Perilaku Manusia Dan Proses Mental Dalam Novel Laila Majnun

(1)

PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL

DALAM NOVEL LAILA MAJNUN

TESIS

Oleh

LELA ERWANY

077009013/LNG

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL

DALAM NOVEL LAILA MAJNUN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

LELA ERWANY

077009013/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL DALAM NOVEL LAILA MAJNUN

Nama Mahasiswa : Lela Erwany

Nomor Induk : 077009013

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D

Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si

2. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D 3. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S


(5)

ABSTRAK

Novel sebagai bagian bentuk sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan dibuat manusia melalui tokoh-tokoh ceritanya. Dalam novel Layla Majnun dapat dilihat kehadiran fenomena kejiwaan yang dialami oleh tokoh utama cerita. Fenomena kejiwaan yang hadir di dalam novel inilah yang dimunculkan kepermukaan dengan menggunakan teori psikologi sastra dan Linguistik Fungsional Sistemik (LFS).

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipandang mampu mempertahankan keaslian teks dengan menempatkan objek ke dalam bingkai psikologis dan proses mental.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perilaku manusia yang dilihat melalui tokoh Majnun, Layla, dan Syed Omri mengalami frustrasi dan penyesuaian diri. Majnun dan Layla frustrasi karena cinta mereka tidak dapat terwujud di dunia, cinta mereka terhalang karena kesombongan orang tua Layla dan adat yang mengikat. Sedangkan Syed Omri mengalami frustrasi karena gagal membahagiakan Majnun. Untuk mengatasi rasa frustrasi, mereka mengadakan penyesuaian diri atau mekanisme pertahanan.

Analisis proses mental pada novel Layla Majnun terdapat 359 klausa dengan rincian: proses mental persepsi 144 klausa atau 40,11%, proses mental afeksi 137 klausa atau 38,16%, dan proses mental kognisi 78 klausa atau 21,73%. Hasil persentase di atas menunjukkan bahwa novel Layla Majnun ini banyak menggunakan klausa aktivitas indra mata dan telinga dan klausa aktivitas hati. Ini sesuai dengan tema novel Layla Majnun yang bercerita tentang cinta. Perasaan cinta yang ada di hati diawali oleh pandangan mata dan mendengar hal-hal yang baik dari orang yang dicintai. Aktivitas otak digunakan untuk membayangkan dan mengenang sang kekasih yang akhirnya akan menambah rasa cinta yang mendalam terhadap orang yang dicintai.


(6)

ABSTRACT

Novel as a form of literary work is like the world describing the events and behavior created and experienced by human beings through the characters in it. In the novel by Layla Majnun, the existence of psychological phenomena experienced by the main character of the study can be seen. This psychological phenomena is then highlighted through he theory of literary psychology and Systemic Functional Linguistic Theory.

This study employs the qualitative method with phenomenological approach because this method is regarded being able to maintain the originality of the text by including the objects to the psychological framework and mental process.

The result of this study shows that the representation of human behavior seen through he characters of Majnun, Layla, and Syed Omri who are frustrated, and self-adjustment. Majnun and Layla are frustrated because they can not materialize their love in this world because of the arrogancy of Layla’s parents and strictly binding culture and tradition. Syed Omri becomes frustrated because he fails to make Majnun happy. To overcome this frustration, Layla and Majnun do some self-adjusment or mechanism of defence.

The result of mental process analysis done to the novel of Layla Majnun reveals that there are 359 clauses related to mental process perception (40,11 %), 137 clauses related to mental process affection (38,16 %), and 78 clauses related to mental process cognition (21,73 %). The percentage above shows that this novel of Layla Majnun uses more clauses related to the activities of eyes, ears, and heart. This matches the theme of the novel of Layla Majnun which tells about love. The feeling of love grows in the heart is initiated through the sight and listening to the good things said by the person who we love. Brain activity is used to imajine and remember the one we love and eventually it will develop a deeper love for the one we love.

Keywords: Behavior by Human Beings, Mental Process, Frustrated and Self-Adjustment.


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmad dan hidayah-Nya, tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A(K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya, yang telah memberi peluang dan kemudahan kepada penulis sejak perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.

3. Instansi yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPs. Selama menempuh

perkuliahan, penulis mendapat bantuan beasiswa dari BPPs Universitas Sumatera Utara. Berkat beasiswa tersebut, penulis dapat menyelesaikan masa studi sesuai jangka waktu yang telah ditentukan.

4. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister

Linguistik, sekaligus sebagai Pembimbing Utama. Di tengah-tengah kesibukan beliau, bersedia memberikan bimbingan dan saran yang sangat bermanfaat demi kesempurnaan tesis ini. Dengan sikap keibuan dan pengayomannya beliau memberikan arahan dan motivasi sehingga mendorong penulis menyelesaikan tesis ini. Beliau juga adalah mantan Koordinator Kopertis Wilayah I yang telah memberi izin tugas belajar kepada penulis. Untuk itu, jasa beliau tidak mungkin penulis lupakan. Tidak lupa juga kepada Drs. Umar Mono, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Linguistik yang telah memberikan kemudahan urusan kepada penulis.


(8)

5. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku Komisi Pembimbing sekaligus Pembimbing Akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan kesabaran kepada penulis. Beliau mengajarkan banyak hal yang berharga bagi penulis. Dengan pengalaman dan pengetahuan beliau menambah wawasan keilmuan penulis. Beliau juga sangat banyak memberikan bimbingan dan saran yang bermanfaat untuk kebaikan tesis ini. Perhatian, motivasi, kesabaran, dan ketelitian beliau dalam membimbing, memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D selaku Penguji yang menjabat Dekan Fakultas

Sastra USU. Beliau sangat memotivasi penulis dari awal perkuliahan hingga pembuatan tesis ini. Dukungan beliau terhadap tesis ini sangat besar dari seminar hasil hingga ujian sidang tertutup.

7. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S selaku Penguji, sehingga tesis ini menjadi

sempurna karena ketelitian beliau.

8. Prof. Dr. Zainuddin, M.Pd selaku Koordinator Kopertis Wilayah I beserta Staf Akademik dan Staf Administrasinya yang telah memberikan izin belajar dan kemudahan urusan kepada penulis.

9. Tarmizi, S.H. M.Hum. selaku Rektor Universitas Amir Hamzah, rekan sejawat,

dan seluruh sivitas akademika, serta pihak Yayasan Universitas Tengku Amir Hamzah yang telah memberikan kesempatan sekaligus dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

10.Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda H. Lobai (Alm), Ibunda Hj. Dewi, Ayahanda Abdul Tambunan (Alm), dan Ibunda Soun Munthe, yang selalu memberikan spirit dan doa yang tulus buat kelangsungan hidup dan studi penulis. Dari mereka penulis dapat lebih mengerti akan makna kehidupan dan dapat melihat sisi kehidupan dalam berbagai atmosfir baik konsep maupun kenyataan. Semoga Allah senantiasa mencurahkan kasih dan rahmad-Nya kepada mereka.


(9)

11.Kakanda OK Saidin, S.H. M.Hum yang selama ini berperan sebagai pengganti ayah bagi penulis dan Kakanda OK Muchtar, Dahliah, Syahril (Alm), Nurhayati dan Nuraini yang selalu mengayomi penulis. Juga kepada Bang Asli, Bang Bonar, Kak Awan, Mara Muda, Spd., Siti, Bina, Briptu Ruslan, Sahrudin, S.T., M.T., dan Khairuddin, M.Si., serta pihak ipar yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mereka semua adalah orang yang dengan tulus dan ikhlas telah memberikan bantuan baik berupa materi maupun moral sehingga penulis mengerti akan hidup dan kehidupan. Juga kepada semua ponakan yang telah memberikan sumbangsih.

12.Lebih dari itu, penulis juga secara khusus berterima kasih kepada suami tercinta Mara Laut Tambunan, S.H., Ananda terkasih Syafriani Tio Sari, Oesman Bahari Abdullah Tambunan, Fadlan Syarifuddin Tambunan, Fatimah Raudatul Fadhilah, Zainab Alia Aqila, dan Maryam Syarbanu Azzakia yang telah memberikan motivasi yang besar dan kekuatan mental sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Bersama mereka penulis merasakan hidup ini lebih berarti. Mereka tiada hentinya berdoa. Untuk merekalah penulis melanjutkan studi dan kepada mereka pulalah tesis ini penulis persembahkan.

13.Junaidi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Swasta Al-Hilal, rekan sejawat, dan Pihak Yayasan Perguruan Al-Hilal yang telah memberi dorongan dan motivasi untuk melanjutkan studi.

14.Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, sekolah

Pascasarjana USU Angkatan 2007/2008. Khusus buat komunitas Larukinagusroma yang terdiri dari personil Ruli, Kiki, Rina, Pak Gustaf, Kak Rosita, dan Kak Ema yang telah banyak berpartisipasi dan ikut memberi warna dalam kehidupan penulis.

15.Staf Administrasi Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU dan

semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang mengatur dunia seorang diri. Dia yang dalam kegelapan hatiku, menyinarkan cahaya yang tiada terlihat. Dia yang menganugrahi manusia keteguhan hati untuk berdoa dan beribadah kepada-Nya. Dia juga yang menganugrahi kepada diriku ilmu, kemudahan dan kemurahan, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Shalawat beriring salam, penulis sampaikan keharibaan nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang syafaatnya kelak sangat diharapkan. Kepada Imam Pemilik Zaman, penulis bertawassul agar senantiasa dalam penjagaannya.

Tesis ini berjudul “Perilaku Manusia dan Proses Mental dalam novel Layla Manun” yang merupakan serangkaian kajian tentang psikologi sastra dan kajian bahasa. Tesis ini membicarakan perilaku manusia yang frustrasi dan penyesuaian diri yang dalam hal ini diwakili oleh manusia yang ada di dalam novel Layla Majnun yaitu: Majnun, Layla, dan Syed Omri. Di dalam tesis ini juga dibahas mengenai kajian bahasa, khususnya proses mental dengan menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Tesis ini juga membicarakan kaitan antara proses mental dengan perilaku frustrasi dan penyesuaian diri.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini berlangsung bukan tanpa hambatan. Akan tetapi, berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih.


(11)

Tulisan ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi pembaca, khususnya tentang frustrasi tesis ini sudah penulis usahakan keilmiahannya, namun penulis mengharapkan kritik dan saran demi untuk penyempurnaan lebih lanjut. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Wassalam.

Medan, 21 Juli 2009 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lela Erwany

Tempat, Tanggal Lahir : Empat Negeri, 8 Juni 1971

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Utomo, Desa Bakaran Batu, Kec. Batang Kuis

Kabupaten Deli Serdang

Pendidikan:

1. SD Inpres No. 014721 Empat Negeri, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten

Batu Bara (Tamat Tahun 1984).

2. SMP Negeri Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara

(Tamat Tahun 1987).

3. SMA Negeri Indra Pura, Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara (Tamat

Tahun 1990).

4. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu (Tahun Masuk 1991, Tamat Tahun 1995).

5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Tahun Masuk 2007, Tamat

Tahun 2009).

Pekerjaan:

1. Dosen Luar Biasa di Universitas Amir Hamzah, Medan (1997 – 2004).

2. Guru Bantu Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Al-Hilal, Medan

(2002-2005) dan menjadi Guru Tetap Yayasan Perguruan Al-Hilal (Sejak Tahun 2005).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ………... iii

KATA PENGANTAR ……….. vi

RIWAYAT HIDUP ……….. viii

DAFTAR ISI ……….... ix

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR DIAGRAM ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR ISTILAH... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ……….. 13

1.3. Tujuan Penelitian ……… 13

1.3.1. Tujuan Umum ………. 13

1.3.2. Tujuan Khusus ……… 13

1.4. Manfaat Penelitian ………. 14

1.4.1. Manfaat Teoritis ………. 14

1.4.2. Manfaat Praktis……….... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI ….. 15

2.1. Kajian Pustaka ……… 15

2.2 . Konsep ……… 17

2.2.1. Perilaku ……….. 17

2.2.2. Proses Mental ………. 23

2.2.3. Novel ……….. 24

2.3. Landasan Teori ……….. 27

2.3.1. Teori Psikologi Sastra ………. 27

2.3.2. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) ……… 33

BAB III METODE PENELITIAN ……… 37

3.1. Sumber Data ……… 41

3.2. Pengumpulan Data ……….. 42

3.3. Keabsahan Data ……….. 43

3.4. Analisis Data ……….. 43

3.5. Tahapan Penelitian ………. 44

3.5.1. Tahap Persiapan ……….. 44


(14)

3.5.3. Tahap Penyelesaian ………. 45

BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL LAILA MAJNUN………. 46

4.1. Struktur Novel Laila Majnun……….……….. 46

4.1.1. Tema ……… 46

4.1.2. Alur ………. 47

4.1.3. Karakter ……… ……….. 52

4.1.4. Bahasa……….. 59

4.1.5. Latar………. 60

4.2. Hakikat Cinta Novel Laila Majnun…….……… 62

4.3. Nizami Ganjavi sebagai Penyusun Layla Majnun dan Penulis Kisah-kisah Cinta... 66

BAB V REPRESENTASI PERILAKU MANUSIA DALAM NOVEL LAILA MAJNUN………... 72

5.1. Frustrasi……….. 72

5.1.1. Reaksi Agresif………. 73

5.1.2. Reaksi Menghindar……….. 80

5.1.3. Reaksi Kompromi……… 84

5.2. Penyesuaian Diri………. 95

5.2.1. Regresi………. 96

5.2.2. Berkhayal………. 99

5.2.3. Pengalihan……… 102

5.2.4. Menutup Kelemahan……… 104

5.2.5. Peningkatan Diri……….. 108

BAB VI ANALISIS PROSES MENTAL DALAM NOVEL LAILA MAJNUN…... 112

6.1. Analisis Proses Mental……… 112

6.1.1. Mental Persepsi………... 114

6.1.2. Mental Afeksi ………. 116

6.1.3. Mental Kognisi……… 119

6.2. Persentase Analisis Proses Mental ……… 121

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………. 126

7.1. SIMPULAN ………. 126

7.2. SARAN ……… 128


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Refresentasi Perilaku Manusia dalam Novel LM ……….. 111


(16)

DAFTAR DIAGRAM

Nomor Judul Halaman

1. Formulasi Bandura tentang Perilaku ……….. 20


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Sinopsis...………….. 133 2. Tabel Analisis Proses Mental ...…….. 146


(18)

DAFTAR ISTILAH

Agresif : Reaksi menyerang atau menyakiti. Perilaku ini terjadi

karena usaha untuk mencapai tujuan telah buntu.

Ahlulbait : Garis keturunan Nabi Muhammad SAW yang sampai

kepada duabelas Imam suci dalam kepercayaan mazhab Syi’ah

Ahlul-Kisa : Keturunan nabi yang terdapat dalam hadist Kisa yang

mengacu kepada lima orang manusia suci yaitu, Nabi Muhammad SAW, Imam Ali as, Syaidah Fathimah as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as.

Asy : Sup yang terbuat dari campuran tepung dan daging yang

dibuat pada hari ke-9 dan 10 Muharram dan diberikan kepada peserta aza. Makanan ini adalah makanan khas masyarakat Iran.

Asyuro : Tanggal 10 Muharram.

Aza Muharram : Acara duka yang digelar untuk memperingati syahidnya

Imam Husain as di Karbala pada tanggal 10 Muharram.

Baligh : Cukup umur atau dewasa.

Berkhayal : Melamun, reaksi ini terjadi ketika seseorang melakukan

kompensasi atas keinginan yang tidak tercapai.

Climax : Bagian alur cerita yang menunjukkan peristiwa mencapai

puncaknya.

Denoument : Bagian alur cerita yang menunjukkan pemecahan soal dari

semua peristiwa atau penyelesaian.

Ego : Bagian dari jiwa yang bereaksi terhadap kenyataan eksternal

yang dianggap seseorang sebagai ‘diri’.

Eros : Nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan.

Perilaku yang ditujukan untuk kelangsungan dirinya sendiri dan kesenangan.


(19)

Fenomena : Hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.

Fenomenologi : Aliran pemikiran kesusastraan yang muncul di Jerman pada

awal abad ke-20. Pada mulanya aliran ini adalah hasil dari pemikiran falsafah yang dikemukakan oleh Edmund Husserl.

Free-floating anger

: Reaksi orang frustrasi kronis yang kemarahan atau rasa

permusuhan yang diungkapkan tidak pandang bulu.

Frustrasi : Rintangan terhadap dorongan atau kebutuhan. Frustrasi juga

diartikan sebagai proses tingkah laku yang terhalang.

Generating circumtanses

: Bagian alur yang menunjukkan peristiwa yang bersangkut

paut mulai bergerak.

Id : Bagian dari jiwa yang tak disadari yang menyangkut

impuls-impuls yang naluriah, keturunan.

Kompromi : Menyerah pada suasana yang tidak mengenakkan agar

tujuan yang diimpikan tetap bisa terlaksana.

Libido : Keinginan atau hasrat yang harus dipuaskan.

Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

: Teori linguistik yang dipelopori oleh M.K.A. Halliday yang

berkebangsaan Australia yang memfokuskan perhatian terhadap hubungan bahasa dan konteks.

Macan Ali : Gelar yang diberikan kepada Imam Ali as karena kekuatan,

keberanian dan kesederhanaannya.

Mazhab Syafi’i : Mazhab Islam terbesar yang berpedoman kepada fikih Imam

Syafi’i.

Mazhab Syi’ah : Mazhab mayoritas masyarakat Iran yang percaya kepada

kepemimpinan duabelas imam.

Menutup Kelemahan

: Mengganti kelemahan dengan menunjukkan kelebihan.

Pengalihan : Perwujudan serangan yang ditujukan kepada objek sasaran


(20)

Peningkatan Diri : Tumbuhnya kesadaran akan hasrat pemenuhan dalam usaha

mencapai tujuan dan cita-cita yang dikehendaki.

Perilaku : Tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau

lingkungan.

Proses Mental : Kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indra, kognisi,

emosi, dan persepsi yang terjadi di dalam diri manusia.

Proyeksi : Penggantian kearah luar yang merupakan kebalikan dari

melawan diri sendiri.

Psikoanalisis : Sistem psikologi dan metode dalam perawatan

penyimpangan mental.

Psikologi : Studi ilmiah mengenai pikiran dan perilaku.

Psikologi Sastra : Kajian sastra yang dikaitkan dengan aktivitas kejiwaan.

Rasionalisasi : Proses merekayasa alasan agar terkesan logis untuk

mempertahankan harga diri.

Regrasi : Kembali ke perilaku atau ke tahap perkembangan yang

sebelumnya.

Ricing Action : Bagian alur yang menunjukkan keadaan mulai memuncak.

Scapegoating : Mencari kambing hitam atau mengalihan penyerangan ke

objek penyebab frustrasi karena ada rasa tidak berani mengungkapkan rasa marah secara langsung.

Situation : Bagian alur yang menunjukkan pengarang mulai melukiskan

keadaan.

Sublimasi : Penggantian kepuasan karena kepuasan langsung dari

keinginan tidak mungkin terlaksana.

Suicide : Reaksi orang frustrasi dengan cara menyerang diri sendiri

sebagai objek pengganti kemarahan atau bunuh diri.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengaruh Iran yang dulu terkenal dengan nama Persia, terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran, setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua cabang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai pada derajat tersebut.

Sejak berabad-abad lampau hingga kini, Iran memiliki peranan penting dalam percaturan dunia internasional. Kawasan ini tidak hanya menjadi tempat kelahiran bapak revolusi Islam, yaitu Imam Khomeni, tetapi sejak dahulu telah menjadi tanah kelahiran filsuf dunia seperti Razi, Kharazmi, Khoja Nashiruddin Thusi, Firdausi, Rumi, Hafiz, Athar, Sa’di, Umar Khayam, Nizhami, dan Sanai (Iqbal, 2006: vii).

Dalam wacana kesusastraan, Iran telah mengukir sederet prestasi yang prestisius. Salah satu tema sentral literatur sastra mereka adalah keadilan. Oleh karena itu, wajar apabila banyak orang selalu jatuh hati kepada karya-karya sastra Iran. Sa’di penyair besar Iran pernah mengatakan bahwa janganlah sekali-kali menyakiti semut karena binatang itu memiliki nyawa sedangkan nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga. Bangsa Iran telah menyemarakkan dunia dengan karya-karya sastra tinggi


(22)

dalam bidang moral, ilmu-ilmu dunia dan akhirat, seni dan budaya, serta spiritualitas. Sastra Persia sudah menjadi sastra dunia internasional (Iqbal, 2006: ix).

Hamzah Fanshuri adalah nama yang tidak bisa dilupakan dalam hal ini. Ia adalah seorang sufi dan penyair Indonesia yang turut berjasa dalam menyebarluaskan

konsep-konsep Wahdat al-Wujud di Aceh dan tanah Melayu. Hamzah Fanshuri

sangat menguasai bahasa Persia dan Arab. Dalam karya-karya prosanya, seperti Asrar al-Arifin, Syarab al-‘Asyikiqin, al-Muntaha, dan Ruba’iyat Hamzah, bertebaran kosa kata Persia. Demikian pula, dalam karya karya itu, seringkali dikutip dialog burung-burung dari kitab Mantiq ath-Thayr karya Athar.

Dengan demikian bisa menyimpulkan bahwa pengaruh budaya Iran sangat kental dalam kebudayaan Indonesia. Setiap tahun, sebagian masyarakat Indonesia kerap mengenal ritual ‘Aza Muharam dengan memasak sajian khusus dan membagi-bagikannya kepada masyarakat. Makanan ini mirip dengan makanan asy yang ada di Iran. Di Jawa, makanan ini dikenal dengan nama “bubur suro” sedangkan di Aceh dengan nama “kanji asyura”. Masyarakat Minang, memiliki tradisi sendiri untuk menghormati Asyura (10 Muharram), yakni perayaan tabuik atau tabut. Tabut adalah upacara ritual keagamaan yang diadakan untuk memperingati syahidnya Imam Husain cucu Rasulullah SAW di Karbala.

Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari India, orang-orang Iran memiliki peranan yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya. Ada dugaan bahwa sebagain besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah. Dimungkinkan pada masa awal


(23)

perkembangan Islam di sini, fikih Syi’ahlah yang berlaku. Namun, dengan berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah mulai terkikis dan sekarang pengaruh fikih Syi’ah di Indonesia tidak terlihat lagi (Iqbal, 2006: 27).

Pengaruh bahasa Iran juga terekam dalam karya-karya sastra Melayu. Sebagian besar karya sastra klasik Iran diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Dalam kitab Sejarah Melayu dan buku-buku lainnya, ucapan dan perumpamaan raja-raja Persia sering kali dikutip. Hal in juga membuktikan bahwa raja-raja-raja-raja Persia itu

sangat dikagumi masyarakat Melayu. Kosa kata seperti bandar dan nakhoda, sejak

berabad-abad lampau sudah menjadi bahasa Melayu (Indonesia).

Sebagian besar raja Melayu menggunakan gelar-gelar Persia seperti Malik, Syah, dan Sultan. Gelar ini juga disandang oleh raja-raja di Malaysia dan Indonesia. Misalnya saja, di Malaka Sultan Muzhafar Syah, Sultan Manshur Syah, dan di Pahang Sultan Muhammad Syah.

Pengaruh Iran juga terlihat pada singgasana para sultan di kesultanan Islam Malaka. Masyarakat Malaka suka memakai topi yang bernama “dastar”, persis topi yang sering digunakan masyarakat Iran di zaman dahulu. Gedung resmi kesultanan Melayu disebut dengan “istana” yang diambil dari bahasa Persia dan stempel kesultanan disebut dengan “Cap Muhur”.

Kisah-kisah tentang keberanian, keadilan, dan kesederhanaan Imam Ali as sangat berpengaruh terhadap kesusastraan dunia Islam. Demikian pula adanya kisah-kisah keberanian Imam Ali as dalam literatur Indonesia menunjukkan pengaruh kuat mazhab Syi’ah terhadap pemikiran-pemikiran dan ritual-ritual masyarakat Indonesia.


(24)

Kitab Sejarah Melayu mencatat bahwa pada tahun 1511 M, beredar sebuah hikayat tentang Muhammad Hanafiah (Hikayat Muhammad Hanafiah), putra Imam Ali bin Abi Thalib as, yang dibacakan di hadapan Kesultanan Islam Malaka, agar keberanian mereka bertambah, sehingga para tentara Malaka itu terdorong untuk melawan tentara Portugis dengan penuh keberanian.

Masyarakat Malaysia sangat menghormati Ahlulbait Rasulullah SAW. Mereka menganggap Imam Ali as sebagai sumber keberanian. Dengan perantaraan

Imam Ali as, yang bergelar Asadullah (Singa Allah), mereka memohon pertolongan

kepada Allah SWT. Pada sejumlah bendera milik beberapa kesultanan lokal di Malaysia, gambar “Singa Ali” melambangkan kebesaran dan keberanian. Ini dapat dilihat pada bendera milik Kesultanan Islam Kelantan, Malaysia. Dalam literatur Melayu, Buraq disebut sebagai kuda Rasulullah SAW. Di samping itu, mereka juga meyakininya sebagai kuda Imam Husain as. Hal ini karena Buraqlah yang membawa ruh suci Imam Husain as ke sisi Allah SWT setelah syahid di padang Karbala (Iqbal, 2006: 126).

Pada bendera Kesultanan Islam Cirebon dan dinding-dinding istana kesultanan, yang di Jawa Barat di kenal dengan nama Kasepuhan, terpampang gambar “Macan Ali”. Pada pendapa istana ini, di pasang dua gambar “Macan Ali”, untuk keselamatan Kesultanan itu dari segala musibah dan ekspansi para penjajah. Gambar ini masih terpampang hingga sekarang.

Di samping itu, sewaktu Kesultanan Demak, Jawa Tengah, bersama pasukan Kesultanan Islam Cirebon, atas perintah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan


(25)

di bawah komando Fatahillah, membebaskan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M, yang kemudian kota itu diberi nama Jayakarta (artinya kemenangan yang besar). Mereka membawa bendera yang terdapat simbol “Kekuatan Allah SWT dan lima orang dari Ahlul-Kisa”. Simbol ini berupa nama Allah SWT dan kekuatan-Nya dengan simbol Bismillah, surah al-Ikhlas, dan surah al-Fath. Juga terdapat inisial dari nama Muhammad SAW dan Fatimah as, simbol kekuatan dan keberanian Amirul Mukminin Ali as dengar gambar seekor singa, pedang Imam Ali as yang terkenal dengan julukan Zulfikar (pedang yang bermata dua), dan dua ekor singa lainnya sebagai simbol Imam Hasan as dan Imam Husain as ( Iqbal, 2006: 126-127).

Kedatangan Islam ke tanah Melayu telah membawa perkembangan baru kepada wilayah ini. Masyarakat Melayu hidup di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, di wilayah Patani (Thailand), Filipina, dan Srilanka. Pengaruh kebudayaan Iran terhadap kebudayaan Melayu, pada hakikatnya adalah berada di bawah pengaruh tradisi Islam yang datang dari negeri Arab dan Iran, yang warna tradisi Irannya tampak lebih kuat. Pengaruh Syi’ah juga terlihat pada ritual pembacaan doa untuk menghindar dari musibah (tolak bala), yang disebut dengan “Jampi Mantra”, dan tradisi pembacaan doa ratib.

Sastra Islam datang bersamaan dengan kedatangan Islam ke alam Melayu. Sastra Islam ini bertugas untuk menyokong pendakwaan dalam agama Islam. Sastra Islam yang pertama berkembang di alam Melayu adalah sastra kitab. Kemudian barulah sastra berbentuk legenda dan kisah nabi.


(26)

Di awal sudah dijelaskan bahwa agama Islam yang berkembang di alam Melayu pada mulanya berasal dari ulama India dan Persia. Oleh karena itu, karya sastra yang bercorak Islam banyak yang berasal dari Persia. Jika dalam puisi dikenal, gazhal, nazam, bayt, qit’ah, dan lain-lain. Sedangkan dalam bentuk prosa dijumpai dalam sastra berbingkai. Salah satu jenis sastra berbingkai adalah Hikayat Seribu Satu Malam.

Hikayat Seribu Satu Malam merupakan sastra berbingkai karena di dalam cerita itu terdapat cerita lain. Di dalam Hikayat Seribu Satu Malam terdapat kisah utama tentang bagaimana Ratu Syahrazad menceritakan satu kisah setiap malam selama seribu satu malam kepada Raja Syahriar, suaminya, untuk menunda hukuman mati dari suaminya itu (Yuwono, 2007: 89).

Cerita-cerita yang terdapat di dalam Hikayat Seribu Satu Malam yang sangat popular dan diingat oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Melayu, adalah Aladin, Ali Baba, Abu Nawas, Laila Majnun, dan lain-lain. Dalam kreativitas penulisan cerita-cerita tersebut disajikan dalam berbagai bentuk, seperti cerita anak, komik, dan humor. Akhirnya timbullah cerita dalam beberapa versi yang disesuaikan dengan kultur budaya cerita itu tercipta. Cerita itupun sering didramakan dan difilmkan. Dalam kesusastraan Melayu klasik, cerita Abu Nawas ini berubah versinya menjadi cerita Pak Belalang.

Laila Majnun masuk ke alam Melayu melalui sastra berbingkai. Sikana (2007: 85), mengatakan:


(27)

“Salah satu genre sastra bawaan daripada Arab Parsi yang dikaitkan dengan hikayat ialah sejenis penceritaan yang sambung bersambung dan berantai. Genre ini terkenal dengan nama Hikayat Berbingkai, karena strukturnya berbeza dari hikayat umum. Dapat juga dinyatakan ia bersifat sebagai cerita dalam cerita yaitu ceritanya terjadi daripada satu cerita pokok dan di dalamnya terdapat berbagai-bagai cerita yang lain, dikenali sebagai cerita sisipan, cerita berakhir dengan kembali kepada cerita pokok.…cerita yang sedia dikenal oleh masyarakat ialah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Kalilah dan Dimnah, dan Hikayat Seribu Satu Malam”.

Di Indonesia, Laila Majnun pernah ditulis oleh Hamka dan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1932, tebalnya 74 halaman. Kemasyhuran kisah Laila Majnun ini juga telah memberi inspirasi kepada sutradara kondang Indonesia, alm. Sjumandjaja, untuk membuat cerita layar lebar. Tahun 1975, dibuatlah film dengan judul Laila Majnun dengan bintang utama Rini S Bono sebagai Laila dan Ahmad Albar sebagai Majnun. Film ini mengantongi penghargaan untuk kategori Aktor Pembantu bagi Farouk Afero pada Festival Film Indonesia 1976 (Purwantari, 2004).

Laila Majnun (selanjutnya disebut LM) adalah salah satu kisah yang populer dalam dunia Islam. Selama lebih dari seribu tahun beragam versi dari kisah tragis ini telah muncul dalam bentuk prosa, puisi, dan lagu dalam hampir semua bahasa di negara-negara Islam Timur Dekat. Meski demikian, sajak epik Nizami-lah yang masih menjadi dasarnya.

Nizami, seorang penyair Persia, ditugaskan untuk menulis LM oleh penguasa Kaukasia, Shirvanshah, pada tahun 1188 Masehi. Dalam pengantar aslinya pada puisi tersebut, Nizami menjelaskan bahwa seorang utusan dari Syirvanshah menemuinya dan memberinya sebuah surat yang ditulis tangan oleh sang raja sendiri. Syirvanshah


(28)

memuji Nizami sebagai “penyair dengan keelokan kata-kata terhebat di dunia”, lalu meminta Nizami untuk menulis sebuah epik romantis yang diambil dari cerita rakyat Arab; kisah mengenai Majnun yang telah melegenda, sang penyair yang “gila cinta”, dan Laila gadis padang pasir yang kecantikannya sangat terkenal (Nizami, 2008: 8).

Sedangkan Dar (2003: 9) penerbit dari Bairut berkomentar, LM menempati posisi penting dalam deretan kisah cinta abadi mayarakat Arab. Kisah ini dituturkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga menjadi semacam legenda yang menjadi buah bibir para juru kisah di setiap penjuru negeri Arab, kisah Qays dan Layla bukan sekedar cerita fiksi. Ia memiliki batas-batas faktual yang biasanya mempermainkan imajinasi untuk kemudian diubah menjadi sekadar cerita atau mitos. Banyak pengarang yang menyandarkan setiap kisah cinta pada kisah ini. Mereka lalu menisbatkan banyak syair-syair cintanya kepada Qays, syair-syair yang diucapkannya untuk Layla.

Kepopuleran kisah Layla dan Majnun ini dirasakan juga di Indonesia. Dua penerbit di Indonesia menerbitkan cerita tersebut, yaitu Ilman Books dan Navila pada tahun 2002. Bahkan, buku terbitan Navila menjadi buku paling laris dengan mencetak rekor memasuki cetakan ke-18 pada bulan Mei 2004. Sementara buku terbitan Ilman Books telah memasuki periode cetakan ke-6 pada tahun 2004 (Purwantari, 2004).

Kisah Layla dan Majnun terus diterbitkan di Indonesia. Pada tahun 2002, penerbit Oase menerbitkan Laila Majnun dan sampai Maret 2008 sudah memasuki cetakan ke-10. Buku terbitannya terjual lebih dari 10.000 eksemplar dan mendapat


(29)

menerbitkan Laila Majnun tahun 2007 dan pada bulan Juli 2008 sudah memasuki cetakan ke-3. Buku terbitannya mendapat julukan International Best Seller.

Amin (2008: 109) menyatakan:

“Nizhami adalah sufi penyusun kisah-kisah cinta yang sangat monumental. Karyanya yang sangat terkenal adalah Laila dan Majnun yang telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa-bahasa dunia. Kisah Laila dan Majnun ini mengisahkan kisah cinta anak manusia yang tak sampai yang akhirnya sang laki-laki, yaitu Qais menjadi gila dikarenakan cintanya yang amat besar dan tergila-gila kepada Laila. Kendatipun berbentuk cerita tak urung karya-karya itu mengandung banyak pelajaran tersembunyi bagi para penempuh jalan spiritual. Tingkatan pengajarannya berkisar pada pelajaran yang diperuntukkan bagi orang-orang awam hingga yang dikhususkan bagi para pengenal sebuah tarekat sufi”.

Selanjutnya Colin (Nizami, 2008: 9) mengatakan, Nizami sungguh telah menciptakan sesuatu yang “khusus”untuk rajanya, Shirvanshah. Keasliannya yang menolok terletak pada caranya yang bagus sekali dalam melukiskan area kejiwaan yang berhubungan dengan kompleksitas emosi manusia ketika dihadapkan kepada “cinta yang tidak mengenal hukum”. Cahaya yang dibawa hati ketika sedang jatuh cinta; gairah dari rasa kasih sayang; duka akibat perpisahan; kepedihan akibat kesangsian dan kecemburuan; pahitnya cinta yang dikhianati; kesedihan yang ditimbulkan oleh kehilangan. Bahasanya mungkin adalah bahasa Persia abad ke-12, namun temanya adalah sesuatu yang menembus semua batasan ruang dan waktu.

Sehubungan dengan komentar Colin di atas mengenai area kejiwaan, karya sastra memang erat hubungannya dengan psikologi. Sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya”, melainkan sebuah fakta mental pengarang. Pengarang mengolah fakta objektif


(30)

dengan menggunakan fakta imajinasi, sehingga tercipta mental imajinatif. Di dalam karya sastra akan tercermin berbagai fakta imajinatif yang membutuhkan kecermatan dalam penelitiannya.

Atar Semi (Endraswara, 2008: 7) menyatakan:

“…karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam bentuk ciptaan karya sastra”.

Pendapat Atar Semi di atas, mengingatkan kepada kita bahwa karya sastra itu tidak bisa terlepas dari pengarangnya. Dalam menciptakan karyanya pengarang menuangkan idenya melalui fakta imajinasi dan merealisasikannya dalam bentuk tulisan. Setelah karya sastra tercipta, maka dalam memahami karya tersebut pembaca juga mengalami proses kejiwaan.

Untuk merekam gejala psikologi tersebut diperlukan seperangkat teori ilmu jiwa. Tidaklah mengherankan jika terlahir beraneka psikologi yang menyoroti kepribadian. Sebagai contoh lahir Psikoanalisis yang dikembangkan oleh S. Freud dan lahir pula pemikiran yang serupa dari Alfred Adler yang mengemukakan teori Psikologi Individual. Teori kepribadian lain yang dikenal dengan nama Social Learning Theory hasil pengamatan dan studi dari seorang pakar yang bernama Albert Bandura tidak ketinggalan pula seorang psikolog kondang dari Amerika, yaitu Abraham Maslaw yang merumuskan teorinya dengan sebutan Humanistic Theory of Personalitiy. Kita mengenal pula tokoh besar lain dari negeri yang sama, yaitu George Kelly, dengan rumusan teori Cognitive Theory of Personality.

Sastra dan psikologi memiliki esensi penelitian yang sama yaitu manusia, baik dari segi watak maupun perilaku. Wilayah penelitian keduanya sering terfokus pada


(31)

masalah manusia yang berbeda. Psikologi terfokus pada manusia dalam dunia nyata, sedangkan sastra terfokus pada manusia dalam dunia khayal.

Pemahaman manusia dalam sastra akan lengkap apabila ditunjang oleh psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti bahwa teori penelitian psikologi sastra jelas merupakan gabungan dari teori sastra dan teori psikologi. Hukum-hukum psikologi dicocokkan dengan dalil sastra sehingga membentuk kerangka analisis. Namun yang perlu dicermati oleh peneliti sastra adalah yang paling dominan harus teori sastra agar penelitian tetap berada dalam koridor sastra. Psikologi hanya sebagai alat bantu saja untuk mengungkapkan perilaku manusia dalam karya sastra.

Novel LM dipilih dalam penelitian ini karena sangat menarik untuk dikaji. Selain karena novel ini termasuk novel terlaris nasional dan internasional, kelebihannya juga terletak pada ceritanya yakni penderitaan batin yang dialami oleh Majnun sebagai tokoh utama. Penderitaan batin tersebut menimbulkan perilaku yang menyimpang dari manusia normal. Hal ini disebabkan karena frustrasi yang berkepanjangan yang dialami oleh Majnun. Majnun sangat mencintai Layla. Cintanya kepada Layla tidak bisa disamakan dengan cinta siapa pun di dunia ini. Ia rela hidup menderita demi mempertahankan cinta tersebut. Begitu juga dengan Layla. Cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan, namun karena kesombongan orang tua Layla, membuat cinta mereka terhalang. Majnun tetap setia pada cintanya, begitu juga Layla. Namun karena Layla perempuan, dia tidak bisa berbuat seperti Majnun dalam melampiaskan rasa cintanya. Adat dalam masyarakat Arab melarang perempuan yang


(32)

Layla lebih menderita dari Majnun. Akhirnya rasa cinta itu harus dibawa sampai mati.

Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh utama ini akan sangat menarik bila dikaji secara psikologi. Psikologi memberikan gambaran tentang aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas-aktivitas secara motorik, kognitif, maupun secara emosional. Aktivitas-aktivitas itu merupakan perilaku sebagai manifestasi hidup kejiwaan. Jika dikaitkan dengan kejadian yang dialami oleh Layla dan Majnun, maka novel LM ini sangatlah tepat apabila dikaji melalui pendekatan psikologi sastra, tepatnya analisis frustrasi.

Dalam penelitian ini penulis hanya membahas tentang perilaku Layla dan Majnun, dan Syed Omi sebagai tokoh yang mengalami frustrasi dalam cerita LM. Perilaku tersebut juga hanya dibatasi pada perilaku frustrasi dan penyesuaian diri mereka.

Di samping itu, penelitian ini juga membahas tentang proses mental dalam novel LM. Proses mental dapat memperlihatkan kepada pembaca tentang keadaan jiwa orang yang sedang jatuh cinta dan perilaku orang yang cintanya terhalang yang dalam hal ini berkaitan dengan frustrasi dan penyesuaian diri.


(33)

1.2. Rumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah representasi dari perilaku manusia dalam novel LM?

2. Bagaimanakah perolehan proses mental dalam novel LM?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua tujuan yakin tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji fenomena kejiwaan tokoh utama melalui novel LM. Pengkajian salah satu aspek dari karya sastra (novel) belum memadai untuk memahami novel tersebut. Oleh karena itu, pengkajian terhadap novel LM dari perspektif kejiwaan akan menambah pemahaman yang lebih luas lagi tentang novel tersebut. Pengkajian semacam ini dilakukan untuk lebih memperkokoh kritik sastra dan menambah wawasan dalam kajian sastra itu sendiri.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Mendeskripsi dan menganalisis perilaku manusia dalam Novel LM.

2. Mendeskripsi dan menganalisis proses dalam novel LM.


(34)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan teori psikologi

dalam kajian sastra.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model penelitian psikologi sastra terhadap kajian karya sastra yang lain.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber acuan bagi penelitian-penelitian linguistik tentang fungsi eksperensial yang direalisasikan melalui analisis proses mental.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi kepada penikmat dan pembaca

tentang fenomena kejiwaan tokoh utama dalam novel LM.

2. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang penyakit jiwa yang


(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1. Kajian Pustaka

Pengkajian terhadap novel LM sebenarnya sudah banyak dilakukan terutama yang berbentuk artikel. Melalui internet, penulis temukan lebih dari duapuluh kajian yang membahas tentang kekuatan cinta Majnun. Melalui Pustaka Online Media ISNET - Hosen (1997), memperlihatkan energi cinta Majnun terhadap Laila diibaratkan seperti cinta Majnun terhadap Allah. Dalam ech’s Blog (2004) dibahas mengenai cinta Majnun terhadap Laila hampir sama kisahnya denga kehidupan yang dialaminya. Harian Kompas tanggal 23 Oktober 2004, membahas tentang perbandingan naskah LM yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Ilman Books, dan Navila.

Dari pengamatan penulis, terdapat beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Margaretha Evi Yuliana (UNS, 2004) meneliti untuk skipsinya yang berjudul “Konflik Tokoh-Tokoh Utama Novel Ca-Bau-Kan karya Remi Sylado: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konflik yang dialami tokoh utama dalam novel ini memengaruhi sikap dan tingkah laku masyarakat dalam bentuk tindakan menyimpang dari norma-norma dalam masyarakat.

Penelitian lain dilakukan oleh Astin Nugraheni (UMS, 2006) dengan judul skripsinya “Konflik Batin Tokoh Zaza dalam Novel Azelea Jingga Karya Naning


(36)

Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik yang dialami tokoh utama harus dihadapkan pada dua pilihan yang berat antara kesetian terhadap suami dan kenyataan pahit yang harus dihadapi karena suaminya selingkuh.

Penelitan lain dilakukan oleh Tarmizi Ramadhan (Tarmizi Ramadhan’s Blog, 21 Nopember 2008) dengan judul “Analisis Frustrasi Tokoh Utama Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Kajian Psikologis)”. Kajian ini didasarkan pada hasil kajian Siswantoro (2005: 62) dengan judul: A study on Frustrasion on Relfelcted in Harry, the Major Character of “The Snows of Kilimanjaro”, a Fiction by Ernest Hemingway: Psychological Approach. Dalam analisisnya peneliti mengungkapkan penyebab frustrasi Nayla, wujud frustasi Nayla, dan self adjasment (penyesuaian diri) Nayla.

Dari kajian di atas, penulis mencoba melakukan hal yang sama tentang perilaku Laila dan Majnun dalam LM. Penulis juga akan menganalisis sebab-sebab dan wujud frustrasi serta penyesuaian diri mereka.

Kajian tentang Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dalam karya sastra sudah banyak dilakukan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Rohani Ganie (USU, 2008) dengan judul tesisnya “Analisis Genre Narasi Hikayat Perang Sabil: Pendekatan Linguistik Sistemik”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses yang mendominasi dalam hikayat itu adalah proses material. Hal ini disebabkan banyaknya verba aksi dan tindakan yang digunakan dalam hikayat tersebut.


(37)

Penelitian lain dilakukan oleh Hesti Fibriasari (USU, 2008) dengan judul tesis “Representasi Makna Eksperensial dan Antarpersona dalam Pengantar Majalah Femina dan Kartini”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada empat makna eksperensial yang digunakan pada pengantar majalah tersebut, yaitu: proses material, proses mental, proses relasional, dan proses verbal. Namun, kajian fungsi pengalaman atau eksperensial terrhadap novel LM ini, belum pernah dilakukan.

Dari uraian tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa orisinilitas penelitian dengan judul “Perilaku Manusia dan Proses Mental dalam novel Laila Majnun” dapat dipertanggungjawabkan.

2.2. Konsep

2.2.1. Perilaku

Psikologi merupakan ilmu tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas individu. Karya sastra masih ada hubungannya dengan psikologi. Woodwortth dan Marquis (Walgito, 2003: 15) memberikan gambaran bahwa psikologi itu mempelajari aktivitas-aktivitas individu atau perilaku individu. Perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut dalam pengertian yang luas, yaitu perilaku yang menampak (overt behaviour) dan atau perilaku yang tidak menampak (inert behaviour), demikian pula aktivitas-aktivitas tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk aktivitas emosional dan kognitif.

Menurut Tim (2005: 858) di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perilaku” bermakna ‘tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau


(38)

lingkungan’. Ini menunjukkan bahwa perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Namun demikian, sebagian terbesar dari perilaku individu itu sebagai respon terhadap stimulus eksternal.

Kaum behaviouris memandang bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu atau organisme seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya. Hubungan stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis.

Aliran kognitif memandang perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Ini berarti individu dalam keadaan aktif. Hubungan stimulus dan respon tidak secara otomatis, tetapi individu mengambil peranan dalam menentukan perilakunya. Woodworth dan Schlosberg membuat kaitan antara stimulus, organisme, dan perilaku sebagai respon diformulasikan dengan formulasi: S-R-O. Ini berarti dalam memberikan respon organisme itu ikut aktif ambil bagian. Formulasi tersebut dapat disajikan dalam bentuk lain yaitu dengan formulasi: R = f(S,O), dengan pengertian R = respon, f = fungsi, S = stimulus, dan O = organisme. Ini berarti bahwa respons itu bergantung atau merupakan fungsi dari stimulus dan organisme yang bersangkutan. Selanjutnya, apa yang ada dalam diri individu itu berperan memberikan respons adalah apa yang telah dipelajari oleh organisme yang bersangkutan. Oleh karena itu, formasi yang semula berbentuk R = f(S,O),


(39)

disempurnakan atau diubah menjadi R = f(S,A), dengan catatan A = anteseden (Walgito, 2003: 15-16).

Di samping formulasi tersebut, masih terdapat formulasi-formulasi lain yang semuanya itu memberikan gambaran tentang perilaku organisme. Lewin (Walgito, 2003: 16) memberikan formulasi mengenai perilaku itu dengan bentuk B = f(E,O), dengan keterangan B = behaviour, f = fungsi, E = environment, dan O = organisme. Formula tersebut memberikan pengertian bahwa perilaku (behaviour) itu merupakan fungsi atau bergantung pada lingkungan (stimulus) dan organisme yang bersangkutan.

Pada dasarnya formulasi yang dibuat oleh Lewin, tidak berbeda dengan formulasi Woordworth dan Schlosberg, yaitu bahwa perilaku itu bergantung pada lingkungan (stimulus) dan organisme yang bersangkutan. Dengan formulasi di atas hubungan antara E dan O tidak tampak dengan jelas, yaitu bagaimana bentuk hubungannya.

Paparan di depan menunjukkan perilaku itu muncul sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan organisme. Pengaruh perilaku belum nampak dalam formulasi di atas. Bandura (Walgito, 2003: 17) mengemukakan suatu formulasi mengenai perilaku, dan sekaligus dapat memberikan informasi tentang peran perilaku itu terhadap lingkungan dan terhadap individu atau organisme yang bersangkutan. Formulasi itu dapat digambarkan dengan diagram berikut:


(40)

B

E P

Diagram 1. Formulasi Bandura tentang Perilaku

Dengan pengertian B = behaviour, E = environment, P = person. Dalam hal ini Bandura sendiri menggunakan pengertian person, bukan organisme.

Perilaku, lingkungan, dan individu, itu sendiri saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri. Di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan, demikian pula, lingkungan dapat mempengaruhi individu, demikian sebaliknya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku manusia bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor dari diri individu itu sendiri. Melalui novel LM, penulis akan melihat perilaku Majnun yang gila disebabkan oleh faktor lingkungan, yaitu orang tua Laila yang menolak menyatukan mereka dalam ikatan perkawinan, dan faktor internal yang datangnya dari diri Majnun sendiri yang tidak mau berhenti mencintai Laila. Penolakan dari orang tua Laila membuat Majnun frustrasi. Ia meninggalkan kehidupan dunia dengan menyendiri di hutan. Dalam menjalani kehidupan, Majnun menghadapi berbagai konflik atau pertentangan batin, baik pertentangan terhadap dirinya sendiri maupun reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Dari berbagai fenomena yang dialami Majnun, muncul kekuatan mental dan pemahaman baru tentang cara memaknai kehidupan. Perubahan sikap dan perilaku pun terjadi terhadap


(41)

diri Majnun karena terus dirundung berbagai konflik. Ia akhirnya menyendiri di hutan sebagai reaksi menghindar dari situasi yang menyebabkan frustrasi. Jadi, novel LM ini sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam analisis perilaku dan frustrasi.

2.2.1.1. Frustrasi

Katz B. dan Lehner G.F.J. (Sundari, 2005: 46) mengatakan bahwa frustasi merupakan rintangan terhadap dorongan atau kebutuhan. Kebutuhan dan dorongan manusia banyak sekali jumlahnya. Wajarlah semua itu tidak dapat dipenuhi secara bersama-sama, bahkan ada pula kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi secara wajar.

Frustrasi bisa juga diartikan sebagai suatu proses di mana tingkah laku terhalang. Oleh karena kebutuhan, manusia bertindak atau berbuat atau bertingkah laku untuk mencapai tujuan yakni melayani kebutuhan yang sesuai dengan dorongan. Frustrasi juga merupakan suatu keadaan perasaan disertai proses rintangan (Sundari, 2005: 46).

Kebutuhan atau dorongan manusia yang sangat mendasar itu menimbulkan seseorang bertingkah laku atau berbuat dalam bentuk apa pun untuk mencapai tujuan sering mendapat halangan atau kekecewaan. Maka dapat dikatakan bahwa dalam mengalami frustrasi sangat tergantung pada tanggapan masing-masing terhadap situasi atau keadaan dan cara-cara mengekspresikan frustrasi tersebut. Misalnya sesuatu keadaan atau situasi membuat dua orang sama-sama frustrasi, sebenarnya mereka mempunyai dasar pengalaman yang berbeda sehingga tingkah laku mereka selanjutnya akan berbeda. Hal ini dapat dilihat dari novel LM dan novel Romeo dan


(42)

Juliet. Tokoh utama dalam kedua novel tersebut sama-sama mengalami frustrasi akibat cinta yang terlarang, namun mereka mengalami latar budaya yang berbeda, sehingga tingkah laku mereka dalam menghadapi frustrasi itu juga berbeda.

Perasaan-perasaan frustrasi itu bermacam-macam kualitas dan kuantitasnya. Jarak dan dalamnya suatu keputusasaan, kemarahan ataupun kasih sayang kadang-kadang merupakan peristiwa yang menyenangkan serta membantu memberikan kekuatan dan memberikan rangsang.

Menurut Sarwono (2000: 59), frustrasi adalah suatu keadaan dalam diri individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya kepuasan atau suatu tujuan akibat adanya halangan atau rintangan dalam usaha mencapai kepuasan atau tujuan tersebut. Floyd L. Ruch (Siswantoro, 2005: 101) mengelompokkan frustrasi ke dalam tiga katagori, yaitu reaksi agresi/menyerang (aggressive reactions), reaksi menghindar (withdrawal reactions), dan reaksi kompromi (compromise reactions).

2.2.1.2. Penyesuaian Diri

Takdir setiap diri manusia adalah bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Sudah menjadi nasib manusia, bahwa dirinya harus selalu menyesuaikan diri dengan keinginan orang lain. Penyesuaian diri itu dimulai sejak seseorang dilahirkan, ketika pertama sekali berinteraksi dengan anggota keluarga. Wujud penyesuaian diri itu adalah dengan cara ia menerima perlakuan anggota keluarganya terhadap dirinya.

Di sisi lain, manusia juga dilengkapi oleh usaha peningkatan diri, karena tidak hanya cukup merasa puas dengan menerima sesuatu yang ada pada diri dalam kondisi


(43)

statis. Di dalam masyarakat modern seseorang harus berjuang untuk sukses. Oleh karena itu, seseorang yang telah mampu menyesuaikan diri adalah orang yang tidak hanya mampu memenuhi aturan standar kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga berupaya secara kompetitif dengan yang lain untuk sebuah tempat terhormat (Siswantoro, 2005: 115).

Selanjutnya Bonner (Siswantoro, 2005: 116-121) menjelaskan bahwa penyesuaian diri dapat dilakukan dengan cara lain yakni reaksi diri (self defence) yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu penekanan (repression), berkhayal (fantasy), menutup kelemahan (compensation), dan peningkatan diri (self enhancement).

2.2.2. Proses Mental

Halliday (Saragih, 2006: 28) menjelaskan, Satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant) dan sirkumstan (circumtance). Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja atau verba. Partisipan dibatasi sebagai orang atau benda yang terlibat dalam proses tersebut. Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan terjadi. Inti dari satu pengalaman adalah proses. Dikatakan demikian, karena proses menentukan jumlah dan kategori partisipan. Proses juga menentukan sirkumstan secara tidak langsung.

Dalam perspektif LSF (Linguistik Sistemik Fungsional), proses mental menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indra, kognisi, emosi, dan


(44)

persepsi yang terjadi di dalam diri manusia, seperti melihat, mengetahui, menyenangi, membenci, menyadari, mendengar, dan lainnya. Proses mental terjadi di dalam diri (inside) manusia dan mengenai mental (psychological aspects) kehidupan (Saragih, 2006: 31). Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau maujud lain yang berperilaku manusia, seperti tingkah laku hewan dalam cerita fabel.

Proses mental adalah proses mengindra, dengan kehadiran partisipan seorang manusia atau mirip manusia yang terlibat dalam proses melihat, merasa, atau berfikir, dan juga dapat melibatkan lebih dari satu partisipan. Dalam hal ini, proses mental mempunyai dua partisipan, yang pertama manusia atau seperti manusia, yang dinamakan sebagai “pengindra”. Partisipan kedua dapat berupa benda ataupun fakta adalah partisipan yang diindra dinamakan “fenomena”.

Proses-proses mental dikategorikan ke dalam tiga jenis pengelompokan: (1) persepsi, (2) afeksi, dan (3) kognisi (Sinar, 2008: 33). Proses mental persepsi ditandai dengan aktivitas mata, seperti melihat, Proses mental afeksi ditandai dengan aktivitas hati, seperti mencintai, sedangkan proses mental kognisi ditandai dengan aktivitas otak, seperti ingat.

2.2.3. Novel

Di Indonesia, istilah novel dikenal sejak kemerdekaan, karena para sastrawan dan intelektual berorientasi ke Inggris dan Amerika. Inggris dan Amerika mengenal istilah novel sebagai salah satu karya fiksi. Sebelum jaman kemerdekaan bangsa Indonesia memakai istilah roman. Sedangkan dalam kesusastraan Melayu klasik lebih dikenal dengan istilah hikayat.


(45)

Istilah roman digunakan pada waktu itu karena sastrawan Indonesia pada umumnya berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk novel dengan sebutan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara Eropa (Semi, 1988: 32).

Sumardjo dan Saini (1991: 29) menegaskan bahwa istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance dari abad pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan.

Berdasarkan asal usul istilah di atas memang ada sedikit perbedaan antara roman dan novel yakni bahwa novel lebih pendek ceritanya dibandingkan dengan roman. Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat dan pemusatan kehidupan yang tegas, sedangkan roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Namun, tidaklah perlu dibedakan antara novel dan roman. Saat sekarang ini, dalam pengertian novel sudah tercakup pengertian roman.

Sebuah karya sastra seperti novel tidak akan sama betul dan mungkin tidak akan pernah sama dengan kehidupan. Jika sebuah novel sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarangnya mungkin karya tersebut tidak akan dibaca orang, karena kering tanpa bumbu. Sama halnya dengan membaca buku ilmiah. Jadi, sebuah karya sastra atau novel tidak boleh terlalu asing dengan kehidupan manusia. Novel harus


(46)

memuat tentang kehidupan manusia yang diolah dengan fakta imajinasi pengarangnya.

Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Secara spesifik realita psikologis misalnya kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Fenomena yang hadir di dalam novel baru memiliki arti, kalau pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal teori tentang psikologi yang memadai (Siswantoro, 2005: 29).

Dengan demikian, novel sebagai sebuah karya sastra dapat merekam gejala kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh peneliti atau pembaca. Peneliti harus memiliki teori-teori psikologi yang memadai di dalam usaha memaknai perilaku tokoh. Tanpa pengetahuan psikologi yang memadai, kegiatan analisis hanya akan berhenti sebatas kerangka atau bingkai general semata, yakni analisis psikologi tanpa mampu menjelaskan secara tajam gejala psikologi seperti apa yang diidap tokoh.

Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra. Bila tokoh Hamlet menunjukkan tingkah laku yang kemudian oleh Freud dinyatakan sebagai ciri-ciri jenis kepribadian tertentu


(47)

yang bertingkah laku tertentu di dalam lingkungan tertentu, tidaklah berarti bahwa pujangga Shakespeare mengenal teori-teori Freud, melainkan memang berarti Shakespeare mempunyai pengamatan yang tajam dan mendalam tentang hakikat atau kodrat manusia (Hardjana, 1991: 6).

2.3. Landasan Teori

2.3.1. Teori Psikologi Sastra

Psikosastra atau psikologi sastra adalah kajian sastra yang dikaitkan dengan aktivitas kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi. Sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai yang dapat diklasifikasikan ke dalam seni. Sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang ilmu jiwa yang menekankan perhatian pada manusia, terutama pada perilaku manusia dan proses mental (Siswantoro, 2005: 29). Hal ini dapat dipahami karena perilaku merupakan fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Sedangkan jiwa merupakan sisi dalam manusia yang tidak teramati tetapi bisa dicermati melalui pancaindra.

Meski berbeda, sastra dan psikologi, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan. Keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Dalam karya sastra dapat dilihat rekaman kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh pembaca atau peneliti sastra. Perilaku manusia sangat beragam, tetapi memiliki pola atau keterulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori


(48)

tertentu. Misalnya perilaku yang berhubungan dengan fenomena frustrasi atau kecemasan. Pemahaman fenomena kejiwaan ini dapat dilakukan lewat perilaku seperti apa yang diucapkan dan diperbuat penanggung frustrasi. Ucapan dan perbuatan tadi menjadi bahan observasi dan seterusnya diidentifikasi sebagai kategori represi, agresi, proyeksi, atau kategori lain. Demikian pula perilaku seseorang yang menanggung gejala jiwa tak normal dapat dipilah-pilah ke dalam kategori histeria, fobia, depresi, dan lain-lain (Siswantoro, 2005: 26).

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sabagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara, 2003: 96).

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus, yaitu:

1. Pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi tokoh dalam karya sastra,

2. Pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca

sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra.


(49)

3. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990: 88).

Dari pendapat Roekhan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang menumpukan analisis pada aspek kejiwaan, yaitu aspek kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, aspek kejiwaan pengarang, dan aspek kejiwaan pembaca.

Hal ini sejalan juga dengan pendapat Wellek dan Austin (1989: 90) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Kajian terhadap psikologi sastra memang agak tertinggal dibandingkan dengan kajian sastra lainnya. kajian ini baru diminati banyak orang sekitar tahun 1980-an. Harus diakui, khususya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang juga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang


(50)

menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra (Ratna, 2004: 341).

Psikosastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikosastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikosastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat mengalami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004: 342-343).

Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh sebab itu, mempelajari manusia dalam sastra sama halnya mengitari dunia. Wajah dunia baik mikrokosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para peneliti psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini. Wajah dunia ini memang bisa dilihat dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis dipandang lebih menukik pada esensi manusia itu sendiri (Endraswara, 2008: 10).

Psikologi sastra sebagai grand theory, bernaung di bawahnya beberapa teori seperti teori psikoanalisis, teori kognitif, teori psikologi behaviouristik, teori psikologi humanistik, teori psikologi eksistensial, dan lain-lain.


(51)

Psikologi behaviouristik adalah psikologi yang menitikberatkan pandangan pada perilaku manusia. Gagasan tokoh psikolog Skinner sampai saat ini masih cemerlang. Gagasan dia berfokus pada kondisional manusia. Kejiwaan manusia amat terbuka sehingga bisa terpengaruh yang lain. Itulah sebabnya tindakan (behaviour) seorang bisa tergantung rangsang psikologisnya (Endraswara, 2008: 56).

Psikologi behavioristik berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Perilaku manusia disikapi sebagai respon yang akan muncul jika ada stimulus tertentu yang berupa lingkungan. Akibatnya, perilaku manusia dipandang selalu dalam bentuk hubungan karena stimulus tertentu akan memunculkan perilaku yang tertentu pula pada manusia.

Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud. Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan berikutnya memang agak tersendat. Teori analisis psikologi Freud banyak mengilhami para pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjadi tiga, yaitu id, ego, dan super ego. Isi id adalah dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah satunya adalah libido.

Freud adalah seorang ahli penyakit jiwa, karena itu pandangannya tentang tingkah laku manusia condong pada masalah atau penyakit yang dihadapi individu. Faktor-faktor yang menentukan tingkah laku individu bersumber dari id yang dikuasai oleh nafsu atau libido. Id berisi insting-insting dasar alami yang dibawa oleh individu sejak lahir. Adapun ego berfungsi menghubungkan keinginan atau


(52)

tingkah laku yang dinampakkan untuk memenuhi dorongan id, dikontrol oleh super ego (hati nurani). Super ego itu berisi norma-norma, etika yang diperoleh individu dari masyarakat sekitar terutama orang tuanya.

Menurut Freud, perilaku individu merupakan dorongan dari energi psikis yang

disebut eros (nafsu untuk hidup dan mempertahankan kehidupan) yang bersumber

dari libido-seksual. Energi psikis lain adalah thanotos (nafsu untuk mati). Dorongan terakhir ini banyak ditunjukkan oleh individu-individu yang frustrasi, yaitu pernyataan hasrat-hasrat yang sangat meluap akibat rintangan dari sekitarnya (Faisal dan Andi, TT: 206).

Selanjutnya, Freud (Faisal dan Andi, TT: 206) merumuskan perilaku sebagai respon atau jawaban terhadap suatu stimuls atau rangsangan. Respon tersebut sifatnya sangat subjektif bergantung pada pemenuhan dorongan-dorongan eros dan thonatos, yang keduanya berasal dari dorongan libido.

Psikologi eksistensialisme menggunakan sebuah metode filosofis yang disebut fenomenologi. Fenomenologi adalah kajian yang teliti dan lengkap terhadap fenomena, dan pada dasarnya merupakan temuan filosof Edmund Husserl. Fenomena adalah semua muatan kesadaran, hal, kualitas, hubungan, kejadian, pikiran, citra, memori, fantasi, perasaan, tindakan, dan seterusnya yang semuanya dialami. Fenomenologi adalah sebuah upaya yang memungkinkan pengalaman-pengalaman itu bisa berbicara, sehingga mampu menampakkan diri dan menggambarkan gaya yang sebisa mungkin tidak bias (Boeree, 2008: 441).


(53)

Kaum eksistensialis kadang juga dipenuhi dengan kematian. Saat menghadapi kematianlah kehidupan ini baru bisa dipahami. Sepertinya, manusia adalah makhluk yang sadar akan kematiannya sendiri. Menolak kematian berarti menolak kehidupan. Sebagian besar manusia, menjalani hidup ini dengan melibatkan sebuah penolakan atas kemanusiaan, dasein, dengan kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jika orang sudah tidak lagi hidup secara autentik berarti dia tidak lagi “menjadi” tetapi hanya “mengada”. Karena itulah bila hidup adalah sebuah gerakan, maka hidup telah berhenti (Boeree, 2008: 443).

Ada banyak cara untuk menjadi hidup ini tidak autentik. Ini bisa dilihat dari sikap orang yang mengabaikan kebebasannya sendiri dan menjalani hidup berdasarkan kompromi-kompromi dan bertuan pada harta. Orang sibuk mengurusi putusan moral yang akan dibuat. Hidup secara autentik berarti sadar akan kebebasan dan tugas dalam menciptakan diri sendiri, juga sadar akan adanya kecemasan, rasa bersalah, dan kematian. Jadi dituntut untuk bisa menerima segalanya dalam sebuah perilaku penegasan diri. Teori ini dipergunakan untuk memecahkan masalah pertama.

2.3.2. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Teori LSF ini dikembangkan oleh ahli bahasa Prof. M.A.K. Halliday, guru besar dari Universitas Sydney, Australia. Guru beliau langsung ketika belajar di Universitas London adalah seorang ahli bahasa J.R. Firth. Teori yang dikemukakan oleh Firth ini adalah kombinasi dari beberapa teori linguistik Saussure (Swiss), Hjemslev (Copenhegen), Malinowski (Inggris) dan aliran Praha yang kemudian dapat


(54)

melahirkan suatu teori yang distingtif. Halliday melanjutkan teori Firth dan sedikit dipengaruhi Boas, Hymes, dan Bloomfield dari Amerika (Sinar, 2008: 14).

Menurut teori LSF, bahasa adalah fenomena sosial, yaitu bahasa cenderung sebagai alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing). Bahasa merupakan sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa pokok pikiran penting teori LSF dibagi menjadi lima penegasan utama, yaitu (1) bahasa adalah sistem, (2) bahasa adalah fungsional, (3) bahasa adalah membuat makna-makna, (4) bahasa adalah sistem semiotik sosial, (5) penggunaan bahasa adalah kontekstual (Sinar, 2008: 19).

Dalam perspektif LSF, bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yakni sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Teori ini memiliki dua konsep dasar yaitu (1) bahasa merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik sosial, (2) bahasa merupakan teks yang konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial (Saragih, 2006: 1).

Konsep pertama memiliki pengertian bahwa sebagai semiotik lazimnya, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi. Namun, berbeda dengan semiotik biasa, semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri atas tiga unsur yaitu: arti, bentuk, dan ekspresi. Hubungan ketiganya dapat dikatakan sebagai arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan bentuk (lexicogrammar) dan bentuk ini akan dikodekan oleh ekspresi (phonology graphology). Dengan kata lain, dalam pandangan LSF bahasa terdiri dari tiga strata, yakni semantik, tata bahasa, dan fonologi (dalam bahasa


(55)

lisan) dan grafologi (dalam bahasa tulisan). Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah (natural) dengan pengertian hubungan itu dapat dirujuk kepada konteks sosial, sementara hubungan antara arti dan ekspresi adalah arbitrer.

Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis, yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Sistem semiotik denotatif memiliki arti dan ekspresi. Dalam pemakaian bahasa semiotik denotatif terbentuk dalam hubungan antar strata (level) aspek bahasa yang terdiri atas arti (semantics), tata bahasa (lexicogrammar) dan bunyi (phonology) atau tulisan (graphology).

Sistem semiotik konotatif hanya memiliki arti dan tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa, semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (register). Sistem semiotik konotatif menunjukkan bahwa ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi, selanjutnya, konteks situasi direalisasikan oleh bahasa. Representasi semiotik denotatif dan konotatif bahasa dapat digambarkan dalam tataran berikut:

Ideologi

Budaya Situasi

Semantik Tata Bahasa Fonologi


(56)

Konsep kedua menetapkan bahwa LSF berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial. Teks dibagi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial. Bahasa yang fungsional memberi arti kepada pemakai bahasa. Dengan demikian, teks adalah unit arti atau unit semantik bukan unit tata bahasa (grammatical unit), seperti kata, frase, klausa, paragraf, dan naskah. Sebagai unit arti teks direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa (Saragih, 2006: 3-4).

Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Metafungsi bahasa itu mencakup tiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia, yaitu memaparkan atau menggambarkan pengalaman (ideational meaning), mempertukarkan pengalaman (interpersonal meaning), dan merangkai pengalaman manusia (textual meaning). Ketiga fungsi bahasa itu dikemukakan oleh Halliday (Sinar, 2008: 20). Dalam setiap interaksi antarpemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan, dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman.

Seorang pemakai bahasa merealisasikan pengalamannya (pengalaman bukan linguistik) menjadi pengalaman linguistik. Pengalaman bukan linguistik dapat berupa kenyataan dalam kehidupan manusia atau kejadian sehari-hari, seperti pohon tumbang, angin berhembus, dan lain-lain. Pengalaman bukan linguistik ini direalisasikan ke dalam pengalaman linguistik yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumtans (sircumtance). Realisasi ini harus dilakukan pemakai bahasa karena hanya pengalaman linguistik ini yang dapat dipertukarkan (Saragih, 2006: 7). Teori ini dipergunakan untuk menganalisis masalah kedua.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitan ini mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi.

Tugas fenomenologi adalah menerangkan fenomena sebagai dunia yang hidup (lived world) seperti yang diserap secara indrawi. Untuk sampai pada tataran tersebut harus ada keterlibatan antara subjek dengan objek, yaitu emphatic. Hal ini bisa terjadi sebab tidak ada selubung antara subjek dan objek. Subjek yang berkesadaran memainkan peran sentral di dalam menangkap objek selaku fenomena. Sedang objek yang tampak kepada subjek adalah realita itu sendiri. Hubungan antara subjek dan objek tanpa adanya perantara memungkinkan penangkapan fenomena sebagai realita murni. Ini sejalan dengan aliran filsafat modern yang dibangun oleh Edmund Husserl sebagai dasar fenomenologi (Siswantoro, 2005: 9).

Di dalam fenomenologi, kesadaran adalah intensional dan seluruh kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu. Ini berarti kesadaran tidak pasif, tidak sekadar sebagai lembar kertas yang berisi registrasi atau daftar catatan objek-objek. Kesadaran bersifat aktif yang di dalamnya terjadi proses berfikir. Jadi ketika berpikir, di dalam


(58)

kesadaran, pikiran sebetulnya tertuju pada objek tertentu. Oleh sebab itu, intensional menurut Husserl adalah tertuju ke arah objek, ke arah realitas.

Pandangan Husserl tentang intensional dan realita adalah karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Menyatakan kesadaran “bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan menyatakan “realitas menampakkan diri”. Dua ucapan ini seakan dua sisi mata uang logam yang sama. Intensionalitas dan fenomena adalah korelatif (Bertens, 1983: 101).

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa korelasi atau saling ketergantungan antara kesadaran yang intensional dan fenomena sebagai realita yang tampak mempertegas pengertian tentang hubungan yang tidak terpisahkan antara subjek yang berpikir dengan objek yang dimaksud atau dituju. Selain itu, korelasi berlaku bagi kesadaran dan realita karya sastra seperti novel, puisi, atau drama. Menangkap realita di dalam novel sebagaimana yang tampak adalah membiarkan kesadaran tertuju kepada fenomena itu sehingga akan tertengkap realita yang esensial yang tidak berubah dan tidak membias (Siswantoro, 2005: 10).

Sebuah teks novel, misalnya memiliki beraneka interpretasi yang hadir di alam pikiran pembaca sebagai produk tindak membaca. Namun interpretasi tidak mengejawantah secara mandiri, lepas dari faktor lain, katakanlah faktor gejala atau fenomena yang muncul di alam kesadaran pembaca. Memang tidak dapat diingkari bahwa tindak membaca begitu sentral di dalam kegiatan sastra yang merupakan prasyarat bagi proses interpretasi.


(1)

Tabel 5. Analisis Proses Mental Afeksi, Fenomena sebagai Subjek No Fenomena Proses: Mental,

Afeksi

Pengindra Hlm./ Baris

1. (Bibir Layla) membahagiakan hati yang memandang 22/20

2. Kata-kata istrinya itu

melegakan hati dan menentramkan

pikiran Syed Omri 30/27 3. Mata air yang

jernih dan bersih

[selalu] menyejukkan hati (orang) yang kehausan

32/9 4. Kata-kata Syed

Omri

menyinggung harga dirinya 33/9

5. Pesona wajahmu [akan] menarik hati gadis-gadis cantik 35/19

6. Kata-kata ayahandanya itu

meresap [dalam hati] Majnun 122/6

7. Salim masih

berupaya

menyenangkan hati Majnun 140/14 8. Kali ini kenangan

akan sang ibu


(2)

Tabel 6. Analisis Proses Mental Kognisi, Pengindra sebagai Subjek

No Pengindra Proses : Mental, Kognisi

Fenomena Hlm./ Baris

1. Manusia tidak pernah tahu rahasia di balik semua itu 4/13

2. Manusia tidak pernah sadar akan bahaya yang

tersembunyi

5/19

3. Manusia tidak pernah tahu Bahwa petaka yang

mengintai

5/20

4. Mereka tidak tahu bahwa asmara tersimpan

di dalam hati

11/4

5. Saat orang lain berpikir agar menjadi orang hebat 11/24

6. Dua kekasih itu [hanya] berpikir tentang cinta 11/25

7. Kedua insan itu [hanya]

memikirkan

diri sendiri 13/8

8. Tidak seorang pun menyadari Ketetapan cinta yang akan

terjadi

13/11

9. Keduanya tidak menyadari jika kisah asmara mereka 13/12

10. Qays menyadari bahwa Layla dipingit 14/19

11. Ia tidak lagi

mengenali

dirinya sendiri 18/7

12. Orang-orang [di

daerah itu]

tidak akan mengetahui

suratan takdir yang sedang berlaku

19/28

13. Jiwa Layla [selalu] mengenang Qays 20/7

14. Hanya bebatuan

lembah yang bisa

memahami kesediahan hatinya 21/6

15. Ia [dapat dengan leluasa]

membayangkan wajah Layla yang cantik 21/9

16. [Apakah] ia [masih]

memikirkan

diriku? 21/23 17. [Lama-kelamaan]

mereka

lupa Akan nama Qays 29/19

18. Mereka [hanya] mengenal lelaki itu sebagai Majnun 29/19

19. Lelaki itu berpikir Biasanya ibu lebih peka 30/4

20. Lelaki itu berpikir mana mungkin kumbang

tak tertarik pada putik

31/4

21. Kami memahami bahwa kegilaan bukanlah

dosa ataupun kejahatan

33/25

22. Mereka tidak [akan dapat]

memahami

hati yang sedang merana 40/13

23. Aku teringat akan dikau Layla 44/29


(3)

25. Mereka tidak pernah tahu keadaan yang sesungguhnya

52/32

26. Aku tahu engkau terpenjara dalam

lingkungan keluarga yang mengasihimu

54/13

27. Ku ingatkan dirimu 58/27

28. Engkau berpikir seekor semut yang kurus

bisa mengenyangkanmu

60/16

29. Ia berpikir suasana seperti ini dapat

menghibur majnun

61/11

30. Syed Omri tidak sadar Bahwa tak ada guna

membebaskan hati yang telah terpenjara oleh cinta

61/18

31. Layla lupa akan kepedihan yang

mempermainkan jiwanya

76/5

32. Mereka berpikir keras agar penolakan itu tidak

sampai menyinggung perasaan

82/28

33. [Niscaya] engkau [akan] mengingat nya (dia) sepanjang hayatmu

91/5

34. Aku tahu engkau menderita 92/25

35. [Tidakkah] engkau tahu bahwa masa mudaku telah

aku korbankan demi kekasihku Layla

93/5

36. Kedua pasukan itu belum sadar [juga] tidak tergerak sedikit pun hati mereka untuk

menghentikan pertumpahan darah

97/18

37. [Apakah] engkau tidak mengetahui makna kehormatan dalam

hati orang arab?

99/28 38. Seluruh wilayah

Arab

mengetahui kebajikan layla 99/32

39. Seluruh bangsa

Arab

akan mengingat keburukanku 101/7

40. Majnun mengenang layla dari dalam gua yang

kotor di lembah wadiyain

104/2

41. Layla teringat Nasib kekasihnya 109/16

42. Ia [berusaha]

memahami

apa yang sedang berkecamuk dalam hati

Layla


(4)

43. Dia sudah tidak memikirkan

mu 114/13

44. Mereka berpikir Dengan kkayaan yang

melimpah maka segala aib akan mudah dienyahkan

114/20

45. [Coba] engkau renungkan saat kita bergembira, dia

bersedih

114/24 46. Ia [tidak bisa lagi] membayangkan masa depan cinta kasih

mereka

115/9

47. Ia masih meyakini cinta akan menyucikan

perbuatan yang salah

115/10

48. Dia [masih terus] mengingat mu mengucapkan janji

setia

116/24

49. Ia [terus berduka] mengenang dirimu 116/26

50. Aku [hanya] berpikir untuk menyerahkan

kehidupanku padamu

117/18

51. Yakub memikirkan Yusuf 118/3

52. Ia [sudah] tidak

mengenali

orang tua yang berjalan tertatih-tatih

120/19

53. Majnun tak tahu kabar keadaan sang ayah 124/4

54. Ia terkenang akan perhatian tulus sang

ayah yang murah hati

125/3

55. [Janganlah] engkau lupa keadaan kalbuku 127/30

56. Ia berpikir bagaimana

mempertahankan hidupnya

129/1

57. Ia harus tahu bahwa kehidupan gadis

arab milikmu tetap suci

136/26

58. Aku selalu teringat semua syairmu 137/10

59. Aku mengetahui engkau selalu menjaga

cawan cinta kita

138/20 60. [Seketika] ia [dapat] mengenali bahwa lelaki kotor dan

seperti mayat hidup itu adalah majnun

140/2

61. Mereka mengetahui apa yang sebanarnya

diinginkan oleh orang yang mengasingkan diri

itu

141/6

62. [Padahal] engkau belum mengetahui kenikmatan yang

sesungguhnya


(5)

63. Engkau tidak [akan] mengetahui

nikmatnya makanan sebelum engkau

menyantapnya

141/27

64. Jiwa Majnun yang diliputi kegelapan

teringat akan rumah yang telah ia

tinggalkan

143/6

65. Ia ingat ibunya yang sudah tua dan

merana

143/10

66. Majnun terkenang kelembutan dan kasih

saying tulus yang diberikan sang ibu

143/11

67. Lelaki itu berpikir mungkin dengan bertemu

sang ibu jiwa majnun dapat terobati

144/9

68. Majnun menyimak [dengan

sungguh-sungguh]

kata-kata pemuda itu 158/21

69. Aku tahu engkau sedang bersedih

karena jauh dari kekasihmu

160/16

70. Sang pemuda menyadari kesalahannya 161/10

71. Seorang pencinta [masih]

memikirkan

orang yang dicintai 171/4

72. Wanita itu [pasti] mampu

memahami

Duka derita jiwanya 171/14

73. Mereka mengenang cinta suci sang gadis pada

kekasihnya yang gila

173/21

74. Aku [akan tetap]

mengingat

pesona yang telah engkau berikan

175/28 75. Binatang-binatang

itu

[baru] menyadari bahwa kematian telah menjemput tuan mereka

setelah sekian lama


(6)

Tabel 7. Analisis Proses Mental Kognisi, Fenomena sebagai Subjek No Fenomena Proses: Mental

Kognisi

Pengindra Hlm./ Baris

1. Semua keindahan itu mengingatkan ku [pada Layla] 63/12

2. Kata-kata syed Omri yang diucapkan dengan nada getir seorang ayah yang sudah memendam rindu sekian lama itu

menyadarkan Majnun [dari mimpi] 120/26

3. Kesengsaraan tidak pernah

diketahui

oleh orang yang sudah mati