Gejala Klinis Faktor Lingkungan Diagnosis

kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista Hilger P, 1997.

2.6 Gejala Klinis

Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery 1997, gejala dan tanda rinosinusitis dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain: obstruksi hidungsumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti hiposmiaanosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah penuh, dan demam hanya pada rinosinusitis akut. Sedangkan gejala minor antara lain: sakit kepala, demam non-akut, halitosis, lemahletih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga seperti ditekan dan merasa penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor Benninger, 2008.

2.7 Epidemiologi Rinosinusitis Kronik

2.7.1 Distribusi Rinosinusitis Kronik a. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Orang

Hasil penelitian Sogebi, et al 2002-2006 di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita Rinosinusitis Kronik dengan distribusi umur yaitu 18 tahun 19,1 dan ≥ 18 tahun 80,9. Penderita laki-laki 49,09 dan perempuan 50,91, dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 70,51. Hasil penelitian Nabila Adani Lubis 2015 di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 diperoleh bahwa angka kejadian penyakit tertinggi terjadi pada kelompok usia 46-52 tahun 19,2, lebih banyak ditemukan pada perempuan Universitas Sumatera Utara 55,8, pekerjaan pegawai negeri 24,2, keluhan utama berupa sumbatan hidung 74,2, sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila 55,8, faktor yang sering mempengaruhi adalah alergi 29,2, dan terapi yang lebih sering diberikan berupa terapi medikamentosa 79,2.

b. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Tempat dan Waktu

Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey NAMCS, sekitar 14,0 penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7 dan laki-laki 3,4. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6 dan 9,3 Lubis, 2013. Penelitian Staikuniene et al 2000-2005 di Lithuania, dari 121 penderita Rinosinusitis Kronik didapatkan 84 orang 69,4 menderita polip hidung dan 48 orang 39,6 menderita asma. Penelitian See Goh, et al April 2001 – Agustus 2002 di Malaysia didapatkan 30 penderita Rinosinusitis Kronik dimana 8 orang 26,7 disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan.

2.7.2 Determinan Rinosinusitis Kronik a. Faktor Host

Rinosinusitis Kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras. Penelitian Hedayati et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, proporsi penderita Rinosinusitis Kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun 42,0. Penderita terdiri dari Universitas Sumatera Utara laki-laki 52,0 dan perempuan 48,0, dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat 96,0. b. Faktor Agen Rinosinusitis Kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram -. Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus dan jamur Aspergillus dan Candida Hueston WJ, 2003.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya Rinosinusitis Kronik yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan Rinosinusitis Kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut Mangunkusumo, 2011.

2.8 Pencegahan

2.8.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit Universitas Sumatera Utara Budiarto, 2003. Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan CDC, 2010.

2.8.2 Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi Budiarto, 2003. Upaya yang dilakukan antara lain:

a. Diagnosis

Diagnosis rinosinusitis kronis menurut EPOS 2012 ditegakkan berdasarkan penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu yaitu: 1 obstruksi hidung atau kongesti, 2 sekret hidung anteriorposterior nasal drip, umumnya mukopurulen, 3 nyeri wajahtekanan, nyeri kepala dan 4 penurunanhilangnya daya penghidu. Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok Rinosinusitis Kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polipjaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan foto polos sinus, transiluminasi, CT-Scan dan MRI, pemeriksaan fungsi mukosiliar, Universitas Sumatera Utara penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium Fokkens, 2012.

1. Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar Rinosinusitis Kronik adalah: obstruksi nasal, sekretdischarge nasal, nyeritekanan fasial dan abnormalitas daya penghidu.

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses Mangunkusumo, 2011. Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan. Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen nasal drip, krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi Universitas Sumatera Utara posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring Soepardi,2011; Shah,2008.

3. Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus Selvianti, 2008; Siegel, 2013. Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan Selvianti, 2008. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada Rinosinusitis Kronik yang akan dilakukan pembedahan Fokkens, 2012. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain Fokkens, 2012: 1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi Universitas Sumatera Utara 2. Tes alergi 3. Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop elektron dan nitrit oksida 4. Penilaian aliran udara nasal nasal airflow: nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri 5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium: pemeriksaan CRP C-reactive protein

b. Pengobatan