II) yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan untuk limbah cair industri pelapisan logam adalah sebesar 0,1 ppm [44]. Namun konsentrasi Pb (II) yang paling rendah dalam limbah cair pada penelitian ini adalah sebesar 5,89 ppm. Kadar tersebut masih jauh dengan baku mutu lingkungan hidup. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan. Pertama, limbah cair yang digunakan berasal dari inlet

buangan yang memiliki konsentrasi ion Pb (II) yang masih tinggi. Kedua proses adsorpsi merupakan pengolahan tingkat ke-3, dimana ada 2 proses pengolahan limbah yang dilakukan di industri pelapisan logam terlewati.


(39)

4.3 KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI PADA ADSORBEN KULIT JENGKOL DENGAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR

Pada penelitian ini, adsorben sebelum diaktivasi, adsorben dengan bilangan iodin yang paling besar setelah diaktivasi dan adsorben yang telah digunakan untuk mengadsorpsi logam berat Pb (II) kemudian dikarakterisasi gugus-gugus fungsinya menggunakan spektrofotometri FTIR. Setiap ikatan kimia yang spesifik menunjukkan pita absorpsi energi yang unik dalam analisa FTIR dan hal ini berguna untuk mengidentifikasi adanya gugus-gugus fungsional dari adsorbent [45]. Gugus-gugus fungsional yang terbentuk disimpulkan dengan membandingkannya dengan literatur yaitu tabel karakteristik pita IR berbagai senyawa [46] dan tabel frekuensi berbagai gugus-gugus fungsi [47]. Adapun hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12, 4.13 dan 4.14 berikut.

Gambar 4.12 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sebelum Aktivasi

547,78 cm-1 : gugus S-S (senyawa sulfur) 1612,49 cm-1 : gugus C=C (alkena) 1045,42 cm-1 : gugus C-H (alkena aromatik) 2349,30 cm-1 : gugus CO2

1219,01 cm-1 : gugus P-O (senyawa fosfor) (karbondioksida) 1338,60 cm-1 : gugus C-H (alkana) 2939,52 cm-1 : gugus C-H (alkana) 1519,91 cm-1 : gugus NO2 (senyawa nitro) 3394,72 cm

-1


(40)

Gambar 4.13 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Aktivasi

Gambar 4.14 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Adsorpsi

470,63 cm-1 : gugus S-S (senyawa sulfur) 1635,64 cm-1 : gugus C=C (alkena) 995,27 cm-1 : gugus P-O-C (senyawa fosfat) 1728,22 cm-1 : gugus C=O (aldehid) 1072,42 cm-1 : gugus C-O (alkohol) 2924,09 cm-1 : gugus C-H (alkana) 1323,17 cm-1 : gugus C-H (alkana) 3421,72 cm-1 : gugus O-H (alkohol) 1377,17 cm-1 : gugus S=O (sulfonil)

462,92 cm-1 : gugus S-S (senyawa sulfur) 1635,64 cm-1 : gugus C=C (alkena) 991,41 cm-1 : gugus P-O-C (senyawa fosfat) 1728,22 cm-1 : gugus C=O (aldehid) 1068,56 cm-1 : gugus C-O (alkohol) 2924,09 cm-1 : gugus C-H (alkana) 1323,17 cm-1 : gugus C-H (alkana) 3410,15 cm-1 : gugus O-H (alkohol) 1373,32 cm-1 : gugus S=O (sulfonil)


(41)

Dari Gambar 4.12, 4.13 dan 4.14 di atas dapat dibandingkan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada adsorben sebelum dan sesudah aktivasi serta sesudah adsorpsi. Dari grafik pada Gambar 4.12, yaitu adsorben sebelum aktivasi terlihat gugus fungsional hidroksil termasuk ikatan hidrogen [regangan O-H (3700-3200 cm-1)], yang semakin tidak tampak pada Gambar 4.13 dan 4.14 yaitu adsorben sesudah aktivasi dan sesudah adsorpsi. Reduksi dari ikatan hidrogen ini menunjukkan asam nitrat sebagai agen pengdehidrasi, bereaksi dengan bahan baku setelah kedua substansi tercampur. Pergeseran pita pada 2939,52 sebelum diaktivasi menjadi 2924,09 cm-1 yang merupakan regangan C-H juga menunjukkan adanya pelepasan sejumlah hidrogen secara signifikan. Pada adsorben sebelum diaktivasi terdapat regangan pada 1045,42 cm-1 yang merupakan regangan alkena aromatik C-H. Pita ini tidak terdapat pada adsorben sesudah aktivasi, sehingga dapat disimpulkan aktivasi kimia melepaskan banyak ikatan pada senyawa aromatik dan mengeliminasi banyak substrat-substrat ringan dan volatil [48].

Pada Gambar 4.12, yaitu adsorben sebelum aktivasi juga terlihat regangan pada 2349,30 cm-1 yang menunjukkan regangan CO2 yang tidak tampak pada

adsorben sesudah aktivasi pada Gambar 4.13. Adanya regangan pada 1612,49 cm

-1

yang merupakan rengangan C=C (ikatan alkena) bergeser menjadi 1635,64 cm-1 dan berkurang ketajamannya pada adsorben yang diaktivasi. Adanya regangan pada 1519,91 (regangan NO2) pada adsorben sebelum aktivasi yang menunjukkan

senyawa nitro tidak tampak lagi pada adsorben setelah aktivasi. Pelepasan gugus CO2 menunjukkan aktivasi kimia melepas sejumlah oksigen yang terperangkap dalam adsorben. Pembentukan gugus sulfonil pada adsorben yang terjadi akibat pergeseran pita pada 547,78 cm-1 (pada Gambar 4.12) menjadi 470,63 cm-1 (Gambar 4.13) yaitu regangan S-S (senyawa sulfur) yang menunjukkan terjadinya pengikatan oksigen oleh sulfur setelah aktivasi memperlihatkan kemungkinan peningkatan daya adsorpsi oleh adsorben karena gugus sulfonil terlibat pada proses adsorpsi di penjelasan selanjutnya.

Dari grafik pada Gambar 4.13 dan 4.14 dapat dilihat perbedaan antara adsorben sebelum dan sesudah adsorpsi tidak mengubah struktur kerangka dari adsorben kulit jengkol. Namun terjadi pergeseran pita yaitu dari 3421,72 menjadi


(42)

3410,15 cm-1 menunjukkan adanya pengikatan logam timbal pada gugus hidroksil. Juga terjadi pergeseran pita pada 1377,17 menjadi 1373,32 cm-1 yaitu regangan gugus sulfonil S=O yang juga semakin berkurang ketajamannya pada adsorben setelah adsorpsi. Hal ini menunjukkan gugus sulfonil terlibat dalam proses adsorpsi logam seperti yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya [15]. Perubahan yang lain juga dapat dilihat yaitu dari 995,27 menjadi 991,41 cm-1 untuk regangan senyawa fosfat P-O-C serta dari 470,63 menjadi 462,92 cm-1 untuk regangan senyawa merkaptan S-S, yang menunjukkan bahwa senyawa tersebut juga terlibat selama proses adsorpsi logam timbal. Pergeseran pita yang ditunjukkan oleh spektrum FTIR ini menunjukkan bahwa gugus hidroksil, sulfonil, fosfor dan merkaptan terlibat selama proses adsorpsi logam timbal.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Bilangan iodin adsorben yang paling besar adalah 634,50 mg/g yang diperoleh pada aktivasi dengan suhu 90 oC dan waktu 120 menit dan pada pengeringan dengan suhu 110 oC dan waktu 120 menit serta rasio bahan baku : asam nitrat 20:1 mg/mL.

2. Adsorpsi terbaik terhadap ion logam Pb (II) diperoleh pada massa adsorben 0,5 g dengan kapasitas penyerapan sebesar 0,92 mg/g.

3. Dari hasil spektofotometri FTIR adsorben dapat disimpulkan bahwa aktivasi kimia pada adsorben dapat mereduksi ikatan hidrogen, melepas senyawa aromatik dan mengeliminasi berbagai substrat yang ringan dan volatil serta pada prosesnya, adsorpsi logam Pb (II) melibatkan gugus hidroksil, sulfonil, fosfor dan merkaptan.

4. Pada proses adsorpsi, konsentrasi ion Pb (II) yang paling rendah adalah 5,89 ppm belum memenuhi baku mutu lingkungan hidup yaitu sebesar 0,1 ppm. 5.2 SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya, yaitu: 1. Dilakukan uji perbandingan dengan adsorben dengan variasi tetap dan

berubah yang sama, namun diaktivasi dengan cara karbonisasi untuk mengetahui perbedaan bilangan iodin yang dihasilkan.

2. Dilakukan analisa SEM dan BET pada adsorben untuk melihat topografi dan komposisi permukaan adsorben kulit jengkol.

3. Karena limbah cair elektroplating mengandung berbagai ion logam berat maka perlu diamati kompetisi adsorpsi beberapa logam berat menggunakan adsorben kulit jengkol.

4. Suhu aktivasi, waktu aktivasi dan waktu pengeringan perlu ditingkatkan untuk memperoleh bilangan iodin sesuai standar karbon aktif SNI.


(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 JENGKOL

Tumbuhan jengkol atau lebih dikenal dengan tumbuhan Jering adalah termasuk dalam famili Fabaceae (suku biji-bijian). Tumbuhan ini memiliki nama latin

Pithecellobium lobatum Benth. dengan nama sinonimnya yaitu A.Jiringa,

Pithecellobium jiringa, dan Archindendron pauciflorum. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara [18]. Tumbuhan ini juga banyak ditemukan di Malaysia dan Thailand. Tumbuhan ini merupakan pohon di bagian barat Nusantara, tingginya sampai 26 m, dibudidayakan secara umum oleh penduduk di Jawa dan di beberapa daerah tumbuh menjadi liar. Tumbuh paling baik di daerah dengan musim kemarau yang tidak terlalu panjang [19].

Gambar tanaman jengkol beserta kulit dan bijinya pada bagian dalam dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.

Keterangan : a = Kulit Jengkol

b = Daging Buah Jengkol

Gambar 2.1 Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) [18]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jengkol banyak mengandung zat, antara lain adalah sebagai berikut: protein, kalsium, fosfor, asam jengkolat, vitamin


(45)

A dan B1, karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida [19].

2.2 KULIT JENGKOL

Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa) selama ini tergolong limbah organik yang berserakan di pasar tradisional dan tidak memberikan nilai ekonomis [19].

Selama ini, ekstrak kulit buah jengkol digunakan sebagai larvasida untuk mencegah penyakit demam berdarah dan sebagai herbisida alami untuk pengendalian gulma di sawah tanpa menghambat pertumbuhan padi [20].

Menurut Gusnidar dkk. [13], kandungan hara kulit jengkol dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Hara Kulit Jengkol [13]

Parameter Pengamatan Kadar (%)

Air 65,56

N-total 1,82

P-total 0,32

K-total 2,10

Ca-total 0,27

Mg-total 0,25

C-total 44,02

2.3 LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

Setiap hari, industri, pertanian dan populasi secara umum menggunakan air dan melepas banyak senyawa dalam limbah cairnya. Banyak artikel yang telah menulis tentang adanya senyawa polutan pada limbah cair dan lingkungan perairan. Pengolahan limbah cair sangat penting untuk mengurangi senyawa yang beracun tetapi efisiensinya tidak begitu jelas [21]. Limbah industri yang mengandung logam berat dalam konsentrasi yang tinggi dapat membahayakan kesehatan dan kerusakan lingkungan. Sasaran pengendalian limbah yang mengandung ion logam berat adalah menurunkan kadarnya sampai batas tidak membahayakan kesehatan lingkungan [5].

Logam berat telah dilepas secara besar-besaran ke lingkungan karena peningkatan pertumbuhan industri dan merupakan hal yang diperhatikan oleh dunia.


(46)

Kadmium, seng, tembaga, nikel, timah, merkuri, dan kromium sering ditemukan pada limbah cair industri, dimana berasal dari pelapisan logam, aktivitas pertambangan, produksi cat, pestisida, produksi pigmen, industri percetakan dan fotografi dan sebagainya. Berbagai penelitian mengacu pada pembuatan adsorben yang murah sebagai pengganti metode pengolahan limbah yang memerlukan biaya yang mahal seperti presipitasi, pertukaran ion, elektroflotasi, membran separasi, elektrodialisis, ekstraksi solven dan sebagainya [22].

Meningkatnya kebutuhan akan produk yang menggunakan proses elektroplating menyebabkan perkembangan industri elektroplating yang berada di Indonesia semakin meningkat. Perkembangan industri tersebut memberikan manfaat, namun menimbulkan dampak negatif dari limbah yang dihasilkan. Limbah dari proses elektroplating merupakan limbah logam berat yang termasuk dalam limbah B3 [23].

Pada industri elektroplating terdapat limbah yang berasal dari bahan-bahan kimia yang digunakan dan proses pelapisan. Bahan-bahan kimia yang digunakan beracun sehingga limbah yang dihasilkan berbahaya bagi kesehatan manusia baik yang terlibat langsung dengan kegiatan industri maupun yang di sekitar perusahaan. Limbah cair dari industri pelapisan logam umumnya mengandung krom (Cr), tembaha (Cu), seng (Zn), nikel (Ni), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) karena logam-logam ini digunakan dalam proses produksi [5].

Karakteristik dan tingkat toksisitas dari air limbah elektroplating bervariasi tergantung dari kondisi operasi dan proses pelapisan serta cara pembilasan yang dilakukan. Pembuangan langsung limbah dari proses elektroplating tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat merusak lingkungan. Limbah tersebut dapat mencemari lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya baik dalam bentuk larutan, koloid, maupun bentuk partikel lainnya. Mengingat penting dan besarnya dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan maka diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum limbah dibuang ke lingkungan [23].

2.4 LOGAM TIMBAL (Pb)

Timbal adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu-batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya


(47)

timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik misalnya dalam lipid. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Karena timbal merupakan sebuah unsur maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan [24].

Timbal dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit/CB untuk komputer) dan sebagainya [24].

Timbal akan berikatan dengan eritrosit di dalam tubuh. Timbal akan berdistribusi ke dalam ginjal dan hati serta ke dalam tulang dan sebagian kecil ke dalam gigi. Timbal dapat mempengaruhi pengeluaran zat kapur. Keracunan timbal dapat menyebabkan berbagai gejala seperti kepala pusing, suhu badan menurun, gangguan penglihatan, rambut rontok, muka pucat disertai bibir berwarna abu-abu, sukar tidur, lemah otot dan nyeri [5].

2.5 ADSORPSI

Limbah cair memiliki beberapa tingkatan tertentu dalam proses pengolahannya. Tingkatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Pengolahan Pendahuluan (PreTreatment)

Dilakukan sebelum proses pengolahan yaitu pembersihan-pembersihan limbah cair berupa pengambilang benda-benda terapung maupun benda-benda mengendap seperti pasir.

2) Pengolahan Tingkat Pertama (Primary Treatment)

Pengolahan primer bertujuan untuk menghilangkan bahan padat tersuspensi dengan cara pengendapan atau pengapungan dimana proses sedimentas banyak dilakukan pada pengolahan primer ini.

3) Pengolahan Tingkat Kedua (Secondary Treatment)

Pada pengolahan tingkat kedua dilakukan proses biologis untuk menghilangkan bahan organik di dalam limbah cair melalui oksidasi biochemis. Metode yang sering digunakan pada fase ini adalah lumpur aktif.


(48)

4) Pengolahan Tingkat Ketiga (Tertiary Treatment)

Pada pengolahan tingkat ketiga, kontaminan tertentu dihilangkan agar limbah cair dapat digunakan kembali. Pengolahan ini meliputi penggunaan chlorin untuk menghancurkan mikroorganisme patogen, penggunaan tawas untuk menghilangkan senyawa fosfor, penghilangan sisa bahan organik dan senyawa-senyawa yang menimbulkan warna menggunakan adsorben tertentu serta menghilangkan bahan padat terlarut menggunakan proses membran.

[25]

Pada penelitian ini dilakukan proses adsorpsi menggunakan adsorben kulit jengkol untuk menjerap ion logam Pb (II) yang merupakan pengolahan tingkat ketiga dalam pengolahan limbah cair.

Adsorpsi adalah salah satu dari proses pengolahan fisika kimia yang terbukti efektif dalam mengurangi logam berat dari limbah cair [22]. Adsorpsi merupakan metode yang efektif dan murah untuk mengolah limbah cair yang mengandung logam berat. Proses adsorpsi menawarkan fleksibilitas dalam desain dan operasinya pada berbagai kasus sehingga menghasilkan produk akhir yang memiliki kualitas baik [26].

Adsorpsi adalah fenomena permukaan. Ketika cairan murni (gas atau cair) dikontakkan dengan permukaan padat (adsorben), gaya tarik antar molekul cairan-padat menyebabkan beberapa molekul fluida (adsorbat) menjadi berkumpul pada permukaan. Hal ini menciptakan daerah padat pada molekul cairan yang membentang beberapa diameter molekuler di dekat permukaan (fase terjerap). Untuk campuran multikomponen, komponen tertentu dari campuran (bahan terjerap yang dipilih) berkumpul pada permukaan akibat adanya perbedaan kekuatan tarik cairan-padat diantara komponen-komponen. Fasa terjerap ini memiliki komposisi yang berbeda dari fasa cairan bulk yang menjadi dasar pemisahan dengan teknologi adsorpsi [27].

Mekanisme yang terjadi pada proses adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Molekul-molekul adsorbat berpindah dari fase bagian terbesar larutan ke permukaan interface, yaitu lapisan film yang melapisi permukaan adsorben.


(49)

3. Molekul-molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan luar adsorben menyebar menuju pori-pori adsorben. Fase ini disebut dengan difusi pori.

4. Molekul adsorbat menempel pada permukaan pori-pori adsorben. [28]

Adsorpsi dapat dibedakan menjadi adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi fisika ikatannya relatif lemah, bersifat reversibel dan dapat membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia terjadi karena terbentuk ikatan kovalen atau ion antara adsorbat dengan adsorben. Adsorpsi kimia ikatannya kuat, tidak reversibel dan memberntuk lapisan monolayer [29].

Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi yaitu : 1. Konsentrasi Adsorbat

Pada umumnya adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi adsorbat tetapi tidak berbanding langsung.

2. Sifat Adsorben

Semakin besar permukaan yang kontak dengan adsorbat maka akan semakin besar pula adsorpsi yang terjadi.

3. Temperatur

Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.

4. Waktu kontak dan pengadukan

Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi. Jika fasa cair yang berisi adsorben diam, maka difusi adsorbat akan berlangsung lambat. Karena itu diperlukan pengadukan untuk mempercepat proses adsorpsi. 5. pH larutan

Senyawa yang terdisosiasi lebih mudah diserap daripada senyawa terionisasi. Semakin asam pH maka proses pengionan akan semakin besar dan sebaliknya. Karena kecenderungan ini maka adsorpsi akan berlangsung baik pada pH asam. Akan tetapi tidak demikian karena pada umumnya adsorpsi meningkat pada kisaran pH dimana senyawa organik bermuatan netral dan senyawa ini terdisosiasi.


(50)

2.6 ADSORBEN

Karbon aktif merupakan adsorben yang paling sering digunakan dalam mengurangi kontaminan logam berat. Namun akhir-akhir ini ditemukan karbon aktif masih relatif mahal. Penelitian mengenai adsorben yang murah dan mudah diperoleh menjadi bahan pertimbangan saat ini [26].

Secara umum, ukuran pori adsorben dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu

micropore, mesopore dan macropore.

1. Micropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih kecil dari 2 nm dan ini merupakan area dimana adsorpsi dominan terjadi. Volume pori-pori ini berkisar antara 0,15 - 0,5 ml/g.

2. Mesopore adalah pori-pori dengan ukuran 2 - 50 nm dan merupakan area adsorpsi dominan kedua setelah micropore. Mesopore sering juga disebut

transitionalpore atau area transisi. Volume mesopore berkisar antara 0,02 - 10 ml/g. 3. Macropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih besar dari 50 nm dan berfungsi sebagai pintu masuk adsorbat menuju ke dalam micropore.

[30]

Sifat utama yang membedakan adsorben fasa gas dan cair adalah distribusi dan ukuran pori-porinya. Karbon adsorben gas biasanya memiliki jumlah pori-pori paling banyak pada area micropore sedangkan karbon adsorben fasa cair memiliki jumlah pori-pori terbanyak pada area transisi. Namun pada umumnya, adsorben fasa cair memiliki luas permukaan hampir sama dengan adsorben gas, tapi dengan volume pori-pori yang lebih besar [30].

Adsorben dinyatakan murah apabila terdapat banyak di alam, memerlukan sedikit proses dan merupakan produk samping pada limbah industri. Limbah tanaman merupakan bahan yang ekonomis untuk dijadikan adsorben. Penelitian telah banyak dilakukan dengan menggunakan limbah tanaman yang tidak digunakan lagi sebagai adsorben. Beberapa keuntungan menggunakan limbah tanaman adalah memerlukan teknik sederhana, proses yang sedikit, kapasitas adsorpsi yang baik, adsorpsi yang selektif dari ion logam berat, biaya yang murah, banyak terdapat di lingkungan secara bebas dan mudah diregenerasi [22].


(51)

2.7 BILANGAN IODIN

Bilangan iodin merupakan parameter utama yang digunakan untuk melihat karakteristik dari adsorben maupun karbon aktif. Bilangan ini sering ditulis dengan satuan mg/g. Bilangan ini mengukur kandungan mikropori dengan cara menyerap iodin dari larutan [31].

Dalam menentukan kapasitas adsorpsi adsorben, bilangan iodin telah digunakan pada berbagai penelitian. Kemampuan adsorben dalam penyerapan senyawa iodin menunjukkan kemampuan adsorben tersebut untuk menjerap komponen dengan berat molekul yang rendah. Iodin merupakan suatu senyawa yang sedikit larut dalam air dan merupakan senyawa nonpolar. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara karakterisasi adsorben dengan mengukur kemampuan adsorpsinya terhadap larutan iodin dengan adsorptivitas karbon aktif terhadap senyawa nonpolar [30].

Iodin merupakan senyawa yang memiliki tekanan uap tinggi sehingga dalam suhu ruang iodin mudah menguap. Pada proses adsorpsi, iodin diadsorpsi dan dijerap oleh adsorben berupa karbon aktif maupun adsorben yang dimodifikasi dalam fase padatan. Proses adsorpsi terjadi karena gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben yang melibatkan gaya Van der Waals dan ikatan hidrogen [30].

Proses adsorpsi dimulai saat molekul-molekul adsorbat pada larutan iodin berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben yang disebut sebagai difusi eksternal. Kemudian adsorbat berada di permukaan adsorben dan sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori adsorben yang disebut difusi internal. Apabila kapasitas adsorpsi masih sangat besar akan teradsorpsi dan terikat pada bagian permukaan [30].

Pada proses pelarutannya, iodin yang sedikit larut dalam air ditambahkan ke dalam larutan kalium iodida (KI) untuk mempercepat pelarutan iodin karena terbentuknya ion triiodida berdasarkan reaksi:

I2 + I- I3- [30]

Kemudian pada proses titrasi iodin dengan natrium tiosulfat akan terjadi reaksi seperti berikut:


(52)

Proses dalam menentukan bilangan iodin pada adsorben menggunakan reaksi redoks. Reaksi redoks merupakan reaksi oksidasi-reduksi dimana oksidasi merupakan setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi yang disertai kehilangan elektron, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi yang disertai dengan memperoleh elektron [30].

2.9 DESKRIPSI PROSES

Berdasarkan pemilihan proses pembuatan adsorben dari kulit jengkol pada tabel 2.3 dan beberapa penelitian menggunakan adsorben tertentu sebagai literatur tambahan, kulit jengkol yang akan diproses menjadi adsorben adalah adsorben yang melewati ayakan 100 mesh. Ukuran ini diadopsi dari penelitian oleh Uzami Hamzah dkk. [12]. Untuk memodifikasi adsorben dipilih aktivasi kimia menggunakan asam nitrat 4 N dengan variasi suhu aktivasi yaitu 70, 80 dan 90 dan variasi suhu pengeringan yaitu 100, 110 dan 120 oC. Variasi ini diadopsi dari penelitian oleh Agus dan Agnes [32], yang menggunakan suhu aktivasi 80 oC dan suhu pengeringan 110, 120, 130 dan 140 oC. Dalam hal ini penelitian disesuaikan pada rentang yang berdekatan dengan suhu tersebut. Adapun variasi waktu aktivasi dan waktu pengeringan yang digunakan sama, yaitu 60, 90 dan 120 menit. Variasi waktu ini berdekatan dengan waktu aktivasi yang dilakukan oleh Hamzah [12].

Adsorben yang dihasilkan kemudian dianalisa kemampuan adsorpsinya terhadap iodin yang dinyatakan dengan bilangan iodin. Adsorben yang memiliki bilangan iodin tertinggi selanjutnya akan digunakan sebagai adsorben dalam mengurangi kadar logam Pb (II) dalam limbah cair industri pelapisan logam.

Pada proses adsorpsi, digunakan adsorben yang melewati ayakan 100 mesh, volume limbah cair 50 mL, kecepatan pengadukan 30 rpm, waktu kontak 30 menit yang diadopsi dari penelitian Hamzah [12] pada kondisi optimum yang diperoleh. Pada proses ini dijaga pH 5 yang diadopsi dari jurnal yang ditulis oleh Sud dkk. [17], dimana proses adsorpsi Pb (II) optimum pada pH 5 berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Pada proses ini dilakukan variasi dosis adsorben sebesar 0,5 ; 1 dan 1,5 gr per 50 mL limbah cair untuk mengetahui jumlah adsorben yang optimum dalam mengurangi kandungan logam Pb (II) dalam industri pelapisan logam.


(53)

Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini akan dianalisa gugus - gugus fungsinya dengan menggunakan spektrofotometri FTIR, yang direncanakan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum dan sesudah aktivasi dan sesudah adsorpsi. Sehingga dengan analisa tersebut dapat dilihat gugus - gugus fungsi pada adsorben untuk kemudian dikaji sejauh mana kemampuan adsorpsi adsorben terhadap logam Pb (II) dalam limbah cair industri pelapisan logam.


(54)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Air adalah sumber kehidupan di bumi dan peradaban manusia dapat berkembang bila ada air yang berkualitas baik dan bersih. Air memainkan peranan penting dalam kehidupan kita. Kualitas dari air sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan lingkungan. Namun aktivitas industrial menyebabkan kualitas air menurun. Limbah yang berasal dari industri dapat mengandung kontaminan mikrobiologi, bahan kimia seperti pelarut organik dan anorganik, logam, nutrisi tanaman, bahan tersuspensi, perubahan temperatur dan sebagainya [1].

Logam berat adalah seluruh elemen logam yang memiliki densitas yang relatif tinggi dan beracun meskipun pada konsentrasi yang rendah (sekitar 1 ppm) seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), seng (Zn), merkuri (Hg), arsen (As), perak (Ag), kromium (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe) dan sebagainya [2]. Banyak proses di industri yang menghasilkan limbah cair yang mengandung logam berat. Keberadaan logam berat pada sistem air dapat merugikan berbagai spesies yang hidup. Logam berat tidak dapat diperbaharui dan cenderung menumpuk dan menyebabkan berbagai gangguan bagi organisme hidup [3].

Timbal adalah salah satu logam berat yang beracun apabila terserap oleh tubuh. Timbal dapat terakumulasi dalam jaringan hidup, sehingga seluruh rantai makanan akan tercemar dan dapat terserap ke dalam tubuh manusia. Adanya timbal pada air minum pada konsentrasi kecil (lebih kurang 0,1 ppm) dapat menyebabkan anemia, hepatitis dan berbagai penyakit yang lainnya [4].

Limbah industri elektroplating berasal dari bahan-bahan kimia berupa logam-logam tertentu sesuai kegunaannya pada proses pelapisan. Bahan-bahan kimia tersebut beracun sehingga limbah yang dihasilkan berbahaya bagi kesehatan manusia yang terlibat langsung dengan kegiatan tersebut. Industri pelapisan logam umumnya mengandung logam-logam terlarut seperti krom (Cr) pada rentang 2-12 ppm, tembaga (Cu) pada rentang 1-13 ppm, seng (Zn) pada rentang 9-41 ppm, nikel (Ni) pada rentang 25-29 ppm, kadmium (Cd) pada rentang 2-20 ppm dan timbal (Pb) pada


(55)

Pembuangan limbah cair tersebut dibuang dengan debit 20 L/m2 produk pelapisan logam [6]. Limbah cair elektroplating memiliki rentang pH 7-10 [7]. Limbah cair elektroplating juga memiliki beberapa karakteristik lainnya seperti kadar COD sebesar 1836 ppm, TDS sebesar 1443 ppm dan TSS sebesar 285 ppm seperti yang dilaporkan oleh Krishan et. al. pada tahun 2015 [8].

Logam berat dapat dipisahkan dari limbah cair dengan menggunakan berbagai metode seperti presipitasi, ekstraksi menggunakan pelarut, evaporasi vakum, teknologi membran, adsorpsi dan pertukaran ion [9]. Metode presipitasi dan pertukaran ion sangat sering digunakan untuk membersihkan air yang terkontaminasi dengan polutan logam. Namun metode ini tidak dapat mencapai standar baku mutu lingkungan yang direkomendasikan oleh Standar Badan Air Internasional [3].

Teknologi adsorpsi saat ini sedang digunakan secara ekstensif untuk menghilangkan logam berat dari larutan air karena merupakan teknologi yang lebih bersih, lebih efisien dan lebih murah [10]. Adsorpsi bekerja dengan prinsip pelekatan. Proses adsorpsi melibatkan pemisahan substansi dari suatu fasa cair diikuti dengan akumulasi konsentrasi pada permukaan padatan. Proses dapat terjadi pada sistem cair-gas, cair-cair, padat-cair dan padat-gas. Fasa yang menyerap disebut adsorben dan material yang diserap disebut adsorbat [11]. Proses adsorpsi dipilih dalam penelitian ini karena merupakan aplikasi penjernihan limbah cair menggunakan adsorben yang sederhana dan efektif dalam penyerapan logam berat.

Adsorben dapat dihasilkan dari berbagai limbah padat, diantaranya yaitu limbah kulit jengkol. Jengkol (Pithecellobiumjiringa Prain) merupakan tanaman yang sudah sejak lama ditanam di Indonesia dan penggunaannya terbatas pada bijinya sebagai bahan makanan, sementara kulitnya dibuang sebagai sampah. Sejauh ini kulit jengkol baru dimanfaatkan sebagai bioherbisida dan biolarvasida [12]. Padahal kulit jengkol memiliki kandungan karbon yang relatif tinggi yaitu sebesar 44,02% [13] yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai karbon aktif.

Pada tahun 2013, Sumatera Utara menghasilkan produksi jengkol yang cukup banyak yaitu sebanyak 2.987 ton. Sedangkan pada tingkatan pulau, Sumatera menghasilkan 31.675 ton jengkol pada tahun tersebut yang ditulis pada buku Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2013 oleh Kementrian Pertanian [14]. Padahal tanaman jengkol memiliki kandungan kulit jengkol sebesar 30-40%, dimana berarti provinsi


(56)

Sumatera Utara terdapat limbah kulit jengkol sebesar 1194,8 ton. Dengan jumlah tersebut menunjukkan bahwa limbah padat tanaman jengkol yaitu berupa kulitnya memiliki potensi untuk digunakan sebagai karbon aktif.

Penelitian sebelumnya mengenai adsorpsi dengan menggunakan adsorben dari limbah padat kulit jengkol yaitu penyerapan ion logam Pb (II) dan Cu (II) dengan aktivasi menggunakan NaOH dan adsorpsi dengan variasi pH, konsentrasi logam, waktu kontak, massa adsorben dan pengadukan. Hasil yang diperoleh yaitu berupa kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 222,5 mg/g untuk Pb dan 50,7 mg/g untuk Cu dengan konsentrasi awal logam sebesar 4000 ppm [12]. Hal yang sama juga dilakukan untuk penyerapan ion logam Cd (II) dan Zn (II) [15]. Namun penelitian dilakukan pada suhu ruangan yaitu dalam proses aktivasi dan pengeringannya, sehingga perlu adanya pengembangan kondisi operasi pada proses aktivasi dan pengeringan tersebut yakni pada suhu yang berbeda mengingat suhu dapat mempengaruhi kemampuan adsorpsi logam [16].

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sejauh mana efektivitas penggunaan adsorben kulit jengkol yang paling optimal dalam menurunkan kandungan timbal dalam limbah cair industri pelapisan logam.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain :

1. Mengetahui pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan, waktu pengeringan dan rasio kulit jengkol dengan asam nitrat terhadap bilangan iodin dalam pembuatan adsorben kulit jengkol.

2. Mengetahui pengaruh massa adsorben terhadap kapasitas adsorpsi dalam menurunkan kadar logam timbal (Pb) dalam limbah cair industri pelapisan logam.


(57)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini, antara lain :

1. Adsorben yang dihasilkan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi penjernihan limbah cair.

2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang bekerja dalam pengolahan limbah cair industri pelapisan logam untuk menurunkan kandungan timbal menggunakan adsorben dari kulit jengkol.

3. Dapat dilakukan proses pengolahan limbah cair industri pelapisan logam yang lebih ekonomis.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun bahan utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu kulit jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) dan limbah cair industri pelapisan logam.

Variabel yang digunakan adalah : Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol : a. Variabel Tetap :

1. Ukuran Partikel = 100 mesh

b. Variabel Berubah :

1. Suhu Aktivasi = 70, 80, 90 oC 2. Waktu Aktivasi = 60, 90, 120 menit 3. Suhu Pengeringan = 100, 110, 120 oC 4. Waktu Pengeringan = 60, 90, 120 menit

5. Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat (b:v) = 20:0,5; 20:1; 20:2 (mg/mL) Adsorpsi Limbah Cair Pelapisan Logam :

a. Variabel tetap :

1. Ukuran Partikel = 100 mesh


(58)

3. Kecepatan Pengadukan = 30 rpm [12]

4. Waktu Kontak = 30 menit [12]

5. pH = 5 [17]

b. Variabel berubah :

1. Massa Adsorben = 0,5 ; 1 ; 1,5 g per 50 mL limbah cair Parameter yang dianalisa adalah :

a. Analisa pada adsorben 1. Analisa bilangan iodin.

2. Analisa karakteristik gugus fungsi dengan spektrofotometri FTIR sebelum dan sesudah proses aktivasi dan sesudah proses adsorpsi.

b. Analisa pada limbah cair 1. Analisa pH.

2. Analisa kandungan Pb (II) sebelum dan sesudah proses adsorpsi dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy).


(59)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu aktivasi, waktu aktivasi, suhu pengeringan, waktu pengeringan dan rasio bahan baku dengan asam nitrat dalam pembuatan adsorben kulit jengkol serta mengetahui massa adsorben yang optimum dalam menurunkan kadar logam timbal (Pb) dalam limbah cair industri pelapisan logam. Bahan – bahan yang digunakan, antara lain limbah cair industri pelapisan logam, kulit jengkol, asam nitrat, dan aquadest. Mula-mula kulit jengkol dibersihkan dan dihaluskan sampai ukuran 100 mesh, kemudian diaktivasi dengan larutan asam nitrat (HNO3) 4 N dengan variasi rasio

kulit jengkol : asam nitrat 20:0,5; 20:1 dan 20:2 mg/mL sambil dipanaskan pada variasi suhu 70, 80 dan 90 oC selama variasi waktu 60, 90 dan 120 menit. Adsorben kemudian dikeringan di oven pada variasi suhu 100, 110 dan 120 oC selama variasi waktu 60, 90 dan 120 menit. Adsorben dengan hasil analisa bilangan iodin terbesar digunakan dalam proses adsorpsi batch logam Pb (II) yang dilakukan dengan mengaduk adsorben di dalam limbah cair yang diatur pHnya menjadi 5 dengan massa 0,5; 1 dan 1,5 per 50 mL limbah cair di atas hot plate dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer kecepatan 30 rpm selama 30 menit. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rasio kulit jengkol : asam nitrat yang terbaik adalah 20:1 mg/mL pada suhu aktivasi 90oC, waktu aktivasi 120 menit, suhu pengeringan 110 oC dan waktu pengeringan 120 menit dengan bilangan iodin sebesar 634,50 mg/g. Massa adsorben terbaik adalah 0,5 gram dengan kapasitas adsorpsi logam timbal sebesar 0,92 mg/g. Bilangan iodin yang diperoleh dalam penelitian ini masih dibawah 750 mg/g, yaitu standar karbon aktif berdasarkan SNI.

Kata kunci : adsorben, kulit jengkol, limbah cair industri pelapisan logam, timbal, bilangan iodin.


(60)

ABSTRACT

The aim of this research is to study the effect of activation temperature, activation time, drying temperature, drying time and ratio of jengkol peel with nitric acid to iodine number of adsorbent jengkol peel and to study the optimum adsorbent mass to reduce metallic lead (Pb) concentration in electroplating wastewater. Materials used for this research were electroplating wastewater, jengkol peel, nitric acid, and distilled water. Jengkol peel was cleaned and mashed to a size of 100 mesh of sieve tray and then activated with a solution of nitric acid (HNO3) 4 N with jengkol peel : nitric acid ratio 20: 0.5; 20: 1 and 20:

2 mg / mL while heated at temperature 70, 80 and 90 ° C for activation time 60, 90 and 120 minutes. Adsorbent dried in oven at temperature 100, 110 and 120 °C for drying time 60, 90 and 120 minutes. Adsorbent with optimum iodine number then used in batch adsorption of Pb (II) that carried out by stirring activated adsorbent in the wastewater at pH 5 using variations of mass 0.5; 1 and 1.5 g per 50 mL of liquid waste on a hot plate by stirring using a magnetic stirrer at 30 rpm for 30 minutes. The results showed that the optimum ratio of jengkol peel : nitric acid is 20: 1 mg/mL at activation temperature 90°C, activation time 120 minutes, drying temperature 110 ° C and the drying time 120 minutes with iodine number 634.50 mg/g. The optimum mass of adsorbent is 0.5 grams with Pb (II) adsorption capacity of 0.92 mg/g. Iodine number of jengkol peel adsorbent was found to be less than 750 mg/g, an activated carbon iodine number standard by SNI.

Keywords : adsorbent, jengkol peel, electroplating wastewater, lead, iodine number.


(61)

PEMANFAATAN KULIT JENGKOL (Pithecellobium

jiringa Prain) SEBAGAI ADSORBEN DALAM

PENYERAPAN LOGAM Pb (II) PADA LIMBAH

CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

SKRIPSI

OLEH

RANDI SITORUS

110405054

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

AGUSTUS 2016


(62)

PEMANFAATAN KULIT JENGKOL (Pithecellobium

jiringa Prain) SEBAGAI ADSORBEN DALAM

PENYERAPAN LOGAM Pb (II) PADA LIMBAH

CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

SKRIPSI

OLEH

RANDI SITORUS

110405054

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK


(1)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) 6 Gambar 3.1 Flowchart Pembuatan Adsorben Kulit Jengkol 20 Gambar 3.2 Flowchart Analisa Bilangan Iodin pada Adsorben 21 Gambar 3.3 Flowchart Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada

Adsorben

22

Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Adsorpsi Batch 22 Gambar 4.1 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap

Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 60 menit

25

Gambar 4.2 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 90 menit

25

Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 100oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

26

Gambar 4.4 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 60 menit

27

Gambar 4.5 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 90 menit

28

Gambar 4.6 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 110oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

28

Gambar 4.7 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120oC dan Waktu Pengeringan 60 menit


(2)

Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120oC dan Waktu Pengeringan 90 menit

Gambar 4.9 Pengaruh Suhu Aktivasi dan Waktu Aktivasi terhadap Bilangan Iodin Pada Suhu Pengeringan 120oC dan Waktu Pengeringan 120 menit

30

Gambar 4.10 Pengaruh Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat terhadap Bilangan Iodin Adsorben

32

Gambar 4.11 Pengaruh Massa Adsorben terhadap Kapasitas Adsorpsi Logam Pb (II)

34

Gambar 4.12 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sebelum Aktivasi

36

Gambar 4.13 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Aktivasi

37

Gambar 4.14 Hasil Spektrofotometri FTIR Adsorben Kulit Jengkol Sesudah Adsorpsi

37

Gambar L3.1 Rangkaian Alat Percobaan Adsorpsi 53 Gambar L4.1 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Awal Limbah Cair 54 Gambar L4.2 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair

dengan Massa Adsorben Kulit Jengkol 0,5 g

54

Gambar L4.3 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair dengan Massa Adsorben Kulit Jengkol 1 g

55

Gambar L4.4 Hasil Analisa AAS Konsentrasi Akhir Limbah Cair dengan Massa Adsorben Kulit Jengkol 1,5 g

55

Gambar L4.5 Hasil Analisa Spektrofotometri FTIR Adsorben Sebelum Aktivasi

56

Gambar L4.6 Hasil Analisa Spektrofotometri FTIR Adsorben Sesudah Aktivasi

57

Gambar L4.7 Hasil Analisa Spektrofotometri FTIR Adsorben Sesudah Adsorpsi

58


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan Hara Kulit Jengkol 7

Tabel L1.1 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Suhu dan Waktu

46

Tabel L1.2 Bilangan Iodin Adsorben Kulit Jengkol untuk Setiap Variasi Rasio Kulit Jengkol : Asam Nitrat

49

Tabel L1.3 Kapasitas Adsorpsi Logam Pb (II) pada Limbah Cair Pelapisan Logam untuk Setiap Variasi Massa Adsorben


(4)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN 46

1.1 BILANGAN IODIN ADSORBEN KULIT JENGKOL

46

1.2 KAPASITAS ADSORPSI LOGAM Pb (II) 50

LAMPIRAN 2 CONTOH PERHITUNGAN 51

2.1 PERHITUNGAN BILANGAN IODIN ADSORBEN

51

2.2 PERHITUNGAN KAPASITAS ADSORPSI ION Pb (II)

51

LAMPIRAN 3 FOTO HASIL PENELITIAN 53

3.1 FOTO PERCOBAAN ADSORPSI LOGAM TIMBAL DALAM LIMBAH CAIR

ELEKTROPLATING

53

LAMPIRAN 4 HASIL ANALISA 54

4.1 HASIL ANALISA KONSENTRASI LOGAM Pb (II) AWAL DALAM LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

54

4.2 HASIL ANALISA KONSENTRASI LOGAM Pb (II) SETELAH PROSES ADSORPSI

54

4.3 HASIL ANALISA GUGUS-GUGUS FUNGSI MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR


(5)

DAFTAR SINGKATAN

Pb Plumbum (Lead)

FTIR Fourier Transform Infrared Spectroscopy

ASTM American Standard Testing and Material

SNI Standar Nasional Indonesia AAS Atomic Absorption Spectroscopy

TEL Tetra Ethyl Lead


(6)

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Satuan

g Massa gram


Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

10 87 77

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

2 4 19

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 2

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 10

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Pb (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 3 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 19

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 2

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 5

Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) Sebagai Adsorben Dalam Penyerapan Logam Cd (II) Pada Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 0 13