Jual Beli Dalam Hukum Perdata

Disamping dari syarat yang telah dijelaskan diatas, para ulama fiqih juga ada yang mengemukakan syarat lain berkaitan dengan pembedaan antara jual beli benda bergerak dan benda tidak bergerak. Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka benda itu langsung dikuasai oleh pembeli dan harga dikuasai penjual, sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan menurut ‘urf kebiasaan setempat. 44

2. Jual Beli Dalam Hukum Perdata

Dalam lapangan hukum perdata, jual beli diatur dalam buku III tentang perikatanperjanjian, van verbintenissen Belanda, aqad Arab. Mengenai istilah verbintenis terjemahannya dalam bahasa Indonesia masih belum ada kesatuan pendapat, ada yang menggunakan istilah perutangan, ada yang menggunakan istilah perikatan, ada pula yang meggunakan istilah perjanjian. 45 Wirjono menempatkan jual beli ke dalam bentuk persetujuan. 46 Jual beli adalah suatu bentuk perjanjian yang telah diberi nama oleh KUHPerdata sehingga dikatakan juga sebagai perjanjian bernama dan diberikan pengaturannya secara khusus. 44 M. Ali Hasan, Op. Cit., hal. 125. 45 J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni, Bandung, Cet-3, 1999, hal 1. Lihat juga: Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2004, hal. 195. 46 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1985. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Kalau kita perhatikan susunan Buku III KUHPerdata, maka kita dapat melihat ada bab-bab yang mengatur tentang ketentuan umum tentang perikatan bab I-IV, dan ada pula bab-bab yang mengatur tentang ketentuan khusus bab V-XVIII. Pada dasarnya ketentuan umum berlaku untuk semua perjanjian, kecuali ketentuan khusus menyimpanginya. Dengan perkataan lain, pada asasnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. 47 Di dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, maka jual beli yang akan dibahas pada bab ini adalah jual beli terhadap rumah yang dibangun diatas tanah dan merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu pengertian jual beli rumah dalam tulisan ini haruslah diartikan pula mencakup jual beli terhadap tanahnya, yang tergolong kepada benda tidak bergerak. Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria UUPA, maka dualisme dalam bidang hukum pertanahan sudah berakhir. Untuk mengakhiri dualisme hak atas tanah tersebut dilakukan konversi hak atas tanah-tanah adat dan tanah-tanah barat kepada hak-hak atas tanah menurut UUPA. Menurut Effendi Perangin, UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan jual beli tanah. Tetapi biarpun demikian, mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat, 47 J. Satrio, Op. Cit., hal. 35. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada pembeli, yaitu menurut pengertian hukum adat. 48 Namun dalam perkembangan hukum tanah di negara kita, tindakan-tindakan yang berkaitan dengan peralihan hak-hak atas tanah telah mendapat pengaturan dari pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah PP No. 10 Tahun 1961, yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 PP No. 24 Tahun 1997. Disamping dari apa yang telah dijelaskan, di sebagian daerah di Indonesia masih memberlakukan hukum daerahnya masing-masing yang dikenal dengan hukum adat. Berbeda dengan Hukum Perdata, transaksi dalam hukum adat biasanya tidak dibuat secara tertulis atau kalaupun dibuat secara tertulis tapi tidak teratur. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, maka jual beli itu selesai. 49 Transaksi dalam hukum adat bersifat terang dan tunai, terang maksudnya disaksikan oleh sejumlah saksi dari pihak masyarakat, kerabat atau tetangga. Sedangkan tunai yaitu menyangkut pembayaran dan penyerahan objek transaksi, dimana pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. 50 48 Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 13. 49 Ibid. 50 Ibid., hal. 15. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Menurut Hilman Hadikusuma, yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum perjanjian adat dengan hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bahwa hukum perjanjian KUHPerdata bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan dan bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan dan bersifat tolong-menolong. Perjanjian menurut KUHPerdata menimbulkan perikatan, sedangkan menurut hukum adat untuk mengikatnya perjanjian harus ada tanda pengikattanda jadi yang dikenal dengan istilah panjer Jawa. 51 Dalam perjanjian jual lepas, panjer itu berupa sejumlah uang yang diterima panjual dari pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli, sebaliknya jika kesalahan itu dari pihak pembeli sehingga perjanjian batal maka panjer hilang. 52 Lain halnya dengan persekot sebagai tanda jadi yang merupakan pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual, yang akan dipotong dari harga pembelian ketika pelunasan pembayaran dilakukan. Persekot ini pun dapat hilang apabila perjanjian batal dikarenakan kesalahan dari pihak pembeli, sebaliknya jika tidak dinyatakan sebelumnya, persekot dikembalikan lagi kepada pembeli apabila perjanjian tidak dilanjutkan oleh pihak penjual. 53 51 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 4. 52 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 223. 53 Ibid. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008

C. Tinjauan Umum Tentang Murabahah