Linguistik Sistemik Fungsional LSF

Kaum eksistensialis kadang juga dipenuhi dengan kematian. Saat menghadapi kematianlah kehidupan ini baru bisa dipahami. Sepertinya, manusia adalah makhluk yang sadar akan kematiannya sendiri. Menolak kematian berarti menolak kehidupan. Sebagian besar manusia, menjalani hidup ini dengan melibatkan sebuah penolakan atas kemanusiaan, dasein, dengan kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jika orang sudah tidak lagi hidup secara autentik berarti dia tidak lagi “menjadi” tetapi hanya “mengada”. Karena itulah bila hidup adalah sebuah gerakan, maka hidup telah berhenti Boeree, 2008: 443. Ada banyak cara untuk menjadi hidup ini tidak autentik. Ini bisa dilihat dari sikap orang yang mengabaikan kebebasannya sendiri dan menjalani hidup berdasarkan kompromi-kompromi dan bertuan pada harta. Orang sibuk mengurusi putusan moral yang akan dibuat. Hidup secara autentik berarti sadar akan kebebasan dan tugas dalam menciptakan diri sendiri, juga sadar akan adanya kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jadi dituntut untuk bisa menerima segalanya dalam sebuah perilaku penegasan diri. Teori ini dipergunakan untuk memecahkan masalah pertama.

2.3.2. Linguistik Sistemik Fungsional LSF

Teori LSF ini dikembangkan oleh ahli bahasa Prof. M.A.K. Halliday, guru besar dari Universitas Sydney, Australia. Guru beliau langsung ketika belajar di Universitas London adalah seorang ahli bahasa J.R. Firth. Teori yang dikemukakan oleh Firth ini adalah kombinasi dari beberapa teori linguistik Saussure Swiss, Hjemslev Copenhegen, Malinowski Inggris dan aliran Praha yang kemudian dapat Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009 melahirkan suatu teori yang distingtif. Halliday melanjutkan teori Firth dan sedikit dipengaruhi Boas, Hymes, dan Bloomfield dari Amerika Sinar, 2008: 14. Menurut teori LSF, bahasa adalah fenomena sosial, yaitu bahasa cenderung sebagai alat berbuat doing sesuatu daripada mengetahui knowing. Bahasa merupakan sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa pokok pikiran penting teori LSF dibagi menjadi lima penegasan utama, yaitu 1 bahasa adalah sistem, 2 bahasa adalah fungsional, 3 bahasa adalah membuat makna- makna, 4 bahasa adalah sistem semiotik sosial, 5 penggunaan bahasa adalah kontekstual Sinar, 2008: 19. Dalam perspektif LSF, bahasa adalah sistem arti dan sistem lain yakni sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan arti tersebut. Teori ini memiliki dua konsep dasar yaitu 1 bahasa merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik sosial, 2 bahasa merupakan teks yang konstrual saling menentukan dan merujuk dengan konteks sosial Saragih, 2006: 1. Konsep pertama memiliki pengertian bahwa sebagai semiotik lazimnya, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi. Namun, berbeda dengan semiotik biasa, semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri atas tiga unsur yaitu: arti, bentuk, dan ekspresi. Hubungan ketiganya dapat dikatakan sebagai arti semantic atau discourse semantics direalisasikan bentuk lexicogrammar dan bentuk ini akan dikodekan oleh ekspresi phonology graphology. Dengan kata lain, dalam pandangan LSF bahasa terdiri dari tiga strata, yakni semantik, tata bahasa, dan fonologi dalam bahasa Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009 lisan dan grafologi dalam bahasa tulisan. Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah natural dengan pengertian hubungan itu dapat dirujuk kepada konteks sosial, sementara hubungan antara arti dan ekspresi adalah arbitrer. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis, yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Sistem semiotik denotatif memiliki arti dan ekspresi. Dalam pemakaian bahasa semiotik denotatif terbentuk dalam hubungan antar strata level aspek bahasa yang terdiri atas arti semantics, tata bahasa lexicogrammar dan bunyi phonology atau tulisan graphology. Sistem semiotik konotatif hanya memiliki arti dan tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa, semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya context of culture dan konteks situasi register. Sistem semiotik konotatif menunjukkan bahwa ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi, selanjutnya, konteks situasi direalisasikan oleh bahasa. Representasi semiotik denotatif dan konotatif bahasa dapat digambarkan dalam tataran berikut: Ideologi Budaya Situasi Semantik Tata Bahasa Fonologi Diagram 2. Bahasa dan Konteks Sosial oleh Martin Saragih, 2006: 3 Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009 Konsep kedua menetapkan bahwa LSF berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial. Teks dibagi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial. Bahasa yang fungsional memberi arti kepada pemakai bahasa. Dengan demikian, teks adalah unit arti atau unit semantik bukan unit tata bahasa grammatical unit, seperti kata, frase, klausa, paragraf, dan naskah. Sebagai unit arti teks direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa Saragih, 2006: 3-4. Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Metafungsi bahasa itu mencakup tiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia, yaitu memaparkan atau menggambarkan pengalaman ideational meaning, mempertukarkan pengalaman interpersonal meaning, dan merangkai pengalaman manusia textual meaning. Ketiga fungsi bahasa itu dikemukakan oleh Halliday Sinar, 2008: 20. Dalam setiap interaksi antarpemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan, dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Seorang pemakai bahasa merealisasikan pengalamannya pengalaman bukan linguistik menjadi pengalaman linguistik. Pengalaman bukan linguistik dapat berupa kenyataan dalam kehidupan manusia atau kejadian sehari-hari, seperti pohon tumbang, angin berhembus, dan lain-lain. Pengalaman bukan linguistik ini direalisasikan ke dalam pengalaman linguistik yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumtans sircumtance. Realisasi ini harus dilakukan pemakai bahasa karena hanya pengalaman linguistik ini yang dapat dipertukarkan Saragih, 2006: 7. Teori ini dipergunakan untuk menganalisis masalah kedua. Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009

BAB III METODE PENELITIAN

Penelitan ini mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal individu atau kelompok, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi. Tugas fenomenologi adalah menerangkan fenomena sebagai dunia yang hidup lived world seperti yang diserap secara indrawi. Untuk sampai pada tataran tersebut harus ada keterlibatan antara subjek dengan objek, yaitu emphatic. Hal ini bisa terjadi sebab tidak ada selubung antara subjek dan objek. Subjek yang berkesadaran memainkan peran sentral di dalam menangkap objek selaku fenomena. Sedang objek yang tampak kepada subjek adalah realita itu sendiri. Hubungan antara subjek dan objek tanpa adanya perantara memungkinkan penangkapan fenomena sebagai realita murni. Ini sejalan dengan aliran filsafat modern yang dibangun oleh Edmund Husserl sebagai dasar fenomenologi Siswantoro, 2005: 9. Di dalam fenomenologi, kesadaran adalah intensional dan seluruh kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu. Ini berarti kesadaran tidak pasif, tidak sekadar sebagai lembar kertas yang berisi registrasi atau daftar catatan objek-objek. Kesadaran bersifat aktif yang di dalamnya terjadi proses berfikir. Jadi ketika berpikir, di dalam Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009