yang bertingkah laku tertentu di dalam lingkungan tertentu, tidaklah berarti bahwa pujangga Shakespeare mengenal teori-teori Freud, melainkan memang berarti
Shakespeare mempunyai pengamatan yang tajam dan mendalam tentang hakikat atau kodrat manusia Hardjana, 1991: 6.
2.3. Landasan Teori
2.3.1. Teori Psikologi Sastra
Psikosastra atau psikologi sastra adalah kajian sastra yang dikaitkan dengan aktivitas kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi. Sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai yang dapat diklasifikasikan ke dalam seni. Sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang ilmu jiwa yang
menekankan perhatian pada manusia, terutama pada perilaku manusia dan proses mental Siswantoro, 2005: 29. Hal ini dapat dipahami karena perilaku merupakan
fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Sedangkan jiwa merupakan sisi dalam manusia yang tidak teramati tetapi bisa dicermati melalui pancaindra.
Meski berbeda, sastra dan psikologi, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan. Keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.
Dalam karya sastra dapat dilihat rekaman kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh
pembaca atau peneliti sastra. Perilaku manusia sangat beragam, tetapi memiliki pola atau keterulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang
ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
tertentu. Misalnya perilaku yang berhubungan dengan fenomena frustrasi atau kecemasan. Pemahaman fenomena kejiwaan ini dapat dilakukan lewat perilaku
seperti apa yang diucapkan dan diperbuat penanggung frustrasi. Ucapan dan perbuatan tadi menjadi bahan observasi dan seterusnya diidentifikasi sebagai kategori
represi, agresi, proyeksi, atau kategori lain. Demikian pula perilaku seseorang yang menanggung gejala jiwa tak normal dapat dipilah-pilah ke dalam kategori histeria,
fobia, depresi, dan lain-lain Siswantoro, 2005: 26. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sabagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya tak akan lepas dari kejiwaan masing-
masing. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar
pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra Endraswara, 2003: 96.
Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus, yaitu:
1. Pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi tokoh dalam karya sastra,
2. Pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca
sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra.
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
3. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika
melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya Roekhan, 1990: 88.
Dari pendapat Roekhan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang menumpukan analisis pada aspek kejiwaan, yaitu
aspek kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, aspek kejiwaan pengarang, dan aspek kejiwaan pembaca.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Wellek dan Austin 1989: 90 ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra,
yaitu: a memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, c memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca. Kajian terhadap psikologi sastra memang agak tertinggal dibandingkan
dengan kajian sastra lainnya. kajian ini baru diminati banyak orang sekitar tahun 1980-an. Harus diakui, khususya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat
perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang juga merupakan penyebabnya, di antaranya: a psikologi sastra seolah-olah
hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b dikaitkan
dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c berkaitan dengan
masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi
sastra Ratna, 2004: 341. Psikosastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis.
Secara definitif, tujuan psikosastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis
psikosastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak
langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat mengalami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike Ratna, 2004: 342-343.
Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh sebab itu, mempelajari manusia dalam sastra sama halnya
mengitari dunia. Wajah dunia baik mikrokosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para peneliti psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini.
Wajah dunia ini memang bisa dilihat dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis dipandang lebih menukik pada esensi manusia itu sendiri
Endraswara, 2008: 10. Psikologi sastra sebagai grand theory, bernaung di bawahnya beberapa teori
seperti teori psikoanalisis, teori kognitif, teori psikologi behaviouristik, teori psikologi humanistik, teori psikologi eksistensial, dan lain-lain.
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
Psikologi behaviouristik adalah psikologi yang menitikberatkan pandangan pada perilaku manusia. Gagasan tokoh psikolog Skinner sampai saat ini masih
cemerlang. Gagasan dia berfokus pada kondisional manusia. Kejiwaan manusia amat terbuka sehingga bisa terpengaruh yang lain. Itulah sebabnya tindakan behaviour
seorang bisa tergantung rangsang psikologisnya Endraswara, 2008: 56. Psikologi behavioristik berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia
adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Perilaku manusia disikapi sebagai respon yang akan muncul jika ada stimulus tertentu yang berupa lingkungan.
Akibatnya, perilaku manusia dipandang selalu dalam bentuk hubungan karena stimulus tertentu akan memunculkan perilaku yang tertentu pula pada manusia.
Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud. Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan
berikutnya memang agak tersendat. Teori analisis psikologi Freud banyak mengilhami para pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjadi
tiga, yaitu id, ego, dan super ego. Isi id adalah dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah satunya adalah libido.
Freud adalah seorang ahli penyakit jiwa, karena itu pandangannya tentang tingkah laku manusia condong pada masalah atau penyakit yang dihadapi individu.
Faktor-faktor yang menentukan tingkah laku individu bersumber dari id yang dikuasai oleh nafsu atau libido. Id berisi insting-insting dasar alami yang dibawa oleh
individu sejak lahir. Adapun ego berfungsi menghubungkan keinginan atau dorongan-dorongan id untuk berhubungan dengan sekitarnya. Baik atau buruk
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
tingkah laku yang dinampakkan untuk memenuhi dorongan id, dikontrol oleh super ego hati nurani. Super ego itu berisi norma-norma, etika yang diperoleh individu
dari masyarakat sekitar terutama orang tuanya. Menurut Freud, perilaku individu merupakan dorongan dari energi psikis yang
disebut eros nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan yang bersumber dari libido-seksual. Energi psikis lain adalah thanotos nafsu untuk mati. Dorongan
terakhir ini banyak ditunjukkan oleh individu-individu yang frustrasi, yaitu pernyataan hasrat-hasrat yang sangat meluap akibat rintangan dari sekitarnya Faisal
dan Andi, TT: 206. Selanjutnya, Freud Faisal dan Andi, TT: 206 merumuskan perilaku sebagai
respon atau jawaban terhadap suatu stimuls atau rangsangan. Respon tersebut sifatnya sangat subjektif bergantung pada pemenuhan dorongan-dorongan eros dan thonatos,
yang keduanya berasal dari dorongan libido. Psikologi eksistensialisme menggunakan sebuah metode filosofis yang
disebut fenomenologi. Fenomenologi adalah kajian yang teliti dan lengkap terhadap fenomena, dan pada dasarnya merupakan temuan filosof Edmund Husserl. Fenomena
adalah semua muatan kesadaran, hal, kualitas, hubungan, kejadian, pikiran, citra, memori, fantasi, perasaan, tindakan, dan seterusnya yang semuanya dialami.
Fenomenologi adalah sebuah upaya yang memungkinkan pengalaman-pengalaman itu bisa berbicara, sehingga mampu menampakkan diri dan menggambarkan gaya
yang sebisa mungkin tidak bias Boeree, 2008: 441.
Lela Erwany : Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun, 2009
Kaum eksistensialis kadang juga dipenuhi dengan kematian. Saat menghadapi kematianlah kehidupan ini baru bisa dipahami. Sepertinya, manusia adalah makhluk
yang sadar akan kematiannya sendiri. Menolak kematian berarti menolak kehidupan. Sebagian besar manusia, menjalani hidup ini dengan melibatkan sebuah penolakan
atas kemanusiaan, dasein, dengan kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jika orang sudah tidak lagi hidup secara autentik berarti dia tidak lagi “menjadi” tetapi hanya
“mengada”. Karena itulah bila hidup adalah sebuah gerakan, maka hidup telah berhenti Boeree, 2008: 443.
Ada banyak cara untuk menjadi hidup ini tidak autentik. Ini bisa dilihat dari sikap orang yang mengabaikan kebebasannya sendiri dan menjalani hidup
berdasarkan kompromi-kompromi dan bertuan pada harta. Orang sibuk mengurusi putusan moral yang akan dibuat. Hidup secara autentik berarti sadar akan kebebasan
dan tugas dalam menciptakan diri sendiri, juga sadar akan adanya kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jadi dituntut untuk bisa menerima segalanya dalam sebuah
perilaku penegasan diri. Teori ini dipergunakan untuk memecahkan masalah pertama.
2.3.2. Linguistik Sistemik Fungsional LSF