BAB III ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
PASIEN DI RUMAH SAKIT
A. Ketentuan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada dasarnya tidak seorang pun yang menginginkan adanya atau terjadinya sengketa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tujuan perlindungan konsumen di
Indonesia adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
206
Hak konsumen diantaranya adalah hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan danatau upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut. Dalam rangka menjamin penegakan dan pelaksanaan hak konsumen tersebut di atas, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur perihal penyelesaian
sengketa konsumen dalam bab khusus, yaitu Bab X dengan ”Penyelesaian Sengketa” dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Penegakan hukum perlindungan konsumen,
terutama yang menyangkut hak-hak konsumen, sangat berkaitan erat dengan sarana yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak konsumen
tersebut khususnya apabila terjadi sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Menurut ketentuan Pasal 45 ayat 1 UUPK dapat diketahui bahwa untuk
menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat 2 pilihan, yaitu :
207
206
Pasal 3 butir c Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
207
Loc.Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.224.
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha; 2.
Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat 2 UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penjelesan pasal tersebut pada dasarnya
menegaskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dimaksud di sini tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa.
Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian
sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Jadi ada dua hal yang terkandung dalam rumusan Pasal 45 ayat 2 UUPK,
yaitu:
208
1. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan dan diluar
pengadilan. Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dilingkup peradilan umum. Dalam
menyelesaikan sengketa di pengadilan, para pihak yang bersengketa diberikan berbagai upaya hukum, baik yang bersifat biasa maupun yang bersifat luar biasa,
dalam rangka mempertahankan danatau melindungi kepentingannya. Selain itu,
208
Ibid, hal.226.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
lembaga peradilan memiliki tingkat-tingkatan tertentu dalam memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, mulai dari tingkat pertama di Pengadilan
Negeri, selanjutnya di tingkat banding pada Pengadilan Tinggi dan terakhir di tingkat kasasi dan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Adanya berbagai
upaya hokum dan tingkatan tersebut, ditambah lagi dengan biaya yang tidak sedikit, membuat lembaga peradilan menjadi kurang atau tidak efektif dan
memakan waktu serta biaya yang cukup besar. Dalam penyelesaian sengketa di pengadilan, prinsipnya gugatantuntutan perdata yang diajukan ke pengadilan
tidak memerlukan persetujuan dari pihak tergugat. 2.
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apakah yang dimaksud dengan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa dan apakah penentuan lembaga atau badan yang akan menyelesaikan suatu sengketa harus didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan
para pihak konsumen dan pelaku usaha, dimana bila salah satu pihak menolak atau tidak setuju, maka lembaga yang dipilih oleh pihak lain itu tidak berwenang
menyelesaikan sengketa tersebut, tetapi undang-undang tidak menjelaskan hal tersebut diatas. Akhirnya, mulai dikembangkan berbagai lembaga atau sistem
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat menyelesaikan suatu sengketa secara lebih efektif, sederhana, cepat dan biaya yang relatif lebih ringan.
Lembaga pertama yang terbentuk adalah lembaga arbitrase, yang kemudian berkembang lagi berbagai bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa, seperti
konsiliasi, mediasi, dan lain sebagainya.
209
Lembaga seperti itulah yang akan digunakan oleh BPSK dalam menangani dan menyelesaikan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha. Namun, lembaga alternatif penyelesaian sengketa Alternative Dispute ResolutionADR ini hanya dapat diterapkan dalam
lingkungan hukum perdata dan tidak berlaku dalam lingkungan hukum pidana.
210
Pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:
211
1 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2 Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
4 Pemerintah danatau instansi terkait jika barang danatau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
209
Yahya Harahap, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, cet.I Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal.225-230.
210
Mas Achmad Santosa, “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Makalah disampaikan pada Diskusi Sehari: Kesiapan Lembaga Yuridis dalam pemberlakuan UUPK, Jakarta,
September 1999, hal.2
211
Pasal 46 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Jika dilihat secara individual, nilai perkara antara konsumen dengan pelaku usaha sangat kecil, tetapi secara komunal kegiatan kerugian yang ditimbulkan sangat
besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya :
a. Small Claim
Sistem peradilan yang ada dewasa ini, belum dapat mengakomodasi sengketa- sengketa yang nilai nominal kasusnya relatif kecil, termasuk sengketa konsumen.
Untuk itu, alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan diperkenalkannya small claim court dalam dunia peradilan di Indonesia. Secara sederhana, small claim court
dapat didefenisikan sebagai peradilan kilat, dengan hakim tunggal, prosedurnya sederhana, tidak ada keharusan menggunakan pengacara, tidak ada upaya banding
dan biaya ringan.
212
Small Claim adalah jenis gugatan yang diajukan oleh konsumen, sekalipun
dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada 3 alasan mengapa small claim diizinkan dalam perkara konsumen yaitu :
213
1 Kepentingan dari pihak penggugat konsumen tidak dapat diukur semata-mata
dari nilai uang kerugiannya, 2
Keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin,
212
Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000, hal.66.
213
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.198.
3 Untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, dibentuk satu unit yang disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan
untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan- gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada kelompok atau lembaga swadaya
masyarakat yang disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat LPKSM.
214
b. Class Action Gugatan Perwakilan Kelompok atau Class Action adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok atau anggota kelompok dimaksud.
215
Selain itu, ada juga yang memberikan pengertian bahwa class action hanya sebagai suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis
untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien. Dan, seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada
214
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hal.65.
215
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: FH Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004, hal.211.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
perwakilan. Untuk class action ini keterlibatan pengadilan sangat besar karena setiap perwakilan untuk dapat maju ke pengadilan dengan memperhatikan:
216
1 class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan,
2 mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama,
3 penggugat sangat banyak, dan
4 perwakilan layakpatut.
Saat ini di Indonesia, masyarakat sudah dapat mengajukan gugatan dengan prosedur class action yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
disebut dengan nama “gugatan perwakilan kelompok”. Peraturan Mahkamah Agung tersebut mengartikan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri atau mewakili kelompok untuk mengajukan gugatan bagi diri mereka sendiri
dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud.
217
Dahulu, seandainya gugatan ganti rugi dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hanya kepada korban yang secara formal
yang ikut menggugat yang akan mendapatkan ganti rugi. Sedangkan korban lain yang tidak ikut menggugat, untuk mendapatkan ganti rugi, harus mengajukan gugatan
baru.
216
Op.Cit, Erman Rajagukguk,dkk, hal.72.
217
Ibid, hal.67.
Maka dari itu ada gugatan kelompok dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan gugatan kelompok, terhadap mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak
korban dimenangkan, maka korban lainnya yang secara formal tidak mengajukan gugatan berdasar kepada putusan tersebut, langsung dapat meminta ganti rugi, tanpa
harus mengajukan gugatan baru.
218
Dalam Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, ditentukan suatu perkara gugatan hanya dapat diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok
atau class action apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
219
1 Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu gugatan.
2 Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
3 Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. 4
Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
218
Ibid, hal.66.
219
Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Umumnya class action wajib memenuhi 4 syarat sebagaimana juga ditetapkan
dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure. Syarat itu sebagai berikut :
220
1. Numerosity
Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri- sendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien.
2. Commonality
Artinya, adanya kesamaan soal hukum question of law dan fakta question of fact antara pihak yang diwakilkan class members dan pihak yang mewakilinya
class representative. 3.
Typicality Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dasar dan dasar pembelaan yang
digunakan antara class members dan class representative. 4.
Adequacy of representation Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan class action. Ukuran
kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim. Adapun manfaat menggunakan gugatan perwakilan kelompok class action
ialah:
221
1. Supaya proses perkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien.
2. Memberikan akses pada keadilan sehingga mengurangi hambatan-hambatan bagi
penggugat individual yang pada umumnya berposisi lemah.
220
Op.Cit, Shidarta, hal.67.
221
Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis Gugatan Perwakilan Kelompok, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2003, hal.95.
3. Merubah sikap pelaku pelanggaran dan menumbuhkan sikap jerah bagi mereka
yang berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat luas. Yang menjadi landasan hukum pengaturan gugatan perwakilan kelompok
class action ialah:
222
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
c. Legal Standing
Selain gugatan kelompok class action, UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing.
Subjek penggugat, yaitu: Organisasi non-pemerintahOrnop nongovernmental organizations, disingkat NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang
bergerak di bidang perlindungan konsumen. Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c: ”Lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya
organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
223
222
Ibid, hal.95.
223
Pasal 46 ayat 1 huruf c Undang-undang No.8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Untuk memilih
legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil konsumen dilarang berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah
perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan NGO’s legal standing. Oleh karena itu, unsur commonality dan typicality tidak dipersyaratkan
dalam NGO’s legal standing. Selanjutnya, syarat adequacy of representative dalam NGO’s legal standing tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim,
melainkan ada kondisi objektif, yaitu harus memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat 1 huruf c UUPK.
224
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan