Penyimpangan Dalam Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank

Adapun akad-akad yang ditandatangani berkenaan dengan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah secara berturut-turut adalah: a. Akad murabahah Sebelum akad murabahah diselenggarakan, bank terlebih dahulu melakukan jual beli barangrumah dengan suplier. Jual beli ini hanya dilakukan secara lisan. Setelah terjadi jual beli antara bank dengan suplier segera setelah itu diselenggarakan akad murabahah. Akad ini dibuat dalam bentuk dibawah tangan, ditandatangani oleh nasabah dengan bank yang diwakili oleh pemimpin cabang, dan saksi-saksi. b. Akta Jual Beli Akta ini dibuat dalam bentuk otentik dihadapan pejabat umum yang berwenang, ditandatangani oleh nasabah, pemilik rumah, saksi-saksi, dan pejabat umum tersebut. c. Akad-akad lainnya, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, dan Akta Pemberian Hak Tanggungan

C. Penyimpangan Dalam Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank

BNI Syariah. Apabila kita bandingkan penerapan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah cabang Medan tersebut dengan sistem jual beli murabahah yang ideal berdasarkan Fatwa DSN No. 04DSNMUIIV2000 Jo PBI No. 746PBI2007 maka kita akan mendapati kejanggalan-kejanggalan dalam penerapan pembiayaan Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 murabahah tersebut. Dengan kata lain penerapan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah cabang Medan masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam penerapan pembiayaan murabahah tersebut dapat dikatakan terjadi penyimpangan, terutama sekali terjadi pada tahap ketiga yaitu tahap penandatanganan akad murabahah. Penyimpangan mana akhirnya memberi pengaruh juga terhadap tahap sebelumnya. Pada tahap terakhir yaitu tahap penandatanganan kontrak baru terlihat adanya kejanggalan dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah. Penandatanganan akad murabahah dilakukan berdasarkan kesepakatan awal antara kedua pihak yang telah dilalui pada tahap-tahap sebelumnya. Sedangkan sebelum dilakukan penandatanganan akad murabahah bank telah terlebih dahulu melakukan jual beli secara lisan dengan pemilik barang. Bila pelaksanaan pembiayaan murabahah tersebut dikaitkan dengan Fatwa DSN No.04DSN-MUIIV2000 pada angka 3 menyatakan bahwa bank terlebih dahulu membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pemebelian ini harus sah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa akad yang pertama ditandatangani pada tahap penandatanganan kontrak adalah akad murabahah, dimana substansi dari akad tersebut adalah bank berdasarkan akad tersebut menjual sebuah rumah secara murabahah kepada nasabah dengan syarat-syarat tertentu. Yang menjadi permasalahan disini adalah apakah jual beli rumah yang dilakukan secara lisan tersebut adalah sah, mengingat objek yang diperjual belikan Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 adalah rumah yang peralihannya telah diatur sedemikian rupa dalam PP No.24 Tahun 1997 Jo. Peraturan menteri AgrariaKepala BPN No. 3 Tahun 1997. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena mengenai sah atau tidaknya jual beli yang pertama akan menentukan pula sah atau tidaknya jual beli yang terjadi kemudian. Bank syariah sesuai dengan namanya tentulah harus sedapat mungkin menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam setiap kegiatan operasionalnya. Berkenaan dengan itu kita tentunya sama-sama mengetahui bahwa dalam fiqih Islam terdapat kaedah bahwa seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimilikinya pada waktu transaksi berlangsung pada objek transaksi. 78 Ibnu Abidin menjelaskan sebagaimana ditulis oleh Husain dan Siddiq bahwa termasuk salah satu syarat dari jual beli adalah objek transaksinya harus dimiliki secara penuh oleh penjual dari apa yang ia jual untuk dirinya. 79 Maka tidak diperkenankan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, dan para ulama sudah sepakat mengenai hal ini. Sebenarnya, membahas masalah filantropi atau kedermawanan sosial di Indonesia adalah ibarat membicarakan anggur lama dam botol baru, karena pada dasarnya kegiatan berderma merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi pola hidup yang dapat ditemukan pada berbagai suku yang ada di Indonesia. Hanya saja pada saat itu kegiatan seperti ini berjalan secara sangat sederhana dan tradisional. 78 Husain Syahathah Dan Siddiq Muhammad al-Amin ad-Dhahar, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam, Diterjemakan Oleh: Saptono Budi Satryo Dan Fauziah R, Penerbit Visi Insani Publishing, Jakarta, 2005, hal. 237. 79 Ibid. Lihat juga M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam Fiqh Muamalat, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 124., Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Penerbit: Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal. 34. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Akhirnya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pola pikir masyarakat, kegiatan ini semakin mengalami perkembangan dan dituntut untuk dilakukan secara lebih terstruktur. Hal inilah yang mungkin pada akhirnya mendorong masyarakat untuk membentuk suatu lembaga yang dapat menjadi wadah kegiatan sosial masyarakat yang kita kenal dengan nama yayasan. Seperti yang telah diuraikan oleh Penulis sebelumnya, bahwa memang lembaga yayasan telah dikenal dan banyak digunakan di tanah air sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat, namun tidak ada peraturan hukum yang mengatur tentang yayasan, 80 hal inilah yang membuat tidak jelasnya pengertian ataupun definisi tentang yayasan itu sendiri. Yayasan sendiri, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Stichting, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Foundation. Pengertian yayasan sebagai Foundation menurut Black’s Law Dictionary sebagai berikut 81 : “Permanent fund established and maintained by contribution for charitable, educational, religious, research or other benevolent purpose. An Institution or association given to rendering financial aid to colleges, schools, hospitals and charities and generally supported by gifts for such purposes. The founding or building of a college or hospital. 80 Maksudnya ialah, sebelum akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. 81 Henry Chambell Black, M A, “Black’s Law Dictionary”, Cet 6, St. Paul Minnesotta: USA, West Publishing Co, 1990, hal. 656. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 The incorporation or endowment of a college or hospital is the foundation; and he who endows it with land or other property is the founder. Yayasan yang diartikan seperti tersebut diatas menekankan pada adanya suatu dana permanen yang dibuat dan dipelihara berdasarkan kontribusi. 82 Scholten 83 mengatakan: “ Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan penunjukan, bagaimanakah kekayaan itu diurus dan digunakan”. Menurut Abdul Muis, pengertian yayasan adalah 84 : “Yayasan merupakan suatu lembaga yang mempunyai suatu tujuan idial, yaitu tujuan sosial bagi kesejahteraan masyarakat yang sampai saat ini dinegara kita tidak atau belum diatur dalam Undang-Undang secara khusus. Lembaga ini hidup dan berkembang semata-mata berdasarkan hukum yang tidak tertulis, berdasarkan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat”. Pengertian yayasan menurut Prof. Drs, C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil, SH, MH adalah 85 : “Yayasan; Stichting Bld, suatu badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial”. 82 Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, SH, “Hukum Yayasan Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan”, Indonesia Legal Center Publishing, Cet 2, PT. Abadi, Jakarta, 2003, hal. 13. 83 Disitir dari Ali Rido SH, “Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf”, 84 H. Abdul Muis, “Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat Suatu Tinjauan Menganai Yayasan Sebagai Badan Hukum Dalam Menjalankan Kegiatan Sosial”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal. 2. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Dari beberapa pengertian tentang yayasan yang telah diuraikan tersebut, maka kita setidaknya dapat menarik kesimpulan bahwa yayasan adalah merupakan suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Hal mana berkaitan erat dengan kegiatan amal filantropi yang merupakan bentuk ideal dari lembaga yayasan. Sedangkan menurut UUY dalam pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam yayasan adalah: a. Yayasan terdiri atas kekayaan yang dipisahkan. b. Kekayaan yayasan digunakan untuk mencapai tujuan yayasan. c. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Pada dasarnya yayasan harus dapat berperan sebagai wadah untuk mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Berdasarkan UUY, yayasan harus bersifat sebagai berikut; a. Sosial. b. Keagamaan. c. Kemanusiaan. 85 Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil, SH, MH, “Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet 1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 198. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Sesuai dengan pasal 1 angka 1 UUY, penjelasan umum dan penjelasan pasal 3 ayat 2, sifat-sifat tersebut diatas harus tercermin dalam maksud dan tujuan serta kegiatan yayasan. Dengan mengacu pada definisi yayasan yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary, maka yayasan bertujuan untuk kegiatan amal charity, pendidikan educational, keagamaan religious, atau tujuan kedermawanan lainnya or other benevolent purpose. 86 Berdasarkan Yuripudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Juli 1975 No. 476KSip1975 yang menjadi acuan untuk penentuan tujuan yayasan sebelum berlakunya UUY , dimana pertimbangan Pengadilan Negeri dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, dari putusan Mahkamah Agung tersebut jelas bahwa yayasan mempunyai tujuan untuk “membantu”. Perkataan membantu ini ditafsirkan sebagai kegiatan sosial. Dengan berlakunya UUY, maka maksud dan tujuan dari yayasan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut 87 : a. Untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan pasal 1 angka 1 UUY . b. Maksud dan tujuan yayasan harus bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan penjelasan pasal ayat 2 UUY . c. Maksud dan tujuan yayasan harus dicantumkan dalam anggaran dasar yayasan pasal 14 ayat 2 UUY. 86 Ibid., hal. 656. 87 Op Cit., Arie Kusumastuti, “ Hukum Yayasan…”, hal. 17. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Menurut Chatamarrasjid 88 , yayasan tidak dapat dan tidak boleh menjadi badan hukum seperti perseroan terbatas yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Akan tetapi, tentu saja yayasan boleh untuk memperoleh keuntungan, dan berarti melakukan kegiatan usaha atau mendirikan badan usaha, agar tidak bergantung selamanya dari sumbangan, tetapi keuntungan yang diperoleh haruslah semata-mata dipergunakan atau diperuntukkan bagi tujuan sosial dan kemanusiaan. Pendapat diatas bertolak dari pandangan bahwa tiap bentuk badan hukum yang diciptakan mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada 1 satu bentuk badan hukum yang dapat mencakup tujuan dan struktur semua bentuk badan hukum lain. 89 Sedangkan maksud dan tujuan yayasan tertentu, artinya maksud dan tujuan tersebut harus jelas batasannya untuk hal-hal yang sudah ditentukan dan bersifat khusus. Jadi, maksud dan tujuan yayasan disini tidak dapat bersifat umum. Tujuan yayasan ini merupakan hal yang penting, karena tujuan yayasan dapat berpengaruh terhadap bubarnya suatu yayasan, hal ini sesuai dengan bunyi pasal 62 huruf b Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yang menyatakan: “Yayasan dapat bubar karena; tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai”. Oleh karena itu, yayasan harus berhati-hati dalam menetapkan tujuannya. Jangan sampai tujuan tersebut terlalu umumluas ataupun terlalu berat sehingga sulit untuk mencapai atau memenuhinya, yang akhirnya dapat mengakibatkan yayasan tersebut dibubarkan. Hal-hal mengenai bubarnya suatu yayasan, akan kita bicarakan pada sub bab berikutnya. 88 Chatamarrsjid, “Badan Hukum Yayasan” Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 41. 89 Ibid., Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 UUY sendiri tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan tujuan sosial dan kemanusiaan, tapi hanya memberikan contoh kegiatan yang dapat dilakukan oleh yayasan. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 8 UUY maupun penjelasannya. Pasal 8 UUY menyebutkan: Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan danatau ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 8: Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan. Dalam UUY yang diperbaharui pun pasal ini tidak termasuk ke dalam pasal- pasal yang direvisi, sehingga tetap tidak ada acuan mengenai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu untuk menilaimemutuskan apakah kegiatan usaha yang dilakukan oleh yayasan yang tidak tercantum dalam penjelasan pasal 8 adalah sesuai dengan tujuan sosial dan kemanusiaan, seandainya kegiatan yayasan diragukan bertujuan sosial dan kemanusiaan, barangkali keputusannya diserahkan kepada Pengadilan. 90 90 Ibid., hal. 46. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Seperti yang telah kita ketahui, yayasan telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman penjajahan kolonial Belanda sampai Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, namun tidak ada satupun peraturan yang tegas yang mengatur tentang keberadaan yayasan. Sebenarnya ada beberapa peraturan yang menyebutkan tentang keberadaan yayasan sebelum lahirnya Undang-Undang Yayasan, antara lain: - Pasal 335 KUH Perdata. - Pasal 365 dan 365 a KUH Perdata. - Pasal 899 ayat 1 KUH Perdata. - Pasal 900 KUH Perdata. - Pasal 1680 KUH Perdata. - Pasal 6 ayat 3 Rv. - Pasal 236 Rv. Di negeri Belanda sendiri, yang merupakan kolonial dari Indonesia, yang produk-produk hukumnya banyak diadopsi menjadi hukum nasional Indonesia, telah menetapkan yayasan sebagai badan hukum melalui hukum perdata tertulisnya dengan diundangkannya Wet op de Stichtingen dalam Staatsblad Nomor 327 tahun 1956 yang kemudian pada tahun 1976 Undang-Undang tersebut dikompilasikan ke dalam buku ke dua Burgerlijk Wetboek BW Belanda. Sebenarnya Undang-Undang Yayasan di Indonesia tidak lahir tiba-tiba, karena banyak orang yang mengasumsikan bahwa Undang-Undang Yayasan lahir karena adanya desakan dari pihak IMF terhadap pemerintah Indonesia yang menginginkan adanya pengaturan yang lebih tegas terhadap keberadaan yayasan Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 karena IMF melihat praktek kerja beberapa yayasan milik pemerintah, institusi militer dan milik beberapa kelompok tertentu rezim orde baru telah menyalahi fungsi dan tujuan ideal dari yayasan dengan menggunakan lembaga ini sebagai kedok untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa membayar pajak, yang ditengarai sangat merugikan keuangan negara. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Letter of Intent LoI untuk kepentingan pemerintah dalam memperoleh pinjaman dari IMF. Begitulah memang keadaan bangsa kita, tidak akan berbuat kecuali untuk hal yang terpaksa. Setidaknya seperti itulah gambaran tentang keadaan bangsa ini berkenaan dengan latar belakang lahirnya UUY. Seperti Penulis sebutkan tadi, bahwa sebenarnya UUY tidak lahir secara prematur. Karena konon Departemen Kehakiman telah memiliki rancangannya sejak tahun 1976. 91 Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 2001, pemerintah dengan persetujuan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dengan harapan dapat memastikan yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat. 92 Dalam menangani organisasi nirlaba, pemerintah punya dua format atau sudut pandang yang berbeda. Aspek organisasi yang terkait dengan ideologi dan ketertiban umum ditangani oleh Departemen Dalam Negeri, sedangkan aspek sosial yang menyangkut penggalangan dan pendayagunaan dana sosial masyarakat, serta usaha 91 Op Cit., Chatamarrasjid, “ Tujuan Sosial Yayasan dan…”, hal. 7. Menurut Chtamarrsjid, tidak banyak perubahan antara Undang-Undang Yayasan dan rancangan-rancangan sebelumnya – lihat Chatamarrasjid, “Badan Hukum Yayasan, Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 hal. 169. 92 Lihat Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, “Menimbang”, huruf C, alinea 6 Penjelasan Umum, Penjelasan pasal 49 2 dan 52 2. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat ditangani oleh Departemen Sosial. Sementara aspek “pembinaan teknis” diserahkan pada departemen atau non departemen yang terkait dengan bidang kerja organisasi nirlaba. Masing-masing pembina itu punya aturan main, yang umumnya sangat kooptatis dan birokratis, yang harus ditaati oleh organisasi-organisasi tersebut. Sehingga sampai hari ini, dengan terbitnya UU No. 162001 tentang Yayasan pun masih menyisakan berbagai kerancuan. 93 Mungkin karena itu pulalah mengapa pemerintah buru-buru mengajukan usulan untuk segera merevisi UUY. Adanya usul dari pemerintah untuk segera melakukan perubahan terhadap UUY, semakin memberikan kesan bahwa memang Undang-Undang tersebut lahir karena adanya tekanan dari pihak IMF dan keadaan sosial politik pada saat itu. Oleh karenanya, UUY banyak mendapat kritikan dari para pegiat yayasan maupun oleh para akademisi karena klausul-klausulnya dianggap tidak aspiratif, malah terkesan menyulitkan yayasan untuk menjalankan dan mempertahankan roda organisasinya, terutama untuk yayasan-yayasan kecil. Pasal- pasal dalam Undang-Undang ini justru menunjukkan intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan terhadap yayasan. Akhirnya revisi Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 disetujui yang disahkan menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004. Sebenarnya revisi RUU Yayasan sudah disusun Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM, sejak pertengahan 2002. Karena meski di atas kertas UUY dinyatakan berlaku efektif sejak 93 Lihat artikel, Zaim Zaidi dan Hamid Abidin Filantropi dan Hukum Di Indonesia, Jurnal Hukum “JENTERA”, edisi Hukum Yayasan, 2003. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Agustus 2002, namun dilapangan Undang-Undang tersebut tidak benar-benar diimplementasikan. 94 Dalam konsiderans “menimbang”, Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 antara lain disebutkan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 mulai berlaku pada 6 Agustus 2002. Namun Undang-Undang tersebut dalam perkembangannya belum seluruhnya menampung kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Selain itu, beberapa substansinya dapat menimbulkan beberapa penafsiran, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut. 95 UUY yang diperbaharui merevisi sebagian pasal-pasal dari UUY dan menambahkan beberapa pasal-pasal baru. Pasal-pasal yang mengalami perubahan adalah; pasal 5, pasal 11, pasal 12, pasal 24, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 38, pasal 44, pasaal 45, pasal 46, pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 68, pasal 71 dan pasal 72. Sedangkan pasal-pasal baru yang ditambahkan adalah pasal 13 A, pasal 72 A dan pasal 72 B. Dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Yayasan ini, rasanya kita tidak perlu mengungkit-ungkit lagi perdebatan panjang yang mempersoalkan keseriusan pemerintah dalam menentukan sikapnya dalam mengatur keberadaan yayasan. Mengenai pendirian yayasan, hal ini diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 UUY. Menurut ketentuan Pasal 9 UUY, yayasan dapat didirikan oleh satu 94 Dikutip dari pernyataan Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM Abdul Gani Abdullah, lihat artikel “Pemerintah Tidak Ngotot Sahkan Revisi UU Yayasan”, WWW.hukumonline.com 95 Ibid,. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 orang atau lebih, baik oleh WNI maupun oleh orang asing, dengan adanya pemisahan harta kekayaan sebagai harta kekayaan awal yayasan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘orang’ menurut penjelasan Pasal 9 1 UUY adalah orang- perorangan atau badan hukum. Jadi, berdasarkan ketentuan pasal 9 UUY, yayasan dapat didirikan; - Oleh satu orang atau lebih. - Orang tersebut dapat berupa orang-perorangan atau badan hukum. - Orang tersebut dapat berupa WNI ataupun Warga Negara Asing. - Adanya pemisahan harta kekayaan pendiri yang akan dijadikan sebagai kekayaan awal yayasan. - Berdasarkan wasiat. Lalu bagaimana halnya jika sebuah yayasan didirikan oleh percampuran antara orang-perorangan dengan badan hukum, atau didirikan oleh beberapa orang dengan beberapa badan hukum ? Mengenai hal ini, tidak ada diatur secara tegas oleh UUY, sehingga hal ini dianggap sah-sah saja, terlebih lagi jika kita melihat kepada tujuan dari yayasan yang sifatnya mulia. Namun dalam hal ini Arie Kusumastuti berpendapat lain, menurut penafsirannya, 96 UUY telah mengatur secara tegas bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. 96 Op Cit., Arie Kusumastuti, “Hukum Yayasan…”, hal. 74. Ia berpendapat bahwa dalam penjelasan pasal 9 1 telah dinyatakan secara tegas hal tersebut tidak dibolehkan dengan adanya kata ‘atau’ …orang perorangan ‘atau’ badan hukum. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Mengapa demikian? Menurutnya hal ini berkaitan erat dengan adanya kewajiban dari para pendiri yayasan untuk memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan. 97 Lebih lanjut ia berpendapat, barangkali para pembentuk UUY pada saat itu memikirkan bahwa apabila dilakukan pemisahan antara kekayaan pendiri perorangan dengan pendiri badan usaha yang bersama-sama akan mendirikan suatu yayasan, maka hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. 98 Dalam hal ini, apabila benar ada pemikiran seperti hal tersebut, maka pola pemikiran tersebut adalah tidak tepat. Karena menurut hematnya, dapat saja pendiri peorangan dan pendiri badan hukum sebelumnya sudah membuat perjanjian yang secara tegas menyetujui dan mengatur pemisahan harta kekayaan mereka yang akan dimasukkan sebagai kekayaan awal yayasan. 99 Tabel-1 Pemahaman Nasabah Terhadap Sistem Jual Beli Murabahah n=10 No Jawaban Responden Jumlah 1 Tidak memahami murabahah 6 60 2 Hanya memahami sedikit mengenai murabahah 4 40 Jumlah 10 100 97 Ibid,. 98 Ibid,. 99 Ibid,. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Tabel-2 Penerapan Jual Beli Murabahah Terhadap Pembiayaan RumahProperti Pada Bank BNI Syariah Cabang Medan n=10 No Jawaban Responden Jumlah 1 Belum sesuai dengan syariat Islam 10 100 2 Sudah sesuai dengan syariat Islam - Jumlah 10 100 Tabel-3 Kendala Yang Dihadapi Bank Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Terhadap Rumah Atau Properti n=10 No Jawaban Responden Jumlah 1 Sangat menghambat pelaksanaan pembiayaan murabahah 2 20 2 Tidak dapat diterima sebagai alasan penghambat pelaksanaan pembiayaan murabahah 0 - Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 3 Ragu-ragu 8 80 Jumlah 10 100 Tabel-4 Nasabah Menerima Salinan Dari Akad Pembiayaan Murabahah n=10 No Jawaban Responden Jumlah 1 Tidak menerima salinan 8 80 2 Menerima salinan 2 20 Jumlah 10 100 a. Pada Tabel-1: Enam dari sepuluh nasabah yang diwawancarai mengaku tidak tahu-menahu bagaimana sesungguhnya sistem jual beli murabahah, mereka hanya mengikuti saja apa yang ditawarkan oleh bank. Empat orang lainnya menyatakan bahwa jual beli murabahah yang seharusnya terjadi adalah jual beli antara bank dengan nasabah, sedangkan pada kenyataannya jual beli yang terjadi adalah jual beli antara mereka dengan suplier, sedangkan bank hanya menyediakan pembiayaan. b. Pada Tabel-2: Sepuluh orang nasabah yang diwawancarai menyatakan bahwa pembiayaan murabahah terhadap rumahproperti pada Bank BNI Syariah Cabang Medan belum sesuai dengan apa yang mereka bayangkan. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Menurut mereka dalam pembiayaan murabahah ini, jual beli yang terjadi adalah jual beli antara mereka dengan pemilik rumah, kemudian bank menyediakan pembiayaan berdasarkan permohonan yang telah mereka ajukan. Dalam pembiayaan ini bunga pinjaman ditetapkan di muka yang oleh pihak bank disebut dengan margin keuntungan, sehingga menurut mereka pembiayaan murabahah sama saja dengan KPR pada bank konvensional c. Pada Tabel-3: Dua dari sepuluh nasabah yang diwawancarai mengatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh bank sebagaimana dijelaskan oleh Penulis, memang dapat menghambat pelaksanaan pembiayaan murabahah. Delapan orang lainnya tidak dapat memberikan tanggapan. d. Pada Tabel-4: Delapan dari sepuluh nasabah yang diwawancarai mengaku tidak mendapatkan salinan dari akad murabahah yang mereka tandatangani. Dua orang lainnya mengaku mendapatkan salinan. Berdasarkan hasil wawancara dari responden dan nara sumber, ada beberapa poin penting yang patut digaris bawahi yaitu: 1. Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai jual beli di dalam fiqih cukup dilakukan secara lisan, namun dapat juga dibuat dalam bentuk tertulis. 2. Pendapat yang menyatakan bahwa bank syariah dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya selain tunduk pada ketentuan syariah Islam juga Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 tidak dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan hukum positip yang berlaku di Indonesia. Dengan dilakukan perubahan-perubahan diatas secara otomatis juga kondisi perjanjian kredit perlu perubahan-perubahan perjanjian tambahanperubahan tetapi perjanjian awal tetap berlaku tidak lepas. Debitur dengan kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian extra dari petugas bank account officer. Monitoring usaha lebih ditingkatkan terhadap debitur, kunjungan ke debitur harus lebih sering dilakukan, omset usaha dan biaya-biaya harus diperketat, laporan keuangan harus tertib, artinya pihak bank harus mengetahui secara detail perkembangan usaha debitur. Secara dini dapat diketahui oleh bank dan tindakan-tindakan pencegahan. Monitoring secara ketat berlangsung 3 – 6 bulan. Bila kondisi usahanya membaik tentu harapan kedua belah pihak, tetapi seandainya kondisi memburuk karena beberapa hal tidak dapat diperbaiki maka biasanya bank mengambil keputusan untuk menjual jaminan. Umumnya kredit yang bermasalah yang dilakukan perorangan. Dalam melakukan tindakan hukum seperti ini pihak bank menganjurkan agar debitur menjual sendiri barang yang menjadi jaminan, apabila tidak berhasil pihak bank membantu mencari calon pembeli. Dalam proses jual beli antara debitur dengan pembeli umumnya dilakukan dahulu perikatan jual beli untuk pelunasan hutangnya kepada bank lalu dilanjutkan dengan jual beli dan balik nama kepada si pembeli dengan wajib membayar pajak sesuai dengan harga transaksi ataupun berdasarkan NJOP. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuntutan debitur bahwa penjualan barang Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 jaminan tersebut dibawah harga umum, dan debitur dapat menerima uang sisa pelunasan tagihan dari bank tersebut, maka tentunya dapat melindungi kedua belah pihak. Pasal 20 ayat 2 UUHT memberikan kemungkinan penjualan objek hak tanggungan secara di bawah tangan sepanjang atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, dan cara demikian akan diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Oleh karena penjualan objek hak tanggungan secara di bawah tangan hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan penerima hak tanggungan, maka bank tidak tidak mungkin melakukannya bilamana tidak ada persetujuan debitur. Apabila kredit sudah macet pada umumnnya debitur sudah sulit untuk dihubungi atau sudah tidak korperatif lagi, sehingga sulit rasanya mendapatkan persetujuan dari debitur. ft wawancara pegawai bank. Menyadari akan sulitnya untuk memperoleh persetujuan pada saat kredit sudah macet, maka pada saat kredit diberikan telah dipersyaratkan dalam membuat perjanjian kredit bahwa bank selalu meminta surat kuasa untuk menjual barang jaminan. Dalam pasal 11 ayat 2 UUHT yakni janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. Dimana janji itu wajib dicantumkan dalam APHT tersebut. Penjulan dibawah tangan ini diharapkan akan diperoleh harga tertinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Setelah diperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan, pelaksanaan penjualan secara dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat1 satu bulan sejak diberitahukannya secara tertulis kepada Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Umumnya hak tanggungan yang dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan edan ini dapat dilihat pada sertifikat tanah karena harus didaftar dan dicatat oleh Kantor Pertanahan dan pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya. Menghitung secara akurat biaya-biaya yang akan dikeluarkan dalam proses pengadilan possibility cost counting. Menghitung kemungkinan-kemungkinan biaya yang muncul meliputi biaya pengacara ,biaya pengadilan sampai tingkat Mahkamah Agung MA dan biaya operasional lainnya perlu dilakukan sebagai gambaran bila ditinjau dari aspek ekonomisnya. Kasus – kasus yang diselesaikan melalui pengadilan secara umum dapat dikatakan merugi, hal tersebut disebabkan biaya proses yang sangat besar dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu bank selalu menghindari penyelesaian melalui pengadilan. Penanganan perkara kredit bermasalahmacet di Pengadilan Negeri dapat ditempuh dengan cara, yakni: Proses perkara perdata di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka dan kedua belah pihak diperlakukan sama dan tidak memihak. Kedua belah pihak diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya dan didengar keterangannya. Namun, setiap argumen yang dikemukakan oleh para pihak mengenai pokok sengketa tentunya harus didukung oleh alat bukti yang ditentukan menurut hukum acara perdata yang berlaku. Pada akhirnya setelah cukup proses jawab-menjawab antara para pihak yang Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 didukung oleh bukti-bukti yang diajukannya, maka pengadilan menjatuhkan putusan dengan memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Jika bank dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya yang mengakibatkan gugatannya dikabulkan, masalah yang akan dihadapi adalah upaya-upaya hukum banding, kasasi dan pinjauan kembali akan ditempuh oleh debitur, sehingga penyelesaiaan perkara kredit bermasalahmacet tersebut bisa bertahun-tahun. Permohonan eksekusi grosse akta. Akibat lain yang timbul ketika bank syariah tidak menjalankan ketentuan hukum perdata secara konsisten dan konsekuen, maka akan menimbulkan persepsi- persepsi miring terhadap bank syariah sebagaimana yang terjadi saat ini di tengah- tengah masyarakat, diantaranya adalah: 1. Akad pembiayaan murabahah adalah akad pembiayaan belaka, sehingga tidak ada bedanya dengan Kredit Pemilikan Rumah KPR pada Bank Konvensional. Secara umum menimbulkan persepsi bahwa bank syariah hanyalah bank konvensional yang diberi cap syariah. 2. Akad pembiayaan pada dasarnya adalah akad pinjam meminjam uang. Karena itu pengambilan keuntungan oleh bank atas akad pinjam meminjam uang tidak dapat dibenarkan karena para ulama berpendapat demikian. 100 3. Hal ini menimbulkan kesan seolah-oleh bank syariah belum siap untuk beroperasi. 100 Ibid., hal. 80. Lihat juga Adiwarman A Karim, Op.Cit., hal. 22. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Op. Cit., hal. 60. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Permasalahan lain yang ditemukan oleh Penulis, yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan terhadap kelaziman dalam suatu transaksi pembiayaan murabahah ini adalah pengakuan dari nasabah, dimana delapan dari sepuluh nasabah mengaku tidak menerima salinan dari akad pembiayaan murabahah tersebut. Bahkan ketika telah diminta pihak bank tetap enggan memberikan salinan tersebut. Hal seperti ini tentunya sesuatu yang sangat tidak lazim terjadi dalam suatu perjanjian dan telah melanggar hukum tentang pembuktian, karena akad pembiayaan murabahah tersebut sengaja dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang mengadakannya untuk dipakai sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbutan hukum diantara mereka. 101 101 Baca: A. Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Alih Bahasa Oleh: M. Isa Arief, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1968, hal 51-68. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH BANK SYARIAH DALAM

PELAKSANAAN PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP RUMAHPROPERTI. Dalam pelaksanaan pemberian pembiayaan bagi nasabah-nasabahnya, bank menghadapi beberapa kesulitan, demikian juga halnya dengan Bank BNI Syariah yang juga menghadapi beberapa kesulitan dalam pelaksanaan pemberian pembiayaan, khususnya dalam hal pembiayaan murabahah untuk rumahproperti. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pihak bank dapat juga digolongkan sebagai kendala-kendala yang dihadapi oleh Bank BNI Syariah dalam penerapan pembiayaan murabahah terhadap rumahproperti.

A. Kendala-kendala Dari Segi Internal Bank.

Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008