Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.
Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang
Mangunkusumo, 2011. Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan Rinosinusitis Kronik
dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi
kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit Rinosinusitis Kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan
penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit Rinosinusitis Kronik sebaiknya ditangani secara proaktif
Desrosiers, 2011.
2.3 Anatomi Sinus Paranasal
Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
Universitas Sumatera Utara
pasang sinus paranasal, dimulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ostium ke dalam rongga hidung
Soepardi, 2011. Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernafasan;
penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk
membersihkan rongga hidung Bambang, 2010. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun Soepardi,
2011. Sinus membesar semenjak erupsi gigi permanen dan sesudah pubertas, yang secara nyata mengubah ukuran dan bentuk wajah.
2.4 Pembagian Sinus Paranasal
2.4.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal pertama yang muncul 7-10 minggu masa janin. Sinus ini adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
Universitas Sumatera Utara
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa Ballenger, 2002.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial ostium maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dn palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelahsuperior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus seminularis melalui
infundibulum etmoid Mangunkusumo, 2011. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar P1 dan P2, molar M1 dan M2, kadang-kadang juga gigi taring C dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel
etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali 5,0 dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah
septum intersinus Walsh, 2006. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari
resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur
mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid
anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu,
pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-Scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada
usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat
penting dalam menentukan variasi Stammberger, 2008. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tinggi x 2,4 cm lebar x 2 cm
dalamnya. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk Mangunkusumo, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir- akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 di bagian posterior Anggraini, 2005.
Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral ostium etmoid dan terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita Mangunkusumo, 2011. Tulang-tulang etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus.
Bagian superior bidang vertikal disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis ostium etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian
medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid Ballanger, 2002.
2.4.4 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior Staikuniene, 2008. Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga
intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada
usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm tinggi x 1,7 lebar x 2,3
dalamnya. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml Mangunkusumo, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan Stammberger, 2008.
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons Mangunkusumo, 2011.
2.5 Patofisiologi
Pada dasarnya patofisiologi Rinosinusitis Kronik terkait dua faktor yaitu patensi ostium dan klirens mukosiliar mucociliary clearance di dalam kompleks
ostiomeatal. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi sinus dan menimbulkan rinosinusitis. Kegagalan transport
mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya Rinosinusitis Kronik Hueston WJ, 2003.
Rinosinusitis Kronik berawal dari adanya sumbatan akibat oedem hasil proses radang di daerah kompleks ostiomeatal. Sumbatan di daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi lebih
kental Mangunkusumo , 2011. Sumbatan yang berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksia dan retensi lendir yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Selain itu, bakteri juga memproduksi toksin yang akan
merusak silia sehingga terjadi hipertrofi mukosa dan memperberat sumbatan di
Universitas Sumatera Utara
kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista Hilger P, 1997.
2.6 Gejala Klinis