2.4.3 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir- akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 di bagian posterior Anggraini, 2005.
Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral ostium etmoid dan terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita Mangunkusumo, 2011. Tulang-tulang etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus.
Bagian superior bidang vertikal disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis ostium etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian
medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid Ballanger, 2002.
2.4.4 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior Staikuniene, 2008. Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga
intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada
usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm tinggi x 1,7 lebar x 2,3
dalamnya. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml Mangunkusumo, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan Stammberger, 2008.
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons Mangunkusumo, 2011.
2.5 Patofisiologi